Share

Bab 2

Penulis: anggraa_3
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Kamu Siska kan, Siska Ningtyas?" Ucapnya berkali-kali. Aku yang masih syok tak mampu menjawab pertanyaannya selain anggukan kepala.

Dengan cepat laki-laki itu turun dari kendaraannya untuk menghampiri ku. Aku tak menyangka bila dari semua orang di bumi ini, harus dia yang ku temui. Bahkan dalam keadaan yang tak enak di pandang. Pakaianku yang kotor karena terciprat genangan air, bahkan mungkin juga rambutku terlihat acak-acakan.

"Alhamdulillah, gak nyangka kita bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Kamu mau kemana hujan-hujanan begini?" Tanyanya.

"Dimana suamimu, Bima?" Tanyanya lagi sembari matanya berkeliaran mencari sosok mantan suamiku.

"Aku sendirian Rey, gak tau mau kemana. Gak nyangka juga kita bisa bertemu disini dalam keadaan aku yang sedang begini." Ucapku dengan lesu. Meski begitu tetap ku paksakan untuk tersenyum kepadanya.

Reyhan. Laki-laki berwajah tampan dengan lesung pipit menghiasi pipi kanannya. Berkulit putih serta beriris mata coklat. laki-laki blasteran Turki itu adalah mantan kekasihku di masa lalu. Tepatnya sebelum pertemuanku dengan mas Bima. Dia masihlah sama seperti dulu, tak banyak yang berubah selain bertambah gagah.

Mendengar jawabanku seketika Reyhan menatapku dengan mengernyitkan dahi. Mungkin saja dia merasa ambigu atas ucapanku.

"Aku dan mas Bima sudah bercerai, Rey. Mungkin sekitar 2 jam yang lalu mas Bima menalakku. Entah sekarang aku harus kemana? Mungkin aku akan mencari kos-kosan sementara." Kataku dengan menepuk-nepuk pant*t bayiku agar ia tenang dari tidurnya.

Sudah ku duga. Pastilah Reyhan syok dengan penjelasanku. Mungkin ia merasa aku begitu menyedihkan setelah berpisah darinya. Aku meringis dalam hati, merutuki nasib yang sedang ku jalani saat ini.

"Kenapa bisa begitu, Siska? Katakan! Kenapa bisa kalian bercerai?"

Aku terkejut dengan tindakan Reyhan yang begitu spontan menarik pundakku dengan kedua tangannya untuk menghadap ke arahnya.

"Dan bayi! Bahkan kamu pergi dengan bayimu di cuaca seperti ini? Brengs*k! Laki-laki macam apa dia?!" Pekiknya ketika menyadari apa yang tengah ku gendong.

Aku menunduk tak berani menjawab sepatah kata pun. Aku tau pastilah Reyden begitu marah saat ini. Tarikan pada tangan kananku membuatku spontan terkejut menatap pergelangan tangan dengan urat otot yang begitu kekar terlihat.

"Masuklah! Kamu tidak perlu mencari kos-kosan di cuaca yang hampir gelap ini. Aku ada Apartemen yang cukup untuk kamu dan anakmu tinggali." Ucap Reyden dengan begitu tegas. Setelah membukakan pintu mobil untukku, barulah ia masuk ke pintu di sebelahnya.

"Aku tidak ingin merepotkanmu, Rey. Aku bisa cari kos-" ucapanku terpotong dengan tatapan Reyden.

Laki-laki itu menatap tajam ke arahku membuatku menjadi diam tak bergeming. Aku tau betul bagaimana sifatnya. Sekalinya dia memberi perintah maka tak boleh ada yang membantahnya.

"Rey.." panggilku.

"Ada apa?"

Meski agak sedikit ragu, namun aku harus memberanikan diri untuk mengucapkan ini.

"Apa boleh aku menyusui anakku?" Tanyaku dengan hati-hati.

Reyden melihatku sekilas kemudian melihat bayiku yang sedang menggeliat dan mungkin akan merengek sebentar lagi. Tak ada jawaban darinya selain anggukan kepalanya saja kemudian kembali melihat ke depan. Dengan cepat, ku susui anakku sedikit menyamping agar tak membuat Reyden risih dengan sikapku.

Setelahnya selama perjalanan kami hanya saling berdiam diri. Bahkan, sepatah kata pun tak ada yang bersuara. Aku pun tak berani bertanya apa-apa padanya, jika Reyden tak memulainya terlebih dulu. Entah akan di bawa kemana diriku ini? Adzan Maghrib bahkan sudah selesai berkumandang beberapa menit yang lalu. Anakku pun bahkan sudah kembali tidur setelah kekenyangan meminum asiku.

****

"Bangun Ska.."

Terdengar suara seseorang yang memanggil namaku. Mengedipkan kedua mataku secara bergantian juga mengusapnya. Rupanya aku tak sadar sudah tidur terlalu lama.

"Maaf Rey, aku ketiduran." Ucapku merasa bersalah.

"Tidak apa. Aku tak enak untuk membangunkan mu, apalagi ku lihat kamu begitu sangat kelelahan." Jawabnya.

Aku mengangguk saja karena yang diucapkan Reyden memang benar adanya. Aku sudah begitu kelelahan, berjalan beratus meter sembari membawa anakku yang masih begitu kecil. Belum lagi rasa lapar yang mulai menyerang lambungku, merongrong ingin diberi makanan.

"Ayo turun, Ska!" Seru Reyden.

Belum sempat aku membuka pintu mobil, Reyden sudah sigap berada diluar membantuku membuka pintu. Bahkan tangannya begitu gesit menutupi pucuk kepalaku agar tidak terbentur atap mobil. Sesaat aku tercenung dengan tindakan yang Reyden lakukan. Rasanya agak sedikit tak nyaman, bagaimana pun juga belum ada surat tanda tangan perceraian dari pengadilan untukku juga mas Bima.

"T-terimakasih, Rey." Ucapku tergagap. Rasanya benar-benar akward sekali. Mungkin jika dulu aku tak memiliki hubungan dengannya, aku tak akan merasakan sikap seperti ini padanya.

Reyden tak menjawab ucapanku. Laki-laki hanya melihatku kemudian pergi mendahuluiku. Aku yang merasa asing di tempat ini, lebih baik mengikutinya. Ku lihat sekeliling begitu banyak bangunan mewah tinggi menjulang. Ya, Apartemen. Apa maksud Reyden menyuruhku untuk kesini? Bukan untuk tinggal bersama dengannya kan? Entah kenapa pikiran-pikiran burukku mulai menguasai pikiranku.

"Kenapa geleng-geleng kepala, Ska? Tenang saja. Aku tak akan bertindak macam-macam denganmu. Aku hanya berniat membantumu juga anakmu."

"Enggak kok, siapa yang berpikiran buruk?" Kataku menolak ucapannya. Ah sial, malu sekali rasanya terpergok olehnya.

"Aku sudah mengenalmu lama, Ska. Jadi, aku tau ketika kamu sedang berpikiran buruk atau tidak." Ucapnya lagi tanpa sekalipun menoleh kebelakang.

Jika sudah begitu, tak ada lagi kata yang bisa aku katakan. Reyden, benar-benar masih mengingatku bahkan sikapku. Lebih baik aku diam dan mengikutinya saja. Memasuki lobi juga lift menuju lantai 20.

Ting

Suara lift terbuka, mengikuti Reyden hingga sampailah di depan pintu kamar bernomorkan 50. Melihat Reyden mengeluarkan dompetnya untuk mengambil kartu untuk membuka pintu kamar. Diluar dugaan, ruangan ini lebih pantas disebut Penthouse daripada Apartemen.

"Sementara tinggallah disini dulu. Setidaknya tempat ini lebih nyaman daripada kos-kosan diluar sana. Ah! Ya, disini hanya ada satu kamar tidur, tempati saja. Karena, aku tidak akan tinggal bersama disini denganmu."

"Jangan membukakan pintu untuk siapapun kecuali aku. Juga, aku pergi dulu. Nanti aku kembali lagi."

Belum sempat aku menjawab semua rentetan ucapannya. Reyden sudah pergi dari hadapanku. Suara pintu tertutup menandakan laki-laki itu sudah pergi dari sini. Kini, hanya tinggal aku bersama anakku seorang. Menuju ke kamar tidur untuk membaringkan bayi perempuan cantikku.

Ku elus pipi mungilnya juga tangan kecilnya. Matanya yang masih terpejam, nampak begitu nyaman dengan tempat tidurnya. Andai, mas Bima tak berpikiran seperti itu. Mungkin saat ini kami sudah berbahagia di dalam kamar putri kecil kami. Bahkan kamar yang sudah penuh semangat aku dekorasi tak terjamah sedikit pun oleh anakku.

"Begitu teganya kamu mas denganku dan anak kita. Aku tak menyangka bahwa kamu benar-benar mengusir kami tanpa belas kasih." Ucapku dengan airmata yang mulai kembali membanjiri kedua pipiku.

Bab terkait

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 3

    Terlalu lama menangis membuat mataku sedikit terlihat agak membengkak. Terasa pedih jika ku pakai untuk membuka mata. Entah bagaimana reaksi Reyden nantinya jika melihat kondisiku semenyedihkan begini. Ku lihat jam di atas nakas. Sudah hampir 1 jam aku menangis tiada henti. Pantas saja, jika efeknya akan seperti ini. Entah kemana Reyden, hingga terlalu lama untuk kembali. Sembari menunggu kedatangannya, lekas aku ke kamar mandi untuk membasuh wajahku juga mengganti pakaianku yang kotor. "Astaga! Kaget, Rey." Ucapku tatkala keluar dari kamar mandi sudah kedapatan Reyden sedang berdiri tak jauh dari pintu. Mungkin 2 meter lurus dari arah pintu. "Sorry. Aku gak ada niatan untuk bikin kamu kaget, Ska. Cuma, aku mau ngasih ini aja." Ucap Reyden gugup. Seperti sama halnya denganku saat ini. Diletakkannya 2 bungkus tas berukuran besar di atas meja ruang tamu. Ku lirik dengan tatapan heran mencoba menelaah apa isi di dalamnya. "Itu apa Rey?" Tanyaku menghampiri dirinya. "Beberapa makana

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 4

    Aku begitu terkejut dengan kedatangan mas Bima yang secara tiba-tiba. Dia begitu terlihat marah, berdiri dengan berkacak pinggang di belakang tak jauh dariku dan Reyden."Ma-mas Bima!" Seruku. "Ya ini aku. Kenapa? Kamu terkejut Siska? Jadi, ini yang kamu lakukan di belakangku? Apa tidak ada tempat lain untuk kalian berkencan selain di rumah sakit!" Ucapnya lantang. Beruntung lorong ini sepi jadi tak mungkin akan ada yang terganggu dengan keributan yang kami ciptakan. Aku menggeleng dengan keras mencoba membantah tuduhan yang mas Bima layangkan. Aku juga masih begitu sadar diri tak mungkin berpikiran semacam itu. Meski mas Bima baru beberapa jam menalakku bukan berarti aku langsung berpihak pada hati yang lain. "Aku bisa jelaskan mas, Ini gak seperti yang kamu lihat. Aku dan Reyden tidak ada hubungan apa-apa. Justru, Reyden yang membantuku membawa anak kita kesini. Anak kita sakit mas!" Ucapku menjelaskan apa yang terjadi. "Benar begitu?" Mas Bima tampak tak yakin dengan perkataank

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 5

    Aku terbangun di sebuah ruangan yang berwarna serba putih. Ku paksa untuk mengerjapkan kedua mataku. Meski rasa pusing menghantam seluruh isi kepala. Terasa berdenyut-denyut membuatku harus melenguh kesakitan. Terlebih bau obat-obatan begitu menyengat menyentuh rongga hidungku. Seketika, aku ingat bahwa ada Debora yang sedang membutuhkanku. Ku edarkan seluruh penglihatanku mencari keberadaan mas Bima. Aku tak yakin dengan apa yang sedang terjadi padaku saat ini. Kenapa aku justru terbaring disini meninggalkan anakku sendirian."Sudah bangun?" Ucap mas Bima ketika masuk membuka pintu. "Mas bagaimana keadaan Bora?" Tanyaku pada mas Bima. Saat ini yang ku butuhkan adalah jawaban bahwa anakku baik-baik saja. Aku tidak peduli dengan keadaanku saat ini. Bahkan jika harus mengorbankan nyawaku, aku pun akan siap menyerahkannya agar anakku baik-baik saja. Mas Bima tak menjawab pertanyaanku dan justru duduk di sofa menyetel televisi dengan volume suara kencang."Mas jangan keras-keras, gak e

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 6

    "Kamu mengancamku mas?" Tanyaku sembari menatap mas Bima dengan tatapan tak percaya. "Aku tidak mengancam, hanya memberi saran saja. Tapi, kamu justru menolak. Siska, aku tau kita saling mencintai. Kenapa harus ribut gara-gara anak itu. Kita hanya menukarnya saja, kamu masih bisa menjenguknya kapan pun kamu mau. Tak ada yang dipisahkan." Ku hirup udara dengan kasar, meski bukan udara segar yang ku dapat melainkan udara dari bau-bau rumah sakit. Rasa pusingku bahkan belum menghilang dan kini harus mendapatkan rasa sesak di hati. Ucapan yang mas Bima katakan benar-benar membuatku semakin muak. Laki-laki yang beberapa jam lalu menalakku itu sepertinya sudah hilang kewarasan. Bisa-bisanya dia terfikirkan hal sekejam itu melebihi binatang. "Fikirkan saja dulu, kasih aku jawaban besok pagi sebelum semua teman kantorku datang ke rumah. Hari sudah malam, jangan duduk disini terus-terusan. Anak itu sudah ada yang menjaganya, sayang." Cuih! Ingin sekali aku meludah di depannya. Andai aku ta

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 7

    "Jangan membuatku semakin marah, Siska!" Aku meringis menahan nyeri ketika jari-jari tangan mas Bima memegang tanganku begitu kuat. Aku yakin, pergelangan tanganku akan membekas kemerahan esok. Mungkin melihat ekspresi wajahku yang tengah kesakitan membuat mas Bima segera melepas cengkraman tangannya dariku. "Ma-af sayang, aku gak sengaja. Apa tanganmu sakit? Maafkan aku.." Mas Bima berucap dengan ekspresi seakan merasa bersalah. Di pegangnya pergelangan tanganku mengelusnya berkali-kali seolah-olah benar-benar sudah menyesal melakukannya. "Siska, maafkan aku.." Ku lepas pegangan tangannya dariku dengan kasar. Tak lupa ku usap pula pergelanganku sama halnya. Ku buang muka tanpa melihatnya lagi. Rasa kecewaku sudah tak bisa ku bendung lagi. Selain menyakiti perasaanku, kini mas Bima juga mulai menyakiti fisikku. "Pergilah mas! Aku tak ingin melihat wajah mas Bima lagi. Biarkan aku dan Bora hidup bahagia." Ucapku dengan suara parau karena menahan tangisanku yang ingin pecah saat it

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 8

    "Saya hanya bisa kasih 10 juta, bagaimana?" Aku termenung sesaat setelah mendengar angka yang penjual toko emas katakan. Hari ini anakku diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Seperti dugaanku, mas Bima tak akan mau mengeluarkan uangnya untuk Bora. Jadi, ku putuskan untuk menjual cincin pernikahanku dengan mas Bima. Sejujurnya aku begitu menyukai cincin ini. Sulit sekali untuk melepaskannya pergi apalagi menjualnya. Terlebih penjual perhiasan tak memberikan harga yang tinggi. Dengan alasan tak ada surat-suratnya. Ya, bagaimana lagi? Semua surat penting ada di rumah mas Bima. Aku keluar hanya membawa pakaian-pakaianku saja. "Apa gak bisa ditinggikan lagi harganya pak?" Ucapku mencoba menegosiasi. Aku begitu berharap bahwa uang yang aku dapatkan dari menjual cincin ini akan banyak. "Maaf gak bisa Bu." Jawab si pemilik toko dengan menangkupkan kedua tangannya seolah sedang meminta maaf. Meski berat hati, terpaksa aku menerima uang pemberian dari penjual toko perhiasan tersebut

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 9

    "Saya suka dengan kontrakannya Bu. Biar saya bayar sampai 3 bulan ke depan." ucapku pada ibu kontrakan. "Terimakasih mbak Siska. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan hubungi ibu ya." "Baik Bu." "Kalau begitu, ibu pamit dulu ya." ucap ibu kontrakan. Aku menganggukkan kepala sembari mengantarkan kepergiannya. Setelah menceritakan semua keluh kesah ku. Tak menyangka, ibu kontrakan begitu baik hingga memberiku diskon harga. Ia bilang, merasa cukup prihatin dengan keadaan ku. Karena, ia juga memiliki anak perempuan yang sudah menikah, ia bilang tak bisa membayangkan jika aku adalah anaknya. Meski begitu, aku merasa tak enak hati mendapatkan diskon sewa kontrakan yang berbeda dengan yang lainnya. Kontrakan yang aku tempati adalah sebuah rumah berukuran sedang, cukup jika ditinggali berdua dengan Bora. Ada tanah di belakang yang berukuran kecil, mungkin hanya dua meter saja. Niatnya, akan aku jadikan kebun sayuran, jadi aku bisa lebih berhemat. Sedangkan di rumah terdapat dua ruang kamar

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 10

    Di meja makan yang berukuran sedang, terpampang begitu banyak makanan. Tak hanya lauk, namun ada camilan berisi roti dari Toko yang cukup terkenal. Toko yang hampir seringkali mas Bima bawakan saat pulang ke rumah, jika aku sedang menginginkannya. Sejenak, aku terpaku melihatnya. Kenangan bersama mas Bima tiba-tiba terbersit begitu saja. Mas Bima yang ku kenal adalah laki-laki yang baik hati, kini sudah berubah tak sebaik dulu hanya karena anak pertama kami lahir dengan jenis gender tak sesuai harapannya. Rasa sedih dan kecewa itu pun lagi-lagi muncul begitu saja. Sesak rasanya mengingat sikap mas Bima padaku juga perkataannya pada putri kecil kami yang belum mengerti apa-apa.Ku lihat lagi, ada lauk lodeh juga rendang berikut dengan lontong sebagai bahan pelengkap. Rendang itu nantinya akan simpan untuk besok, biar aku nanti cukup membeli beras saja. Sedang lodeh dan lontong akan aku nikmati di sore hari yang sejuk ini. Menghilangkan rasa lapar, juga memberi tenaga pada tubuhku agar

Bab terbaru

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 18

    3 bulan kemudianPernikahan antara Reyden dan Siska telah digelar dengan sangat mewah. Gedung yang sudah dihias dengan pernak-pernik pernikahan membuat siapapun mata yang memandang akan terpesona. Siska yang masih menunggu di dalam ruangan merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Meski sudah pernah melakukan acara sakral ini. Tetap saja, perasaan itu kembali hadir. Tangannya terus bergemetar membuat Helena, calon ibu mertuanya tersenyum simpul. "Tenang saja, sayang. Acaranya hanya berjalan beberapa jam saja kok. Apa mau mama ambilkan minum?" "Enggak usah, Ma. Terimakasih. Barangkali mama capek, biar Siska aja yang gendong Bora." "Gendong anak selucu ini, gimana bisa mama merasa capek? Sudah kamu duduk saja yang tenang. Biar mama yang urus Bora, cucu Oma." Senyuman tak pernah lepas dari bibir Siska. Bagaimana tidak? Di hidupnya yang berantakan. Ia justru dipertemukan kembali dengan sosok laki-laki di masalalunya dan dipersatukan kembali. Tak hanya itu, sosok calon ibu mertuan

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 17

    Mendengar kalimat tak terduga yang keluar dari mulut Siska yang dianggap masih menantunya. Bu Sarah membelalakkan kedua matanya memandang Siska dengan terkejut. Ia pun bergantian memandang cucunya dengan rasa tak percaya. "Jangan ngeprank Mama, Siska. Bima sendiri yang bilang kalau kamu melahirkan bayi laki-laki." Siska tetap menyakinkan Bu Sarah bahwa apa yang dikatakan Bima adalah kebohongan karena tak ingin membuatnya kecewa. "Aku tidak mau membohongi mama. Karena, bangkai kalau terus disimpan, pasti akan ketahuan juga. Lebih baik, aku bilang sama Mama daripada mama tau sendiri dan kecewa nantinya." ucap Siska berterus terang tentang perasaannya. "Lagipula, aku dan mas Bima sudah bercerai Ma. Mas Bima tidak mau mengakui anak itu karena ia ingin anak laki-laki sebagai anak pertamanya. Tapi, aku bisa apa? bukan aku yang menentukan jenis kelamin seorang anak yang akan dilahirkan. Semua itu kehendak Tuhan. Tapi, mas Bima tidak mau mengerti hal itu. Mas Bima bahkan menyuruhku untuk

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 16

    "Kenapa mas? Kenapa berhenti? lanjutkan saja kegiatan kalian. Aku kesini hanya ingin mengambil dokumen pribadiku." ucapku tanpa memedulikan suamiku yang tengah sibuk memakai celana pendeknya. Sedangkan, perempuan itu hanya menundukkan wajahnya dengan selimut yang masih menutupi seluruh tubuhnya. Entah takut atau malu karena terpergok orang lain. Aku tidak peduli! "LANCANG SEKALI KAMU, SISKA! BERANI KAMU MENGINJAKKAN KAKI DI RUMAH INI LAGI?!" bentakan mas Bima membuat Bora yang tengah tertidur pulas di dekapanku akhirnya menangis dengan kencang. "Berani juga membawa anak pembawa sial itu kemari. Apa kamu menginginkanku untuk mengakuinya dengan alibi mencari dokumen pribadimu. Iya kan? Haha.. jangan harap! Aku tidak akan sudi meski kamu memaksaku dan memohon berlutut di depan kakiku." "Bagaimana? Senang hidup di luaran sana tanpa aku? berjualan gorengan dengan untung tak seberapa itu? ingat Siska! selama ini kamu hidup enak karena siapa? kalau kamu mau rujuk kembali padaku, akan aku

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 15

    Seperti yang dikatakan Reyden siang tadi. Benar saja, sore ini ada mobil yang sudah terparkir di depan rumah kontrakanku datang hanya untuk menjemput ku. Entahlah, rasanya aku begitu malu jika diperlakukan bak ratu seperti ini. Karena, mengingatkanku pada mas Bima. Laki-laki yang menjadi mantan suamiku itu, dulunya juga sama saja memperlakukanku seperti ini. Aku hanya berharap, bahwa hubunganku dengan Reyden nantinya akan kokoh selamanya. Debora sengaja aku ajak, karena aku tidak akan tenang jika menitipkannya pada orang lain meski aku mengenalnya. Naluri seorang ibu, pastilah tak ingin berjauhan dengan buah hatinya. Setelah mengunci pintu rumah, lalu masuk ke dalam mobil. Menikmati perjalanan menuju arah butik Angola. Butik terkenal di pusat kota, dimana semua pelanggannya adalah hampir semua rata-rata orang kaya, artis juga selebgram terkenal. Tak bisa aku bayangkan, berapa uang yang akan Reyden keluarkan hanya untuk sekedar gaun yang hanya dipakai selama satu hari saja. Puluhan ju

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 14

    Sudah 2 bulan lamanya, Reyden kerap kali datang seminggu sekali untuk menemuiku dan bermain dengan Debora. Tak ayal, laki-laki itu membantuku membereskan semua daganganku. Meski aku sudah menolaknya karena tidak enak hati. Tapi, Reyden tetaplah Reyden, laki-laki itu tak akan mendengarkanku jika bukan kemauannya sendiri. Sudah berkali-kali pula, aku menyuruhnya untuk tak sering datang kesini karena statusku yang masih dalam tahap masa Iddah. Reyden yang awalnya hampir setiap hari kesini, kini berubah menjadi 1 Minggu sekali datang menjengukku.Tentunya, tak hanya dia seorang. Dirinya akan mengajak rekan kerjanya dua orang. Sella dan Ridho, dengan tujuan agar namaku tidak menjadi bahan gunjingan para tetangga. Jujur saja, mendengar maksud tujuannya membuatku hatiku terenyuh. Reyden benar-benar menjaga perasaanku. Ya, meski akan ada saja mulut-mulut jahat yang mengataiku di belakangku. Dan tentu saja, aku tidak bisa membungkam mereka semua. Ternyata benar, memiliki status janda terkada

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 13

    "Reyden!" Aku terkesiap melihat sosok laki-laki yang tidak ingin ku temui, sudah berdiri di depanku. "Bisa bicara sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan kepadamu." "Ini penting." Meski aku merasa tak ingin berbicara dengannya. Tapi, laki-laki itu lah yang membantuku selama aku mengalami kesusahan. Tidak pantas rasanya, jika aku mengabaikannya. Apalagi, dirinya menurunkan gengsinya untuk membeli gorenganku. Makanan murah yang tentunya tak pernah ia sentuh sejak kecil. Setelah membereskan dagangan, ku hampiri Reyden yang sudah menungguku lumayan lama. Laki-laki itu duduk di teras rumah kontrakanku membuatku tak enak hati. "Maaf sudah menunggu lama." ucapku sembari duduk di sampingnya dengan jarak yang terpaut satu meter. Sebagai seorang perempuan tanpa suami, aku harus menjaga diri agar tidak menimbulkan gosip yang tidak-tidak. Terlebih, aku masih baru disini. "Gak apa-apa, Ska." "Ada hal penting apa yang mau kamu katakan padaku?" kataku melihat Reyden yang sedari tadi si

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 12

    Baju-baju pemberian Bu Neni lekas ku bungkus kembali dan aku taruh di belakang rumah. Mungkin, nanti akan ku buang jika ada waktu luang. Tak mungkin juga aku memakaikannya pada anakku baju yang tak layak pakai itu."Permisi!" Aku yang baru saja keluar dari dapur, setelah meletakkan baju bekas dari Bu Neni. Terdengar suara seseorang sedang memanggil dari arah luar. Tampak seorang laki-laki berdiri tegak di ambang pintu. "Apa benar ini rumah Bu Siska?" Aku menganggukkan kepala mendengar namaku disebut. "Benar. Mas ini, siapa ya?" tanyaku balik. "Ini ada spring bed untuk Bu Siska." Aku mengernyitkan dahi dengan heran. Aku merasa tak memesan apapun. Apalagi springbed yang kulihat berukuran besar di atas kendaraan pengangkut barang itu. "Apa mas ini gak salah mengantar? Saya namanya memang Siska, tapi saya gak pesan apapun." ucapku menjelaskan pada sosok laki-laki di depan ku yang tampak kebingungan. "Enggak Bu, sudah benar ini alamat dan nomor rumahnya. Pemesan atas nama Sonia." So

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 11

    "Mbak Siska jangan lupa pesanan ku. Tempe gorengnya 5 sama sekalian gimbal jagungnya 7." "Mbak, tahu isinya 10 ya. Nanti aku ambil kesini." "Aku juga mbak Siska, tahu isi 5 sama tempe gorengnya 5." Semenjak Sonia memborong gorengan ku. Ia pun turut membantuku dengan memberikan hasil setengah boronganya untuk dibagikan pada para tetangga yang lewat. Juga tak luput, dengan kata-kata manis agar para tetangga tergiur untuk ikut membeli gorengan ku keesokkan harinya. Tentu, semua itu bukanlah omong kosong. Saat ini, aku dibuat kewalahan karena banyaknya pembeli yang datang dengan membeli jumlah yang tidak sedikit. "Maaf Bu Ayu, sepertinya gorengannya sudah habis." Ucapku merasa bersalah pada tetangga yang ada di depan rumah kontrakan ku. Ia sendiri datang agak siang hingga tak kebagian gorengan jualanku. "Wah sayang sekali, mbak Siska. Besok-besok tambah dong adonannya. Padahal pengen ngerasain lagi gorengan buatan mbak Siska. Di makan pagi-pagi pakai nasi hangat begini kan cocok."

  • Ditalak Usai Melahirkan    Bab 10

    Di meja makan yang berukuran sedang, terpampang begitu banyak makanan. Tak hanya lauk, namun ada camilan berisi roti dari Toko yang cukup terkenal. Toko yang hampir seringkali mas Bima bawakan saat pulang ke rumah, jika aku sedang menginginkannya. Sejenak, aku terpaku melihatnya. Kenangan bersama mas Bima tiba-tiba terbersit begitu saja. Mas Bima yang ku kenal adalah laki-laki yang baik hati, kini sudah berubah tak sebaik dulu hanya karena anak pertama kami lahir dengan jenis gender tak sesuai harapannya. Rasa sedih dan kecewa itu pun lagi-lagi muncul begitu saja. Sesak rasanya mengingat sikap mas Bima padaku juga perkataannya pada putri kecil kami yang belum mengerti apa-apa.Ku lihat lagi, ada lauk lodeh juga rendang berikut dengan lontong sebagai bahan pelengkap. Rendang itu nantinya akan simpan untuk besok, biar aku nanti cukup membeli beras saja. Sedang lodeh dan lontong akan aku nikmati di sore hari yang sejuk ini. Menghilangkan rasa lapar, juga memberi tenaga pada tubuhku agar

DMCA.com Protection Status