Amelia tersenyum kala menyadari siapa yang datang. Sepertinya wanita paruh baya itu mulai tertarik kepada lelaki tersebut."Nak Reno? Tumben pagi-pagi sudah ke sini?" tanya Amelia dengan wajah sumringahnya.Amelia melihat penampilan Reno. Lelaki itu mengenakan pakaian joging."Saya ingin mengajak Dea jalan-jalan pagi, Tante. Bukankah baik buat kesehatan ibu hamil?" ungkap Reno ramah."Memangnya Nak Reno tidak bekerja hari ini? Tante sih setuju banget kalau Dea diajak jalan-jalan pagi."Amelia semakin merasa bahagia. Karena pagi itu ia ada janji dengan Reza untuk bertemu di suatu tempat."Reno hari ini libur, Tante. Ada yang handel di kantor!" jawab Reno tegas.Dea yang sudah selesai menyiapkan makanan di atas meja jadi penasaran dengan siapa yang datang. Ia pikir papanya yang berkunjung untuk temu kangen dengan sang mama."Siapa, Ma? Ini sarapannya sudah siap," teriak Dea dari arah meja makan."Ayo, Nak Reno. Silahkan masuk," ajak Amelia kemudian."Terima kasih, Tante."Amelia berjala
"Belum ada perkembangan. Maafkan kakek ya, Nak?" Kakek Baya tampak bersedih."Tidak apa-apa, Kek. Kakek sudah berusaha. Mungkin besok dia akan sadar."Lusi segera menemui Bian di kamar. Perempuan itu semakin mengagumi wajah tampan milik lelaki itu."Andai saja kamu bisa berbicara hari ini. Aku pasti sangat senang."Setelah mengatakan kalimat itu, tiba-tiba kedua mata Bian terbuka. Tentu saja Lusi merasa terkejut."Kamu sudah sadar?" tanya Lusi bersemangat."Aku di mana?" tanya Bian seraya memegangi kepalanya. Ia tidak mengingat apapun selain saat dirinya tertabrak mobil dan kepalanya terbentur."Kamu di sini bersamaku, Mas. Aku Lusi calon istrimu.""Calon istri?" Bian terlihat kebingungan.Lusi meminta Bian untuk menunggu sebentar. Wanita itu segera menemui sang kakek untuk menyampaikan kondisi Bian."Kakek, lelaki itu sudah sadar. Sepertinya dia kehilangan sebagian memorinya. Mungkin dia tidak mengingat namanya sendiri.""Kamu serius, Lusi? Kamu tidak menemukan kartu identitas atau ap
Uhuk !Dea tersedak oleh air liurnya sendiri. Ia tidak menyangka jika Marco akan menanyakan hal itu kepadanya. Wanita segera menghabiskan air putih yang ada di dekatnya."Em, maaf Dea. Kamu tidak apa-apa?" Marco tentu saja panik melihat Dea terbatuk-batuk karena pertanyaan konyolnya. Lelaki itu mencoba memijit tengkuk leher Dea."Aku baik-baik saja, Marco. Tidak perlu khawatir." Dea berusaha mengelak. Tidak enak jika dipandang banyak orang di sana.Untuk sesaat Marco membiarkan Dea mengatur nafasnya agar kembali stabil. Namun ia juga menanti sebuah jawaban dari wanita itu."Bagaimana kamu bisa tahu tentang Reno? Aku dan dia—" Dea menghentikan ucapannya. Seakan berpikir sejenak. "Ah, sebaiknya tidak perlu membahas tentang dia.""Kamu yakin? Tidak ada yang perlu dijelaskan tentang masalah ini? Apakah kamu sudah melupakan Bian?" tanya Marco penuh selidik. Padahal jelas-jelas ia tahu jika di kantor tadi melihat Dea menangis gara-gara mengingat kenangan bersama Bian.Dalam sekejap saja kedu
Beberapa bulan telah berlalu. Keadaan Bian semakin membaik, tetapi ia masih belum mengingat apapun tentang masa lalunya. Lelaki tampan itu telah selesai membantu Kakek Baya mencari kayu di hutan. "Kakek, apakah setiap hari mencari kayu di hutan seorang diri?" tanya Bian kepada kakek itu. "Ya terkadang Lusi menemani Kakek. Tetapi ia lebih sering di rumah untuk memasak dan mempelajari tentang meracik obat seperti kakek. Ia ingin seperti kakek yang jago mengobati orang-orang." "Boleh saya menemui Lusi sebentar, Kek?" pamit Bian. "Tentu saja. Pasti ia sangat senang jika kamu membantu pekerjaannya." Kakek Baya tertawa renyah. Ia senang melihat hubungan Lusi dengan lelaki itu yang semakin dekat. Bian pun mengangguk senang. Ia pergi ke bagian dapur untuk melihat Lusi yang sedang sibuk memasak. "Hai, masih sibuk?" sapa Bian kaku. Padahal ia sudah mulai menerima Lusi sebagai calon istrinya. Tetapi selalu seperti itu saat berbicara dengan gadis itu. "Mas Leo? Ngapain datang ke sini? Mem
Setelah siuman dari pingsan, Lusi segera memberikan minuman kepada Bian. Gadis itu menanyakan bagaimana keadaannya. "Mas Leo, apakah kepalanya masih sakit?" tanya Lusi khawatir. "Aku sudah ingat semuanya, Lusi. Kenapa kamu membohongiku?" balas Bian balik bertanya. Lusi terlihat gugup. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Satu kali dalam seumur hidupnya merasakan jatuh cinta. Dan kini harus terluka. Patah dan hancur hatinya. Ternyata gadis itu mencintai lelaki yang sudah beristri. Kakek Baya menghampiri Bian. "Lusi melakukan hal itu karena dia sangat mencintaimu, Bian. Maafkan kakek juga. Kakek merasa bahagia melihat Lusi bisa tersenyum kembali semenjak kepergian kedua orangtuanya." Kakek Baya menjelaskan semuanya. Ia membawa Lusi ke hutan dan jauh dari tempat tinggalnya semula karena tidak ingin gadis itu kenapa-napa. "Maafkan saya. Saya harus kembali untuk menemui istri saya." "Tapi Mas?" Lusi terkesiap. Ia belum siap jika harus kehilangan Bian secepat itu. "Maaf Lusi. Bian harus
Beberapa bulan telah berlalu, Dea merasakan perutnya begitu sakit. Di saat itu dia sedang berada di rumah sang mama. Seketika Amelia membawanya ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu langsung menelepon Bian yang masih di kantor bersama Marco. “Ada apa, Ma?” tanya Bian dari balik teleponnya. “Dea masuk rumah sakit, Sayang. Kamu segera ke sini ya? Sepertinya dia akan segera melahirkan.” Tanpa berpikir panjang, Bian langsung menyanggupi permintaan sang mama. “Kenapa?” Marco penasaran karena melihat tingkah Bian yang tidak tenang. “Aku harus ke rumah sakit, Marco. Sepertinya Dea akan segera melahirkan.” Marco terlihat bahagia mendengar kabar bahwa Dea akan menjadi seorang Ibu. “Waow, itu berita yang sangat baik. Aku akan menghubungi Mama dan Papa Justin. Kamu tidak boleh panik.” Bian menepuk pelan bahu Marco. “Apa yang harus aku lakukan?” tanya Bian begitu polos. Tiba-tiba telapak tangannya terasa sangat dingin. “Kamu pulang dulu. Persiapkan segala kebutuhan untuk bayi baru lahir
Dea menghampiri sang papa yang tak kunjung keluar dari kamar. Gadis itu terlihat bersemangat untuk mengajak papanya makan bersama.Di dalam kamar Dea mendapati sang papa yang hanya mengenakan sebuah handuk. Lelaki paruh baya itu tengah memandangi sebuah foto sambil bertelepon dengan mesra."Papa!" teriak Dea dengan wajah yang sudah memerah.Mendengar teriakan dari Dea, lelaki itu segera memutuskan panggilan dan meletakkan ponselnya di sembarang tempat. Namun ia terlambat menyembunyikan foto yang masih tergenggam di tangan kirinya."De–Dea," ujar sang papa terbata dan merasa malu.Dea segera merebut foto itu. Ia pandangi foto kemesraan papanya dengan Mawar di tepi pantai. Di belakangnya terdapat tanggal yang menyatakan bahwa hubungan mereka terjalin sebelum papa dan mama Dea bercerai.Dea menatap sang papa dengan penuh amarah. Ia pegangi foto itu tepat di depan wajah papanya."Pantesan Papa selalu membela Mawar. Ternyata dia simpanan Papa. Bodohnya Dea yang tidak pernah mempercayai ucap
"Dea, kamu sangat cantik dan seksi!"Dengan gerakan cepat Lukman mencengkeram kedua tangan Dea. Ia menindih tubuh gadis itu ke dinding kamar."Lepaskan, Pa. Jangan sakiti, Dea!""Saya suka mendengarkan rintihan kamu. Apalagi jika kamu mendesah. Hahaha."Dea masih berusaha untuk lepas dari papa tirinya. Ia merasa sangat malu dengan kondisi tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian dalam."Mama, tolong!" jerit Dea kemudian.Amelia yang mendengar teriakan putrinya segera naik ke lantai atas. Betapa ia sangat terkejut mendapati suami barunya mencoba melecehkan Dea. Padahal saat ini wanita paruh baya itu tengah mengandung calon anaknya."Mas Lukman! Kurang ajar kamu! Lepaskan Dea! Jangan lakukan itu."Amelia mengiba. Ia menangis dan berusaha menolong putrinya.Lukman mendorong tubuh istrinya dengan sangat kasar. Sehingga wanita itu jatuh tersungkur.Papa tiri Dea mencari sebuah tali. Lalu mengikat tangan Dea dan istrinya."Maaf, Amel. Sudah lama aku tidak mendapat jatah darimu. Aku tidak kuat
Beberapa bulan telah berlalu, Dea merasakan perutnya begitu sakit. Di saat itu dia sedang berada di rumah sang mama. Seketika Amelia membawanya ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu langsung menelepon Bian yang masih di kantor bersama Marco. “Ada apa, Ma?” tanya Bian dari balik teleponnya. “Dea masuk rumah sakit, Sayang. Kamu segera ke sini ya? Sepertinya dia akan segera melahirkan.” Tanpa berpikir panjang, Bian langsung menyanggupi permintaan sang mama. “Kenapa?” Marco penasaran karena melihat tingkah Bian yang tidak tenang. “Aku harus ke rumah sakit, Marco. Sepertinya Dea akan segera melahirkan.” Marco terlihat bahagia mendengar kabar bahwa Dea akan menjadi seorang Ibu. “Waow, itu berita yang sangat baik. Aku akan menghubungi Mama dan Papa Justin. Kamu tidak boleh panik.” Bian menepuk pelan bahu Marco. “Apa yang harus aku lakukan?” tanya Bian begitu polos. Tiba-tiba telapak tangannya terasa sangat dingin. “Kamu pulang dulu. Persiapkan segala kebutuhan untuk bayi baru lahir
Setelah siuman dari pingsan, Lusi segera memberikan minuman kepada Bian. Gadis itu menanyakan bagaimana keadaannya. "Mas Leo, apakah kepalanya masih sakit?" tanya Lusi khawatir. "Aku sudah ingat semuanya, Lusi. Kenapa kamu membohongiku?" balas Bian balik bertanya. Lusi terlihat gugup. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Satu kali dalam seumur hidupnya merasakan jatuh cinta. Dan kini harus terluka. Patah dan hancur hatinya. Ternyata gadis itu mencintai lelaki yang sudah beristri. Kakek Baya menghampiri Bian. "Lusi melakukan hal itu karena dia sangat mencintaimu, Bian. Maafkan kakek juga. Kakek merasa bahagia melihat Lusi bisa tersenyum kembali semenjak kepergian kedua orangtuanya." Kakek Baya menjelaskan semuanya. Ia membawa Lusi ke hutan dan jauh dari tempat tinggalnya semula karena tidak ingin gadis itu kenapa-napa. "Maafkan saya. Saya harus kembali untuk menemui istri saya." "Tapi Mas?" Lusi terkesiap. Ia belum siap jika harus kehilangan Bian secepat itu. "Maaf Lusi. Bian harus
Beberapa bulan telah berlalu. Keadaan Bian semakin membaik, tetapi ia masih belum mengingat apapun tentang masa lalunya. Lelaki tampan itu telah selesai membantu Kakek Baya mencari kayu di hutan. "Kakek, apakah setiap hari mencari kayu di hutan seorang diri?" tanya Bian kepada kakek itu. "Ya terkadang Lusi menemani Kakek. Tetapi ia lebih sering di rumah untuk memasak dan mempelajari tentang meracik obat seperti kakek. Ia ingin seperti kakek yang jago mengobati orang-orang." "Boleh saya menemui Lusi sebentar, Kek?" pamit Bian. "Tentu saja. Pasti ia sangat senang jika kamu membantu pekerjaannya." Kakek Baya tertawa renyah. Ia senang melihat hubungan Lusi dengan lelaki itu yang semakin dekat. Bian pun mengangguk senang. Ia pergi ke bagian dapur untuk melihat Lusi yang sedang sibuk memasak. "Hai, masih sibuk?" sapa Bian kaku. Padahal ia sudah mulai menerima Lusi sebagai calon istrinya. Tetapi selalu seperti itu saat berbicara dengan gadis itu. "Mas Leo? Ngapain datang ke sini? Mem
Uhuk !Dea tersedak oleh air liurnya sendiri. Ia tidak menyangka jika Marco akan menanyakan hal itu kepadanya. Wanita segera menghabiskan air putih yang ada di dekatnya."Em, maaf Dea. Kamu tidak apa-apa?" Marco tentu saja panik melihat Dea terbatuk-batuk karena pertanyaan konyolnya. Lelaki itu mencoba memijit tengkuk leher Dea."Aku baik-baik saja, Marco. Tidak perlu khawatir." Dea berusaha mengelak. Tidak enak jika dipandang banyak orang di sana.Untuk sesaat Marco membiarkan Dea mengatur nafasnya agar kembali stabil. Namun ia juga menanti sebuah jawaban dari wanita itu."Bagaimana kamu bisa tahu tentang Reno? Aku dan dia—" Dea menghentikan ucapannya. Seakan berpikir sejenak. "Ah, sebaiknya tidak perlu membahas tentang dia.""Kamu yakin? Tidak ada yang perlu dijelaskan tentang masalah ini? Apakah kamu sudah melupakan Bian?" tanya Marco penuh selidik. Padahal jelas-jelas ia tahu jika di kantor tadi melihat Dea menangis gara-gara mengingat kenangan bersama Bian.Dalam sekejap saja kedu
"Belum ada perkembangan. Maafkan kakek ya, Nak?" Kakek Baya tampak bersedih."Tidak apa-apa, Kek. Kakek sudah berusaha. Mungkin besok dia akan sadar."Lusi segera menemui Bian di kamar. Perempuan itu semakin mengagumi wajah tampan milik lelaki itu."Andai saja kamu bisa berbicara hari ini. Aku pasti sangat senang."Setelah mengatakan kalimat itu, tiba-tiba kedua mata Bian terbuka. Tentu saja Lusi merasa terkejut."Kamu sudah sadar?" tanya Lusi bersemangat."Aku di mana?" tanya Bian seraya memegangi kepalanya. Ia tidak mengingat apapun selain saat dirinya tertabrak mobil dan kepalanya terbentur."Kamu di sini bersamaku, Mas. Aku Lusi calon istrimu.""Calon istri?" Bian terlihat kebingungan.Lusi meminta Bian untuk menunggu sebentar. Wanita itu segera menemui sang kakek untuk menyampaikan kondisi Bian."Kakek, lelaki itu sudah sadar. Sepertinya dia kehilangan sebagian memorinya. Mungkin dia tidak mengingat namanya sendiri.""Kamu serius, Lusi? Kamu tidak menemukan kartu identitas atau ap
Amelia tersenyum kala menyadari siapa yang datang. Sepertinya wanita paruh baya itu mulai tertarik kepada lelaki tersebut."Nak Reno? Tumben pagi-pagi sudah ke sini?" tanya Amelia dengan wajah sumringahnya.Amelia melihat penampilan Reno. Lelaki itu mengenakan pakaian joging."Saya ingin mengajak Dea jalan-jalan pagi, Tante. Bukankah baik buat kesehatan ibu hamil?" ungkap Reno ramah."Memangnya Nak Reno tidak bekerja hari ini? Tante sih setuju banget kalau Dea diajak jalan-jalan pagi."Amelia semakin merasa bahagia. Karena pagi itu ia ada janji dengan Reza untuk bertemu di suatu tempat."Reno hari ini libur, Tante. Ada yang handel di kantor!" jawab Reno tegas.Dea yang sudah selesai menyiapkan makanan di atas meja jadi penasaran dengan siapa yang datang. Ia pikir papanya yang berkunjung untuk temu kangen dengan sang mama."Siapa, Ma? Ini sarapannya sudah siap," teriak Dea dari arah meja makan."Ayo, Nak Reno. Silahkan masuk," ajak Amelia kemudian."Terima kasih, Tante."Amelia berjala
Bian berhasil melepaskan ikatan tangannya. Ia segera mencari jalan ke luar. Sayangnya telapak kaki lelaki itu menginjak sebuah pecahan kaca yang tersebar sepanjang area belakang."Ternyata mereka sudah merencanakan semua ini."Bian merobek pakaiannya sendiri. Kemudian mengikatnya pada kaki yang berdarah."Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus segera kabur dari tempat ini."Bian melihat ada sebuah jendela kaca. Ia mencari sebuah besi untuk memecahkan kaca itu. Tertatih Bian untuk mencapai jendela itu. Ia berusaha sekuat tenaga agar bisa selamat.Jalanan terlihat sepi. Daerah yang sangat gelap dengan minim pencahayaan. Dinginnya malam menerobos masuk ke kulit Bian. Membuat lelaki itu menggigil dan kelelahan."Aku harus mencari bantuan."Tanpa diduga ada sebuah mobil yang melaju sangat kencang. Bian hendak mengelak namun terjatuh hingga akhirnya ia tertabrak dan tak sadarkan diri.***Keesokan harinya Annisa dan lelaki pilihan ibunya resmi menikah. Dia adalah Rasyid, lelaki yang terkena
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya suamimu. Kedatanganku ke sini untuk meminta maaf kepadamu. Sebenarnya selama ini aku masih mencintaimu, Dea.""Sudahlah, Ren. Kamu tidak perlu membahas masalah itu. Aku sudah memaafkanmu.""Terima kasih, Dea. Aku berjanji akan selalu ada untukmu. Sekarang kita pulang, ya? Semua orang pasti mengkhawatirkan kamu."Dea berdiri dari tempatnya. Namun tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Hampir saja ia pingsan, namun tubuhnya segera ditangkap oleh Reno."Dea, kamu kenapa? Bangun Dea!" Bergegas Reno mengangkat tubuh Dea dan memasukkannya ke dalam mobil lalu ia menemani gadis itu di kamarnya.Reno menanti Dea hingga sadar. Amelia sudah menyiapkan teh hangat dan membalurinya minyak kayu putih.Dengan perlahan Dea membuka kedua matanya. Amelia segera mengambilkan teh buatannya, namun Reno mendekat dan meminta agar dirinya diberi kesempatan untuk menjaga Dea."Biar saya saja yang memberikan minumannya, Tante. Saya ingin memperbaiki semua kesalahan saya dah
Sore yang cerah telah berganti menjadi gelap. Bian belum pulang dari mini market. Hal itu membuat Dea kebingungan."Ma, kenapa Kak Bian lama sekali, ya? Tadi katanya cuma sebentar."Dea semakin merasa risau. Perasaannya sudah tidak enak. Ia takut terjadi apa-apa dengan suaminya."Kamu yang sabar ya, Dea. Coba hubungi nomornya dan cepat suruh pulang.""Baik, Ma."Dea segera mencari ponselnya. Ia mencoba menghubungi Bian dan ternyata ponsel suaminya tertinggal di meja nakas."Yah, Ma. Ponsel Kak Bian ketinggalan. Bagaimana ini?" Dea semakin risau. Harusnya ia bahagia karena hubungan semakin dekat."Sudah. Kita tunggu saja. Sebaiknya kita berdo'a agar Bian baik-baik saja."Dea mengangguk cepat. Ia sampai belum mau minum obat yang harusnya sudah ia konsumsi."Apakah sebaiknya kita menyusul Kak Bian, Ma? Seharusnya Kak Bian berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini," ungkap Dea kepada sang mama."Suasana sudah gelap, Sayang. Mama tidak mau nanti kamu kenapa-napa. Mama yakin Bian a