Itu ..." Raya mengigit bibirnya ketika ia mengerti jawaban apa yang diinginkan Arya."Maaf Alex, kuharap kau tidak tersinggung. Aku tahu, kalian menikah bukan karena saling mencintai. Sekali saja, aku ingin mendengar jawaban darimu, Raya.""Andai kita bertemu lebih dulu, Raya. Apakah aku bisa mendapat sedikit perhatian darimu?" Ujar Arya mengulang kembali pertanyaannya.***Kerongkongan Raya terasa tercekat mendengar ungkapan perasaan Arya kepadanya. Raut wajah terkejut sangat jelas terlihat di wajahnya. Sebuah kejutan yang sama sekali tidak disangkanya. Raya melirik Alex yang langsung berdecih dan memalingkan wajahnya. Sebuah senyuman getir diperlihatkan Raya. Tangan yang memegang buket bunga pemberian dari Arya nampak gemetar karena rasa gugup yang kini menderanya.Alex berdecak kesal. Tak lama, ia menarik lengan Arya dan menjauh dari Raya, wajah mereka kini saling bertatapan satu sama lain. Rahang wajah Alex mengeras, menggambarkan betapa kesal dirinya dengan perbuatan tak sopan k
Alex masih duduk di anak tangga, memandang dengan sinis kepergian Arya dari rumahnya. Tangannya masih mengepal, karena rasa kesal yang masih belum sepenuhnya hilang.Raya menutup pintunya begitu memastikan mobil Arya sudah tak terlihat lagi olehnya. Matanya mendelik ke arah Alex baru saja memanggilnya. Dengan langkah malas Raya mendekat, menghampiri suaminya yang masih mengoceh sendiri disana."Ada apa kau memanggilku?" Ketus Raya.***"A-apa yang kau bicarakan tadi dengannya?" Tanya Alex pelan."Bukan urusanmu, lagipula tak biasanya kau ingin tahu urusanku?" Ujar Raya balik bertanya."Ya sudah. Kalau tak ingin memberitahuku." Balas Alex sewot."Ye ... Dia marah. Tadi kau bertanya padaku, bukan? dan aku sudah menjawabnya. Jika tidak ada pertanyaan lagi. Aku mau ke kamarku." Pamit Raya lalu mulai melangkah menaiki anak tangga. "Apa kau sudah menjawabnya?" Pertanyaan Alex membuat Raya seketika menghentikan langkahnya. Perlahan ia memejamkan matanya, untuk sesaat masih nampak raut keke
"Ada apa dengannya? Bukankah kalian akan segera bertunangan? Kau bahkan sudah merasakan betapa hebatnya dia diranjang. Lalu apa lagi yang ingin kau bicarakan denganku?" Sengit Raya lalu mengigit bibirnya ketika mengingat video yang diperlihatkan Stella padanya di cafe waktu itu."Pertunangan itu ..." Belum sempat Stella menyelesaikan kalimatnya, dengan cepat Raya memotongnya."Ah, aku lupa jika kalian akan segera bertunangan. Katakan saja kapan dan dimana acara pertunangan kalian?" Seru Raya tak sabar sambil memperlihatkan seringai tipis di wajahnya.***Stella tersenyum getir mendengar sindiran Raya padanya. Lalu, menggelengkan kepalanya. Sikap Raya yang tak bersahabat hampir menyulut emosinya. Helaan nafas panjang terdengar saat Stella berusaha mengontrol perasaannya.Tatapan mata Raya masih menyipit tajam pada Stella. Ucapannya yang ketus seolah mewakili kemarahannya. Baginya, Stella adalah sosok wanita yang menyebabkan kepercayaannya pada Alex hancur."Boleh aku masuk?" Tanya Stel
"Terima kasih karena sudah menerima kedatanganku dan mendengarkan penjelasanku. Semoga kita bisa bertemu lagi, Raya." Pamit Stella lalu berjalan dan kembali masuk kedalam mobilnya.Raya tersenyum getir saat mendengar klakson mobil yang dibunyikan Stella, dipandanginya mobil Stella yang mulai menjauh, untuk beberapa saat ia berdiri terpaku, dengan sorot mata yang sayu.Helaan nafas Raya terdengar berat. Tak lama ia berbalik kembali masuk ke dalam rumah. Sebelum menutup pintunya terdengar suara Raya yang lirih berbisik."Kehilangan adalah jawabannya, Stella. Kita akan menyadari betapa penting dan berartinya seseorang setelah kita merasa kehilangan dirinya."***Raya berjalan kembali ke kamarnya, lalu duduk di tepian ranjang kamarnya. Niatnya untuk keluar rumah yang sempat tertunda karena kedatangan Stella, kini pupus sudah. Ia tak lagi berminat untuk pergi kemanapun, karena suasana hatinya kini tak begitu bagus.Dalam situasi seperti ini, satu satunya orang yang sangat ingin ditemuinya
"Bu Raya bilang jika nanti bapak pulang, tolong masuk ke kamarnya."Setelah mendengar pesan yang disampaikan Pak Anton, Alex langsung membuka kunci rumahnya dan langsung berjalan menuju ke kamar Raya. Perasaan gelisah bercampur dengan rasa penasaran membuat Alex lupa untuk menelpon Raya dan bertanya langsung padanya. Tangan Alex nampak jelas sedikit gemetar begitu membuka pintu kamar Raya. Matanya menjelajahi tiap sudut ruangan. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah amplop berwarna putih di atas nakas.***Drrtttt!Ponsel Arya bergetar, tepat disaat ia baru saja hendak keluar dari ruang kerjanya. Dengan cepat tangannya merogoh ponselnya dari dalam saku jasnya.Raut wajah Arya seketika berubah ketika melihat nama yang tertera dilayar pipih itu. Sebuah pesan singkat yang dikirim Stella padanya. Pesan yang berisi agar ia bisa datang ke apartemen gadis itu.Arya meraih tas kerjanya lalu keluar dari ruangannya. Ia melirik sekretarisnya yang masih merapikan mejanya, lalu berjalan menuju temp
"Tak apa. Jadikan itu sebagai pelajaran untukmu. Jika suatu saat nanti ada pemuda yang jatuh cinta padamu, kau bisa lebih menghargainya." Ujar Arya bijak.Stella tersenyum getir mendengarnya. Tak lama, ia kembali menuangkan wine yang tersisa di botol ke dalam gelas, lalu dengan cepat, tanpa sempat dicegah, ia meminumnya sampai habis. ***"Hidupku terasa menyedihkan. Aku ditolak oleh orang yang selama bertahun tahun, perasaan cintanya kuabaikan. Rasanya tak akan ada lagi yang bisa mencintaiku seperti dirinya dulu." Isak Stella lirih.Lama Arya terdiam, karena tak tahu bagaimana harus bersikap atas pernyataan Stella barusan. Stella meliriknya seakan menunggu reaksinya. Karena merasa Arya mengacuhkan pernyataannya, akhirnya membuat Stella berdiri dan mengambil sebotol Red wine lagi dari dalam lemari kaca yang berada tak jauh darinya."Jangan minum lagi," Arya berusaha mencegah ketika melihat Stella memegang alat pembuka tutup botol."Kau tak perlu cemas. Aku tak akan mabuk." Stella terk
"Itu biasa terjadi, karena Mas Alex panik. Maka, hal kecil dan terlihat sepele bisa terlupa.""Mungkin saja kau benar. Terima kasih karena sudah membantuku dan maaf, jika aku sudah mengganggu waktu istirahatmu." Tutur Alex."Sama sama dan cobalah untuk menelponnya lagi. Siapa tahu kali ini Raya akan menjawabnya." Winda mencoba memberi saran.****Raya memandang ke luar jendela. Pemandangan malam yang gulita kini menghampirinya. Sesekali tampak kerlipan lampu jalan, membuat perjalanan pulangnya terasa syahdu. Rasa rindu kepada keluarga membuatnya tak sabar ingin segera bertemu dengan keluarganya.Malam kini semakin larut, Raya melirik layar ponselnya yang sudah menunjukkan pukul sebelas tiga puluh malam, ada puluhan notifikasi panggilan telepon masuk ke ponselnya yang tidak disadarinya. Sejak keluar dari rumah Alex, ia mengaktifkan mode senyap (silent) pada ponselnya.Sepanjang perjalanan Raya hanya diam, membuang pandangan keluar jendela, menikmati pemandangan malam, di sebelahnya dud
"Aku dalam perjalanan ke Palembang." Lapor Alex pada istrinya begitu panggilan teleponnya tersambung. Tak lama, wajah Alex nampak mendengkus kesal, karena lagi lagi Raya memutus sambungan teleponnya."Dasar kepala runcing. Entah mengapa aku bisa jatuh cinta dan menikahi wanita keras kepala seperti dirinya." Rutuk Alex yang langsung di sambut gelak tawa oleh Pak Budi."Jangan tertawa, pak." Sungut Alex kesal."Maaf, tapi aku tak bisa menahan tawa," ucap Pak Budi lalu menghentikan tawanya."Jangan kesal. Wanita memang seperti itu. Kita para laki-laki yang harus mengerti dan berjiwa besar menerima sikap mereka yang kadang kadang absurb dan membuat kesal. Istri saya juga sering marah pada saya tanpa alasan yang jelas." "Istri saya, kalau sudah kelihatan gelagatnya mau marah, saya langsung menyingkir pak. Soalnya bisa panjang urusannya. Apalagi kalau sudah mengomel. Wah, alamat tidur sama guling di luar saya pak," gurau Pak Budi sambil tetap fokus dengan kemudinya."Biasanya apa yang bisa