“Aku tunggu di kafe sebelah!” Ace meraih tangan Pamela dan menciumnya dengan lembut di depan gedung kantornya.Pamela menyunggingkan senyum geli. Aneh rasanya Ace bisa memujanya secepat kilat hanya karena alasan tanggung jawab seolah Natasha tidak ada lagi dalam hidupnya.Pamela menarik tangannya dengan cepat dan menyembunyikan ke belakang punggung. Bibirnya menguncup. “Ini ruang umum, Ace. Nggak usah gitulah, malu!”Ace menutup kaca helmnya seraya menggeber motor gedenya. Mengabaikan peringatan Pamela yang tidak penting baginya. Dan hanya beberapa meter dari Pamela yang bergeming menatapnya, Ace memarkirkan motornya. Ia melepas helmnya seraya menyunggingkan senyum, membalas tatapan Pamela. ‘Udah dimarahi papa, masih aja berlagak keren tuh duda!’ Pamela menghela napas.Ace mengibaskan tangannya, menyuruh Pamela pergi dan bersama-sama mereka masuk ke dalam gedung yang berbeda dengan perasaan yang berbeda pula. Ace merasa melepas Berlian di sekolah baru adalah cara agar tidak terjadi
Taksi konvensional yang di tumpangi Pamela berhenti di depan perusahaan yang namanya terpatri begitu mentereng di wajah gedung. Kandjaya Company. Pamela mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari taksi. Cukup lama ia berdiam diri karena terbit rasa ragu dalam hatinya. Ace dan seluruh misterinya membuat teka-teki yang ia bawa ke mana pun ia melangkah dan ia tidak mengantisipasi datangnya reaksi yang cukup mengganggunya sekarang.‘Mungkinkah Ace betul-betul menginginkanku karena dia menyukaiku atau semata-mata karena ia hanya butuh pelampiasan hasrat yang sudah lama tidak terlepaskan?’Pamela melepas napasnya dan melangkahkan kakinya dengan lemah menuju ke dalam gedung. Dan, setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, Pamela membayangkan Ace menyambutnya dengan hasrat yang menggebu, menanti bibirnya menyatu dengan bibirnya dan memujanya dengan perhatian yang luwes? Pamela menghentikan langkahnya, manakala dari kejauhan dua orang pria berusia setengah abad dan teramat ramah menyebutka
Satu bulan kemudian.Di antara matahari pagi yang benderang, Pamela memakai kaca mata hitamnya setelah kakinya menapak pulau Bali untuk memenuhi panggilan pertama dari pengadilan. Setumpuk kegelisahan membebani pundaknya. Hari ini, kembali ia harus menghadapi permasalahan yang ia anggap tidak lagi menyita perhatiannya setelah sebulan bersama Ace. Bersamanya semua lebih berharga dan menarik, ada kehangatan yang tak ia rasakan dari Damian. Seluruh perhatian Ace terasa asli tanpa kepura-puraan. Karenanya, serta-merta ada yang berubah. Ada perasaan sayang yang menyelusup di antara hasrat dan pertemuan di antara ruang sepi tanpa ganggu. Pamela menoleh. Ace menyusulnya menuruni anak tangga pesawat sambil mengancingkan jasnya. Ekspresinya terlihat tak acuh. Sementara, di belakangnya mengekor Armando dan Si Pengacara.Ace mengangguk singkat, menyapa Pamela tanpa sebait kata sebelum melangkah dengan kewibawaan yang kentara ke arah mobil buggy yang menanti kedatangannya. Pamela mencebikkan
Damian keluar dari mobil tahanan. Tiada baju tahanan dan borgol yang membelenggu tubuhnya yang menyusut kusut. Jerawat muncul di beberapa bagian wajahnya yang dulu ia rawat dengan bantuan-bantuan skin care ternama untuk menunjang penampilannya agar resik dan percaya diri. Senyumnya hilang, kini hanya wajah murung yang terlihat sebagai satu-satunya ekspresi yang tidak luntur dalam waktu singkat. Sebulan mendekam di penjara tak pelak membuat seluruh kharismatik seorang Damian Airlangga pudar. Jiwanya entah pergi ke mana, mendekam dalam kehampaan atau berpasrah pada kenyataan bahwa Pamela, gadis yang dicintainya setengah mati untuk dijadikan pengantin terbaiknya tidak mengindahkan harapannya untuk memaafkan dan melupakan kejadian yang dialaminya.“Boleh menemui Pamela sebentar, Pak?” Izin Damian kepada dua penyidik di belakangnya.“Sebentar saja!” Damian mengusap mata kirinya seraya melambatkan langkah, berlama-lama dia ingin menyaksikan gadis yang dirindukannya di dalam penjara alih-a
Pamela meninggalkan ruang sidang setelah dua jam mengerahkan segala daya upaya untuk menjebloskannya Damian ke penjara. Keseluruhan energinya renggut dari jiwa. Binar matanya buyar, saking lelahnya, ia perlu menyadarkan punggungnya di tembok dan memasrahkan diri saat tungkainya sudah tidak mampu lagi menopang diri.Damian menyusul kemudian. Lelah, mereka berhadap-hadapan, dan bukan perkara mudah bagi keduanya berbicara setelah fakta perselingkuhannya dengan Sassy di bongkar habis-habisan oleh Damian.Pamela memalingkan wajah. “Pergi!” Damian dapat melihat luka di matanya, ketidaksukaannya dan banyaknya alasan yang sudah bisa tertebak. “Urusanmu mungkin selesai di hari ini, Mela. Tapi aku belum. Miranti dan perusahaan menungguku di Jakarta!” tutur Damian, sendu.Pamela memberanikan diri menentang tatapannya. Racun dunia memang itu orang, akal sehatnya tidak kunjung menyentil kepekaannya untuk peduli terhadap perasaannya sekarang. “Aku harap Sassy nemenin kamu seperti waktu kalian b
Ace mendorong pintu kamar hotel seraya kembali memapah Pamela menuju ranjang kamar suite yang dipilihnya untuk memulihkan kesadaran Pamela. Ace merebahkan tubuhnya dengan hati-hati seraya berkacak pinggang. Ada gejolak untuk menguyel-uyel pipinya selagi Pamela menyaksikannya sambil tersenyum-senyum kenes. Pamela meringkuk seperti anak kucing yang nyaman di ranjang pemiliknya.“Ace... sini...” Pamela melambaikan jemarinya pelan-pelan. “Sini... Mela kasih tau sesuatu.” serunya manja.Ace menggelengkan kepalanya seraya menggumamkan nama Tuhan. Tingkah Pamela membuat kepalanya nyut-nyutan. Mabuk di sore hari, tersenyum-senyum sendiri lalu meracau tidak jelas dan merayunya supaya tidak seperti Damian. Pamela tidak suka Damian yang pembohong, dan ia tidak boleh menjadi pembohong, tidak boleh selingkuh, tidak boleh memiliki sekertaris nakal. Tapi yang lebih sakti dari berbagai permintaan itu. Ace hanya boleh memiliki hasrat padanya atau sumpah serapah yang di tujukan untuk Damian ikut men
Selapis kecemasan tampak menyelimuti wajah Pamela setelah kesadarannya menyeruak dari mimpi panjang yang menenangkan sebelum fajar menyingsing keesokan paginya. Namun, yang pertama-tama ia lakukan hanyalah termenung. Wajah Ace yang dianugerahi kesempurnaan menguasai pandangan matanya. Persinggahan terakhir itu memeluknya dengan erat. Leluasa dan terpejam dengan nyaman di sisinya seakan-akan prasasti yang bernama Natasha sudah raib dan tak mengganggu kemesraan.Pamela mengerjapkan mata. Kesempatan kemarin bersama Ace tidak terasa mengagumkan sebelum cerih-cerih kejadian semalaman mengalir deras di ingatannya.Pamela melempar sorot terima kasih. Ace memberi tempat melampiaskan kegundahannya karena kecemburuannya pada Sassy tanpa memberi nasihat seperti kebiasaannya saat melakukan kesalahan.“Selamat pagi, Ace.” Senyumnya yang ranum mengawali ritual paginya yang setara dengan menyirami tanaman kesayangan Joice.Pamela mengusap hidungnya yang bangir dengan ujung hidungnya sambil merasak
Ace mencondongkan badannya seraya mengecup sekilas dada Pamela Kandhita Kilmer. Ia terus tersenyum saat matanya menangkap gadis itu memejamkan mata. Mencoba untuk memahami raut gamang Pamela, Ace mengakhiri pengamatannya dengan mengecup rahangnya.“Ada bagian-bagian dari dirimu yang ingin aku biarkan tetap misterius! Seperti isi hatimu.”Ace kembali merebahkan diri. Dia belum siap memulai hari dengan kesibukan di luar kamar, dia belum siap membagi Pamela dengan dunia luar. Dia ingin... berlama-lama di sana untuk merenungkan masa depannya. “Aku tahu kita bersama karena satu dua sebab yang mengharuskan adanya jalan tengah, Mel.” Ace menggunakan kedua tangannya untuk bantalan kepala.“Jika aku tidak pernah mengucapkan cinta, bukan berarti aku tidak mencintaimu. Aku menempatkan segala tentangmu di ruang baru di hidupku. Aku membutuhkan pengertian.” Saat Pamela tidak mengatakan apa-apa, Ace merelakannya bergelut dengan isi kepalanya tanpa mendesaknya untuk mematuhinya ucapannya.Tapi mel
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace
Tepat pukul delapan malam. Damian mendatangi rumah Ace dalam keadaan rapi jali dan wangi serta membawa segenggam mawar putih untuk Asih.Ace yang menantinya di teras rumah mewahnya karena harus meninggalkan rumah hantu demi kenyamanan semuanya tersenyum geli saat menyambutnya."Kamu memilih Asih dan tidak bisa meluluhkan hati Arinda, Damian?" Damian menatap sekeliling, hanya ada Ace dan Burhan di teras meski suara tangis bayi mengiringi kedatangan. "Kamu tidak membantu Pamela mengurus anak kembar kalian?" tanyanya dengan ekspresi heran.Ace ingin tertawa, tapi rasa peduli Damian itu kadang membuatnya resah. Masihkah ada perasaan tertentu untuk Pamela? Ace menyunggingkan senyum setelah menepis anggapannya sendiri dengan cepat karena tidak mungkin Damian masih menyayangi Pamela setelah Ayahnya menghukumnya dengan kasar."Dia bersama dua pengasuh si kembar, kamu tidak perlu cemas Pamela kerepotan." "Bukan masalah kerepotan atau cemas. Kamu tidak ingin berada di dekat mereka untuk mel
Damian mengamati perubahan yang terjadi pada Arinda setelah mengungkapkan identitasnya sebagai Secret Man setiap hari, sepanjang sisa waktunya mencari pacar untuk menenangkan hati Ace dan Pamela. Tetapi setiap kali tatapannya tertuju padanya tanpa sekat, wanita itu tetap saja bersikap cuek, tidak terpengaruh. Arinda tetap memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dia masuki tanpa izin.Damian menyugar rambutnya dengan kasar. Dua bulan waktu yang diberikan tidak cukup membuatnya bebas bergaul dengan wanita. Pikirannya hanya ada Asih dan Arinda, dua wanita itu sudah membuatnya pusing dan sibuk, apalagi tiga, empat dan lima wanita lain?Damian mengeram, akhir-akhir ini dia terlihat sering marah dan cemas. ”Nanti malam aku benar-benar harus datang dan menerima Asih sebagai pacarku terus nikah dan... Sial... Asih baik, tapi dia cuma menjadikanku alat. Terus rumah tangga apaan yang aku jalani sama dia?” Damian mengepalkan tangan seraya menepuk-nepuk keningnya berulang kali. ”Apa harus nye
Keesokan harinya. Damian mendorong pintu kantor dan menemukan Arinda sudah duduk di meja kerjanya meski baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Damian menyunggingkan senyum manakala jas kerjanya yang dia pinjamkan saat gaun pesta Arinda ketumpahan sesuatu di pesta semalam sudah rapi jali di mejanya. Terbungkus plastik seolah habis di bawa ke penatu. Penatu dua puluh empat jam? Damian menanggapi ketegasan Arinda mengembalikan senyum “Buru-buru banget datang ke kantor? Banyak kerjaan?” tanya Damian. “Acara semalam lancar? Apa ada yang mengkritik kinerjamu dan membuatmu kepikiran?”Arinda melenguh sembari bersandar. “Kenapa kamu cerewet banget, Damian. Sepagi ini? Sarapan apa kamu? Asih?” ‘Kenapa bawa-bawa Asih?’ Damian meringis sembari menghidupkan komputernya. “Sambel tongkol buatan Mama, ada petainya.” Dengan iseng Damian menyemburkan bau mulutnya ke udara. “Apat kamu mencium aroma petainya?” Arinda mengapit batang hidungnya dengan muka sebal. Sebal sekali melihat Damian sep