Aku baru saja sampai di depan kamar indekos dengan perasaan yang campur aduk. Kepala rasanya berat saat perlahan membuka pintu yang sepertinya Nam belum tidur. Kulihat malam itu masih pukul 21.00 wib, anak itu biasanya masih berkutat dengan pekerjaan sampingannya sebagai freelancer lepas desain grafis. Akantetapi, malam itu berbeda. Aku tidak melihat Nam di dalam kamar.
Degup jantung rasanya berdebar kencang setelah melihat tempat tidur acak-acakan. Beberapa barang juga tergeletak di atas lantai dengan kondisi sebagian sudah hancur. Apa yang terjadi? Di mana Nam? Buru-buru aku keluar kamar untuk memastikan keadaan. Salah satu tetangga kos menghampiri dengan air muka yang panik.
“Nam dibawa ke rumah sakit setelah mengalami luka fisik. Tadi Adel yang bawa.”
Keningku mengerut beberapa lipatan diserta napas yang terjeda. “Apa yang terjadi? Nam kenapa?”
“Tadi Frans nekat masuk dan mereka ribut hebat. Nam mengalami luka-luka. Kalau kami tidak secepatnya memanggil satpam mungkin Nam bisa lewat.”
Aku segera berlari menuju rumah sakit. Berulang kali mencoba telepon Nam, tetapi tak kunjung diangkat. Bahkan sampai di depan gerbang kos pun belum ada informasi lagi. Buru-buru aku memesan ojek online. Hingga aku tersadar, ada sebuah Rolls Royce terparkir tidak jauh dari indekos. Seperti sedang mengawasi. Aku mencoba berpura-pura tidak melihatnya. Mobil itu juga hanya terdiam di tempat.
Mungkin lima menit aku menunggu motor pesanan datang. Perjalanan menuju rumah sakit lumayan jauh sebenarnya. Hingga di tengah perjalanan, abang ojolnya pun berujar setengah berteriak, “Mbak, kita diikuti mobil itu sedari tadi.”
Aku menoleh ke belakang. IO mengikuti dari belakang dengan kecepatan rendah. Apa yang diinginkan anak itu?
“Gak apa, Bang, lanjut aja.”
Sesampainya di rumah sakit, aku setengah berlari menuju ruang gawat darurat. Namun, kuurungkan untuk langsung menuju IGD. Aku tahu IO masih mengikuti. Diam-diam aku bersembunyi. Benar saja, anak itu berada di salah satu keramaian dengan pandangannya meradar. Dia pun menelepon yang jelas suara dering ponselku berbunyi kencang. Aku menghela napas panjang. Oke, aku temui anak itu.
“Kenapa kau menguntitku?”
IO sedikit gelagapan. “Aku hanya memastikan kamu pulang dengan aman. Tadi gak sengaja lihat kamu pergi buru-buru, jadi aku putuskan mengikuti jejakmu.”
Aku mendengkus sebal. “Terserah kamulah. Aku mau menemui Nam.”
“Hei, Nam kenapa?” tanya IO tetiba bingung.
Aku berbalik badan menoleh ke arahnya. “Satu hal yang harus kamu ingat, jangan pernah kasar sama cewek. Jadilah laki-laki sebenarnya.”
IO mengatupkan rahang. “Aku akan ingat nasihatmu dan mari jenguk anak itu.”
***
Aku berjalan di IGD rumah sakit kota dengan pandangan meradar karena khawatir Nam dirawat di salah satu bangsal. IO mengekor, sejak tadi tidak banyak bicara. Hingga mungkin setelah anak itu inisiatif bertanya ke salah satu perawat jaga, ditunjukanlah letak Nam merebahkan tubuhnya di sebelah mana. Ternyata Nam di salah satu bangsal ruangan pojok. Kulihat dia sudah bersiap pulang. Sepertinya tidak memerlukan penanganan medis inap.
Matanya terbuka lebar saat aku masuk menemuinya. Kami berpelukan, Nam bahkan segukan. Aku mengelus punggungnya lembut. Dia bahkan tidak mengatakan apa pun sejauh ini. Hanya menangis, meluapkan kekesalan yang membendung dalam dirinya. Aku paham, Nam tidak akan bercerita langsung. Ia hanya ingin menumpahkan tangisannya. Ia hanya butuh sosok untuk meluapkan emosionalnya.
“Kita pulang, yuk. Kamu butuh istirahat. Tubuhmu membutuhkan rileksasi.”
Nam pun setengah berbisik. “Kalian udah jadian?”
“Nam!” tegurku sedikit menghela napas. “Kita pulang, ya.”
“Apa nanti naik mobil pacarmu?” ucap Nam sungguh memalukan.
“Nam! Kita naik taksi aja,” tegasku yang membuat IO mengernyitkan kening beberapa lipatan.
IO langsung mengajukan protes. “Lho, cuma kalian bertiga ‘kan? Muatlah di mobilku juga. Aku antar kalian pulang.”
Nam gembira bukan main. Hanya saja kulihat Adel sedari tadi hanya terdiam. Aku menggigit bibir dan menghela napas panjang. Dia berubah semenjak IO menjemputku di kos. Prasangka buruk ini tak bisa lepas dari pikiranku.
Ketika di dalam mobil Rolls Royce phantom dengan interior yang bikin menganga, mobil pun melaju kencang menuju tujuan. Ku menoleh ke arah belakang, terlihat Nam tidak mau diam. Ia sedari tadi tertawa kecil kegirangan. Jiwa inner child-nya muncul. Aku menghela napas panjang, mencoba sabar melihat Nam bersikap seperti itu.
“Beda banget ya mobil mewah dengan mobil biasa. Ini empuk banget joknya. Berapa duit kira-kira mobil ini, Io? 500 juta ada?” tanya Nam otomatis membuatku sedikit tersenyum lebar.
“Iya ada,” jawab Arion sambil menoleh ke arahku tersenyum simpul.
“Wah murah juga ya. Kirain di atas satu miliar. Gak nyangka harga segitu bisa semegah ini.” Hal itu justru membuat Adel mentoyor kepala Nam.
Dengan air muka kesal, Adel berceletuk, “Mana ada mobil Rolls Royce 500 juta. Mobil ini 20 Milyaran.”
Tawa Nam hilang. Ia berasa mengkerut ketika Adel menegurnya. Sementara Arion berusaha membesarkan hati Nam. “Gak sampai segitu kok. Aku gak sekaya itu Nam.”
***
Di atas kasur menjelang istirahat, aku dan Nam melakukan pillow talk. Sambil memandang langit-langit kamar, kami berusaha mengutarakan uneg-uneg yang diterima beberapa hari ke belakang. Suara kami rendah agar tidak mengudara terlalu jauh.
“Kamu benar, Ning. Menjaga kesucian itu penting. Kalau sudah seperti ini aku yang menanggung getahnya. Frans sudah tidak ada harapan. Dia bahkan mengaku dijodohkan dengan orang lain oleh orang tuanya. Terus aku bagaimana? Apa yang harus kukatakan ke keluargaku sendiri?”
Aku sedikit membenarkan bantal yang kurang nyaman. “Aku bahkan tertarik menelusuri asal usul keluarga Frans. Mungkin kita bisa berkunjung ke rumahnya.”
Mendengar itu, Nam langsung terbangun. “Gilak, apa yang bisa aku buktikan agar keluarga Frans percaya? Hamil saja baru 2 bulan, udah gitu mau dijodohkan. Lengkap sudah kebahagiaannya.”
Ada helaan napas panjang yang kurasakan. “Nanti kita pastikan jika Frans bisa bertanggung jawab.”
Nam mengangguk perlahan. “Jadi hubunganmu dengan IO sudah sejauh mana?”
Aku kembali menghela napas panjang. “Rumit. Ada Gap paling serius di antara kami berdua. Udah gitu Bapak juga menjodohkanku dengan anak dari sahabatnya. Karena berasal dari orang terpandang.”
Nam mengernyitkan kening beberapa lipatan. “Kau sudah bertemu dengan orangnya?” tanya Nam yang membuatku menggelengkan kepala. Hal itu membuat Nam menghela napas panjang.
“Ibu tidak merestui karena anak itu ‘suka jajan’ katanya sih. Masa iya aku berjodoh dengan pemuda tidak sehat begitu.”
Anak itu refleks menggeplak tenganku karena kaget. “Apa yang ada di pikiran bapakmu itu? Dijodohkan kok dengan modelan begitu. Nanti kau tertular gimana? Ih enggak ... enggak ... enggak,” ucap Nam nyerocos.
Aku menghela napas dalam-dalam. “Kadang aku berpikir untuk menghilang sejenak agar tidak dijodohkan, hanya saja bagaimana dengan keberlangsungan kuliahku? Aku belum bisa bekerja dalam waktu dadakan.”
“Kamu ajak IO ke rumah. Tunjukkan ke bapakmu kalau kamu sudah punya pacar yang mapan. IO anak orang kaya ‘kan?”
Aku mendengkus sebal, menjitak Nam. “Kami tidak ada hubungan apa pun.”
Nam tertawa cekikikan. “IO menyukaimu, Ning. Aku amati matanya tidak pernah terlepas dari pandanganmu. Semestanya ada di dirimu. Hanya mungkin belum berani mengutarakan perasaannya.”
Aku menggeleng. “Aku tidak mau terlalu berekspektasi tinggi. Mungkin hanya sebatas kagum. Entahlah.”
Nam tetiba saja mencubit pipiku cukup gemas. “Kalian sama-sama suka, tapi masih meraba perasaan satu sama lain.”
***
Hai semuanya. Semoga suka ya dengan ceritanya
Hari ini acara ospek dan kegiatan kemahasiswaan sudah dimulai. Aku memiliki jadwal pertemuan dengan organisasi mahasiswa di jam 8 pagi. Letak ruangannya berada di lantai 3, cukup membuat badmood karena harus naik turun tangga. Sambil berkaca pinggang, aku menyiapkan diri untuk menaiki sejumlah anak tangga. Hingga sampai di lantai 3, tetiba saja aku dipaksa ikut tiga orang yang tak dikenal untuk mengikuti mereka ke rooftop gedung.Kasar sekali mereka menggeretku, hingga kulihat ada dua sosok yang tak asing berdiri di sana memandang penuh amarah. Sementara orang-orang yang menculikku tetiba saja mendorong hingga aku tersungkur. Itu El dan RK tengah tertawa melihatku terjatuh. Lelaki macam apa yang menertawakan perempuan seperti itu?“Apa yang kauinginkan dari, IO?” tanya El dengan melipat lengannya di perut. Ia ketus sekali pagi itu dengan sesekali membuang wajah.“Apa yang kalian maksudkan? Terlalu paranoid rasanya kalian berdua,” ucapku tegas sambil berusaha berdiri.RK kini mendekat.
Nam baru saja pulang dari urusannya di kampus. Aku yang saat itu hanya tiduran kini duduk di tepi pembaringan memperhatikan Nam yang sedang beres-beres. Anak itu awalnya cuek, hanya mungkin baru tersadar saat melihatku sembab dengan air muka yang ditekuk.“Kau kenapa sih?” tanya Nam yang saat itu sedang membereskan barang-barang di meja belajar.“IO mencampakkan aku.”Nam menoleh dengan air muka terkejut. “Kok bisa? Gara-gara apa?”Aku menghela napas panjang. “Dio tadi telpon saat di kafe tapi belum sempat aku angkat, jadi IO yang angkat. Entah ada pembicaraan apa di antara mereka. IO akhirnya tahu kalau aku sedang proses dijodohkan.”Nam pun mengumpat Dio secara kasar. “Bisa-bisanya dia ikut campur hubungan orang. Aku labrak orang itu liat saja.”“Nammm!” ucapku menggelengkan kepala. “Aku tidak mau kita terbawa arus masalah baru.”Nam mendengkus sebal. “Kau terlalu baik, ah. Ditindas El pun nerima-nerima aja lagi. Kalau aku udah ditabok itu El.”Telepon kembali berdering. Bapak meman
Malam sebelum prosesi akad dimulai, aku berada di dalam kamar yang sudah dirias. Ibu datang yang sepertinya menguatkanku. Aku memeluknya, erat sekali. Bahkan Ibu menangis pecah malam itu. Tidak ada raut tangis bahagia di wajahnya. Seolah tak rela jika anaknya diperlakukan seperti ini.“Bu ... Aku takut.” Hanya itu yang bisa aku katakan di depannya.Ibu memeluk dengan tangis yang semakin pecah. Ibu segukan dengan punggungku terasa basah. Aku tidak tega melihat Ibu menangis terpukul seperti ini. Hatiku hancur sejadi-jadinya. “Maaf, Nak. Ibu gagal melakukannya. Ibu tidak bisa melawan Bapak. Karena ibu diancam oleh Bapak. Sekarang ibu merasa gagal,” ucap Ibu yang kala itu kelihatan frustrasinya.“Doakan aku ya, Bu. Semoga Allah memberikanku jalan terbaik.”Dengan masih segukan, Ibu mengusap pundakku. “Pasti, Sayang, pasti. Ibu orang pertama yang akan pasang badan jika kamu disakiti orang lain.”Malam itu aku tidur dengan Ibu saling menguatkan. Hingga pagi-pagi sekali, aku dibangunkan untu
Pagi-pagi sekali aku dibangunkan. Ternyata aku berada di lantai dengan tubuh menyender ke pembaringan. El sudah datang, dengan mulut yang lumayan bau teh berdosa. Ia terlihat panik dan memintaku menuruti kemauannya. Aku yang masih belum sadar 100% hanya bisa melongo dengan intruksinya. “Ini sudah jam setengah lima. Sebentar lagi Papa ke sini. Gawat kalau tahu aku ke club. Pokoknya kita harus acting kalau semalam kita sudah malam pertama yang sangat indah, kamu paham?” Aku menggeliat. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Hal ini membuat El protes dan murka. “Aku mau pipis, El. Kamu mau aku pipis di mulutmu?” El terduduk di sudut pembaringan mencoba sabar. Mungkin 3 menit setelah aku dari kamar mandi, cukup kaget melihat kasur yang berantakan. Aku hanya melipat tangan di dada. Satu set pakaian kotorku ia simpan berserakan di lantai. Aku membuang napas panjang. Drama apalagi yang akan kau mainkan? “Kamu mandi dan keramas. Tutupi rambutmu dengan anduk. Jangan lupa juga pakai handuk ba
Namanya Poppy. Ia sedang duduk di pojok depan kursi khusus dosen. Rambutnya pendek ala Demi Moore. Kakinya jenjang dan menjadi kandidat dosen favorit mahasiswa di kampus karena visualnya. Dia mengajar Aljabar dengan kesabaran setipis tisu dibagi dua. Hari ini kelas perdana, sudah ada pre-test yang diberikannya. Di tangannya sudah ada tablet dengan pulpen khusus gadget tersebut dia mainkan.“Tidak ada yang protes saya berikan pre-test. Menjadi mahasiswa harus kritis dalam belajar. Saya berikan soal-soal dasar. Seharusnya kalian mencari tahu dulu materi Aljabar semalam dan berlatih!” tegas Bu Poppy galak.Aku mencoba berpikir sambil menghela napas panjang. Rumusnya lupa-lupa ingat. Beberapa sibuk meradar, membuat Bu Poppy menggebrag mejanya. Semua terdiam hening. Bu Poppy terlalu galak untuk visual yang enak dipandang.Hingga kemudian ia memasang kamera dengan tripod otomatis bisa memutar sendiri. “Ketua kelasnya nanti ketika selesai kumpulkan kertas jawaban dan simpan di meja saya di r
Sorenya, ketika El masih terlelap tidur, tetiba saja ia mengigau. Refleks kupegang keningnya yang ternyata sedang demam. Ia tampak gelisah, dengan bibir yang menggigil. Kukompres keningnya serta bagian leher. Kulihat lehernya ada benjolan. Sepertinya kelenjar getah bening. Ia terlihat kesakitan. Aku cukup kaget karena selama ini El selalu memakai kaos leher panjang atau berkerah.El lemah sekali ia saat itu. Berbanding terbalik dengan kelakuannya saat sebelum mengenalnya lebih jauh. Dengan sedikit menepuk-nepuk pipinya, kubangunkan dia. “El, adakah obat yang bisa kuambilkan?”Dengan nada suara yang berat, anak itu membuka perlahan kelopak matanya. “Ambilkan aku air.”Aku mengambil air yang berada di atas laci yang terletak di samping pembaringan. Air di gelas ini ia taruh sebelum tidur yang katanya sudah menjadi kebiasaan. Sedikit demi sedikit aku mulai memahami karakter anak ini. Dengan cukup berat, aku berusaha sedikit mengangkat tubuhnya yang lemas. Kemudian memberinya air. Ia memi
Lowa menjadi hotel yang dipilih tiga bersaudara itu untuk menjadi tempat magang atau PKL. Hal ini mereka lakukan untuk memenuhi ekspektasi karya tulis yang akan diujikan di sidang proposal dan sidang skripsi nanti. Lokasinya ada di Bali dengan tempat yang sangat strategis. Fasilitasnya juga sangat lengkap. Termasuk hiburan malam. El ditempatkan di bagian kepegawaian, sedangkan IO ditempatkan di bagian keuangan atau finance, sementara RK ditempatkan di bagian pengunjung. Tiga bersaudara ini akan mencari masalah yang harus bisa mereka selesaikan. Membuatkan sebuah aplikasi yang memudahkan pekerjaan mereka. Hari pertama berjalan baik-baik saja. Hingga hari ketiga, El mulai mengacau. Ia dititipkan berbagai map pekerjaan oleh beberapa pekerja. Mungkin sudah tradisi di perusahaan yang membuat EL geram. “Sudahlah kerjakan saja. Agar nanti kamu tidak kaget ketika memasuki dunia kerja. Melamar kerja itu susah. Harus punya keahlian.” Itu yang diucapkan salah satu pegawai yang katanya sudah 10
Seseorang bertepuk tangan saat aku hendak akan mengetuk kamar Nam. Anak itu menaruh rasa iri mendalam setelah tahu aku dekat dengan IO. Aku meremas rambut karena gemas.“Sudah bersuami, masih berduaan dengan IO. Parah kamu Ning. Jangan-jangan kamu memakai pelet ya?” ucap Adel yang sebenarnya malas meladeni.Beberapa anak kos tampak keluar kamar karena mendengar Adel berteriak. “Astaghfirullahaladzim. Kok kamu jahat menyimpulkan seperti itu?”Adel berkaca pinggang tampak kesal. “Gak usah memasang wajah sok polos! Mana ada seorang istri datang ke sini diam-diam bersama lelaki lain?”Pintu kamar Nam terbuka. Hal itu membuat Adel sedikit terdiam. Ia tak sengaja membangunkan macan yang sedang tertidur. “Duh berisik! Banyak cakap kali kau nih, Del! El sama IO kan sepupuan, pasti El gak keberatan kalau IO mengantar Ning ke sini.”Dengan menatap tajam, Adel semakin membenci. “Kau mendukung perselingkuhan di antara mereka?”Nam tertawa kecil. “Kau ini cuma cemburu buta, Del. Lagian selera IO i
Setelah dua minggu mengajukan gugatan cerai atas tindak kekerasan dalam rumah tangga, sejumlah bukti visum sudah kukantongi. Hari ini, sidang pertamaku setelah luka tusuk itu lumayan membaik. Aku duduk di kursi pesakitan di depan dewan hakim yang sedang bersiap memulai sidang perceraian tersebut.El kala itu masih dalam penyidikan karena mau tidak mau dia sudah melakukan percobaan pembunuhan. Di kursi penonton ada IO dan RK sedang duduk memantau persidangan yang kala itu bergeser lima menit dari yang dijadwalkan. Orang tuaku juga hadir memberikan dukungan penuh. Ada juga Nam yang kala itu perutnya mulai terlihat sedikit membesar hadir memantau jalannya sidang.Proses berjalannya sidang cukup kondusif yang mana aku cukup gugup karena pertama kali harus merasakan sidang perceraian. Cukup berat memang karena perceraian bukan hal yang dibenci Allah Swt, tetapi tidak disukai-Nya. Sejak awal memang tidak ada pondasi rasa cinta yang hadir di tengah hubungan kami.Dalam persidangan itu pula,
Aroma sedap masakan merangsangku untuk membuka kedua kelopak mata di sepagi ini. Setengah tubuhku tertutup selimut dengan kondisi El sudah tidak ada di sofa. Aku menggeliat melihat posisi rumah sudah rapi. Sinar matahari bahkan sudah menembus ruangan yang mana aku bahkan terlewat salat subuh. Hingga saat melangkah ke ruangan lain, kulihat IO dan El sedang berada di dapur.Saat itu IO sedang memasak, sedangkan El sedang duduk di meja makan sambil menyantap masakan hasil kreasi dari IO. Aku tidak langsung masuk, khawatir mengganggu obrolan penting mereka.“Kenapa Lu gak nyoba berdamai aja dengan bokap?” tanya IO sambil sibuk mengggoyang-goyangkan wajan anti lengketnya.El menghela napasnya dan sambil menyendok makanannya “Hah malas. Menikmati fasilitasnya sama dengan harus menuruti semua yang dimaunya. Semuanya diatur. Gue ingin berdiri dengan kaki sendiri. Gue ingin menentukan sendiri jalan hidup,” jawab El apa adanya.IO tertawa kecil. “Segala diatur juga karena Lu nya aja gada otak.
Aku tidak menyangka, dalam laporan sekejap saja, polisi sudah bisa menangkap Frans dari persembunyian. Minggu lalu, saat Frans menyiksa Nam, kasus ini masih dalam penyelidikan. Sementara sekarang, saat dewan komisi dalam perusahaan di bawah komando IO, pencarian Frans diperketat. Kasus ini menjadi rumit karena Frans terbukti melakukan penyerangan. Bahkan bisa jadi berencana dengan percobaan pembunuhan.Di salah satu rutan, akhirnya kami datang. Termasuk ayahnya Frans yang terlihat geram melihat anaknya tidak bisa diatur. Dalam ruangan itu kami diberikan waktu yang sangat singkat. Aku hanya duduk di pojokan mendengarkan semuanya. Nam duduk bersama ayahnya Frans yang sejak awal emosinya meletup. Kami hanya berlima di ruangan. Ada meja dan empat kursi di sana. Frans duduk berhadapan dengan ayahnya dan juga Nam. Ia hanya menunduk pasrah dengan tangan diikat ke belakang.“Mau kamu sekarang apa? Lima gadis sudah kamu rusak masa depannya. Kamu harus tanggung jawab menafkahi kelimanya.”“Mere
Kami baru saja mendarat di Surabaya menjelang Ashar. Sebuah mobil perusahaan menjemput kami dengan seorang pengemudi yang sangat ramah. Mobil pun melaju dengan halus memasuki jalan tol menuju Tanjung Perak. Kulihat IO sedang asyik berbincang dengan pengemudi, sepertinya sudah kenal lama.“Jadi sekarang masih nyusun ya Mas?” tanya pengemudi itu membuat IO mengangguk. “Sudah punya calon? Yang jelas lulus kuliah, Mas IO gak perlu lagi cari loker. Tinggal pilih mau kelola yang mana.”IO tertawa kecil. “Ambil S2 dulu kayaknya, Pak. Terlebih belum ada yang mau sama saya. Biarkan waktu saja yang menjawabnya.”“Bukan gak ada yang mau, tapi sama-sama dipendam sendiri,” celetuk Nam yang membuat kami menoleh ke arahnya.Aku menyenggol tubuh Nam memberi isyarat diam. Sementara Nam pura-pura tidak melihat. Pengemudi itu bahkan mengangguk kecil. “Wah, Mas, jangan dipendam sendiri. Segera ambil tindak lanjut sebelum diambil orang.”Nam tertawa kecil. “Udah diambil orang, Pak, tapi disia-siakan. Haru
Sudah satu minggu aku tidak mendapatkan kabar apa pun tentang keadaan maupun keberadaan El. Terlebih IO dan RK masih berusaha mencari kemana anak itu pergi. Sudah selama itu juga ada rasa canggung yang terjadi saat Bu Poppy mengajar di kelas. Ia bahkan sering tidak menganggapku ada. Hanya saja di hari itu, tetiba ia memintaku untuk datang ke ruangannya. Sendirian.Tibalah 10 menit sebelum materi selesai, Bu Poppy meninggalkan kelas dan memintaku untuk mengekor. Sebagai seorang mahasiswa aku hanya menuruti keinginannya, terlebih hanya ke ruangannya. Di ruangan yang disekat-sekat petak itu, diisi oleh 6 orang dosen dan staff. Sementara letak meja Bu Poppy berada di paling pojok ruangan. Ada perasaan was-was yang kurasakan siang itu.Awalnya tidak ada pembicaraan apa pun, terlebih ia hanya menatap dan mencoba menarik napas panjangnya. “Di mana keberadaan El?” ucapnya membuka topik yang membuatku mengerutkan kening beberapa lipatan.“Aku tidak tahu. Dia pergi begitu saja.”Kulihat ia mena
Ada tarikan napas panjang yang dikeluarkan Abang malam itu. Ia bahkan sesekali menegakkan pandangannya ke langit-langit.“Bagaimana kamu meng-handle semuanya?”El pun terlihat membenarkan posisi duduknya. “Aku membujuk Poppy agar mengikuti rencana yang sudah dirancang. Kala itu pikirku semua akan berjalan lancar. Hanya saja semua berantakkan. Bahkan Papa lebih dulu mengetahuinya.”Abang menyimpan lengannya di dada bersidekap. “Apa yang kauterima sebagai hukuman dari ayahmu?”El menghela napasnya dalam-dalam. “Aku sudah dicoret dari daftar waris. Mungkin sebentar lagi juga semua kartu kreditku dibatasi atau bahkan dibekukan. Aku juga pengidap HIV yang harus rutin minum ARV.Abang yang kala itu mendengarkan hanya menggelengkan kepalanya. “Kau pernah mendengar kisah tentang kisah Nabi Ayub Alaihissalam? Bagaimana Allah mengujinya dengan sebuah penyakit selama bertahun-tahun? Nabi Ayub bahkan tidak pernah sama sekali pun mengeluh.”Anak itu malah mendengkus sebal saat Abang mulai menghubu
Di teras rumah, aku melihat Bapak sedang marah besar. Ia mengacungkan golok ke arah tiga pemuda yang berdiri di depan Bapak. Di sanalah aku melihat puncak kemarahan besar seorang ayah ketika putrinya disakiti. Ibu yang melihat itu uring-uringan. Kulihat El tengah memohon di hadapan Bapak yang sedang murka. Anak itu tengah bersimpuh.“Saya sepakat dengan perjodohan yang diminta ayahmu, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya menyakiti anak saya! Pergi kamu! Saya sendiri yang akan urus perceraian kalian. Tidak sudi saya punya mantu sepertimu!” Golok itu masih saja teracung di hadapan El, RK, dan IO.Di tengah bersimpuh, kulihat El tangannya bergetar. Aku tidak menyangka anak itu bisa sehancur ini mentalnya. RK dan IO pun hanya terdiam tak berkutik. Amarah Bapak tidak main-main saat itu. Bahkan wajah Bapak sampai merah.“Pak tenang, Pak. Kita selesaikan dengan kepala dingin,” tegur Ibu yang kala itu berlari kecil mendekati Bapak.Hal itu membuat amarah Bapak mengendur. Sementara aku berja
Hari itu berbeda dengan hari biasanya. Pak Bobi saat masih bujangan lebih tepatnya memiliki sebuah toko sepeda. Sebagai keturunan Tionghoa, pak Bobi tidak menyangka jika di hari itu akan menjadi kenangan pahit yang tidak tercantum di kalender.Menjelang tengah hari, kerusuhan di mana-mana tiada henti. Ban demi ban dibakar sangat mengerikan. Beberapa warga berkumpul, menjarah toko-toko milik keturunan Tionghoa. Pak Bobi yang mendengar kabar itu segera menutup tokonya. Ia juga pergi ke belakang yang memang rukonya memiliki pintu di belakang.Pintu ruko bagian depan dibuka paksa oleh warga. Pak Bobi ketakutan. Ia kabur dari pintu belakang mencari bantuan. Salah seorang warga menarik lengan Pak Bobi untuk segera masuk ke rumahnya. Di sana ia disembunyikan. Padahal ada anak lelaki dan istrinya yang bisa saja membahayakan mereka. Pintu pun dikunci rapat.“Kau aman di sini. Diamlah jangan gaduh,” bisik lelaki itu.***Dalam keheningan sepanjang jalan. Pak Bobi menceritakan pengalaman pahitny
Seseorang bertepuk tangan saat aku hendak akan mengetuk kamar Nam. Anak itu menaruh rasa iri mendalam setelah tahu aku dekat dengan IO. Aku meremas rambut karena gemas.“Sudah bersuami, masih berduaan dengan IO. Parah kamu Ning. Jangan-jangan kamu memakai pelet ya?” ucap Adel yang sebenarnya malas meladeni.Beberapa anak kos tampak keluar kamar karena mendengar Adel berteriak. “Astaghfirullahaladzim. Kok kamu jahat menyimpulkan seperti itu?”Adel berkaca pinggang tampak kesal. “Gak usah memasang wajah sok polos! Mana ada seorang istri datang ke sini diam-diam bersama lelaki lain?”Pintu kamar Nam terbuka. Hal itu membuat Adel sedikit terdiam. Ia tak sengaja membangunkan macan yang sedang tertidur. “Duh berisik! Banyak cakap kali kau nih, Del! El sama IO kan sepupuan, pasti El gak keberatan kalau IO mengantar Ning ke sini.”Dengan menatap tajam, Adel semakin membenci. “Kau mendukung perselingkuhan di antara mereka?”Nam tertawa kecil. “Kau ini cuma cemburu buta, Del. Lagian selera IO i