Genggaman yang lembut itu membuat Keinara mengingat sesuatu, dirinya juga pernah seperti ini dahulu tapi entah dengan siapa. Sementara Kiyo mengajaknya berkeliling desa dan suasananya membuat gadis itu pangling, ia tak yakin jika dirinya berada di dunianya sendiri. "Lumayan beda," ucapnya. "Ya, Kei. Ini adalah suasana jaman dahulu desa tempat kita tinggal."Kiyo menunjuk ke arah sebuah pohon yang menjadi tempat pertama kali pemuda itu bertemu dengan Keinara saat masih kecil. Pohon itu adalah kenangan bagi Kiyo dan pemuda itu selalu menanti sang gadis pengasuh sampai dirinya tiada pun penantian itu masih dilakukannya. "Kamu ingat tempat itu? Kita dahulu pernah bertemu di sana."Keinara menatap ke arah pohon besar itu, diingatannya ia pernah bertemu seorang anak lelaki misterius. Seperti hologram yang menunjukkan memori, bayangan dua anak kecil yang terduduk saling bercengkrama. Di titik ini, Keinara mulai mengingatnya. Kembali Kiyo mengajaknya ke tempat-tempat penuh kenangan. Semu
Keinara tak mengerti apa yang terjadi, tapi saat sebuah cahaya menyilaukan matanya dan membawanya kembali ke di masa ia hidup, seluruh orang di rumah Lian mengelilingi raganya. "Kak Kei!" seru Vanya menghamburkan diri ke pelukan pengasuhnya. Gadis itu menatap sekeliling. Dalam ingatannya sebelum memasuki masa lalu, dirinya terduduk di dekat tangga dan diserang oleh gadis yang kerasukan. Ia mendapati dirinya berada di dalam kamar. "Kei, syukurlah kamu sadar. Sudah dua hari ini kamu tak sadarkan diri," ujar Yura membuat gadis itu terkejut. "Apa, Bu? D-dua hari?" Kepalanya begitu pusing, ia tak mengerti apa yang terjadi. Semua begitu cepat dan Keinara juga belum sempat melepas rindu. Suara tangis bayi mulai terdengar memilukan, seakan haus pelukan ibunya. Segera Keinara beranjak dari tempat tidurnya untuk menghampiri bayinya.Banyak hal yang terjadi selama dua hari itu. Teror dari penghuni rumah yang menuntut balas semakin menjadi semenjak gundukan tanah di bawah pohon besar itu di
"Permisi. Ada yang bisa kami bantu, Mas?" Pria muda itu tak sedikitpun membuka mulut, membuat hawa sekitar semakin suram. Sekali lagi mereka mencoba bertanya hingga akhirnya pria muda itu mulai menjawab. Dengan suara yang pelan dan lirih, pria itu mengatakan maksud kedatangannya. "Antarkan saya ke toko mebel."Tiga pria yang tengah berpatroli desa itu saling menatap dengan raut keheranan, pasalnya semenjak tragedi terbunuhnya Kiyo, toko mebel itu tutup sampai saat ini. Tak pernah ada yang membicarakan atau bertanya tentangnya karena ada suatu hal yang membuat mereka semua ketakutan. "M-maaf, Mas. Tapi di sini gak ada toko mebel sama sekali. Dulu pernah ada, tapi sekarang ditutup.""Oh, gitu ya~." Suaranya yang begitu lirih bersamaan dengan kepalanya yang menoleh perlahan ke arah tiga pria itu. Pria asing itu menunjukkan sebuah kejutan yang membuat ketiganya merasa ketakutan, bahkan tak mampu bergerak. Dengan wajah yang setengah hancur dan kedua bola matanya yang keluar menoleh ke
Matanya memandang menelisik sekitar hutan, termasuk mobil terbengkalai itu. Keadaan mobil itu sangat kontras dengan yang ia temui waktu itu, seperti sebuah kejadian naas baru saja terjadi. Perlahan kaki Keinara melangkah mendekati mobil yang kosong tanpa pemilik. Tak ada tanda-tanda kehidupan meski lampu dari mobil itu masih menyala. Semakin dalam ia mencari bahkan di belakang mobil ini, tak ada satupun tanda-tanda yang mencurigakan. Di titik ini, Keinara mulai merasa kebingungan. "Sepertinya tidak ada apa-apa di dalam sini. Lalu apa yang aku cari?" gumamnya seraya melangkah berbalik. Tepat dimana ia melangkah, sesuatu berupa benda yang berdaging tak sengaja tersenggol oleh kakinya. Ia menunduk mencoba memastikan benda apakah yang baru saja mengenai ujung sepatu pantofle-nya. Terlihat ada sebuah tangan yang menjulur dari kolong mobil, telapaknya menengadah seakan meminta tolong. Keinara yang sedikit ragu dengan apa yang dilihatnya kini mulai memberanikan diri. Ia berjongkok lalu
"Hah?" Keinara memekik tak percaya. Sungguh seperti bertemu musibah di hari bahagia, sekujur tubuhnya membeku dan ia seakan terpatri bersimpuh. Apa yang ia firasatkan itu benar-benar nyata, Kiyo pasti akan memgincar keluarga Vanya. "Beneran, Van?" Gadis kecil ini mengangguk mantap, ada sebuah ketakutan dari wajahnya yang lugu. Lirikan mata mungil itu seakan menunjuk ke arah tangga seperti memberi tahu bahwa di rumah ini bukan hanya mereka bertiga saja. Tepat saat itu juga angin dingin terasa di kedua bahunya. Dari ujung matanya nampak sosok berwajah hancur berdiri di sampingnya. Keinara tahu bahwa Kiyo ada di dekatnya, tapi kali ini wujud tubuhnya sungguh berbeda. Bersamaan dengan itu, bayi yang digendongnya menangis sangat kencang.Vanya bangkit lalu menarik tangan Keinara menjauh dari sosok itu, mengajaknya ke tempat yang lebih terang. Jendela di dapur itu tampak terbuka, membawa cahaya mentari yang masuk menembus kaca-kaca bening. Di sini, Keinara mulai mengatur napasnya."Van,
Pintu itu dibukanya perlahan, decitannya membuat bulu roma berdiri. Tampak lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan sedikit gelap, menyisakan lampu yang menerangi koridor. Keinara merasa ragu, matanya menatapi suasana yang senada dengan rumah Lian. Langkahnya perlahan keluar sembari menimang-nimang bayinya. "Anakku, tenang ya, Sayang. Ibu ada di sini," bisiknya. Kakinya terus melangkah menembus remang cahaya, tapi sejauh apapun itu bayinya tetap menangis dan semakin kencang tangisannya. Keinara hanya mampu menenangkan putrinya, tapi tak bisa menenangkan hatinya yang dilanda ketakutan. Sampai ia melangkah melewati kamar mayat, terdengar suara troli ranjang yang berisi seperti ditabrak ke dinding ruangan. Lampu yang menyorot koridor berkedip, tapi tangis bayinya perlahan mereda. Lirikan matanya yang kecil melirik ke arah pintu kamar mayat, seakan penasaran ada apa di sana. Mata Keinara mulai menatap ke pintu itu, suara bising troli ranjang itu masih terdengar. Namun ia yakin pintu i
***Terminal begitu ramai, tapi tak membuat Yura dan Keinara kehabisan tiket. Mereka segera menaiki bus lalu duduk tepat di kursi sesuai dengan tiket. Sambil menggendong bayinya, gadis pengasuh itu memandang ke jendela bus seraya memikirkan bisikan Kiyo yang tampak lembut di telinganya. Keinara sudah ingat tentang semuanya dan ia juga ingat akan rasa cintanya pada Kiyo semasa pemuda itu hidup dahulu. Traumanya perlahan menghilang, tapi ia tidak bisa menerima jika Kiyo akan melakukan hal sejauh ini pada orang lain. "Keinara, maafkan saya." Yura dengan sesal mengatakan permohonan maaf terhadap semua yang terjadi. "Tidak, Bu. Anda tidak sama sekali salah."Wanita muda itu memandang ke arah Vanya yang terlelap dalam tidurnya. "Sayang ya dia harus berpisah dengan sahabatnya dan kamu pasti sudah mencintai makhluk itu, bukan?"Perempuan berwajah manis ini hanya terdiam saat Yura mengetahui bahwa Kiyo dan dia pernah saling mencintai. Ditatapnya bayi mungil yang terlelap dalam dekapannya,
***Kepulan asap kemenyan membawa aroma menyengat di ruang tamu, beberapa lilin dipasang melingkari kemenyan itu. Dua orang pria tengah melakukan ritual pemanggilan arwah demi urusan yang tak jelas. Zein memulai ritual itu, sedang Lian duduk terdiam sembari mengikuti instruksi darinya. Mereka melakukannya untuk mencari jawaban. Saat ritual ini berlangsung, peristiwa yang janggal terjadi. Angin kencang berhembus, jendela terbuka dan menutup dengan sendirinya. Semua benda yang ada di sana bergetar dan berjatuhan. Lian amat ketakutan, berpikir bahwa makhluk ini begitu kuat. "A-apa-apaan ini?" "Dendam telah membuat energi negatif di sekitar begitu kuat." "Apakah dia itu Kiyo?" Tepat saat ayah dari Vanya itu menanyakan tentang Kiyo, sebuah getaran begitu kuat datang membuat barang di sekitarnya porak-poranda. Cahaya merah menyala terpancar dari ruangan kosong dan dengan seketika pintu terbuka, menunjukkan sosok yang amat menyeramkan. Zein dan Lian memandang serentak ke arah makhluk
"Aku hanya ingin mengulangi masa dimana kita bersama, aku hanya ingin itu! Kamu tidak boleh mengelak!" Keinara memandang Kiyo dengan berkaca-kaca. Sejujurnya, ia masih mencintai pemuda yang telah lama tiada, tapi dia sadar bahwa dunia mereka berbeda. Anak yang ia lahirkan dari benih sesosok hantu biar dirinya yang merawat, tak ingin jika Kiyo yang mengambilnya. Namun bagaimana pun Kiyo sekarang telah menjadi sosok yang kejam, dia harus dihindari. "Tolong kembalikan mereka, Kiyo." "Aku akan mengembalikan mereka jika kamu mau ikut bersamaku."Suatu pilihan yang sangat sulit baginya, tapi dia harus melakukan ini demi menyelamatkan keluarga Vanya. Ia meminta untuk Kiyo menunggunya sampai dirinya siap menjadi pendamping pemuda itu di alam gaib. "Baiklah, aku akan memberimu waktu. Namun kau harus kembali?""Iya, tapi beri aku kebebasan meski hanya sesaat. Aku ingin berkeliling berdua dengan anak kita."Mata binar Keinara membuat Kiyo terdiam, pandangan itu membuatnya teringat kembali p
Lian menoleh ke arah istrinya yang sudah sangat kecewa. Ada bulir menetes dari netranya. "Kamu masih saja seperti dulu." "Sayang, bukan maksudku menyakitimu!" ujar Lian memohon. "Kamu bahkan tidak mau mendengarkan apa yang aku minta dan sekarang kamu tak percaya sama ceritaku."Lian hanya terdiam dan sang istri mulai bertindak. Ia segera membawa Vanya dan akan mencari Keinara lalu membawanya pulang. "Tunggu, Yur!" seru Lian menghalangi Yura. "Biarkan aku pergi!" Wanita itu tetap ingin meninggalkan Lian. Hal yang sama terjadi kembali, pertengkaran Lian dan Yura tiba di tempat dan waktu yang tak tepat. Pria itya sadar apa yang ia lakukan, ia tak bermaksud untuk tak percaya pada Yura."Tunggu sebentar!""Untuk apa, Pa? Sudah kesekian kalinya begini. Sekarang apalagi?!"Suasana mendadak hening menyisakan penyesalan Lian, sedang Yura masih dibara oleh api kemarahan. Dia bersikeras untuk keluar dari rumah bersama Vanya dan mencari keberadaan Keinara meskipun itu mustahil. "Ok, ok, ak
***Gangguan gaib yang membuat Freddy begitu gila, emosinya begitu tak stabil dan penuh dengan halusinasi. Bahkan pagi ini, dia dihantui oleh kejadiannya di masa lalu. Tatapannya begitu takut, tapi ia tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk merampas rumah itu. Beberapa karyawan yang bekerja untuk merubuhkan rumah itu kini bergerak. Freddy juga tidak hanya merampas rumah untuk diratakan, tapi juga melenyapkan semua keluarga Lian berserta Keinara. Kakinya harus segera melangkah, menemui para karyawannya untuk segera bekerja. Mereka bergegas mendatangi kediaman yang kini dijaga oleh sesuatu yang menyeramkan. Dengan terpincang kakinya, Freddy melangkah menapaki tanah. Sebuah pertanyaan besar selalu berada di sekitar kepala semua orang, apa yang terjadi pada pria kaya yang membuat kakinya berjalan terseok pincang. Sudah banyak dokter yang menanganinya, tapi semua itu sia-sia. Kaki kanannya serasa diremas kuat oleh sebuah tangan besar, rasa dingin di sekitar begitu terasa. Fredd
***Jauh sebelum semua hal aneh itu terjadi, kala semua terlihat masih sangat muda. Dua anak kecil bermain dengan riang gembira, bercanda tawa sambil bermain ayunan. "Den, langit sebentar lagi mendung. Sebaiknya Den Kiyo cepat masuk." Seorang pria tua menghampiri dua anak itu. "Sebentar, Paman. Aku masih ingin main lagi." "Tapi benar kata Paman Jatmika. Sebaiknya aku pulang saja." Seorang gadis kecil cantik jelita itu merasa sangat cemas sembari melihat langit. Ia berpamitan pada sang paman dan juga sahabatnya. Baju dengan rok terusan serba putihnya berkibar membuat Kiyo kecil larut dalam lamunan, senyum gadis itu begitu manis di pandangan matanya. "Tuh, Non Keinara saja patuh pada orangtuanya. Sebaiknya cepat masuk, Den. Tuan dan Nyonya sebentar lagi akan pulang," ucap pria itu yang ternyata adalah Ki Jatmika kala raganya masih sangat kuat untuk bekerja. Mau tak mau, Kiyo kecil harus menuruti perintah dadi Ki Jatmika. Kaki kecilnya melangkah memasuki pintu sampai tak lama huja
"Siapa yang datang malam-malam beginu?" gumam Lian seraya berdiri dari ranjang, sedang Vanya menyusul di belakang. Terdengar suara Yura dari luar yang seakan meminta bantuan. Zein ikut terbangun, ia bertanya tentang siapa yang datang. Ketika mendengar suara9 ibunya, Vanya mulai berteriak memanggilnya. "Mama!""Vanya?" Yura seperti mendengar suara putrinya di dalam. Tepat saat itu, pintu terbuka dan terlihat wajah Yura yang tampak kusam membuat Lian berkaca. Kedatangan ibu muda itu kini disambut suami dan anaknya, begitu pula Zein yang tak menyangka Yura akan selamat. "Kenapa bisa kamu ada di sini, Ma?""Aku gak tahu, Pa. Awalnya aku dengar Keinara berteriak dan aku gak tahu kenapa aku bisa di sini." Senyap seketika menjalar, segera Lian mengajak masuk Yura agar wanita itu bisa tenang. Malam yang semakin larut itu perlahan membawa angin segar pagi, meski terlihat buta tapi setidaknya suasana terang sebentar lagi akan tiba. Antara baik dan buruk, tapi di pagi subuh mereka tak mend
Langkah Yura perlahan mundur, kembali ia berlari. Meski sekencang apapun, tapi Keinara seperti mengikutinya. Gadis itu ada dimana-mana, tapi ia yakin bahwa mereka bukanlah yang ia cari. Sampai larinya harus terhenti tatkala melihat Keinara terbaring dalam balutan akar yang memeluknya dan di sampingnya sosok Kiyo begitu dekat dengan tubuh gadis itu. Sosok itu memeluk Keinara seakan tak mau melepaskan dekapannya. Sentuhan jari dengan kuku yang panjang itu begitu lembut. "Lepaskan anak angkat saya!" seru Yura pada Kiyo. Mendengar itu, hantu pemuda dengan rupa menyeramkan dan rambut gondrong panjang itu membalasnya dengan tawa yang menggema sampai tanah yang dipijak bergetar. "Kamu ingin mengambilnya? Tidak akan! Dia hanya milik saya!" "Saya mohon, lepaskan dia." Yura mulai frustasi, terus memohon pada sosok itu. Tangisannya begitu sendu, melihat kembali ke batang pohon tempat dimana tubuh Keinara terlilit oleh pohon dan dia sudah menghilang. ***Vanya terbangun di malam gelap, ia
***Langkah Yura terseok menaiki bukit. Wanita itu merangkak menuju ke ujung, ia tak tahu dimana dirinya sekarang. Bertahan hanya dengan memakan dedauan dan hewan liar bukanlah masalah, yang penting tujuannya tercapai. Sejenak ia duduk di bawah pohon besar menghela napasnya sejenak lalu terlelap. Namun ia kembali terbangun karena mendengar suara seperti buah kelapa jatuh. Sang ibu muda berdiri untuk mengambil buah kelapa yang jatuh, ia berharap buah itu akan menjadi pelepas dahaganya. Diambilnya buah kelapa itu lalu diangkatnya. Ia pikir itu adalah benar kelapa, tapi Yura salah mengira. Yang ia angkat adalah sebuah kepala manusia yang tersenyum padanya. "AAAAAAAA!" teriak Yura seraya melempar kepala aneh itu. Tawa dari kepala menggelinding itu begitu nyaring dan bukan hanya satu buah kepala saja. Ribuan kepala manusia tertawa seakan mengepungnya. Yura kembali berlari melihatnya. Terus berlari menembus kegelapan, lagi-lagi kakinya digenggam oleh sosok tangan yang dingin menyembul
Seorang gadis kecil yang terduduk di bawah pohon menarik perhatian Lian dan Zein. Mereka mendekat dengan perlahan, tubuh gadis kecil yang sangat mirip dengan Vanya, tapi Lian justru tak semudah itu percaya. "Vanya." Pria itu memanggil nama putrinya dan sang gadis kecil menoleh ke arahnya. "Papa?" Vanya berangsur memeluk sang ayah. Tangis haru mereka bertemu, masih tak percaya bahwa yang dihadapannya adalah ayahnya. "Vanya, kamu kenapa di sini?" Lian bersimpuh di depan anaknya yang tengah bersedih."Aku gak tahu, Pa. Tadi aku ngejar mama, tapi aku malah di sini," jawab gadis kecil ini. "Semua ini adalah perbuatan Kiyo, Lian. Dia hanya ingin menyingkirkan kalian agar bisa bersama dengan Keinara." Ki Jatmika datang menghampiri mereka, matanya menyipit memandang sekeliling. Dendam Kiyo sudah terbalaskan, tapi bukan hanya itu yang ia inginkan. Pemuda yang kini tak tenang arwahnya itu menginginkan Keinara. "Lalu kita harus bagaimana?" tanya Lian yang merasa cemas dengan keluarganya.
Keinara benar-benar larut dalam kenikmatan semu itu, sedang Kiyo terus menggerayangi tubuhnya. Memeluk tubuhnya dengan erat, sentuhannya begitu lembut. Hujan menambah dingin hawa di sekitar, tapi panas di atas ranjang. Mata gadis pengasuh itu perlahan mengerjap, tapi ia sangat sulit membukanya. Sampai ia mencoba hingga perlahan kelopak matanya perlahan pergerak, membuka pengelihatan matanya. "Aaaaaaaaaaa!" Keinara berteriak. Teriakannya terdengar oleh Yura dan Vanya, dirinya merasa cemas. Segera wanita itu berlari menuju ke kamar pengasuh anaknya, tapi hal aneh terjadi saat ia mencapai lantai kedua rumahnya. Suasana berubah gelap dan tampak beberapa akar pohon menjalar.Ia tak bisa lagi melangkah mundur, Yura menembus semua itu. Sementara itu, Vanya juga kehilangan arah kemana ibunya melangkah. Pada akhirnya ia hanya bisa menangis. Berjalan sambil memeluk bonekanya, melihat semua ruangan di rumahnya tiba-tiba berubah menjadi hutan belantara. Langkah kaki menginjak tanah dan dedaun