Aku begitu terkejut dengan kedatangan mas Bima yang secara tiba-tiba. Dia begitu terlihat marah, berdiri dengan berkacak pinggang di belakang tak jauh dariku dan Reyden.
"Ma-mas Bima!" Seruku."Ya ini aku. Kenapa? Kamu terkejut Siska? Jadi, ini yang kamu lakukan di belakangku? Apa tidak ada tempat lain untuk kalian berkencan selain di rumah sakit!" Ucapnya lantang. Beruntung lorong ini sepi jadi tak mungkin akan ada yang terganggu dengan keributan yang kami ciptakan.Aku menggeleng dengan keras mencoba membantah tuduhan yang mas Bima layangkan. Aku juga masih begitu sadar diri tak mungkin berpikiran semacam itu. Meski mas Bima baru beberapa jam menalakku bukan berarti aku langsung berpihak pada hati yang lain."Aku bisa jelaskan mas, Ini gak seperti yang kamu lihat. Aku dan Reyden tidak ada hubungan apa-apa. Justru, Reyden yang membantuku membawa anak kita kesini. Anak kita sakit mas!" Ucapku menjelaskan apa yang terjadi."Benar begitu?" Mas Bima tampak tak yakin dengan perkataanku. Kedua alisnya tampak saling ingin bertautan."Iya mas, iya. Kamu bisa tanyakan pada Reyden kalau tidak percaya." Kataku mencoba menyakinkan mas Bima."Lagipula mas kok bisa tau aku ada disini? Aku bahkan belum melihat ponselku sama sekali untuk mengabarkan pada mas." Sambungku.Entah kenapa mas Bima tampak seperti orang yang sedang kebingungan mencari jawaban. Aku tau betul sifatnya ketika sedang gelisah bahkan tampak gugup seperti sedang mencari jawaban. Seperti ada yang disembunyikan oleh mas Bima."Aku itu mencarimu kemana-mana Siska. Sampai kepalaku pusing dan berakhir kesini. Ini salahmu sendiri yang tidak mengangkat telfonku sama sekali.""Aku hanya mau minta maaf dan ingin kembali bersama. Aku bersalah atas tindakanku tadi sore. Tak seharusnya aku berkata seperti itu padamu dan anak kita." Ucapnya yang sesekali melirik ke arah Reyden yang sedari tadi diam saja. Mungkin, Reyden mengerti batasan bahwa ini bukan ranahnya untuk ikut campur.Mataku berbinar dengan jawaban mas Bima. Aku tak menyangka bila selama ini aku salah paham dengannya. Ternyata mas Bima benar-benar mencintaiku. Ya, cukup wajar jika mas Bima sedang mengalami emosi sesaat karena keinginannya yang tak sesuai harapan. Saat ini rasanya separuh beban di hatiku sedikit memudar.Ku hampiri mas Bima lalu memeluknya. "Terimakasih mas. Maafkan aku juga yang sudah salah paham dengan mas. Aku pikir mas benar-benar tak lagi mau menginginkan kami." Ucapku dengan raut wajah yang bahagia."Anak kita sakit apa?" Tanya mas Bima. Segera ku lepaskan pelukanku dan menjelaskan pada mas Bima kejadiannya yang membuatku harus datang kesini dengan Reyden. Bahkan awal pertemuanku dengannya."Maafkan aku mas. Aku sudah membuat anak kita sakit." Ucapku merasa bersalah.Mas Bima memegang pundakku dan mengalihkan pandanganku yang menunduk untuk melihat ke arahnya. Kini pandangan kami saling bertemu. Mas Bima tersenyum membuatku sedikit terpesona sesaat."Kamu tidak bersalah Siska. Harusnya aku yang minta maaf sama kalian. Andai aku tidak terbawa emosi waktu itu, mungkin saja anak kita tidak sakit saat ini." Kata mas Bima mengelus pucuk kepalaku. Kebiasaannya ketika menenangkanku saat sedang sedih atau pun gelisah juga panik. Dan caranya selalu berhasil, kini aku jauh lebih tenang daripada tadi.Kemunculan suamiku seolah menjadi magnet penguat dalam diriku yang sedang kalut dan lemah ini. Berkali-kali ku ucapkan rasa bersyukur di dalam hati. Aku merasa begitu berdosa karena sudah memberikan prasangka buruk pada mas Bima. Ya, harusnya aku lebih menyakinkan diriku. Bahwa mas Bima tak mungkin setega itu pada istri dan anaknya. Aku saja yang terlalu tergesa-gesa pergi dari rumah karena terbawa emosi atas ucapan mas Bima."Kalau begitu, aku pergi dulu Ska, Bim. Kayaknya urusanku disini sudah selesai. Untuk kopermu biar nanti aku bawakan kesini, Ska.""Iya Rey, Terimakasih. Maaf sudah merepotkanmu." Ucapku tak enak hati."Its okay Ska. Gak ada yang direpotkan kok." Reyden menghampiri mas Bima sembari menepuk bahunya. Entah apa yang Reyden katakan, namun ekspresi mas Bima tampak seperti orang yang tak suka.Setelahnya Reyden pamit pergi padaku juga mas Bima. Aku pun tak berani untuk bertanya banyak hal pada mas Bima. Karena, saat ini mas Bima tampak seperti seseorang yang tak ingin diajak berbincang. Jadi, ku pegang lengannya menyuruhnya untuk duduk di ruang tunggu. Sembari menunggu pintu ruang UGD terbuka. Aku berdoa begitu banyak dalam hati, agar anakku tidak kenapa-kenapa di dalam sana. Jika ada sesuatu yang buruk terjadi padanya, aku tak akan memaafkan diriku sendiri.CklekAkhirnya pintu ruangan yang ku tunggu-tunggu terbuka. Seorang suster menggendong Debora membuatku lekas berdiri menghampirinya. Sedang tampak dokter berada di sampingnya."Ada apa dengan anak saya dok?" Tanyaku dengan harap-harap cemas."Sebaiknya ibu dan bapak tenang dulu. Pasien Debora mengalami demam karena infeksi. Penyebabnya bisa saja karena dehidrasi, efek samping vaksinasi, atau kegerahan karena mengenakan pakaian yang terlalu ketat dan tertutup. Apa pasien Debora meminum Asi atau susu formula?""Anak saya minum Asi saya dok. Gak mungkin anak saya mengalami dehidrasi. Sudah 3 hari ini anak saya minum Asi. Baju juga tidak terlalu ketat."Pernyataan dari dokter membuatku lemas seketika. Mendengar kabar buruk yang terjadi pada bayiku membuatku semakin menyalahkan diriku sendiri."Tenang Bu, tenang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Begini saja, saran saya coba ibu pompa dulu ASI-nya. Takutnya apa yang saya khawatirkan benar terjadi.""Maksud dokter apa?" Tanya mas Bima."Maaf pak, saya hanya memberi saran untuk memompa ASI dengan alat khusus. Agar kami tau kebutuhan Asi yang masuk ke dalam pasien Debora. Takutnya jika pasien menyus*i langsung tidak keluar atau sedikit karena ada saluran yang terhambat sehingga pasien mengalami dehidrasi."JderrPenjelasan dokter membuat jantungku seperti ditusuk ribuan paku. Aku tak pernah terfikirkan hal itu karena semenjak kelahiran Debora, Asiku begitu lancar. Jadi, kemungkinan untuk dehidrasi itu tak mungkin terjadi."Apa ada hal yang istri anda fikirkan pak? Karena jika memang benar ada, bisa jadi itu adalah salah satu penyebab Asi istri bapak terhambat dan tidak lancar seperti biasanya."Ku lihat mas Bima tak lagi menimpali ucapan dokter. Entah apa yang sedang mas Bisa pikirkan. Namun, aku merasa ucapkan dokter kali ini benar. Jika karena pikiran, ini semua karena aku terlalu banyak memikirkan ucapan talak dari mas Bima sore tadi. Aku tak menyangka jika karena itu justru berdampak pada Asiku dan membuat Debora dalam bahaya."Tentu ini akan memberikan dampak yang berbahaya bagi kesehatan pasien. Apalagi, pasien masih terlalu kecil. Silahkan ibu cek dahulu, jika memang benar dugaan saya. Kami sarankan untuk memberikan susu formula sebagai pengganti sementara."Kali ini lututku benar-benar lemas seperti jelly. Pernyataan dari dokter membuatku tak lagi bisa berpikir dengan jernih. Keinginan untuk menyusui Debora selama waktu yang ditentukan harus sirna sudah karena keegoisanku sendiri.Aku terbangun di sebuah ruangan yang berwarna serba putih. Ku paksa untuk mengerjapkan kedua mataku. Meski rasa pusing menghantam seluruh isi kepala. Terasa berdenyut-denyut membuatku harus melenguh kesakitan. Terlebih bau obat-obatan begitu menyengat menyentuh rongga hidungku. Seketika, aku ingat bahwa ada Debora yang sedang membutuhkanku. Ku edarkan seluruh penglihatanku mencari keberadaan mas Bima. Aku tak yakin dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Kenapa aku justru terbaring disini meninggalkan anakku sendirian."Sudah bangun?" Ucap mas Bima ketika masuk membuka pintu. "Mas bagaimana keadaan Bora?" Tanyaku pada mas Bima. Saat ini yang ku butuhkan adalah jawaban bahwa anakku baik-baik saja. Aku tidak peduli dengan keadaanku saat ini. Bahkan jika harus mengorbankan nyawaku, aku pun akan siap menyerahkannya agar anakku baik-baik saja. Mas Bima tak menjawab pertanyaanku dan justru duduk di sofa menyetel televisi dengan volume suara kencang."Mas jangan keras-keras, gak e
"Kamu mengancamku mas?" Tanyaku sembari menatap mas Bima dengan tatapan tak percaya. "Aku tidak mengancam, hanya memberi saran saja. Tapi, kamu justru menolak. Siska, aku tau kita saling mencintai. Kenapa harus ribut gara-gara anak itu. Kita hanya menukarnya saja, kamu masih bisa menjenguknya kapan pun kamu mau. Tak ada yang dipisahkan." Ku hirup udara dengan kasar, meski bukan udara segar yang ku dapat melainkan udara dari bau-bau rumah sakit. Rasa pusingku bahkan belum menghilang dan kini harus mendapatkan rasa sesak di hati. Ucapan yang mas Bima katakan benar-benar membuatku semakin muak. Laki-laki yang beberapa jam lalu menalakku itu sepertinya sudah hilang kewarasan. Bisa-bisanya dia terfikirkan hal sekejam itu melebihi binatang. "Fikirkan saja dulu, kasih aku jawaban besok pagi sebelum semua teman kantorku datang ke rumah. Hari sudah malam, jangan duduk disini terus-terusan. Anak itu sudah ada yang menjaganya, sayang." Cuih! Ingin sekali aku meludah di depannya. Andai aku ta
"Jangan membuatku semakin marah, Siska!" Aku meringis menahan nyeri ketika jari-jari tangan mas Bima memegang tanganku begitu kuat. Aku yakin, pergelangan tanganku akan membekas kemerahan esok. Mungkin melihat ekspresi wajahku yang tengah kesakitan membuat mas Bima segera melepas cengkraman tangannya dariku. "Ma-af sayang, aku gak sengaja. Apa tanganmu sakit? Maafkan aku.." Mas Bima berucap dengan ekspresi seakan merasa bersalah. Di pegangnya pergelangan tanganku mengelusnya berkali-kali seolah-olah benar-benar sudah menyesal melakukannya. "Siska, maafkan aku.." Ku lepas pegangan tangannya dariku dengan kasar. Tak lupa ku usap pula pergelanganku sama halnya. Ku buang muka tanpa melihatnya lagi. Rasa kecewaku sudah tak bisa ku bendung lagi. Selain menyakiti perasaanku, kini mas Bima juga mulai menyakiti fisikku. "Pergilah mas! Aku tak ingin melihat wajah mas Bima lagi. Biarkan aku dan Bora hidup bahagia." Ucapku dengan suara parau karena menahan tangisanku yang ingin pecah saat it
"Saya hanya bisa kasih 10 juta, bagaimana?" Aku termenung sesaat setelah mendengar angka yang penjual toko emas katakan. Hari ini anakku diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Seperti dugaanku, mas Bima tak akan mau mengeluarkan uangnya untuk Bora. Jadi, ku putuskan untuk menjual cincin pernikahanku dengan mas Bima. Sejujurnya aku begitu menyukai cincin ini. Sulit sekali untuk melepaskannya pergi apalagi menjualnya. Terlebih penjual perhiasan tak memberikan harga yang tinggi. Dengan alasan tak ada surat-suratnya. Ya, bagaimana lagi? Semua surat penting ada di rumah mas Bima. Aku keluar hanya membawa pakaian-pakaianku saja. "Apa gak bisa ditinggikan lagi harganya pak?" Ucapku mencoba menegosiasi. Aku begitu berharap bahwa uang yang aku dapatkan dari menjual cincin ini akan banyak. "Maaf gak bisa Bu." Jawab si pemilik toko dengan menangkupkan kedua tangannya seolah sedang meminta maaf. Meski berat hati, terpaksa aku menerima uang pemberian dari penjual toko perhiasan tersebut
"Saya suka dengan kontrakannya Bu. Biar saya bayar sampai 3 bulan ke depan." ucapku pada ibu kontrakan. "Terimakasih mbak Siska. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan hubungi ibu ya." "Baik Bu." "Kalau begitu, ibu pamit dulu ya." ucap ibu kontrakan. Aku menganggukkan kepala sembari mengantarkan kepergiannya. Setelah menceritakan semua keluh kesah ku. Tak menyangka, ibu kontrakan begitu baik hingga memberiku diskon harga. Ia bilang, merasa cukup prihatin dengan keadaan ku. Karena, ia juga memiliki anak perempuan yang sudah menikah, ia bilang tak bisa membayangkan jika aku adalah anaknya. Meski begitu, aku merasa tak enak hati mendapatkan diskon sewa kontrakan yang berbeda dengan yang lainnya. Kontrakan yang aku tempati adalah sebuah rumah berukuran sedang, cukup jika ditinggali berdua dengan Bora. Ada tanah di belakang yang berukuran kecil, mungkin hanya dua meter saja. Niatnya, akan aku jadikan kebun sayuran, jadi aku bisa lebih berhemat. Sedangkan di rumah terdapat dua ruang kamar
Di meja makan yang berukuran sedang, terpampang begitu banyak makanan. Tak hanya lauk, namun ada camilan berisi roti dari Toko yang cukup terkenal. Toko yang hampir seringkali mas Bima bawakan saat pulang ke rumah, jika aku sedang menginginkannya. Sejenak, aku terpaku melihatnya. Kenangan bersama mas Bima tiba-tiba terbersit begitu saja. Mas Bima yang ku kenal adalah laki-laki yang baik hati, kini sudah berubah tak sebaik dulu hanya karena anak pertama kami lahir dengan jenis gender tak sesuai harapannya. Rasa sedih dan kecewa itu pun lagi-lagi muncul begitu saja. Sesak rasanya mengingat sikap mas Bima padaku juga perkataannya pada putri kecil kami yang belum mengerti apa-apa.Ku lihat lagi, ada lauk lodeh juga rendang berikut dengan lontong sebagai bahan pelengkap. Rendang itu nantinya akan simpan untuk besok, biar aku nanti cukup membeli beras saja. Sedang lodeh dan lontong akan aku nikmati di sore hari yang sejuk ini. Menghilangkan rasa lapar, juga memberi tenaga pada tubuhku agar
"Mbak Siska jangan lupa pesanan ku. Tempe gorengnya 5 sama sekalian gimbal jagungnya 7." "Mbak, tahu isinya 10 ya. Nanti aku ambil kesini." "Aku juga mbak Siska, tahu isi 5 sama tempe gorengnya 5." Semenjak Sonia memborong gorengan ku. Ia pun turut membantuku dengan memberikan hasil setengah boronganya untuk dibagikan pada para tetangga yang lewat. Juga tak luput, dengan kata-kata manis agar para tetangga tergiur untuk ikut membeli gorengan ku keesokkan harinya. Tentu, semua itu bukanlah omong kosong. Saat ini, aku dibuat kewalahan karena banyaknya pembeli yang datang dengan membeli jumlah yang tidak sedikit. "Maaf Bu Ayu, sepertinya gorengannya sudah habis." Ucapku merasa bersalah pada tetangga yang ada di depan rumah kontrakan ku. Ia sendiri datang agak siang hingga tak kebagian gorengan jualanku. "Wah sayang sekali, mbak Siska. Besok-besok tambah dong adonannya. Padahal pengen ngerasain lagi gorengan buatan mbak Siska. Di makan pagi-pagi pakai nasi hangat begini kan cocok."
Baju-baju pemberian Bu Neni lekas ku bungkus kembali dan aku taruh di belakang rumah. Mungkin, nanti akan ku buang jika ada waktu luang. Tak mungkin juga aku memakaikannya pada anakku baju yang tak layak pakai itu."Permisi!" Aku yang baru saja keluar dari dapur, setelah meletakkan baju bekas dari Bu Neni. Terdengar suara seseorang sedang memanggil dari arah luar. Tampak seorang laki-laki berdiri tegak di ambang pintu. "Apa benar ini rumah Bu Siska?" Aku menganggukkan kepala mendengar namaku disebut. "Benar. Mas ini, siapa ya?" tanyaku balik. "Ini ada spring bed untuk Bu Siska." Aku mengernyitkan dahi dengan heran. Aku merasa tak memesan apapun. Apalagi springbed yang kulihat berukuran besar di atas kendaraan pengangkut barang itu. "Apa mas ini gak salah mengantar? Saya namanya memang Siska, tapi saya gak pesan apapun." ucapku menjelaskan pada sosok laki-laki di depan ku yang tampak kebingungan. "Enggak Bu, sudah benar ini alamat dan nomor rumahnya. Pemesan atas nama Sonia." So
3 bulan kemudianPernikahan antara Reyden dan Siska telah digelar dengan sangat mewah. Gedung yang sudah dihias dengan pernak-pernik pernikahan membuat siapapun mata yang memandang akan terpesona. Siska yang masih menunggu di dalam ruangan merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Meski sudah pernah melakukan acara sakral ini. Tetap saja, perasaan itu kembali hadir. Tangannya terus bergemetar membuat Helena, calon ibu mertuanya tersenyum simpul. "Tenang saja, sayang. Acaranya hanya berjalan beberapa jam saja kok. Apa mau mama ambilkan minum?" "Enggak usah, Ma. Terimakasih. Barangkali mama capek, biar Siska aja yang gendong Bora." "Gendong anak selucu ini, gimana bisa mama merasa capek? Sudah kamu duduk saja yang tenang. Biar mama yang urus Bora, cucu Oma." Senyuman tak pernah lepas dari bibir Siska. Bagaimana tidak? Di hidupnya yang berantakan. Ia justru dipertemukan kembali dengan sosok laki-laki di masalalunya dan dipersatukan kembali. Tak hanya itu, sosok calon ibu mertuan
Mendengar kalimat tak terduga yang keluar dari mulut Siska yang dianggap masih menantunya. Bu Sarah membelalakkan kedua matanya memandang Siska dengan terkejut. Ia pun bergantian memandang cucunya dengan rasa tak percaya. "Jangan ngeprank Mama, Siska. Bima sendiri yang bilang kalau kamu melahirkan bayi laki-laki." Siska tetap menyakinkan Bu Sarah bahwa apa yang dikatakan Bima adalah kebohongan karena tak ingin membuatnya kecewa. "Aku tidak mau membohongi mama. Karena, bangkai kalau terus disimpan, pasti akan ketahuan juga. Lebih baik, aku bilang sama Mama daripada mama tau sendiri dan kecewa nantinya." ucap Siska berterus terang tentang perasaannya. "Lagipula, aku dan mas Bima sudah bercerai Ma. Mas Bima tidak mau mengakui anak itu karena ia ingin anak laki-laki sebagai anak pertamanya. Tapi, aku bisa apa? bukan aku yang menentukan jenis kelamin seorang anak yang akan dilahirkan. Semua itu kehendak Tuhan. Tapi, mas Bima tidak mau mengerti hal itu. Mas Bima bahkan menyuruhku untuk
"Kenapa mas? Kenapa berhenti? lanjutkan saja kegiatan kalian. Aku kesini hanya ingin mengambil dokumen pribadiku." ucapku tanpa memedulikan suamiku yang tengah sibuk memakai celana pendeknya. Sedangkan, perempuan itu hanya menundukkan wajahnya dengan selimut yang masih menutupi seluruh tubuhnya. Entah takut atau malu karena terpergok orang lain. Aku tidak peduli! "LANCANG SEKALI KAMU, SISKA! BERANI KAMU MENGINJAKKAN KAKI DI RUMAH INI LAGI?!" bentakan mas Bima membuat Bora yang tengah tertidur pulas di dekapanku akhirnya menangis dengan kencang. "Berani juga membawa anak pembawa sial itu kemari. Apa kamu menginginkanku untuk mengakuinya dengan alibi mencari dokumen pribadimu. Iya kan? Haha.. jangan harap! Aku tidak akan sudi meski kamu memaksaku dan memohon berlutut di depan kakiku." "Bagaimana? Senang hidup di luaran sana tanpa aku? berjualan gorengan dengan untung tak seberapa itu? ingat Siska! selama ini kamu hidup enak karena siapa? kalau kamu mau rujuk kembali padaku, akan aku
Seperti yang dikatakan Reyden siang tadi. Benar saja, sore ini ada mobil yang sudah terparkir di depan rumah kontrakanku datang hanya untuk menjemput ku. Entahlah, rasanya aku begitu malu jika diperlakukan bak ratu seperti ini. Karena, mengingatkanku pada mas Bima. Laki-laki yang menjadi mantan suamiku itu, dulunya juga sama saja memperlakukanku seperti ini. Aku hanya berharap, bahwa hubunganku dengan Reyden nantinya akan kokoh selamanya. Debora sengaja aku ajak, karena aku tidak akan tenang jika menitipkannya pada orang lain meski aku mengenalnya. Naluri seorang ibu, pastilah tak ingin berjauhan dengan buah hatinya. Setelah mengunci pintu rumah, lalu masuk ke dalam mobil. Menikmati perjalanan menuju arah butik Angola. Butik terkenal di pusat kota, dimana semua pelanggannya adalah hampir semua rata-rata orang kaya, artis juga selebgram terkenal. Tak bisa aku bayangkan, berapa uang yang akan Reyden keluarkan hanya untuk sekedar gaun yang hanya dipakai selama satu hari saja. Puluhan ju
Sudah 2 bulan lamanya, Reyden kerap kali datang seminggu sekali untuk menemuiku dan bermain dengan Debora. Tak ayal, laki-laki itu membantuku membereskan semua daganganku. Meski aku sudah menolaknya karena tidak enak hati. Tapi, Reyden tetaplah Reyden, laki-laki itu tak akan mendengarkanku jika bukan kemauannya sendiri. Sudah berkali-kali pula, aku menyuruhnya untuk tak sering datang kesini karena statusku yang masih dalam tahap masa Iddah. Reyden yang awalnya hampir setiap hari kesini, kini berubah menjadi 1 Minggu sekali datang menjengukku.Tentunya, tak hanya dia seorang. Dirinya akan mengajak rekan kerjanya dua orang. Sella dan Ridho, dengan tujuan agar namaku tidak menjadi bahan gunjingan para tetangga. Jujur saja, mendengar maksud tujuannya membuatku hatiku terenyuh. Reyden benar-benar menjaga perasaanku. Ya, meski akan ada saja mulut-mulut jahat yang mengataiku di belakangku. Dan tentu saja, aku tidak bisa membungkam mereka semua. Ternyata benar, memiliki status janda terkada
"Reyden!" Aku terkesiap melihat sosok laki-laki yang tidak ingin ku temui, sudah berdiri di depanku. "Bisa bicara sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan kepadamu." "Ini penting." Meski aku merasa tak ingin berbicara dengannya. Tapi, laki-laki itu lah yang membantuku selama aku mengalami kesusahan. Tidak pantas rasanya, jika aku mengabaikannya. Apalagi, dirinya menurunkan gengsinya untuk membeli gorenganku. Makanan murah yang tentunya tak pernah ia sentuh sejak kecil. Setelah membereskan dagangan, ku hampiri Reyden yang sudah menungguku lumayan lama. Laki-laki itu duduk di teras rumah kontrakanku membuatku tak enak hati. "Maaf sudah menunggu lama." ucapku sembari duduk di sampingnya dengan jarak yang terpaut satu meter. Sebagai seorang perempuan tanpa suami, aku harus menjaga diri agar tidak menimbulkan gosip yang tidak-tidak. Terlebih, aku masih baru disini. "Gak apa-apa, Ska." "Ada hal penting apa yang mau kamu katakan padaku?" kataku melihat Reyden yang sedari tadi si
Baju-baju pemberian Bu Neni lekas ku bungkus kembali dan aku taruh di belakang rumah. Mungkin, nanti akan ku buang jika ada waktu luang. Tak mungkin juga aku memakaikannya pada anakku baju yang tak layak pakai itu."Permisi!" Aku yang baru saja keluar dari dapur, setelah meletakkan baju bekas dari Bu Neni. Terdengar suara seseorang sedang memanggil dari arah luar. Tampak seorang laki-laki berdiri tegak di ambang pintu. "Apa benar ini rumah Bu Siska?" Aku menganggukkan kepala mendengar namaku disebut. "Benar. Mas ini, siapa ya?" tanyaku balik. "Ini ada spring bed untuk Bu Siska." Aku mengernyitkan dahi dengan heran. Aku merasa tak memesan apapun. Apalagi springbed yang kulihat berukuran besar di atas kendaraan pengangkut barang itu. "Apa mas ini gak salah mengantar? Saya namanya memang Siska, tapi saya gak pesan apapun." ucapku menjelaskan pada sosok laki-laki di depan ku yang tampak kebingungan. "Enggak Bu, sudah benar ini alamat dan nomor rumahnya. Pemesan atas nama Sonia." So
"Mbak Siska jangan lupa pesanan ku. Tempe gorengnya 5 sama sekalian gimbal jagungnya 7." "Mbak, tahu isinya 10 ya. Nanti aku ambil kesini." "Aku juga mbak Siska, tahu isi 5 sama tempe gorengnya 5." Semenjak Sonia memborong gorengan ku. Ia pun turut membantuku dengan memberikan hasil setengah boronganya untuk dibagikan pada para tetangga yang lewat. Juga tak luput, dengan kata-kata manis agar para tetangga tergiur untuk ikut membeli gorengan ku keesokkan harinya. Tentu, semua itu bukanlah omong kosong. Saat ini, aku dibuat kewalahan karena banyaknya pembeli yang datang dengan membeli jumlah yang tidak sedikit. "Maaf Bu Ayu, sepertinya gorengannya sudah habis." Ucapku merasa bersalah pada tetangga yang ada di depan rumah kontrakan ku. Ia sendiri datang agak siang hingga tak kebagian gorengan jualanku. "Wah sayang sekali, mbak Siska. Besok-besok tambah dong adonannya. Padahal pengen ngerasain lagi gorengan buatan mbak Siska. Di makan pagi-pagi pakai nasi hangat begini kan cocok."
Di meja makan yang berukuran sedang, terpampang begitu banyak makanan. Tak hanya lauk, namun ada camilan berisi roti dari Toko yang cukup terkenal. Toko yang hampir seringkali mas Bima bawakan saat pulang ke rumah, jika aku sedang menginginkannya. Sejenak, aku terpaku melihatnya. Kenangan bersama mas Bima tiba-tiba terbersit begitu saja. Mas Bima yang ku kenal adalah laki-laki yang baik hati, kini sudah berubah tak sebaik dulu hanya karena anak pertama kami lahir dengan jenis gender tak sesuai harapannya. Rasa sedih dan kecewa itu pun lagi-lagi muncul begitu saja. Sesak rasanya mengingat sikap mas Bima padaku juga perkataannya pada putri kecil kami yang belum mengerti apa-apa.Ku lihat lagi, ada lauk lodeh juga rendang berikut dengan lontong sebagai bahan pelengkap. Rendang itu nantinya akan simpan untuk besok, biar aku nanti cukup membeli beras saja. Sedang lodeh dan lontong akan aku nikmati di sore hari yang sejuk ini. Menghilangkan rasa lapar, juga memberi tenaga pada tubuhku agar