“Gak usah nangis. Kita masih bisa kontak-kontakan.”Kaina menabok bahunya, sementara Hana buru-buru mengusap air mata dan tertawa pelan. Diperhatikannya Vanya yang menatapnya bosan sebelum menoleh ke aula.“Banyak juga ya yang ikut khataman.” Vanya berkata. “Bahkan Gus Wahid juga.”Di bawah tatapan Kaina dan semua orang, Vanya menatap Wahid dengan sorot mata melamun. Berkali-kali Lidia menyenggol Hana, namun Hana menggeleng sambil terus memperhatikan Vanya.“Dia kenapa sih?” bisik Kaina.“Gak tahu. Sejak latihan minggu lalu, dia juga merhatiin Gus Wahid terus. Memangnya dia suka?” tanya Nadia.“Dilihat dari gelagatnya sih iya.” Entah sejak kapan Anna duduk diantara mereka dan ikut memperhatikan Vanya. “Dia kan juga kayak gitu waktu ngintipin Gus Ivan dulu.”“Mungkin aja dia penasaran.” Hana segera menyergah. “Gak lucu ah bercandaannya. Masa iya orang yang merhatiin dibilang suka?”“Tapi, Han....”Hana tidak menghiraukannya dan menyentuh bahu Vanya. Gadis itu terlonjak, lantas menggaru
“Mau sampai kapan menjomblo terus? Tuh lihat. Temen-temenmu udah pada punya rencana mau nikah. Kamu sendiri doang yang gak normal.”“Berisik!” Wahid menghardik. Wajahnya merah padam menahan malu dan sebal. Bagaimana tidak marah kalau baru lulus Marhalah Tsani—setara dengan S2—saja sudah dicecar tentang pernikahan. Mana ditambahi ejekan ‘tidak normal’ pula!Faris tertawa kencang, sementara Zara ikut mengompori, “Sepupu-sepupu kita udah nikah semua. Kamu aja yang belum.”“Haduh, bisa gak sih Mbak Zara gak bahas-bahas itu?” tanyanya tak suka.“Khusus buat jomblo ngenes gak bisa,” sahut Faris kejam.Tangan Wahid lantas menunjuk Rayya yang asyik bermain bersama Isyqi dan keponakan-keponakannya. “Sebelum ini dia juga jomblo ngenes. Tapi gak dihina-hina kayak aku.”“Jangan ngalihin pembicaraan,” balas Faris sambil tertawa. “Denger-denger Abah mau jodohin kamu. Tapi aku gak tahu sama siapa....”“Hah? Siapa? Siapa?! Gak mungkin gak tahu!” sambar Wahid cepat.“Dengerin dulu sampe orang selesai
“Kalau kamu gak mau menurut juga, silahkan. Kamu pikir saya peduli?”Dea menggertakkan gigi. Sebetulnya dia tidak mau bertengkar lagi, tapi ekspresi pengurus di depannya ini benar-benar minta ditonjok. Sementara pengurus tersebut—Mira—yang menggantikan posisi Dwita menatapnya dengan sorot mata menantang.“Kamu sudah gak ngaji selama satu minggu, lalu bolos entah kemana. Sekarang ketika dihukum, kamu gak mau mengerjakan. Ya sudah. Gak usah dikerjakan.” Dea baru akan menghela napas lega saat Mira melanjutkan. “Tapi kalau hukumanmu bertambah dan akhirnya menumpuk, jangan ngamuk atau nyalahin saya.”Bibir Dea berkomat-kamit menggumamkan sederet omelan tanpa suara.“Buruan kerjain! Saya tunggu disini!”Tahu tidak ada gunanya melawan, Dea akhirnya mulai membersihkan ruangan kantor asrama tersebut. Dokumen-dokumen yang sudah disortir dipisahkannya—yang masih baru disimpannya di lemari, sementara yang lama disusunnya di lemari di ruangan paling dalam kantor. Sesekali terdengar suara bersinnya
“Kebanyakan kerja sih. Jadinya aku dianggurin.”Arkan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan cengar-cengir, sementara Hana menatapnya dengan sorot datar. Sore itu, Arkan berinisiatif untuk mengajaknya jalan-jalan ke luar. Kedua anaknya diurus oleh Rayya dan Isyqi yang tidak sibuk, memberi mereka waktu sejenak untuk bercengkerama.“Iya iya. Maaf ya, Sayang.”Hana mengangguk, namun bibirnya masih maju sekian senti hingga membuat Arkan gemas. Satu tangan Arkan yang bebas terulur dan menyentuh pipinya.“Yang Mulia mau kemana? Hamba siap mengantarkan.” Arkan berkata dengan nada sok serius.Hana tertawa.“Kemana aja boleh.”“Kasih tujuan yang spesifik dong,” protes Arkan.“Ya terserah Mas aja,” balas Hana tak mau kalah.“Nanti Mas bawa ke gamezone, kamu malah ngamuk,” sindir Arkan, mengingatkan sikap Hana beberapa waktu lalu ketika mereka hendak pergi refreshing. “Ngomongnya yang jelas kek. Mau belanja, makan, nonton, atau main. Jadinya kan Mas gak bingung.”“Kalo belanja, bisa lewa
“Iya! Nanti saya masuk kelas!” Dea berteriak. “Kurang kenceng teriakannya! Harusnya Mbak ngomong pake toa biar didenger semua santri sekalian!”Hana yang baru keluar dari mobil menoleh mendengar keributan yang terjadi di depan kantor asrama putri. Lokasi itu kini dikerumuni orang-orang, sementara santri-santri putra yang tengah menunggu Jeffri di beranda masjid menoleh dengan ekspresi ingin tahu.“Tahu malu sedikit!” hardik Mira sambil menarik bagian telinga Dea, membuat gadis itu mengaduh kesakitan. “Ini di depan kantor, bukan di kamarmu!”“Justru itu! Biar dilihat semua orang sekalian!”“Ini bukan tempat buat cari perhatian!” omel Mira lagi dan kembali menarik telinga Dea.Dea menepis tangannya dan membuang muka.“Lihatin apa sih?” tanya Arkan yang baru selesai mengeluarkan barang-barang belanjaan mereka.Telunjuk Hana mengarah ke depan kantor. Ekspresi Arkan yang semula hangat berubah datar memandangi drama tersebut.“Ngapain dia? Caper?” tanya Arkan sinis.“Kayaknya Dea bikin ulah
“Nanti malam rapat pembukaan acara haul kan?”Faris mengangguk. Diam-diam Isyqi melirik Wahid yang masih sibuk dengan berkas di depannya. Sesekali tangannya terangkat membetulkan kacamatanya yang hendak jatuh, lalu kembali membaca.“Berkas-berkas buat keperluan rapat udah ada?” tanya Wahid lagi.“Tadi Mas tanya ke beberapa staf katanya udah.”Wahid kembali membaca, lalu meletakkan berkasnya dan melepas kacamata. Ditatapnya Isyqi yang masih setia memperhatikan mereka dan bertanya, “Ngapain kamu disini?”“Lagi bosan, terus keliling-keliling dan lihat Mas-mas berdua lagi sibuk sendiri.”“Rayya mana?”“Posesif amat,” cibir Faris.“Serba salah banget hidup di dunia ini. Nanyain Rayya dinyinyirin, napas pun dinyinyirin,” balas Wahid sengit.Faris menahan tawa melihat ekspresinya.“Kemana yang lain?” tanya Isyqi lagi. Sesekali diedarkannya pandangan pada kantor yang sepi, kemudian beralih menatap kedua kakak iparnya.“Sibuk di tempatnya masing-masing lah.” Wahid menjawab sewot. “Mendingan ka
“Kamu maunya pernikahanmu nanti diadakan dimana?”Wahid bergerak-gerak gelisah—kebiasaannya setiap kali ada yang bertanya tentang sesuatu yang kurang dia sukai. Namun, dia tidak bisa menghardik atau mengomeli karena yang bertanya kali ini adalah ayahnya sendiri.“Terserah Abah dan Umi sebetulnya.”“Yang mau nikah Abah atau kamu?” tanya Affandi—pria berjubah putih tersebut.Wahid tidak menjawab, sementara Najwa—ibunya yang duduk di bangku depan tertawa kecil mendengar obrolan mereka.“Terserah Abah. Nanti kalau saya yang minta dan Abah atau Umi kurang setuju, saya yang gak enak.”“Kalau kita sewa gedung gimana? Atau mau di aula muktamar?” tanya Faris.“Terserah Mas Faris.”“Yang mau nikah Mas atau kamu?” Faris kembali mengulang pertanyaan Affandi sebelumnya.“Sebagai orang yang sudah menikah, saya ikut saran para tetua aja.” Wahid menyahut sopan.“Halah,” ejek Faris sambil tertawa geli.“Gak lucu!”Najwa menyentuh lengan suaminya sambil menggeleng pelan, membuat Affandi tidak bertanya-
“Saya mau pamit, Abah, Umi. Saya pengen lanjut kerja.”Aqila menatapnya dengan sorot menilai, sementara Mazaya menunduk sambil memainkan ujung kerudungnya.“Kerja dimana, Nduk?”“Di Jakarta, Umi.”“Kenapa gak disini aja?”“Keluarga saya gak bisa lagi membiayai saya disini, Abah. Saya gak bisa terus tinggal disini sementara mereka lagi kesulitan keuangan. Lagipula, saya sudah khataman. Saya bisa pergi selama Umi dan Abah mengizinkan.”Aqila dan Fatih bertatapan, namun dengan sorot berbeda. Meski terlihat dingin, namun ada campur-aduk dalam sorot matanya antara cemas dan puas, sementara Aqila terlihat cemas.“Kamu bisa ikut membantu di Ndalem, Nduk. Iya kan, Abah?”Fatih mengangguk datar.Mazaya tersenyum. “Terimakasih buat sarannya, Umi. Tapi lebih baik saya keluar. Saya pengen hidup mandiri.”Aqila mengembuskan napas, kemudian mengangguk. Diperhatikannya ekspresi Mazaya yang terlihat puas dan mengulurkan tangan saat gadis itu mendekatinya, lantas memperhatikan punggungnya yang menjauh
“Kakak lihat gak sih kalau mereka merhatiin kita terus?”Fauzan mengangguk, matanya tidak lepas dari laptop.“Buat apa sih dia masukin anaknya ke ponpes Al Mulk juga? Memangnya dia gak punya tujuan lain gitu? Atau dia ngelakuin ini karena pengen gangguin kita lagi? Bisa jadi begitu kan? Orangtuanya udah gak ada lagi, semua fasilitasnya udah balik, dan Rafika bahkan juga udah gak ada. Dia gak punya alasan buat gak ngelakuin apapun rencana buruknya,” ucap Alina geram. Dia terus saja mondar-mandir keliling kamar, membuat Fauzan pun tidak nyaman. Tapi dia tahu Alina begitu karena gelisah memikirkan keadaan putra mereka nanti.“Nanti kalau Raza diapa-apain anaknya gimana? Dari tadi siang aja kelihatan jelas kalau mereka terus merhatiin kita. Terus laki-laki itu berani banget deketin Raina. Memangnya dia gak takut dikeroyok orang-orang karena gangguin gadis muda gitu?” tanya Alina lagi. Dia kemudian merebahkan diri di sebelah Fauzan dan memainkan rambut merahnya yang mulai memutih.“Udah ng
Baru mereka sadari kalau Gabrielle memang tidak berhenti memperhatikan keluarganya. Bahkan ketika Raina mencoba mengingat-ingat lagi interaksinya dan Raza dengan Fathan dan Asyraf tadi, dia baru tahu kalau ada yang memperhatikannya.“Mukanya serem banget, Kak. Kayak mau makan kita,” ucap Raina.“Kayak gimana orang yang merhatiin kalian itu?” tanya Najwa penasaran.“Mukanya garang, matanya tajam, terus ekspresinya kayak orang marah terus....”Najwa menggeleng. “Bukan itu maksud Mbak Najwa. Maksudnya, penampilannya kayak apa?”“Rambutnya dicat pirang, terus pakaiannya acak-acakan. Matanya merah kayak orang gak tidur. Terus,” Raina merendahkan suara dan mendekatkan kepala. “Ada bau menyengat dari arah mereka. Kayak bau rokok sama kayak aroma manis, tapi menusuk hidung gitu.”Najwa, Farah—kakak kedua Najwa, Azka, Ahmad, Aiman, dan Raza bertatapan.“Bensin kali. Atau bubble gum,” sahut Aiman.Raina menggeleng. “Enggak. Baunya lebih menyengat. Dan bau itu baru pertama kalinya aku cium.”Sem
“Jangan sampai saya dengar kamu bikin masalah setelah sampai disana nanti. Saya gak mau denger pengaduan dari guru maupun pengasuhmu!”“Kalaupun Johan bikin ulah, memangnya Ayah peduli? Bukannya Ayah yang buang Johan ke sana supaya gak ngerecokin ayah lagi?” tantang Johan balik.Gabrielle mendelik. Dia sangat tidak suka mendengar nada menantang dari suara putranya, namun dia tidak bisa bertindak apa-apa disini. Dia tidak mau jadi tersangka kalau sampai menabrakkan mobil yang dikendarainya dan membuat Johan meninggal.Akhirnya mereka berdiam diri. Johan dengan pikirannya sendiri, sementara Gabrielle dengan angannya yang memikirkan Alina. Sekian lama sejak pertemuan terakhir mereka yang tidak mengenakkan, akhirnya dia melihat wanita itu lagi. Wanita yang dia cintai sejak kelas sebelas SMA, namun malah menikah dengan orang lain dan tega membuatnya gila. Atau setidaknya itu yang diyakini Gabrielle selama ini.“Apa istimewanya perempuan itu sampai ayah gak bisa move on?” tanya Johan mendad
“Johan gak mau, Ayah!”“Saya gak peduli! Saya sudah muak lihat muka kamu!” Pria berambut dicat pirang itu balas melotot. Dia kemudian menoleh pada panitia pendaftaran santri baru dan bertanya, “Dia bisa daftar disini kan?”Fikri—pengurus berkoko putih yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran mereka mengangguk patah-patah, ketakutan melihat ekspresi wali murid di depannya yang menyeramkan. Diberikannya formulir dan pulpen, kemudian melirik si calon santri baru yang mendelik penuh kebencian pada ayahnya.“Pak,” Mata Fikri menyipit membaca nama yang tertera di formulir. “Gabrielle.” Untuk sesaat dia tertegun, kemudian melanjutkan, “Njenengan asli Solo kah?”Gabrielle tidak mengacuhkannya dan terus menulis. Fikri memutuskan untuk tidak mencari masalah dan berpaling pada Johan. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata, mendadak sepasang orangtua dan dua anaknya memasuki ruangan.“Assalamualaikum.”“Wa’alaikumsalam.”Karena ruangan sedang penuh, keluarga itu duduk di bangku tunggu sambil mem
“Duduk dulu, Mas.”Arkan tidak mengacuhkan panggilan Keira dan terus mondar-mandir. Sesekali dia berhenti dan menempelkan telinga ke kaca UGD, namun tidak ada yang bisa didengarnya.“Kaca UGD itu tebel. Suara dan kegiatan apapun yang terjaid di dalam gak bakalan bisa diketahui orang luar,” komentar Ivan.Arkan berhenti dan kembali mondar-mandir. Kali ini dia melepas peci dan menyugar rambutnya yang keriting kecoklatan.“Padahal sebelum berangkat Hana baik-baik aja. Kenapa tiba-tiba kondisinya menurun lagi?” tanya Salwa penasaran.Alissa dan Azzam tidak bisa menjawab. Mereka pun baru tahu tadi kalau pneumonia Hana kembali parah. Wanita itu bahkan muntah darah setelah sebelumnya makan siang bersama keluarga mereka.“Njenengan jangan nyalahin diri sendiri, Bu.” Salwa berkata saat melihat Alissa yang tidak berhenti menunduk dan mengusap matanya. “Ini sama sekali bukan kesalahan Njenengan.”“Tapi saya lalai menjaga dia, Bu. Ibu macam apa saya yang ngebiarin anaknya yang lagi sakit untuk pe
“Mbak Aira tahu kamu mau bahas apa.” Baru saja duduk, Hana sudah disuguhi ekspresi Aira yang tidak enak dilihat. “Kenapa kamu gak terus terang aja sekalian?”“Memangnya beliau mau denger?” tanya Alina balik. Dipanggilnya penjaga kantin dan minta dibawakan dua botol teh dingin. “Sampe mulutku berbusa pun Mama gak bakalan mau ngerti. Yang ada beliau malah playing victim, nyari pembenaran, lalu ngatain aku ngegas dan gak sopan.”Hana yang tidak tahu hendak melakukan apa hanya memainkan kotak tisu yang diletakkan di meja kantin.“Bukannya Mbak Aira gak mau dengerin, Nduk. Tapi gimana ya....” Aira bergerak-gerak salah tingkah, lalu melirik Hana sekilas sebelum kembali menunduk menekuni mangkuk sotonya. “Mau ngatain mamamu, nanti Mbak Aira dibilang guru yang ngajarin hal buruk. Gak bertindak, misalnya menjauhkan kamu dari beliau, kamunya makin tersiksa.”Alina mengangguk.“Mbak masih inget kejadian waktu mamamu gak percaya kamu....”“Godain laki-laki lain di luar, padahal Umi udah nyiapin p
“Gimana kabar keluarganya Mbak Alina?”“Ya begitu-begitu aja. Kamu berharapnya gimana?” balas Alina enteng. Sejak tadi, tangannya tidak berhenti memainkan tutup toples permen, membuat Hana gemas dan ingin melakban tangannya sekalian.“Mbak Alina bisa untuk gak peduli sama mereka lagi?”Alina mendongak, kebingungan tersorot dari iris matanya yang berwarna hijau.“Maksudku, Mbak Alina bisa gak peduliin ucapan buruknya Mama lagi? Mau beliau nyumpahin Mbak Alin kek, mau ngata-ngatain Mbak Alin kek, gak usah dipeduliin. Anggap aja angin lalu....”“Memangnya kamu dulu bisa kayak begitu?” tanya Alina balik. “Empat tahun lalu kamu bisa diam waktu Tante Naira ngatain kamu? Aku udah diam hampir seumur hidupku, Han! Gak bisa disamain dengan kamu yang langsung ngamuk dan lempar-lemparin piring ke dinding!”Hana tertegun. Ini pertama kalinya dia melihat Alina hilang kendali, dan perasaan bersalah mulai menelusup masuk ke hatinya.“Berapa kali Mamaku bilang gak mau peduli lagi sama aku dan Mas Fauz
“Umi baik-baik aja?”Alissa mengangguk. Pandangannya tidak lepas dari Hana yang sibuk mengerjakan ini-itu. Ditepuknya space kosong di sebelahnya dan berkata, “Duduk sini, Nduk.”“Sebentar, Umi. Hana beresin obatnya dulu biar nanti gak ribet nyarinya.”“Biar aku aja, Mbak,” tawar Rayya.“Gak usah. Kamu duduk aja.”Rayya merengut, namun dia tidak melawan dan terus memijit kaki ibu mertuanya.“Sini dulu, Han.”Barulah Hana menghentikan pekerjaannya. Diletakkannya lap di pinggir meja dan duduk di sebelah Alissa.“Umi jangan sakit-sakit terus. Nanti kalau Umi sakit, gak ada yang bisa diajak ngobrol dan diskusi lagi,” ucap Hana sambil memperbaiki selimut.“Rayya sama kakak-kakakmu kan ada.”“Hana pengennya sama Umi.”“Arkan juga ada. Kenapa kamu nyarinya Umi terus?” tanya Alissa lagi.“Hana cuma bisa ketemu dia pas malam aja. Siangnya sibuk kerja terus.”“Mas Arkan kan kerja buat Mbak Hana sama anak-anak juga,” sahut Rayya.“Ya udah. Gak usah kerja aja kalau gitu. Di rumah aja,” balas Hana
“Mas mau pulang sebentar nengok anak-anak. Kamu mau disini?”Hana mengangguk.“Yakin? Kamu nanti sendirian lho. Mas-mas sama Mbak-mbak yang lain kan pada sibuk,” lanjut Arkan.“Nanti kalau Umi kebangun terus nyari aku, kasihan Mas. Abah juga belum balik dari mushola soalnya.”Arkan akhirnya mengangguk. Dipeluknya Hana erat-erat dan menciumi seluruh wajahnya, kemudian menatap ibu mertuanya yang tertidur pulas.“Kalau capek, langsung istirahat ya. Jangan maksain diri.”Hana mengangguk. Diantarnya Arkan ke luar, kemudian duduk di pinggir ranjang dan menatap wajah Alissa lekat-lekat. Tangannya lantas terulur dan meraih tangan Alissa dan menempelkannya di pipi.“Cepet sembuh, Umi. Jangan tinggalin Hana dulu,” bisik Hana pelan.Masih teringat jelas olehnya kejadian tiga jam lalu dimana Alissa ditemukan di kamar dalam keadaan pingsan. Seisi rumah seketika panik, dan Azzam yang baru pulang langsung membawanya ke mobil dan meminta Arkan untuk secepatnya ke rumah sakit.“Hana mohon, Ya Allah. J