Bian membuka kedua matanya. Ia berucap dengan tenang. Sudah memprediksikan sebelumnya jika Dea akan histeris karena ulahnya.
"Masih pagi Dea. Kenapa berteriak seperti itu?"Bian memandangi Dea tanpa rasa bersalah sama sekali. Meski sebenarnya hatinya merasa takut jika Dea bertambah marah dan benci kepadanya."Kenapa Dea bisa tidur di sini?"Dea melihat tubuhnya dibalik selimut. Takut jika Bian memanfaatkan keadaan."Pasti Kakak sengaja, ya?"Meski pakaian yang dikenakan gadis itu masih sama seperti tadi malam, Dea tetap tidak terima. Ia menganggap Bian sengaja ingin tidur berdua dengannya.Bian hanya geleng-geleng kepala. Ia bangun dari tidurnya dengan tubuh bagian atas yang tidak mengenakan apa-apa.Dea berusaha tetap tenang. Sudah lama ia tidak melihat Bian seperti itu. Dulu kakak angkatnya tersebut sangat kurus dan tidak berotot. Tetapi kini sungguh berbeda jauh."Kenapa kamu mengunci pintu kamarmu? Kamu ketiduran di mobil. Dan kakak bangunkan berkali-kali tetap tidak mau membuka mata."Dea mencoba mengingat semuanya. Ia merasa malu karena berpikir yang tidak-tidak tentang kakaknya. Gadis itu mencoba mencari kunci pintu kamarnya. Meraba saku pada celananya."Kuncinya hilang," ungkapnya sedih.Bian menghembuskan nafas berat. Kunci cadangan pun sudah tidak tahu entah kemana."Ya sudah. Untuk sementara kamu tidur di kamar ini saja. Masih banyak baju kok di almari itu."Bian melenggang pergi untuk mandi. Ia akan berangkat ke kantor pagi ini.Dea mengelus dadanya perlahan. "Perutnya kotak-kotak!" lirihnya geregetan.Mengingat kemarin belum mandi, Dea terpaksa mandi lagi di kamar mandi dekat dapur. Ia mandi secepat kilat lalu menyiapkan sarapan roti bakar.Bian keluar dari kamar sudah lengkap dan rapi dengan pakaian kerjanya. Ia melihat Dea makan roti seorang diri."Kamu tidak kerja hari ini?" tanya Bian kepada Dea."Dea sudah dipecat. Menyedihkan sekali nasibku.""Mau kerja di tempat kakak?"Kebetulan sekali perusahaan Jaya Cemerlang sedang membutuhkan dua karyawan baru sebagai sekretaris dan karyawan bagian marketing."Kamu bisa jadi sekretaris Kakak di kantor.""Dea mau jadi karyawan biasa aja."Dea berdiri dari duduknya. Ia menuju kamar untuk berganti pakaian.Bian duduk dan setia menanti Dea dengan penuh kesabaran. Meski sebenarnya ia menginginkan gadis itu menjadi sekretarisnya di kantor."Dea, Dea. Apa kamu sebegitu bencinya sama aku? Harusnya kamu tidak bersikap seperti ini."Tidak butuh waktu lama Dea sudah mengenakan pakaian baru. Ia tidak menyangka jika Bian tahu dan paham baju apa yang cocok untuk dirinya.Dea bersikap santai. Ia berjalan mendahului kakaknya agar Bian tidak lagi berusaha menggandeng tangannya seperti kemarin.Lagi-lagi Dea hanya diam saat keduanya ada di mobil yang dalam perjalanan menuju kantor. Sebelum mereka turun, Dea mengatakan sesuatu kepada Bian."Jangan sampai ada yang tahu kalau kita sudah menikah. Kalau tidak, Dea akan pergi dari rumah."Sebuah ancaman dari Dea yang membuat Bian hanya bisa pasrah dan menerima."Kamu tidak perlu khawatir."Kali ini mereka berjalan beriringan. Bian merasakan perutnya lapar karena belum sarapan."Mau ikut kakak sarapan?" ajaknya."Dea sudah kenyang. Di mana ruangan Dea?""Kamu bisa bertanya kepadanya," ucap Bian sambil menunjuk ke arah seseorang yang hendak memasuki ruangan HRD."Baik. Terima kasih."Dea langsung mengabaikan suami sekaligus atasannya tersebut. Ia bersemangat untuk mengetahui lebih dalam tentang pekerjaan barunya nanti.Bian masih menatap Dea hingga gadis itu tak terlihat lagi. Ia berjanji akan membuat Dea bisa menerimanya sebagai seorang suami. Bahkan ia tak akan menyerah hingga gadis itu juga mencintainya.Dengan perlahan Bian berjalan menuju kantin perusahaan. Di sana sudah ramai dengan para karyawan yang juga tengah menikmati sarapan mereka masing-masing.Ponsel Bian berbunyi. Ada sebuah pesan dari Reza—papa kandung Dea yang kini juga menjadi papanya."Nanti siang kita harus bertemu. Ada yang ingin papa bicarakan tentang kesepakatan kita kemarin."Bian menghela nafas panjang. Ia pikir lelaki paruh baya itu tidak serius dengan ucapannya. Nyatanya ia salah."Kenapa perasaanku jadi tidak enak begini?" batinnya risau.***Siang pun telah tiba. Dea meletakkan bolpoin di tangannya. Melihat ke arah samping di mana ada Naomi—rekan kerja Dea yang tadi sudah berkenalan dengannya."Makan siang yuk, Nom?" ajak Dea kepada teman barunya."Eh, maaf ya Dea. Aku sudah ada janji sama pacarku."Sesaat kemudian Bagas datang. Ia juga bekerja satu ruangan dengan mereka. Lelaki itu merupakan pacar Naomi."Atau kamu mau ikut juga?""Nggak kok, Nom. Nggak papa kalian duluan aja."Dea masih duduk di kursinya. "Kak Bian bakalan ngajakin Dea makan bareng nggak ya?" Dea terdiam sesaat. "Kok aku jadi mikirin dia?"Sedetik kemudian David datang. Ia juga teman baru Dea di bagian pemasaran."Makan sama aku aja yuk, Dea?"Dea terkesiap. Ia bingung sendiri. Ingin menolak, tetapi merasa tidak enak."Makan di kantin aja, ya?" jawab Dea kemudian.David mengangguk cepat. Ia sangat senang karena Dea menerima ajakannya. Diam-diam lelaki itu menaruh hati kepada Dea sejak pandangan pertama.Dea dan David keluar dari ruangan kerja mereka. Ketika itu Dea melihat Bian hendak keluar dari kantor sendirian."Kak Bian mau ke mana?" batinnya penasaran. "Ah, biarin aja. Bukan urusan Dea.""Ayo Dea! Kok malah bengong, sih!"David bertanya sambil tangannya menggandeng Dea.Seketika tatapan mata Bian menatap tajam ke arah istrinya."Lepaskan ya, Dav!" ucap Dea sambil menarik tangannya dengan cepat.Sebenarnya ingin sekali Bian menghampiri Dea, tetapi ia sudah terlanjur berjanji dengan Reza."Kak Bian kok nggak ngajakin Dea sih? Dia mau ke mana?"Meski mencoba cuek, Dea tetap ingin tahu apa yang hendak dilakukan suaminya. Tentu ia tidak terima jika diam-diam Bian melakukan pertemuan dengan seorang wanita."Jangan-jangan Kak Bian ketemuan sama ceweknya."Tanpa terasa Dea sudah tiba di kantin. Gadis itu baru sadar jika sejak tadi David mengajaknya berbicara."Aku nggak tahu makanan apa yang kamu sukai. Aku pesankan ini. Habisnya kamu dari tadi ditanyain nggak nyahut sama sekali.""Eh, maaf ya Dav. Semua makanan aku suka kok. Terima kasih ya?"Dea berucap sambil garuk-garuk kepala. Gadis itu jadi teringat makan malamnya kemarin dengan Bian. Hanya lelaki itu yang paham akan semua makanan favoritnya. Bahkan Reno pun selalu lupa.Dea menikmati makan siangnya tanpa rasa semangat sama sekali. Berkali-kali ia mengabaikan David yang berusaha untuk lebih akrab dengannya.Dea telah menyelesaikan makan siangnya. Ia hendak melakukan pembayaran."Dea, nggak perlu. Aku sudah bayar semuanya.""Harusnya kamu tidak perlu berbuat seperti itu, Dav. Nanti kalau keterusan bagaimana? Aku minta traktir terus sama kamu," goda Dea kemudian."Em, Dea. Aku rela kok bayarin kamu setiap hari. Asalkan—"David hendak melanjutkan kalimatnya. Namun tiba-tiba datang seseorang yang membuatnya terdiam seketika."Dea, kakak mau bicara sama kamu!" Tanpa menunggu jawaban dari Dea, Bian segera menarik tangan gadis itu untuk meninggalkan David yang masih terbengong di tempatnya."Kakak?" David tidak begitu paham mengapa mereka terlihat sangat dekat.Setelah keluar dari area kantin, Bian masih menggenggam tangan Dea begitu kuat. Ia membawa gadis itu masuk ke dalam lift yang kebetulan sepi."Ih, lepaskan! Apa-apaan sih, Kak Bian! Sakit!" rintih Dea. Ia merasa kesal dengan sikap kakaknya."Kenapa kamu dekat-dekat sama cowok lain?" ujar Bian tegas. Kali ini ia benar-benar merasa cemburu."Bukan urusan Kakak!" Dea sedikit membentak. Ia tidak suka diatur-atur oleh siapapun.Bian terdiam. Ia mencoba menahan emosinya agar tidak meledak hingga menyakiti wanita yang dicintainya.Bian mendorong tubuh istrinya hingga gadis itu tidak dapat bergerak. Ia mengunci tubuh Dea dan menautkan jemarinya pada jari-jari gadis bertubuh mungil itu."Aku ini suami kamu, Dea!" lirih Bian seraya mendekatkan wajahnya. Ia pand
Dea menggeser posisinya ke kanan sedangkan lelaki berpenampilan urakan itu ikut duduk tepat di sisi kirinya."Sa–saya mau pulang Bang," jawab Dea terbata.Gadis itu terus membatin di dalam hatinya. Berharap ada seseorang berhati baik yang mau menolong."Bagaimana kalau kita bersenang-senang sebentar dengannya, Bos. Mumpung lagi sepi," ucap salah satu anak buah lelaki itu sambil memperhatikan keadaan sekeliling."Sepertinya dia anak baru di sini," ujar yang lain ikut menimpali."Saya harus pergi."Tanpa berpikir panjang lagi Dea segera meninggalkan tempat itu. Lebih baik ia berjalan menuju keramaian. Tetapi sayangnya para preman itu terus mengikuti Dea. Semakin Dea mempercepat langkah kakinya, semakin para lelaki itu bersemangat untuk mengejarnya.Hingga akhirnya mereka berhasil mengepung Dea. Gadis itu tidak bisa lagi bergerak untuk kabur."Apa yang kalian inginkan! Tolong pergi! Jangan sakiti saya."Dea mengiba. Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil menundukkan kepalanya."Kamu tidak p
Bian berniat untuk menggantikan pakaian istrinya agar tidak merasa sesak. Namun sungguh di luar kuasanya. Lelaki itu justru terpesona dengan kulit putih dan bersih milik Dea."Jangan hiraukan itu Bian! Kau bisa membuatnya semakin membencimu."Setelah beberapa menit lamanya, Bian sudah berhasil mengganti pakaian Dea dengan piyama tidur yang longgar.Lalaki itu bangga dengan dirinya sendiri karena masih bisa untuk mengontrol diri agar tidak bertindak lebih kepada istrinya.Bian segera menyelimuti tubuh Dea hingga ke lehernya. Setelah itu ia keluar dari kamar dan berniat untuk tidur di kamarnya sendiri.***Pagi harinya Bian bersemangat untuk membuat sarapan nasi goreng. Ia sengaja menyediakan dua porsi untuk dirinya sendiri juga untuk istrinya."Aaaaa....!!!!"Sebuah teriakan melengking dari kamar Dea mengejutkan Bian seketika. Lelaki itu hampir saja menjatuhkan makanannya."Kenapa lagi dengan Dea?"Bian segera berjalan menuju kamar istrinya. Ia mencoba untuk membuka pintu kamar Dea, tet
"Kenapa kamu mau menjadi sekretaris di perusahaan ini?"Bian berdiri dari tempatnya. Kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celananya."Kau masih jadi simpanan Papa Reza? Bagaimana jika dia selingkuh dengan sekretarisnya?" ucap Bian dengan santai. Ia ingin Mawar sadar bahwa semua tindakannya tidak benar."Aku tidak peduli Pak Bian. Sepertinya sekarang aku mulai tertarik denganmu. Aku akan membuatmu bertekuk lutut kepadaku," balas Mawar tak kalah santai.Ia sangat yakin bisa meluluhkan hati Bian. Tidak ada lelaki yang bisa menolak pesonanya.Bian segera menjauh dari tubuh Mawar ketika menyadari wanita itu mulai berulah lagi."Jangan pernah berharap. Dan mulai besok, gunakan pakaian yang lebih sopan."Bian meninggalkan Mawar seorang diri. Ia keluar dari ruangannya hendak menemui seseorang yang mengadakan janji temu dengannya."Lebih baik aku tidak mengajak Mawar."CEO tampan itu melangkah dengan tenang. Di saat itu teleponnya berdering. Bian berbicara sambil berjalan, namun langkahnya
"Auh! Kakiku!" keluh Dea. Ia merasakan kakinya sakit. Sepertinya telah terjadi sesuatu pada kaki kanannya.Bian menyadari perubahan raut wajah Dea. Seolah gadis itu merasa tidak nyaman. "Apa yang terjadi Dea?" tanya Bian khawatir. Ia masih menopang tubuh istrinya.Tanpa menunggu jawaban dari Dea, CEO tampan itu segera mengangkat tubuh istrinya ala bridal style. Membuat pandangan orang-orang tertuju kepada mereka. Tak terkecuali dengan Reno yang menghentikan dansanya bersama Mawar.Bian langsung membawa Dea ke dalam mobil dan berniat untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Ia tak peduli dengan tatapan tajam dari semua orang."Sial! Pasti dia sengaja memanas-manasiku!" umpat Reno tidak terima. Lelaki itu pun mengajak Mawar pergi dari acara makan malam tersebut.Setelah menunggu beberapa menit, seorang dokter telah selesai memeriksa Dea."Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" ucap Bian merasa khawatir dengan keadaan Dea."Bapak tidak perlu khawatir. Kakinya hanya keseleo saja."Dea
Sebuah suara jeritan memenuhi ruang kamar kecil itu. Dea menahan rasa sakit yang luar biasa pada inti tubuhnya. Begitu menyakitkan baginya.Air mata terus mengalir deras dari kedua mata milik Dea. Namun Bian tak peduli sama sekali. Ia terus bergerak sesuka hatinya sambil sesekali meracau menyebut nama Dea."Cukup Kak," ucap Dea namun tersekat di tenggorokannya.Beberapa jam berlalu. Bian mulai terkapar lemah di sebelah Dea. Gadis itu menangis hingga ikut tertidur di samping seorang lelaki yang telah merenggut kesuciannya.Keesokan harinya Dea terbangun terlebih dahulu. Ia masih merasakan sakit yang tiada terkira.Perlahan gadis yang tak lagi perawan itu mulai bangun. Ia mencoba melangkah menuju kamar mandi. Jalannya tertatih seakan sangat sulit untuk bergerak bebas.Dea mengahabiskan waktunya di bawah kucuran air shower. Hatinya sakit meski sebenarnya akan lebih sakit jika Bian melakukan hal itu dengan Mawar."Kenapa Kak Bian tega?"Dea memejamkan sejenak kedua matanya. Tanpa terasa a
"Mawar apa yang sedang kamu lakukan?" Bian menaikkan sebelah alisnya sambil membetulkan dasinya."P–Pak Bian?" Tergagap Mawar menjawab pertanyaan dari sang atasan.Bian melihat jam di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Seharusnya mereka sudah berada di ruangan kerja masing-masing."Ikut ke ruangan saya!" perintah Bian kepada sekretarisnya. Ia ingin Mawar tidak bertindak seenaknya sendiri saat di kantor tempatnya bekerja.Mawar pun hanya menurut saja. Tidak mungkin ia melawan saat di kantor. Ia pun tidak mau dipecat secepat itu.Sementara dari kejauhan, Dea tengah memperhatikan. Kini ia bingung dengan perasaannya sendiri. Ada rasa cemburu tiap kali melihat Bian dengan Mawar. Apalagi setelah kejadian tadi malam."Apa benar Kak Bian mencintaiku? Atau dia juga ada affair dengan Mawar?"Meski kesal dan sangat sakit hati dengan Mawar, Dea tidak ingin bertindak gegabah. Ia harus bisa membalaskan dendamnya kepada Mawar dengan cara yang licik.Gadis itu pun tidak ingin terba
"Mamaku ingin aku datang ke rumahnya. Katanya dia butuh pertolongan."Akhirnya Dea menceritakan tentang permasalahan keluarganya. Kedua orang tuanya yang berpisah karena perselingkuhan. Juga mantan tunangan yang telah mengkhianatinya. Semua teman-teman Dea merasa iba. Apalagi David yang berniat menjadi penawar hatinya."Aku akan mengantarkanmu nanti pulang kerja," tawar David kemudian."Atau kamu bisa ijin setelah kita sampai di kantor," timpal Naomi."Terima kasih, Nom."Dea melihat ke arah David yang sedari tadi menunggu jawaban darinya."Untuk kamu, Dav. Terima kasih sudah peduli kepadaku. Aku tidak mau merepotkanmu. Sebaiknya aku datang sendiri saja."David tidak bisa memaksa. Ia hanya bisa mendo'akan yang terbaik untuk Dea.Setelah tiba di kantor, Dea mencoba meminta ijin kepada atasannya di ruangan sang manajer."Kamu harus tahu bahwa kamu itu karyawan baru di sini. Saya harap ini memang urusan mendesak. Dan kamu hanya diperboleh ijin satu kali saja dalam bulan ini. Mengerti?"
Beberapa bulan telah berlalu, Dea merasakan perutnya begitu sakit. Di saat itu dia sedang berada di rumah sang mama. Seketika Amelia membawanya ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu langsung menelepon Bian yang masih di kantor bersama Marco. “Ada apa, Ma?” tanya Bian dari balik teleponnya. “Dea masuk rumah sakit, Sayang. Kamu segera ke sini ya? Sepertinya dia akan segera melahirkan.” Tanpa berpikir panjang, Bian langsung menyanggupi permintaan sang mama. “Kenapa?” Marco penasaran karena melihat tingkah Bian yang tidak tenang. “Aku harus ke rumah sakit, Marco. Sepertinya Dea akan segera melahirkan.” Marco terlihat bahagia mendengar kabar bahwa Dea akan menjadi seorang Ibu. “Waow, itu berita yang sangat baik. Aku akan menghubungi Mama dan Papa Justin. Kamu tidak boleh panik.” Bian menepuk pelan bahu Marco. “Apa yang harus aku lakukan?” tanya Bian begitu polos. Tiba-tiba telapak tangannya terasa sangat dingin. “Kamu pulang dulu. Persiapkan segala kebutuhan untuk bayi baru lahir
Setelah siuman dari pingsan, Lusi segera memberikan minuman kepada Bian. Gadis itu menanyakan bagaimana keadaannya. "Mas Leo, apakah kepalanya masih sakit?" tanya Lusi khawatir. "Aku sudah ingat semuanya, Lusi. Kenapa kamu membohongiku?" balas Bian balik bertanya. Lusi terlihat gugup. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Satu kali dalam seumur hidupnya merasakan jatuh cinta. Dan kini harus terluka. Patah dan hancur hatinya. Ternyata gadis itu mencintai lelaki yang sudah beristri. Kakek Baya menghampiri Bian. "Lusi melakukan hal itu karena dia sangat mencintaimu, Bian. Maafkan kakek juga. Kakek merasa bahagia melihat Lusi bisa tersenyum kembali semenjak kepergian kedua orangtuanya." Kakek Baya menjelaskan semuanya. Ia membawa Lusi ke hutan dan jauh dari tempat tinggalnya semula karena tidak ingin gadis itu kenapa-napa. "Maafkan saya. Saya harus kembali untuk menemui istri saya." "Tapi Mas?" Lusi terkesiap. Ia belum siap jika harus kehilangan Bian secepat itu. "Maaf Lusi. Bian harus
Beberapa bulan telah berlalu. Keadaan Bian semakin membaik, tetapi ia masih belum mengingat apapun tentang masa lalunya. Lelaki tampan itu telah selesai membantu Kakek Baya mencari kayu di hutan. "Kakek, apakah setiap hari mencari kayu di hutan seorang diri?" tanya Bian kepada kakek itu. "Ya terkadang Lusi menemani Kakek. Tetapi ia lebih sering di rumah untuk memasak dan mempelajari tentang meracik obat seperti kakek. Ia ingin seperti kakek yang jago mengobati orang-orang." "Boleh saya menemui Lusi sebentar, Kek?" pamit Bian. "Tentu saja. Pasti ia sangat senang jika kamu membantu pekerjaannya." Kakek Baya tertawa renyah. Ia senang melihat hubungan Lusi dengan lelaki itu yang semakin dekat. Bian pun mengangguk senang. Ia pergi ke bagian dapur untuk melihat Lusi yang sedang sibuk memasak. "Hai, masih sibuk?" sapa Bian kaku. Padahal ia sudah mulai menerima Lusi sebagai calon istrinya. Tetapi selalu seperti itu saat berbicara dengan gadis itu. "Mas Leo? Ngapain datang ke sini? Mem
Uhuk !Dea tersedak oleh air liurnya sendiri. Ia tidak menyangka jika Marco akan menanyakan hal itu kepadanya. Wanita segera menghabiskan air putih yang ada di dekatnya."Em, maaf Dea. Kamu tidak apa-apa?" Marco tentu saja panik melihat Dea terbatuk-batuk karena pertanyaan konyolnya. Lelaki itu mencoba memijit tengkuk leher Dea."Aku baik-baik saja, Marco. Tidak perlu khawatir." Dea berusaha mengelak. Tidak enak jika dipandang banyak orang di sana.Untuk sesaat Marco membiarkan Dea mengatur nafasnya agar kembali stabil. Namun ia juga menanti sebuah jawaban dari wanita itu."Bagaimana kamu bisa tahu tentang Reno? Aku dan dia—" Dea menghentikan ucapannya. Seakan berpikir sejenak. "Ah, sebaiknya tidak perlu membahas tentang dia.""Kamu yakin? Tidak ada yang perlu dijelaskan tentang masalah ini? Apakah kamu sudah melupakan Bian?" tanya Marco penuh selidik. Padahal jelas-jelas ia tahu jika di kantor tadi melihat Dea menangis gara-gara mengingat kenangan bersama Bian.Dalam sekejap saja kedu
"Belum ada perkembangan. Maafkan kakek ya, Nak?" Kakek Baya tampak bersedih."Tidak apa-apa, Kek. Kakek sudah berusaha. Mungkin besok dia akan sadar."Lusi segera menemui Bian di kamar. Perempuan itu semakin mengagumi wajah tampan milik lelaki itu."Andai saja kamu bisa berbicara hari ini. Aku pasti sangat senang."Setelah mengatakan kalimat itu, tiba-tiba kedua mata Bian terbuka. Tentu saja Lusi merasa terkejut."Kamu sudah sadar?" tanya Lusi bersemangat."Aku di mana?" tanya Bian seraya memegangi kepalanya. Ia tidak mengingat apapun selain saat dirinya tertabrak mobil dan kepalanya terbentur."Kamu di sini bersamaku, Mas. Aku Lusi calon istrimu.""Calon istri?" Bian terlihat kebingungan.Lusi meminta Bian untuk menunggu sebentar. Wanita itu segera menemui sang kakek untuk menyampaikan kondisi Bian."Kakek, lelaki itu sudah sadar. Sepertinya dia kehilangan sebagian memorinya. Mungkin dia tidak mengingat namanya sendiri.""Kamu serius, Lusi? Kamu tidak menemukan kartu identitas atau ap
Amelia tersenyum kala menyadari siapa yang datang. Sepertinya wanita paruh baya itu mulai tertarik kepada lelaki tersebut."Nak Reno? Tumben pagi-pagi sudah ke sini?" tanya Amelia dengan wajah sumringahnya.Amelia melihat penampilan Reno. Lelaki itu mengenakan pakaian joging."Saya ingin mengajak Dea jalan-jalan pagi, Tante. Bukankah baik buat kesehatan ibu hamil?" ungkap Reno ramah."Memangnya Nak Reno tidak bekerja hari ini? Tante sih setuju banget kalau Dea diajak jalan-jalan pagi."Amelia semakin merasa bahagia. Karena pagi itu ia ada janji dengan Reza untuk bertemu di suatu tempat."Reno hari ini libur, Tante. Ada yang handel di kantor!" jawab Reno tegas.Dea yang sudah selesai menyiapkan makanan di atas meja jadi penasaran dengan siapa yang datang. Ia pikir papanya yang berkunjung untuk temu kangen dengan sang mama."Siapa, Ma? Ini sarapannya sudah siap," teriak Dea dari arah meja makan."Ayo, Nak Reno. Silahkan masuk," ajak Amelia kemudian."Terima kasih, Tante."Amelia berjala
Bian berhasil melepaskan ikatan tangannya. Ia segera mencari jalan ke luar. Sayangnya telapak kaki lelaki itu menginjak sebuah pecahan kaca yang tersebar sepanjang area belakang."Ternyata mereka sudah merencanakan semua ini."Bian merobek pakaiannya sendiri. Kemudian mengikatnya pada kaki yang berdarah."Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus segera kabur dari tempat ini."Bian melihat ada sebuah jendela kaca. Ia mencari sebuah besi untuk memecahkan kaca itu. Tertatih Bian untuk mencapai jendela itu. Ia berusaha sekuat tenaga agar bisa selamat.Jalanan terlihat sepi. Daerah yang sangat gelap dengan minim pencahayaan. Dinginnya malam menerobos masuk ke kulit Bian. Membuat lelaki itu menggigil dan kelelahan."Aku harus mencari bantuan."Tanpa diduga ada sebuah mobil yang melaju sangat kencang. Bian hendak mengelak namun terjatuh hingga akhirnya ia tertabrak dan tak sadarkan diri.***Keesokan harinya Annisa dan lelaki pilihan ibunya resmi menikah. Dia adalah Rasyid, lelaki yang terkena
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya suamimu. Kedatanganku ke sini untuk meminta maaf kepadamu. Sebenarnya selama ini aku masih mencintaimu, Dea.""Sudahlah, Ren. Kamu tidak perlu membahas masalah itu. Aku sudah memaafkanmu.""Terima kasih, Dea. Aku berjanji akan selalu ada untukmu. Sekarang kita pulang, ya? Semua orang pasti mengkhawatirkan kamu."Dea berdiri dari tempatnya. Namun tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Hampir saja ia pingsan, namun tubuhnya segera ditangkap oleh Reno."Dea, kamu kenapa? Bangun Dea!" Bergegas Reno mengangkat tubuh Dea dan memasukkannya ke dalam mobil lalu ia menemani gadis itu di kamarnya.Reno menanti Dea hingga sadar. Amelia sudah menyiapkan teh hangat dan membalurinya minyak kayu putih.Dengan perlahan Dea membuka kedua matanya. Amelia segera mengambilkan teh buatannya, namun Reno mendekat dan meminta agar dirinya diberi kesempatan untuk menjaga Dea."Biar saya saja yang memberikan minumannya, Tante. Saya ingin memperbaiki semua kesalahan saya dah
Sore yang cerah telah berganti menjadi gelap. Bian belum pulang dari mini market. Hal itu membuat Dea kebingungan."Ma, kenapa Kak Bian lama sekali, ya? Tadi katanya cuma sebentar."Dea semakin merasa risau. Perasaannya sudah tidak enak. Ia takut terjadi apa-apa dengan suaminya."Kamu yang sabar ya, Dea. Coba hubungi nomornya dan cepat suruh pulang.""Baik, Ma."Dea segera mencari ponselnya. Ia mencoba menghubungi Bian dan ternyata ponsel suaminya tertinggal di meja nakas."Yah, Ma. Ponsel Kak Bian ketinggalan. Bagaimana ini?" Dea semakin risau. Harusnya ia bahagia karena hubungan semakin dekat."Sudah. Kita tunggu saja. Sebaiknya kita berdo'a agar Bian baik-baik saja."Dea mengangguk cepat. Ia sampai belum mau minum obat yang harusnya sudah ia konsumsi."Apakah sebaiknya kita menyusul Kak Bian, Ma? Seharusnya Kak Bian berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini," ungkap Dea kepada sang mama."Suasana sudah gelap, Sayang. Mama tidak mau nanti kamu kenapa-napa. Mama yakin Bian a