Malam sebelum prosesi akad dimulai, aku berada di dalam kamar yang sudah dirias. Ibu datang yang sepertinya menguatkanku. Aku memeluknya, erat sekali. Bahkan Ibu menangis pecah malam itu. Tidak ada raut tangis bahagia di wajahnya. Seolah tak rela jika anaknya diperlakukan seperti ini.
“Bu ... Aku takut.” Hanya itu yang bisa aku katakan di depannya.
Ibu memeluk dengan tangis yang semakin pecah. Ibu segukan dengan punggungku terasa basah. Aku tidak tega melihat Ibu menangis terpukul seperti ini. Hatiku hancur sejadi-jadinya. “Maaf, Nak. Ibu gagal melakukannya. Ibu tidak bisa melawan Bapak. Karena ibu diancam oleh Bapak. Sekarang ibu merasa gagal,” ucap Ibu yang kala itu kelihatan frustrasinya.
“Doakan aku ya, Bu. Semoga Allah memberikanku jalan terbaik.”
Dengan masih segukan, Ibu mengusap pundakku. “Pasti, Sayang, pasti. Ibu orang pertama yang akan pasang badan jika kamu disakiti orang lain.”
Malam itu aku tidur dengan Ibu saling menguatkan. Hingga pagi-pagi sekali, aku dibangunkan untuk rias tapi tidak tebal. Aku memang request untuk tidak rias tebal. Malas sekali jika harus seperti orang-orang yang bangun jam 3 pagi hanya untuk rias berat. Acara pernikahan itu tidak dibuat secara mewah. Awalnya Bapak menolak, karena tidak ingin melihat anaknya kucel saat acara penting itu. Aku tidak peduli.
Sebelum akad, aku dan Aqlan dipertemukan dengan beberapa saksi. Bodohnya aku tidak membaca cv secara lengkap. Hingga saat kami berada di ruangan yang sama, kami saling menatap tidak percaya.
“Bedebah, kenapa Papa tidak bilang perempuan itu dia?” protes Aqlan dengan nada suaranya yang lantang.
Aku hanya melongo tak percaya. “El? Selama ini yang Bapak maksud El?”
Pak Bobi tampak tersenyum. “Wah ternyata kalian sudah saling kenal? Baguslah kalau begitu.”
Kulihat istrinya Pak Bobi menatap dengan side eyes. Air mukanya tidak welcome. Sementara El protes, “Paah! Ini gak lucu!”
Kulihat ada IO tengah duduk di belakang di samping RK. Ia hanya menunduk sejak awal datang. Ia enggan menatap siapa pun sepanjang acara. Sementara RK hanya tersenyum getir. Aku juga meminta Nam datang, ia duduk paling belakang tanpa ada senyuman sama sekali.
“Langsung saja Pak Penghulu,” ucap Pak Bobi tampak tidak sabar mengadakan pernikahan ini.
Penghulu itu hanya mengangguk pelan. Kulihat El frustrasi bukan main. Bapak juga sudah siap menjadi wali nikah dalam pernikahan ini. Bapak menjabat tangan El begitu erat. “Saudara Aqlan El Harith, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya Bening Candramaya Syarif dengan mas kawin perhiasan sepuluh gram dan uang senilai 40 juta rupiah dibayar tunai ...,” ucap Bapak penuh semangat.
El hanya terdiam dengan gerak tubuh yang gusar. Air muka Pak Bobi sangat kecewa membuat El buru-buru menunduk. “Maaf-maaf saya belum hapal.”
Penghulu itu memberikan secarik kertas untuk El baca saat akad kedua nanti. Aku yang berada di samping El saat itu hanya bisa menatap kosong. El diberikan pengarahan terlebih dahulu oleh penghulu. Anak itu mendadak sangat stres. Hingga El ditenangkan terlebih sebelum lanjut melaksanakan akad.
Bapak mengulang ucapannya untuk menikahkanku dengan El. Namun, El telat membaca akad tersebut. Membuat Bapak dan Pak Bobi gusar karena sudah dua kali gagal semua. Ada raut muka marah yang terlihat dari Pak Bobi membuat El hanya menunduk. Aku tahu dia sangat tertekan. Penghulu memberikan waktu terlebih dahulu untuk membuat El tenang.
Kulihat wajah El tampak pucat tak seperti biasanya. Bibirnya bergetar dengan sorot mata yang bingung. Kami dihadapkan dengan penekanan yang luar biasa. Hingga beberapa saat setelah El sudah mulai tenang, penghulu memberikan pengarahan. Hanya tersisa satu kesempatan atau diulang lagi besok. El hanya mengangguk pelan.
Akhirnya dimulai kembali. Bapak kembali melaksanakan tugasnya. Hingga saat Bapak mengucapkan kata tunai. “Saya terima nikah dan kawinnya Bening Candramaya Syarif Binti Agus Syarif untuk diri saya dengan mas kawin tersebut tunai,” ucap El lantang membuatku ketar-ketir tidak percaya.
Aku melongo. Serius El membacakan akad dengan lancar? Kulihat IO pergi begitu saja entah kemana. Aku menatap tubuh jangkung itu hingga menghilang dari pandangan. Hingga Bapak memanggilku. Meminta menunjukkan buku nikah untuk difoto. Aku istri dari bedebah ini sekarang?
***
Malam itu aku berada di apartement milik El. Sejak tadi, kami hanya diam tanpa banyak komentar. Suasana canggung tercipta begitu saja. Aku yang sedang duduk di kursi makan hanya fokus ke gawai sejak tadi. El sekarang malah uring-uringan.
“Aku tidak menyukaimu. Pasti kamu berharap ada malam pertama ‘kan? Jangan harap! Aku tidak menyukaimu!”
Aku hanya menghela napas panjang. Kembali fokus pada gawai yang dimainkan.
“Heh, aku ngomong denganmu!” bentak El merasa tidak digubris omongannya.
Mendengar itu, aku menatap El. “Ya terus? Itu sudah menjadi hakmu, El. Sedari awal pernikahan ini, hanya paksaan ‘kan?”
Ada hembusan napas kencang dari anak itu sekarang. “Tapi di depan Papa kita harus pura-pura romantis.”
Aku bergidik. Kemudian pergi dari hadapan anak itu. Hal itu membuat El geram bukan main. “Kau menghinaku?” bentak El menyusul.
Kemudian aku menoleh dengan rasa lelah yang hinggap. “Bisakah kau menyelesaikan masalah dengan kepala dingin? Kau udah dewasa. Bicaralah baik-baik.”
El pun mendengkus sebal. Ia pergi ke kamar berganti pakaian. Ia juga mengambil kunci mobil yang sepertinya akan pergi. Aku sempat bertanya saat itu, tapi dijawab ketus oleh El. Menyebalkan memang. Anak itu akan ke club malam.
Aku menelpon Nam malam itu juga. Rupanya anak itu baru rebahan setelah perjalanan lumayan jauh dari rumahku ke indekos. Ada tawa meledek yang terlontar dari anak itu membuatku geram.
“Ngapain malam pertama nelpon? Mau pamer?” ucap Nam dengan gelak tawa terdengar.
Aku protes dengan nada sewot. “Ih apaan sih. Tuh anak juga sekarang lagi pergi ke club malam. Ih aku belum terbiasa di apartemen sendirian.”
“Eh busyet sakit jiwa itu anak. Malah kabur dugem. Lah terus kamu telpon aku biar gak sepi gitu?”
Kami pun membicarakan banyak hal disertai gelak tawa. Bahkan aku menelpon sambil berjalan-jalan di sekitar kamar. Hingga tanganku refleks menarik laci samping tempat tidur yang biasa dipakai El untuk menyimpan barang-barangnya. Ada sejumlah obat dalam botol berwarna putih. Salah satu botol bertuliskan Evafirenz 600 miligram. Aku tahu obat ini. Ini salah satu jenis obat ARV atau antiretroviral. Sebuah obat yang digunakan untuk menurunkan perkembangbiakkan virus HIV.
Aku lemas bukan main. Jadi benar yang dikatakan Ibu waktu itu? El pengidap HIV oleh karena itu dia dijodohkan. Bagaimana jika aku tertular? Aku menyenderkan tubuh ke kasur sambil menenangkan diri. Ini seperti bom waktu, siap atau tidak risiko tertular pasti ada.
***
Pagi-pagi sekali aku dibangunkan. Ternyata aku berada di lantai dengan tubuh menyender ke pembaringan. El sudah datang, dengan mulut yang lumayan bau teh berdosa. Ia terlihat panik dan memintaku menuruti kemauannya. Aku yang masih belum sadar 100% hanya bisa melongo dengan intruksinya. “Ini sudah jam setengah lima. Sebentar lagi Papa ke sini. Gawat kalau tahu aku ke club. Pokoknya kita harus acting kalau semalam kita sudah malam pertama yang sangat indah, kamu paham?” Aku menggeliat. Kemudian beranjak menuju kamar mandi. Hal ini membuat El protes dan murka. “Aku mau pipis, El. Kamu mau aku pipis di mulutmu?” El terduduk di sudut pembaringan mencoba sabar. Mungkin 3 menit setelah aku dari kamar mandi, cukup kaget melihat kasur yang berantakan. Aku hanya melipat tangan di dada. Satu set pakaian kotorku ia simpan berserakan di lantai. Aku membuang napas panjang. Drama apalagi yang akan kau mainkan? “Kamu mandi dan keramas. Tutupi rambutmu dengan anduk. Jangan lupa juga pakai handuk ba
Namanya Poppy. Ia sedang duduk di pojok depan kursi khusus dosen. Rambutnya pendek ala Demi Moore. Kakinya jenjang dan menjadi kandidat dosen favorit mahasiswa di kampus karena visualnya. Dia mengajar Aljabar dengan kesabaran setipis tisu dibagi dua. Hari ini kelas perdana, sudah ada pre-test yang diberikannya. Di tangannya sudah ada tablet dengan pulpen khusus gadget tersebut dia mainkan.“Tidak ada yang protes saya berikan pre-test. Menjadi mahasiswa harus kritis dalam belajar. Saya berikan soal-soal dasar. Seharusnya kalian mencari tahu dulu materi Aljabar semalam dan berlatih!” tegas Bu Poppy galak.Aku mencoba berpikir sambil menghela napas panjang. Rumusnya lupa-lupa ingat. Beberapa sibuk meradar, membuat Bu Poppy menggebrag mejanya. Semua terdiam hening. Bu Poppy terlalu galak untuk visual yang enak dipandang.Hingga kemudian ia memasang kamera dengan tripod otomatis bisa memutar sendiri. “Ketua kelasnya nanti ketika selesai kumpulkan kertas jawaban dan simpan di meja saya di r
Sorenya, ketika El masih terlelap tidur, tetiba saja ia mengigau. Refleks kupegang keningnya yang ternyata sedang demam. Ia tampak gelisah, dengan bibir yang menggigil. Kukompres keningnya serta bagian leher. Kulihat lehernya ada benjolan. Sepertinya kelenjar getah bening. Ia terlihat kesakitan. Aku cukup kaget karena selama ini El selalu memakai kaos leher panjang atau berkerah.El lemah sekali ia saat itu. Berbanding terbalik dengan kelakuannya saat sebelum mengenalnya lebih jauh. Dengan sedikit menepuk-nepuk pipinya, kubangunkan dia. “El, adakah obat yang bisa kuambilkan?”Dengan nada suara yang berat, anak itu membuka perlahan kelopak matanya. “Ambilkan aku air.”Aku mengambil air yang berada di atas laci yang terletak di samping pembaringan. Air di gelas ini ia taruh sebelum tidur yang katanya sudah menjadi kebiasaan. Sedikit demi sedikit aku mulai memahami karakter anak ini. Dengan cukup berat, aku berusaha sedikit mengangkat tubuhnya yang lemas. Kemudian memberinya air. Ia memi
Lowa menjadi hotel yang dipilih tiga bersaudara itu untuk menjadi tempat magang atau PKL. Hal ini mereka lakukan untuk memenuhi ekspektasi karya tulis yang akan diujikan di sidang proposal dan sidang skripsi nanti. Lokasinya ada di Bali dengan tempat yang sangat strategis. Fasilitasnya juga sangat lengkap. Termasuk hiburan malam. El ditempatkan di bagian kepegawaian, sedangkan IO ditempatkan di bagian keuangan atau finance, sementara RK ditempatkan di bagian pengunjung. Tiga bersaudara ini akan mencari masalah yang harus bisa mereka selesaikan. Membuatkan sebuah aplikasi yang memudahkan pekerjaan mereka. Hari pertama berjalan baik-baik saja. Hingga hari ketiga, El mulai mengacau. Ia dititipkan berbagai map pekerjaan oleh beberapa pekerja. Mungkin sudah tradisi di perusahaan yang membuat EL geram. “Sudahlah kerjakan saja. Agar nanti kamu tidak kaget ketika memasuki dunia kerja. Melamar kerja itu susah. Harus punya keahlian.” Itu yang diucapkan salah satu pegawai yang katanya sudah 10
Seseorang bertepuk tangan saat aku hendak akan mengetuk kamar Nam. Anak itu menaruh rasa iri mendalam setelah tahu aku dekat dengan IO. Aku meremas rambut karena gemas.“Sudah bersuami, masih berduaan dengan IO. Parah kamu Ning. Jangan-jangan kamu memakai pelet ya?” ucap Adel yang sebenarnya malas meladeni.Beberapa anak kos tampak keluar kamar karena mendengar Adel berteriak. “Astaghfirullahaladzim. Kok kamu jahat menyimpulkan seperti itu?”Adel berkaca pinggang tampak kesal. “Gak usah memasang wajah sok polos! Mana ada seorang istri datang ke sini diam-diam bersama lelaki lain?”Pintu kamar Nam terbuka. Hal itu membuat Adel sedikit terdiam. Ia tak sengaja membangunkan macan yang sedang tertidur. “Duh berisik! Banyak cakap kali kau nih, Del! El sama IO kan sepupuan, pasti El gak keberatan kalau IO mengantar Ning ke sini.”Dengan menatap tajam, Adel semakin membenci. “Kau mendukung perselingkuhan di antara mereka?”Nam tertawa kecil. “Kau ini cuma cemburu buta, Del. Lagian selera IO i
Hari itu berbeda dengan hari biasanya. Pak Bobi saat masih bujangan lebih tepatnya memiliki sebuah toko sepeda. Sebagai keturunan Tionghoa, pak Bobi tidak menyangka jika di hari itu akan menjadi kenangan pahit yang tidak tercantum di kalender.Menjelang tengah hari, kerusuhan di mana-mana tiada henti. Ban demi ban dibakar sangat mengerikan. Beberapa warga berkumpul, menjarah toko-toko milik keturunan Tionghoa. Pak Bobi yang mendengar kabar itu segera menutup tokonya. Ia juga pergi ke belakang yang memang rukonya memiliki pintu di belakang.Pintu ruko bagian depan dibuka paksa oleh warga. Pak Bobi ketakutan. Ia kabur dari pintu belakang mencari bantuan. Salah seorang warga menarik lengan Pak Bobi untuk segera masuk ke rumahnya. Di sana ia disembunyikan. Padahal ada anak lelaki dan istrinya yang bisa saja membahayakan mereka. Pintu pun dikunci rapat.“Kau aman di sini. Diamlah jangan gaduh,” bisik lelaki itu.***Dalam keheningan sepanjang jalan. Pak Bobi menceritakan pengalaman pahitny
Di teras rumah, aku melihat Bapak sedang marah besar. Ia mengacungkan golok ke arah tiga pemuda yang berdiri di depan Bapak. Di sanalah aku melihat puncak kemarahan besar seorang ayah ketika putrinya disakiti. Ibu yang melihat itu uring-uringan. Kulihat El tengah memohon di hadapan Bapak yang sedang murka. Anak itu tengah bersimpuh.“Saya sepakat dengan perjodohan yang diminta ayahmu, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya menyakiti anak saya! Pergi kamu! Saya sendiri yang akan urus perceraian kalian. Tidak sudi saya punya mantu sepertimu!” Golok itu masih saja teracung di hadapan El, RK, dan IO.Di tengah bersimpuh, kulihat El tangannya bergetar. Aku tidak menyangka anak itu bisa sehancur ini mentalnya. RK dan IO pun hanya terdiam tak berkutik. Amarah Bapak tidak main-main saat itu. Bahkan wajah Bapak sampai merah.“Pak tenang, Pak. Kita selesaikan dengan kepala dingin,” tegur Ibu yang kala itu berlari kecil mendekati Bapak.Hal itu membuat amarah Bapak mengendur. Sementara aku berja
Ada tarikan napas panjang yang dikeluarkan Abang malam itu. Ia bahkan sesekali menegakkan pandangannya ke langit-langit.“Bagaimana kamu meng-handle semuanya?”El pun terlihat membenarkan posisi duduknya. “Aku membujuk Poppy agar mengikuti rencana yang sudah dirancang. Kala itu pikirku semua akan berjalan lancar. Hanya saja semua berantakkan. Bahkan Papa lebih dulu mengetahuinya.”Abang menyimpan lengannya di dada bersidekap. “Apa yang kauterima sebagai hukuman dari ayahmu?”El menghela napasnya dalam-dalam. “Aku sudah dicoret dari daftar waris. Mungkin sebentar lagi juga semua kartu kreditku dibatasi atau bahkan dibekukan. Aku juga pengidap HIV yang harus rutin minum ARV.Abang yang kala itu mendengarkan hanya menggelengkan kepalanya. “Kau pernah mendengar kisah tentang kisah Nabi Ayub Alaihissalam? Bagaimana Allah mengujinya dengan sebuah penyakit selama bertahun-tahun? Nabi Ayub bahkan tidak pernah sama sekali pun mengeluh.”Anak itu malah mendengkus sebal saat Abang mulai menghubu
Setelah dua minggu mengajukan gugatan cerai atas tindak kekerasan dalam rumah tangga, sejumlah bukti visum sudah kukantongi. Hari ini, sidang pertamaku setelah luka tusuk itu lumayan membaik. Aku duduk di kursi pesakitan di depan dewan hakim yang sedang bersiap memulai sidang perceraian tersebut.El kala itu masih dalam penyidikan karena mau tidak mau dia sudah melakukan percobaan pembunuhan. Di kursi penonton ada IO dan RK sedang duduk memantau persidangan yang kala itu bergeser lima menit dari yang dijadwalkan. Orang tuaku juga hadir memberikan dukungan penuh. Ada juga Nam yang kala itu perutnya mulai terlihat sedikit membesar hadir memantau jalannya sidang.Proses berjalannya sidang cukup kondusif yang mana aku cukup gugup karena pertama kali harus merasakan sidang perceraian. Cukup berat memang karena perceraian bukan hal yang dibenci Allah Swt, tetapi tidak disukai-Nya. Sejak awal memang tidak ada pondasi rasa cinta yang hadir di tengah hubungan kami.Dalam persidangan itu pula,
Aroma sedap masakan merangsangku untuk membuka kedua kelopak mata di sepagi ini. Setengah tubuhku tertutup selimut dengan kondisi El sudah tidak ada di sofa. Aku menggeliat melihat posisi rumah sudah rapi. Sinar matahari bahkan sudah menembus ruangan yang mana aku bahkan terlewat salat subuh. Hingga saat melangkah ke ruangan lain, kulihat IO dan El sedang berada di dapur.Saat itu IO sedang memasak, sedangkan El sedang duduk di meja makan sambil menyantap masakan hasil kreasi dari IO. Aku tidak langsung masuk, khawatir mengganggu obrolan penting mereka.“Kenapa Lu gak nyoba berdamai aja dengan bokap?” tanya IO sambil sibuk mengggoyang-goyangkan wajan anti lengketnya.El menghela napasnya dan sambil menyendok makanannya “Hah malas. Menikmati fasilitasnya sama dengan harus menuruti semua yang dimaunya. Semuanya diatur. Gue ingin berdiri dengan kaki sendiri. Gue ingin menentukan sendiri jalan hidup,” jawab El apa adanya.IO tertawa kecil. “Segala diatur juga karena Lu nya aja gada otak.
Aku tidak menyangka, dalam laporan sekejap saja, polisi sudah bisa menangkap Frans dari persembunyian. Minggu lalu, saat Frans menyiksa Nam, kasus ini masih dalam penyelidikan. Sementara sekarang, saat dewan komisi dalam perusahaan di bawah komando IO, pencarian Frans diperketat. Kasus ini menjadi rumit karena Frans terbukti melakukan penyerangan. Bahkan bisa jadi berencana dengan percobaan pembunuhan.Di salah satu rutan, akhirnya kami datang. Termasuk ayahnya Frans yang terlihat geram melihat anaknya tidak bisa diatur. Dalam ruangan itu kami diberikan waktu yang sangat singkat. Aku hanya duduk di pojokan mendengarkan semuanya. Nam duduk bersama ayahnya Frans yang sejak awal emosinya meletup. Kami hanya berlima di ruangan. Ada meja dan empat kursi di sana. Frans duduk berhadapan dengan ayahnya dan juga Nam. Ia hanya menunduk pasrah dengan tangan diikat ke belakang.“Mau kamu sekarang apa? Lima gadis sudah kamu rusak masa depannya. Kamu harus tanggung jawab menafkahi kelimanya.”“Mere
Kami baru saja mendarat di Surabaya menjelang Ashar. Sebuah mobil perusahaan menjemput kami dengan seorang pengemudi yang sangat ramah. Mobil pun melaju dengan halus memasuki jalan tol menuju Tanjung Perak. Kulihat IO sedang asyik berbincang dengan pengemudi, sepertinya sudah kenal lama.“Jadi sekarang masih nyusun ya Mas?” tanya pengemudi itu membuat IO mengangguk. “Sudah punya calon? Yang jelas lulus kuliah, Mas IO gak perlu lagi cari loker. Tinggal pilih mau kelola yang mana.”IO tertawa kecil. “Ambil S2 dulu kayaknya, Pak. Terlebih belum ada yang mau sama saya. Biarkan waktu saja yang menjawabnya.”“Bukan gak ada yang mau, tapi sama-sama dipendam sendiri,” celetuk Nam yang membuat kami menoleh ke arahnya.Aku menyenggol tubuh Nam memberi isyarat diam. Sementara Nam pura-pura tidak melihat. Pengemudi itu bahkan mengangguk kecil. “Wah, Mas, jangan dipendam sendiri. Segera ambil tindak lanjut sebelum diambil orang.”Nam tertawa kecil. “Udah diambil orang, Pak, tapi disia-siakan. Haru
Sudah satu minggu aku tidak mendapatkan kabar apa pun tentang keadaan maupun keberadaan El. Terlebih IO dan RK masih berusaha mencari kemana anak itu pergi. Sudah selama itu juga ada rasa canggung yang terjadi saat Bu Poppy mengajar di kelas. Ia bahkan sering tidak menganggapku ada. Hanya saja di hari itu, tetiba ia memintaku untuk datang ke ruangannya. Sendirian.Tibalah 10 menit sebelum materi selesai, Bu Poppy meninggalkan kelas dan memintaku untuk mengekor. Sebagai seorang mahasiswa aku hanya menuruti keinginannya, terlebih hanya ke ruangannya. Di ruangan yang disekat-sekat petak itu, diisi oleh 6 orang dosen dan staff. Sementara letak meja Bu Poppy berada di paling pojok ruangan. Ada perasaan was-was yang kurasakan siang itu.Awalnya tidak ada pembicaraan apa pun, terlebih ia hanya menatap dan mencoba menarik napas panjangnya. “Di mana keberadaan El?” ucapnya membuka topik yang membuatku mengerutkan kening beberapa lipatan.“Aku tidak tahu. Dia pergi begitu saja.”Kulihat ia mena
Ada tarikan napas panjang yang dikeluarkan Abang malam itu. Ia bahkan sesekali menegakkan pandangannya ke langit-langit.“Bagaimana kamu meng-handle semuanya?”El pun terlihat membenarkan posisi duduknya. “Aku membujuk Poppy agar mengikuti rencana yang sudah dirancang. Kala itu pikirku semua akan berjalan lancar. Hanya saja semua berantakkan. Bahkan Papa lebih dulu mengetahuinya.”Abang menyimpan lengannya di dada bersidekap. “Apa yang kauterima sebagai hukuman dari ayahmu?”El menghela napasnya dalam-dalam. “Aku sudah dicoret dari daftar waris. Mungkin sebentar lagi juga semua kartu kreditku dibatasi atau bahkan dibekukan. Aku juga pengidap HIV yang harus rutin minum ARV.Abang yang kala itu mendengarkan hanya menggelengkan kepalanya. “Kau pernah mendengar kisah tentang kisah Nabi Ayub Alaihissalam? Bagaimana Allah mengujinya dengan sebuah penyakit selama bertahun-tahun? Nabi Ayub bahkan tidak pernah sama sekali pun mengeluh.”Anak itu malah mendengkus sebal saat Abang mulai menghubu
Di teras rumah, aku melihat Bapak sedang marah besar. Ia mengacungkan golok ke arah tiga pemuda yang berdiri di depan Bapak. Di sanalah aku melihat puncak kemarahan besar seorang ayah ketika putrinya disakiti. Ibu yang melihat itu uring-uringan. Kulihat El tengah memohon di hadapan Bapak yang sedang murka. Anak itu tengah bersimpuh.“Saya sepakat dengan perjodohan yang diminta ayahmu, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya menyakiti anak saya! Pergi kamu! Saya sendiri yang akan urus perceraian kalian. Tidak sudi saya punya mantu sepertimu!” Golok itu masih saja teracung di hadapan El, RK, dan IO.Di tengah bersimpuh, kulihat El tangannya bergetar. Aku tidak menyangka anak itu bisa sehancur ini mentalnya. RK dan IO pun hanya terdiam tak berkutik. Amarah Bapak tidak main-main saat itu. Bahkan wajah Bapak sampai merah.“Pak tenang, Pak. Kita selesaikan dengan kepala dingin,” tegur Ibu yang kala itu berlari kecil mendekati Bapak.Hal itu membuat amarah Bapak mengendur. Sementara aku berja
Hari itu berbeda dengan hari biasanya. Pak Bobi saat masih bujangan lebih tepatnya memiliki sebuah toko sepeda. Sebagai keturunan Tionghoa, pak Bobi tidak menyangka jika di hari itu akan menjadi kenangan pahit yang tidak tercantum di kalender.Menjelang tengah hari, kerusuhan di mana-mana tiada henti. Ban demi ban dibakar sangat mengerikan. Beberapa warga berkumpul, menjarah toko-toko milik keturunan Tionghoa. Pak Bobi yang mendengar kabar itu segera menutup tokonya. Ia juga pergi ke belakang yang memang rukonya memiliki pintu di belakang.Pintu ruko bagian depan dibuka paksa oleh warga. Pak Bobi ketakutan. Ia kabur dari pintu belakang mencari bantuan. Salah seorang warga menarik lengan Pak Bobi untuk segera masuk ke rumahnya. Di sana ia disembunyikan. Padahal ada anak lelaki dan istrinya yang bisa saja membahayakan mereka. Pintu pun dikunci rapat.“Kau aman di sini. Diamlah jangan gaduh,” bisik lelaki itu.***Dalam keheningan sepanjang jalan. Pak Bobi menceritakan pengalaman pahitny
Seseorang bertepuk tangan saat aku hendak akan mengetuk kamar Nam. Anak itu menaruh rasa iri mendalam setelah tahu aku dekat dengan IO. Aku meremas rambut karena gemas.“Sudah bersuami, masih berduaan dengan IO. Parah kamu Ning. Jangan-jangan kamu memakai pelet ya?” ucap Adel yang sebenarnya malas meladeni.Beberapa anak kos tampak keluar kamar karena mendengar Adel berteriak. “Astaghfirullahaladzim. Kok kamu jahat menyimpulkan seperti itu?”Adel berkaca pinggang tampak kesal. “Gak usah memasang wajah sok polos! Mana ada seorang istri datang ke sini diam-diam bersama lelaki lain?”Pintu kamar Nam terbuka. Hal itu membuat Adel sedikit terdiam. Ia tak sengaja membangunkan macan yang sedang tertidur. “Duh berisik! Banyak cakap kali kau nih, Del! El sama IO kan sepupuan, pasti El gak keberatan kalau IO mengantar Ning ke sini.”Dengan menatap tajam, Adel semakin membenci. “Kau mendukung perselingkuhan di antara mereka?”Nam tertawa kecil. “Kau ini cuma cemburu buta, Del. Lagian selera IO i