"Non ... Non Shifra! Bangun Non!" panggilan salah seorang pelayan di rumah kediaman Haribawa menyadarkan Shifra yang masih dalam posisi bersujud di samping ranjang kamarnya.
"Apa Mas El sudah pulang, Mbok?" tanya Shifra sambil meluruskan tubuhnya. Menggeliat dan mengucek matanya yang tampak bengkak dan sembab."Apa yang kamu katakan, Shifra? Kamu sudah gila? Elzien sudah meninggal seminggu lalu! Kenapa kamu masih saja meratapinya? Bukankah meratapi seseorang yang sudah meninggal itu haram hukumnya, hah?" sahut Haribawa tiba-tiba masuk ke kamar putra pertamanya.Shifra tertunduk lesu dan terisak lagi. Dia mengangguk membenarkan kalimat sang ayah mertua."Maaf, Pa ... Shifra masih merasakan bahwa Mas El masih hidup. Dia baik-baik saja dan masih berusaha untuk pulang dengan jalannya sendiri suatu saat nanti. Jadi-""Baiklah kalau itu maumu! Sekarang, keluar dari kamar ini dan pindahlah ke pavilium belakang bersama para pelayan rumah ini! Kamu tak selayaknya tinggal di kamar ini lagi!" sentaknya memotong ucapan wanita yang terlonjak kaget memegang dadanya."Pa-pa ...," lirihnya terbata."Dan lagi! Jangan panggil Papa mulai sekarang, kamu bukan lagi menantuku! Kemasi barang-barangmu sekarang juga!!!" teriak Haribawa memutar tubuhnya keluar dari kamar paling mewah dan paling besar di rumah itu."Apa ini, Mbok? Kenapa sikap Papa berubah kasar pada Shifra? Apa hanya Mas El yang benar-benar menerima Shifra di rumah ini sejak dulu, Mbok?" isaknya menggeleng lalu dipeluk oleh wanita sepuh bernama Aminah itu.Satu minggu setelah diumumkannya status meninggal Elzien, Shifra hanya mengurung diri di kamar. Terus mengerjakan shalat sunnah di sela shalat wajibnya. Siang dan malam membaca Alquran dan berdoa meminta keajaiban pada Tuhannya. Sesekali makan dengan harus dipaksa dan tak jarang disuapi Mbok Aminah di kamarnya."Mbok? Mbok boleh keluar, Gue mau bicara sama Shifra!" Javaz tiba-tiba menyelonong masuk tanpa ijin ke kamar Shifra."Maaf, Den." Mbok Aminah menggeleng kuat, "Non Shifra dan Aden bukan mahram, jadi--""Nggak usah ngajarin Gue, Mbok! Keluar Gue bilang!!!" potongnya mengucapkan nada tinggi wanita tua itu."Javaz!!! Kamu jangan kasar sama Mbok Minah! Biarkan dia di sini! Aku juga nggak sudi ngomong sama kamu kalo cuma berdua di sini! Katakan apa maumu?" sentak Shifra mengusap dua pipi basahnya kasar lalu berdiri di hadapan pria yang menatapnya sendu."Gue nggak sanggup liat Lo kayak gini, Shif! Lo harus move on. Satu-satunya cara adalah pergi sejauh mungkin dari yang berhubungan dengan Elzien!" ucap Javaz menahan dua bahu Shifra yang langsung menepisnya."Jangan sentuh aku sembarangan, Jav! Haram bagiku untuk semua laki-laki di dunia ini! Aku sebatang kara sekarang!" sentaknya mundur selangkah dengan terisak lagi."Shiiiif, jangan seperti ini! Lihat Gue! Lo, harus kuat! Lo harus bisa hidup tanpa El! Masih ada Gue yang peduli sama Lo! Gue jan--""Cukup!!!"potong Shifra mengangkat tangannya yang terbuka lalu berdesis dengan satu jari di depan mulut."Oke! Tanpa menyentuh Lo, Gue bakal terus nglindungi Lo! Jangan anggap Gue orang lain. Jangan pendam kesakitan dan kesusahan Lo sendirian. Ada Gue, Shif!" Kalimat Javaz terdengar lebih lembut dan tulus. Tak seperti awal tadi yang menggebu dan terkesan marah."Kak Javaz ngapain masih deket-deket sama Shifra? Dia udah nggak level lagi sama kita, Kak!" Zora tiba-tiba masuk dan menarik lengan kakak laki-lakinya menjauh.Shifra hanya melongo mendengar perkataan seseorang yang telah dianggapnya sebagai adik sekaligus sahabatnya itu. Tak menyangka ketidakberadaan Elzien, berdampak begitu besar pada orang-orang di rumah ini."Lo apaan sih, Ra! Gue punya kaki dan badan sendiri yang nggak bisa seenaknya diatur-atur sama Papa! Apalagi sama Lo!" Javas menghempaskan tangan Zora yang mengait pada lengannya."Papa!!! Kak Javaz masih ngeyel nemuin Shifra!" teriak Zora lantang, mengadu pada sang ayah yang dengan cepat sudah berada di ambang pintu.Dua security sudah berada di belakang pria berusia lima puluh tahun itu. Berdiri tegap siap menerima perintah lanjutan dari sang atasan."Bereskan barang perempuan itu dan pindahkan ke pavilium belakang! Kalo dia masih tidak mau keluar, seret saja! Saya yang berkuasa di rumah ini sekarang! Saya yang bayar Kalian! Paham!?" titah Haribawa tersenyum sinis pada Shifra kemudian meninggalkan kamar diikuti sang putri kesayangan."Papa masih nahan Lo tetap di rumah ini. Semoga dengan begitu, Lo bisa dikit dikit lupain El dan move on, jadi lebih kuat! Sorry, Gue cuma bisa bantu Lo semampu Gue, Shif ...," kata Javaz mendekat lagi pada Shifra yang akhirnya mengangguk dan menunduk tajam.'Benar kata Javaz, aku nggak boleh keluar dari rumah ini, apapun yang terjadi. Dan aku sangat yakin Mas El masih hidup. Aku hanya perlu lebih banyak berdoa lagi, 'kan?' Batin Shifra menegakkan kepala dan mulai mengemas barangnya juga milik Elzien dibantu Mbok Minah dan dua security.---"Apa maksud semua ini? Bagaimana mungkin Saya hanya mendapatkan lima persen saja? Saya Papanya! Kenapa bisa perempuan yatim piatu yang baru dua tahun menjadi istrinya ini mendapatkan lebih dari delapan puluh persen harta kekayaan Elzien?" Ungkapan kekesalan dan kemarahan Haribawa tak terbendung lagi. Dia memukul meja di depan para notaris dan pengacara keluarga.Hari ini tepat empat puluh hari hilangnya Elzien Kagendra. Atas perintah Haribawa lima pengacara keluarga Kagendra dan beberapa orang notaris dari pengadilan didatangkan ke rumah membahas harta warisan. Berharap semua harta kekayaan akan jatuh ke tangannya dia sangat menantikan hari ini."Maaf, Pak Haribawa. Dua hari sebelum Pak Elzien mengalami kecelakaan. Beliau bersama Nona Shifra telah menandatangani sebuah dokumen pelimpahan seluruh aset. Silakan diteliti keasliannya!" Salah seorang pengacara yang paling sepuh menyerahkan sebuah amplop hitam ke hadapan semua orang."Nggak mungkin! Ini pasti palsu dan rekayasa kalian agar mendapatkan keuntungan lebih! Saya akan menuntut Kalian agar kasus ini jelas!" tolak Haribawa melemparkan dokumen itu.Pengacara dan notaris saling pandang, begitu juga Shifra yang duduk di antara mereka terperanjat kaget. Matanya kembali basah mengingat hari-hari terakhir bersama Elzien yang mengajaknya pada pertemuan seperti ini. Bertemu pengacara dan notaris menanda tangani pelimpahan aset dan malamnya dihadiahi prank. Tak bisa dilupakannya, terekam jelas di benaknya hingga tak mampu berkata-kata lagi."Silakan Anda membuat laporan dan segala sesuatunya ke pengadilan. Kami sebagai pengacara yang sejak dulu dipercaya keluarga Kagendra sangat tahu dengan pasti jik--""Diam! Keluar dari rumah ini! Tak perlu lagi bicarakan masalah ini!" pungkas Haribawa semakin meradang saat pengacara keluarga Kagendra yang mengetahui segala rahasia itu akan mengungkapkan sesuatu.Shifra mengangkat kepalanya dan menyipitkan mata menatap keheranan dengan perubahan sikap ayah mertuanya. Tadinya sangat antusias ingin segera membagi harta waris putranya, Elzien. Bahkan mengancamnya agar keluar dari rumah ini tanpa membawa sepeser pun milik keluarga Kagendra."Jangan harap kamu bisa keluar dari rumah ini dengan membawa harta milik Elzien! Kamu datang kemari tanpa membawa apapun maka keluar dari sini pun sama! Yatim piatu dan miskin! Paham?!" ucap Haribawa sebelum para pengacara dan notaris datang pagi tadi.'Apa ada sesuatu yang disembunyikan dari semua orang? Bukankah aneh, jika semuanya dihibahkan padaku?" Shifra bertanya-tanya dalam hati. Mencerna kata-kata dari pengacara bernama Arya yang dipotong begitu saja oleh Haribawa.***"Gimana sih Lo? Jalan pake mata dong!!!" teriak Zora menabrak Shifra yang sedang mengepel lantai."Maaf, Ra! Ha--""Aaarrrgh .... Aaauuuw! Shifra!!!"Belum sempat mengatakan agar Zora berhati-hati melangkah, perempuan yang memakai heels dengan dress super ketat itu sudah jatuh terduduk di lantai. Meringis kesakitan memegang pinggang dan kakinya.Shifra memang sengaja melakukan pekerjaan rumah pada malam hari. Dia tak mau Javaz membawanya pergi dari rumah ini. Haribawa dan Zora tak pernah bersikap manis lagi semenjak tahu bahwa seluruh aset milik Elzien jatuh ke tangannya. Tak lagi menyuruh tinggal di pavilium belakang, tapi seluruh pelayan diberhentikan bahkan hanya meninggalkan satu security. Mau tak mau semua pekerjaan rumah harus dilakukan Shifra sendirian.Seperti malam-malam sebelumnya, Zora yang sekarang menjadi tak terkendali lagi. Sering pulang malam dalam keadaan tak sadar karena minuman keras. Jika dulu aturan Elzien mengharuskan penghuni rumah sudah harus pulang saat makan
Keesokan harinya setelah Shifra mengatakan kelakuan Zora pada Javaz. Wanita yang berstatus sebagai janda atas kepergian Elzien Kagendra itu dilabrak oleh adik iparnya sendiri. Berbagai kekerasan hingga kata-kata kasar dilontarkan padanya. Perdebatan panjang antara Javaz dan Papa Haribawa pun menjadi pemandangan yang setiap hari terpampang di depan mata Shifra. "Kamu pucet banget, Shif?" sapa Javaz pagi hari setelah percekcokan dengan Haribawa dan diakhiri dengan kepergian pria paruh baya itu masuk kembali ke kamarnya, tak jadi sarapan."Sedikit pusing dengan semua ini, Jav. Maaf ... kalian jadi harus bertengkar setiap hari karena belain aku," katanya menunduk menyembunyikan sudut matanya yang basah.Belum sempat mendapatkan jawaban dari Javaz, wanita itu sudah terhuyung saat akan menarik kursi di ruang makan. Dengan sigap pria yang dua tahun lebih tua darinya itu menahan pinggang Shifra yang hampir roboh."Shif ... bangun! Shifra!" Javaz mengangk
Teriakan Shifra dan suara benda dilemparkan asal dari dalam kamar terdengar sampai ke ruang makan di mana Javaz masih membereskan sisa makanannya. Pria itu mendongak dan tersenyum tipis lalu melangkah sambil memasukan sapu tangan di saku celananya."Shif? Shifra? Buka pintunya! Kamu kenapa? Buka pintunya, Shif! SHIFRA!!!" Teriakan kepanikan serta ketukan berulang kali di pintu kamar Shifra terdengar panik, mengkhawatirkan wanita di dalamnya.Tak lama suara kunci diputar dari dalam, tubuh lesu dengan dua mata sembab muncul di ambang pintu. "Kamu kenapa?" tanya Javas sedikit membungkuk menelisik wajah Shifra yang tertunduk.Kepala tertutup hijab itu hanya menggeleng tanpa terangkat sedikit pun."Apa aku sudah gila, Jav? Di mana-mana selalu ada bayangan Mas Elzien ... katakan Jav ... apa aku benar-benar tak bermimpi? Apa ini nyata? Aku tak memiliki siapa-siapa lagi sekarang?" tangisnya pecah, berjongkok memeluk lutut dan menyembunyikan waja
"Kamu sudah bangun?" katanya bersikap seolah dia adalah Elzien, suami Shifra. 'Apa reaksimu, Sayang? Itu yang akan menentukan nasibmu ke depan,' rencana busuknya tersusun rapi di benak Javaz saat itu juga."Aaarrrgh!!! Sedang apa kamu di kamarku, Jav???" teriak Shifra spontan menutup tubuh polosnya dengan selimut.Tubuhnya gemetaran di dalam kain putih tebal dan lebar itu. Suara langkah kaki Javaz terdengar mendekat."Lima hari lagi, aku akan menikahimu, Shif, aku janji!" Kalimat terucap dari suara yang tak asing lagi bagi Shifra.Terasa sebuah tangan mengusap bagian kepala wanita yang tak terlihat sama sekali tertutup penuh oleh selimut tebal.Rasa sakit dari area pinggang ke bawah hingga rasa kebas di seluruh rongga mulutnya, membuat Shifra semakin tergugu dalam tangis. Tenggorokan tercekat membayangkan apa yang baru saja terjadi padanya.'Mas El ... kenapa aroma tubuhmu berbeda? Tapi aku suka ... Ssshhhh Mas ... El ... Kamu na-kal ...,'Racauan dirinya terngiang kembali, Shifra men
"Masa iddahku habis? Aku memintamu menikahiku? Ap-" Shifra tak bisa melanjutkan kalimat lagi.Tubuhnya tumbang ke belakang dan masih bisa ditangkap oleh Javaz. Direbahkan perlahan di atas bantal dan diselimuti oleh pria yang tersenyum puas menyeringai.Haribawa masuk ke dalam kamar yang dulunya adalah kamar Elzien bersama Shifra dengan tawa terbahak-bahak."Hebat kamu, Jav! Luar biasa! Setelah ini apa rencanamu?" tanya pria berusia 50 tahun itu besemangat menepuk pundak putranya."Kita lihat saja pengaruh obatnya gimana, Pa? Takutnya dia gila beneran dan kita dalam masalah besar." balas Javaz ragu.Hatinya mulai tak tenang dan ragu melakukan sebuah rencana buruk untuk mendapatkan hak miliknya. Hasutan dan iming-iming mendapatkan cinta Shifra mengganggu kewarasannya malam itu."Bro! Cobain laaah satu cewek aja! Gue jamin pasti Lo nggak bakal pusing lagi. Malah ketagihan, hahaha!" Bising suara musik yang berdentum keras dalam ruangan luas berkelap-kelip lampu sorot sehari sebelum Javaz m
'Dasar anak bodoh! Setelah Shifra hancur aku juga akan menghancurkan kamu dan Zora, Tikus kecil ...!' sorak Haribawa dalam hati.Di depan Javaz hanya terlihat sebuah anggukan sebagai jawaban.Haribawa mempunyai rencana lebih matang dan sudah sangat lama ditunggunya. Bukan hanya demi kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki Kagendra, sebuah penghapusan identitas pun tak luput dari bidikannya."Setelah selesai, paksa dia tanda tangani dokumen ini! Jangan gagal lagi!" titah pria bersetelan jas berharga fantastis itu meletakkan sebuah map di atas nakas."Esok hari aku akan terbang melayang bersamamu lagi, Shifra! Cintaku ... Sayangku!" gumamnya mengisap vape bercampur zat tertentu yang bisa meningkatkan hormon testosteron dalam tubuhnya.Malam semakin larut dan dia sudah setengah sadar berjalan ke arah kamar Shifra di lantai dua. Dia melakukannya lagi malam ini. Hingga pagi hari sebelum Shifra terbangun, semua sudah rapi kembali seperti sebelum wanita itu tertidur."Ingat Mbok! Mbok harus meng
"Setelah Elzien yang kamu pengaruhi hingga menghilang dan kemungkinan tak bernyawa lagi. Sekarang sudah merasa berhasil mencoba pengaruhi Javaz juga? Iya?" Teriakan Haribawa memekakkan telinga Shifra pagi itu.Wanita yang sudah berembun matanya itu terhuyung dengan memegang pelipis. Beberapa kali mengedipkan mata karena pandangan mulai buram.Javaz dengan sigap merengkuh pinggang berbalut celemek masak itu dengan seringaian di wajahnya. Begitu pula Haribawa yang menahan tawa sambil mengibaskan tangannya. Memberi perintah agar putranya itu membereskan semua rencana."Jangan tinggalkan jejak!" bisik Haribawa di telinga Javaz saat melewati Shifra yang sudah berpindah ke pelukan putranya.Pria dengan perawakan hampir mirip dengan Elzien itu membopong Shifra. Membaringkan di atas ranjang big size di dalam kamar wanita yang tak sadarkan diri itu."Mas El? Kamu akhirnya kembali ... aku kangen kamu, Mas," lenguhan Shifra saat merasakan pakaiannya
Mbok Aminah berjalan di sisi brangkar yang didorong oleh petugas rumah sakit milik keluarga Kagendra. Saham perusahaan milik suami Shifra itu memang ada di berbagai lini bidang, mulai dari Sekolah, Kesehatan hingga Properti milik Pemerintah. Jadi sudah barang tentu menjadi hasrat rakus seorang Haribawa menggelora. Padahal ia yang dipercaya oleh mendiang Kagendra Wijaya untuk mengelola hingga Elzien putra tunggalnya siap menguasai sendiri warisan bernilai fantastis itu.Menjadikan niat busuk dalam diri Haribawa untuk melenyapkan Elzien berkali-kali dilancarkan. Sayangnya keberuntungan masih belum berpihak pada Haribawa dan putranya untuk mendapatkan sebagian harta itu. Mereka pikir setelah bisa mencelakai dalam kecelakaan tunggal itu, Haribawa dapat menguasai semuanya."Maaf Pak Haribawa, semua aset sudah dipindahtangankan, tepat sehari sebelum Pak Elzien megalami kecelakaan. Dan Anda hanya mendapatkan 30 persen saja dari semua milik Elzien Kagendra. Hanya satu caba
"Laa Haula ... wa laa quwwata illa billah ...." gumamnya hampir tak terdengar dengan memandang ke atas mendongakkan kepalanya. Tenggorokannya tercekat dengan mata yang melebar melirik ke atas.Shifra terhuyung dan beruntung ada seorang santri melewatinya dan menahan tubuh yang sudah lemah itu."Bu? Bu Shifra kenapa?" Kepanikan santri itu mencuri perhatian santri di sekitarnya. Beberapa datang berlarian dan sebagian memanggil istri ustadz dan pengurus pondok.Shifra sudah berbaring di lantai dengan lemah. Satu tangannya memegang dada dan mata melirik ke atas. Napasnya terengah dan terus melemah. Lengannya terkulai di samping tubuh saat satu tarikan napas panjangnya membuat mata terpejam sempurna. Bibirnya seperti bergerak membentuk dzikir tapi tak keluar suara."Bu?! Bu Shifra!" teriak santri yang memangku kepala Shifra dengan linangan air mata.Satu dari ustadzah memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Shifra. Dia menggeleng lemah dan menunduk dengan embusan napas panjang."Innal
"Terima kasih Bunda! Yang terpenting bagi Ezra di dunia ini hanya satu. Yaitu restu dan doa dari Bunda saja! Mau seluruh dunia menghujat dan tak percaya dengan Ezra, asalkan Bunda di sisi Ezra, Ezra akan bisa berdiri tegak meghadapi semuanya." ungkapnya kembali memeluk sekilas dan mencium punggung tangan Sang Bunda.Keduanya berpelukan sekali lagi, menyalurkan segala rasa di hati masing-masing. Sudah diselimuti kerinduan meski belum berjarak. Tak terasa air mata Shifra sudah membasahi pangkal cadar di bagian bawah matanya."Bunda jangan nangis ... Ezra hanya satu bulan di sana. Nggak akan lama kok. Ezra akan menjadi pribadi yang lebih baik setelah kembali. Bunda harus janji sama Ezra untuk nggak nangis lagi setelah hari ini, hem? Tunggu Ezra dan doakan Ezra selalu, ya?" Remaja berbaju koko dilapisi dengan outer seperti jaket berbentuk jas casual itu mengusap basah di mata ibunya.Shifra mengangguk dan menyentuh pipi putranya dengan sedikit terisak."Bunda pasti akan selalu berdoa untuk
"Lo jebak gue dengan cara murahan seperti ini? Apa maksud dan tujuan Lo sebenarnya, heuh?!" ancam Ezra mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah santri bernama Azura itu dengan tatapan nyalang."Kamu juga ikut ke kantor dan Ibu Shifra harus tahu tentang kelakuan putranya." ucap Pak Salim tegas.Ezra mengeratkan gigi gerahamnya dengan tangan terkepal kuat di siai tubuhnya."Pak Salim! Mohon bicara sebentar!" Ezra menahan langkah kaki Pak Salim dengan berdiri menunduk tepat di depannya."Jelaskan saja di Kantor!" tolak Pak Salim bergeser hendak melangkah dari sisi tubuh Ezra."Ini harus dijauhkan dari Bunda, jangan sampai Bunda tau tentang ini.""Apa alasannya? Semuanya harus terbuka dan jelas, kamu baru dua hari di sini dan sudah melanggar dan iti sangat fatal. Memasukkan seorang santri putri bukan mahram ke dalam kamar kamu, hanya berdua saja!" tegas Pak Salam tetap ingin melangkah. Dia terus dihalangi Ezra agar tak pergi lebih dulu sebelum mendengar penjelasannya."Bunda per
"Oh ... namanya Ezra? Oke! Mainan baru!" gumam seorang santri putri yang baru saja mengintip dari jendela luar. Dia berpura-pura menyiram tanaman di depan kamar tamu."Sampeyan ngapain, Mbak?" tanya seseorang mengagetkan santri perempuan yang sedang mencuri dengar di dekat jendela kamar tamu yang Ezra tempati.Bukan hanya santri itu yang terkejut, tapi juga Shifra dan juga Ezra yang sedang di dalam. Pasalnya bunyi tempat sampah yang seperti terlempar keras terdengar."Eh, eh? Niki, Pak kecanthol kudunge," balas suara santri itu sedikit terkekeh sambil menunjukkan sisi kerudungnya yang tersangkut di ujung jendela."Aneh-aneh arek iki! Yok opo isoh kecanthol aa?" tanya laki-laki paruh baya geleng kepala, keheranan kenapa bisa tersangkut di ujung jendela pada santri itu. Tapi tak perlu mendengar jawabannya dia tersenyum kecil dan melangkah pergi.Ezra keluar dan berdiri di ambang pintu sambil menyimak obrolan keduanya yang tak dimengerti. Si Santri menyadari keberadaannya sedari tadi. Ga
Mereka menempuh jarak Jakarta-Surabaya selama 10 jam di kereta kelas Ekonomi. Ibu dan anak itu saling menyandar bergantian tertidur di bahunya. Sirine tanda Stasiun berikutnya berbunyi, Shifra yang sudah sedari tadi terjaga mngguncang kepala Ezra."Ezra ... Bangun, Nak! Waktunya kita turun!" katanya menepuk pipi yang bisa dijangkau dengan tangan."Stasiun Gubeng, Bun?" Ezra menggeliat meluruskan dua tangannya ke atas dan meliuk ke kanan dan kiri.Remaja lelaki yang tampak sudah sangat dewasa baik postur tubuh juga sikapnya itu, menenteng dua tas kain di satu tangan. Sedangkan tangan lainnya merangkul pundak sang Bunda, bahkan sedikit mengangkatnya ketika turun dari gerbong."Ke mana lagi sekarang, Bun?" tanya Ezra menoleh ke sekitar tempatnya mendudukkan Shifra di ruang tunggu peron kedatangan."Tanyalah petugas harus naik apa ke Pondok Pesantren Al-Hidayah? Bunda sudah lama tak kemari, mungkin transportasi juga berubah." balas Shifra meraba tas di samping dan mendekatkan ke tubuhnya.
"Ezra akan coba bicarakan ini nanti setelah kondisi Bunda sudah benar-benar stabil seperti kemarin, Pa. Terima kasih saran Papa!" Ezra menghambur memeluk ayahnya dari samping dan dibalas dengan tepukan di bahu oleh Elzien.Dua pasang mata ayah dan anak itu berada pandang seolah bisa menyalurkan pikiran masing-masing."Pa ... apa ini ada hubungannya dengan orang tua Daffin yang seorang pejabat?" tanya Ezra serius.Elzien mengedikkan bahunya dan menggeleng."Fokuslah untuk pindah ke Pesantren. Tanyakan pada Bunda, apakah mau kembali ke tempatnya dulu? Ustadz yang merawat dan memberi perlindungan pada Bundamu sejak bayi?" katanya sambil menepuk dua pundak Ezra yang mengangguk."Papa dan Ayah Javaz janji akan sejauh mungkin berjarak dengan kalian. Kita dekat dalam doa saja itu cukup, kan?" lanjutnya tersenyum mengusap kepala Ezra kemudian berdiri."Maaf dan terima kasih Papa ...." Ezra kembali memeluk tubuh yang sama tingginya dan ternyata sangat membuat hati nyaman dalam dekapan itu."Pa
"Lebih baik aku tiada dari dulu ...." gumamnya menunduk tak sanggup lagi melihat kondisi Shifra yang mulai menyakiti dirinya sendiri dengan memaksa melepaskan jarum infus dan mencakari wajahnya sendiri.Elzien tak pernah melihat keadaan perempuan di depannya seburuk sekarang. Hati pun ikut hancur lebur dan mulai berembun sudut matanya.Bagaimana tidak, saat Javaz masih bisa bangkit dan memeluk Shifra erat. Mantan istrinya itu melemah dan mulai tenang dalam dekapan sang adik. Sekuat itulah cinta keduanya.Dahulu, di sisinya Shifra akan bersikap seperti ibu. Begitu dewasa dan seolah membimbingnya seperti anak. Elzien nyaman dan merasa terlena, hingga lupa bahwa seorang istri butuh perhatian dan keluh kesah tersampaikan. Mungkin saat itulah semua maaalah berakar. Hingga sekarang menjadi bom waktu yang meledakkan semuanya. Shifra tak mampu lagi menahan diri dalam kewarasan yang selam ini berusaha ditampakkannya."Shif ... tenanglah! Dia Ezra, putramu, bayi kecilmu, kekuatanmu, penglebur d
"Sial! Cari tahu tentang dia juga, Brengsek!? Siapa yang berani melawanku?!" geram seseorang melemparkan botol minuman keras di atas meja ke dinding."Nggak ada yang boleh lebih unggul dari putraku!" lanjutnya mengepalkan tangan sambil memukul meja di depannya.Pihak berwajib melakukan penyelidikan terhadap kebakaran yang terjadi di rumah Shifra. Banyak hal janggal ditemukan dan semua mengarah pada satu nama ART paruh waktu yang datang pagi pulang sore hari.Dia diduga mematikan saluran air dari PDAM yang mengalir ke tandon besar rumah. Kemudian tabung gas dibiarkan dalam keadaan menancap setengah regulatornya, jadi seolah terjadi kebocoran. Ada beberapa botol kecap dan saos yang diisi minyak tersebar di sekitar pekarangan. Siapa lagi yang sengaja bisa leluasa melakukannya kecuali orang yang bebas keluar masuk dari rumah itu.ART bernama Linda itu tengah dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Dia hanya menangis dan terus menggeleng pasrah mengikuti arahan petugas membawanya
"Ezra? Ezra ... kenapa panas sekali? Ezra! Rumah kita terbakar! Ezra!? EZRAAAA!" teriakan Shifra di tengah kobaran api di seluruh kamar dan rumahnya tak membuat sosok yang baru saja tertidur di sampingnya bergerak sedikit pun.Tangan Shifra terus mengguncang tubuh pulas itu sambil memanggil namanya. Karena kebutaannya dia tak tahu bahwa di telinga Ezra tersumpal head phone. Sekuat apa pun memanggil namanya tetap tak terdengar. Apalagi sebelum tidur remaja itu baru saja meminum obat pereda rasa sakit untuk lukanya sekaligus obat tidur yang diresepkan bersamaan.Saking geramnya ibu tiga puluh tujuh tahun itu menggigit lengan Ezra."Aaarrrgh!?" teriaknya terjingkat kaget kemudian diikuti istighfar berkali-kali melihat dirinya sudah dikelilingi api.Dia memeluk ibunya yang sudah berlinangan air mata dan hampir sesak napasnya."Bunda naik punggung Ezra dan pegangan yang erat, ya? Bismillah!" titahnya menarik bed cover sekaligus sang Bunda ke punggung.Berlari mencari celah menuju kamar man