"Oh, ini." Dea memegang tengkuknya perlahan. "Tidak tahu, Kak Bian. Sepertinya Dea kurang enak badan.""Kamu yakin?" tanya Bian memastikan.Dea hanya mengangguk saja. Ia memang tidak pandai jika harus berpura-pura di hadapan seseorang."Minum coklat ini. Setelah itu tidurlah di ruangan kakak.""Terima kasih Kak Bian. Boleh Dea pulang lebih awal?" tanya Dea pelan.Bian tampak berpikir. Hari ini banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Tidak mungkin ia meninggalkan kantor karena besok harus datang ke rumah sang mama."Tapi Dea? Kakak tidak bisa mengantarkanmu pulang. Tidurlah di ruangan pribadiku." Bian masih membujuk."Dea bisa naik taksi Kak. Dea mohon."Gadis itu terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Padahal sebenarnya Dea mencari cara agar bisa menemui Reno tanpa harus ketahuan dengan Bian."Baiklah."***Pukul dua siang Bian menyempatkan waktu untuk mengantarkan Dea pulang. Ia tidak tega jika membiarkan sang istri pulang naik taksi."Terima kasih, Kak Bian. Maafkan Dea su
BRAAKKK !Petugas hotel berhasil membuka pintu kamar hotel yang ditempati Dea dan Reno. Bian segera menghampiri Dea dan memeluk istrinya tersebut."Kak Bian." Gadis itu menangis pilu.Bian baru ingat jika jasnya masih dipakai Annisa saat ia meninggalkannya tadi. Lelaki itu segera meminta jas yang digunakan orang suruhannya."Berikan jas kamu!" perintah Bian."Siap, Pak."Dea masih menunduk malu. Kemudian melirik ke arah Bian. "Jas Kak Bian ke mana?" tanyanya kemudian."Oh, tadi ketinggalan di kantor."Reno berhasil ditangkap oleh pak polisi. Ia semakin dendam dengan Bian."Lepaskan! Saya tidak bersalah, Pak!" ucap Reno berusaha melepaskan diri."Nanti jelaskan saja di kantor."Salah satu polisi pamit kepada Bian dan Dea. Mereka juga akan dimintai keterangan lebih lanjut."Terima kasih, Pak."Seiring perginya pak polisi, orang suruhan Bian juga undur diri."Terima kasih, Ricky. Kamu boleh pulang. Nanti saya kembalikan jas kamu.""Tidak perlu, Pak Bian. Buat Ibu Dea saja."Ricky pun seg
Dea menanti kepulangan Bian dengan resah. Hingga dini hari gadis itu tetap menanti. Bahkan ia sudah mencoba menghubungi suaminya berkali-kali tetapi tidak ada jawaban sama sekali."Ke mana Kak Bian? Tidak biasanya dia seperti ini."Ingin sekali Dea menghubungi Ricky, namun ia tidak memiliki kontaknya sama sekali. Gadis itu menangis seorang diri hingga tertidur di ranjangnya.*** Sinar matahari mulai menampakkan diri. Semburatnya masuk melalui celah kecil hingga membuat Bian terbangun dari tidurnya.Lelaki tampan itu tersentak kaget. Seolah ada seseorang yang membangunkannya."Di mana aku?" ucap Bian seraya memegangi kepalanya yang masih terasa berdenyut. Lelaki itu sangat syok ketika menyadari sedang berada di apartemen yang ditempati oleh Annisa.Wanita itu datang dengan sebuah senyuman dan sebuah nampan berisi teh hangat juga beberapa kue."Mas Bian, sudah bangun?" tanya Annisa ramah. Kini ia mengenakan sebuah daster tipis yang kekecilan."An, kenapa aku bisa ada di sini?" jawab Bi
Saat Dea hendak menerima makanan yang diberikan Bian, tiba-tiba Angel langsung merebut makanan itu."Wah, ini enak sekali Kak Bian. Angel suka banget," celetuk Angel sambil mengunyah.Dea melirik sekilas ke arah suaminya yang hanya diam dan memberikan isyarat melalui dua bola matanya."Coba ini saja, Dea." Marco segera menyuapi gadis itu."Em ... iya, ini lezat Kak Marco," ungkap Dea bersemangat. Hal itu membuat Bian harus menelan rasa cemburu lagi.Setelah acara makan siang selesai, Bian mengobrol dengan sang papa di dekat kolam renang. Sementara Angel sibuk dengan Regina. Dan Marco asyik berenang sendiri di dalam kolam.Namun saat Bian tengah berbicara hal yang serius, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kedatangan Dea. Istrinya tersebut memakai pakaian renang dan masuk ke dalam air setelah Marco berteriak memanggil namanya."Airnya dingin sekali, Kak Marco!"Lelaki itu memainkan air hingga terkena tubuh Dea. Mereka saling melempari air dan berteriak bahagia."Aaaaa! Hentikan, Kak!""Sud
Mobil itu berhenti mendadak dan hampir saja tertabrak oleh mobil di belakangnya. Bunyi klakson bersahutan menandakan bahwa mereka marah dengan sikap Bian."Bisa nyetir tidak! Sialan!" teriak salah satu pengendara mobil di belakang mobil milik Bian.Bian mendengarkan beberapa teriakan sekaligus yang memaki-maki dirinya. Ia merasa diri sangat bodoh.Lelaki tampan itu begitu menyesali perbuatannya. Ia yang menunduk dengan mata terpejam mulai membuka kedua matanya. Betapa dirinya sangat terkejut melihat Dea tak sadarkan diri dengan kepala berdarah karena terbentur."Dea ... Sayang ... kamu kenapa? Bangun Dea!"Bian mengguncang-guncangkan tubuh istrinya. Ia semakin merasa bersalah. Tanpa berpikir panjang lagi Bian kembali melajukan kendaraannya menuju rumah sakit terdekat. Lelaki tampan itu tidak peduli dengan orang-orang yang masih marah kepadanya.Tak butuh waktu lama Bian sudah tiba di rumah sakit. Beruntung Dea segera ditangani oleh seorang Dokter. Bian takut jika terjadi apa-apa dengan
Dea tidak sepenuhnya yakin dengan ucapan Bian. Namun ia hanya mengangguk pasrah. Gadis itu sudah cukup lelah jika harus bertengkar terus dengan suaminya.Bian pun dengan perlahan melangkah pergi hingga tak terlihat lagi di pandangan Dea. Gadis itu menatap lurus ke depan. Pikirannya tidak bisa fokus padahal ia butuh banyak istirahat demi menjaga janin yang sedang dikandungnya."Apa benar semua yang dikatakan Kak Bian? Apa benar dia tidak selingkuh?" lirih Dea seorang diri.Dea merasakan kesepian. Ia butuh seseorang untuk berbagi kesedihannya. Namun nyatanya sang mama sibuk sendiri."Apa sebaiknya Dea ke rumah Mama? Dea penasaran Mama sedang sibuk apa. Kenapa tidak ada waktu buat Dea?" Gadis itu mencoba mengirim pesan kepada Amelia. Sesungguhnya ia rindu suasana rumah wanita paruh baya itu. Dea juga rindu masakan mamanya.Sementara Bian bergegas menemui Ricky. Lelaki itu sudah berada di depan apartemen milik Bian yang ditempati Annisa."Bagaimana Ricky?" tanya Bian penasaran. Ia tidak s
"Mohon maaf, untuk janin yang dikandung Ibu Dea tidak bisa diselamatkan."Amelia merasa syok. Baru saja ia kehilangan calon bayinya, sekarang dia juga harus kehilangan calon cucunya."Bagaimana ini, Mas? Aku kasihan sama Dea. Bagaimana kita harus menyampaikannya?" tanya Amelia kepada Reza.Lelaki itu menarik nafas dalam. Sejujurnya ia juga menginginkan seorang cucu meski tidak tahu apakah diterima Dea sebagai kakek atau tidak."Sudahlah, Mel. Aku yakin Dea anak yang kuat. Ini sudah menjadi jalannya. Sebaiknya kita segera masuk untuk menjenguk anak kita."Reza merangkul Amelia. Mengajaknya masuk ke ruangan Dea sedang dirawat. Gadis itu masih terbaring lemah."Dea, Sayang. Kamu sudah sadar, Nak?" lirih Amelia menghampiri putrinya. Ia membelai rambut Dea dengan penuh kasih sayang. "Dea, mama minta maaf, ya? Menyembunyikan semua ini darimu.""Dea pikir Mama masih bersama Om Lukman. Mama masih cinta sama Papa?" tanya Dea menyelidik."Kamu nggak usah pikirin itu dulu, Dea. Kamu harus fokus
Bian membuka perlahan pintu ruangan Dea. Gadis itu masih terbaring lemah di ranjangnya. Sementara Amelia tidak ada di tempat itu.Dengan perlahan Dea mulai membuka kedua matanya saat menyadari ada yang masuk dan berjalan ke arahnya."Dea ... maafkan aku," lirih Bian berucap.Dea menatap Bian dengan wajah kesalnya. Rasanya ia ingin menjabak rambut lelaki itu dengan kasar."Harusnya Kakak tidak perlu pulang. Urus saja wanita itu." Dea mengalihkan pandangannya."Dea, kakak benar-benar menyesal. Kenapa kamu harus meninggalkan rumah sendirian? Bagaimana ceritanya bisa seperti ini?" Bian semakin mendekat. Lalu menggenggam tangan istrinya."Dea capek, Kak. Dea ingin berhenti saja."Bian menggeleng cepat. "Tidak, Dea. Kakak tidak akan pernah melepaskanmu."Pintu ruangan terbuka. Menampilkan sosok Amelia dengan Reza. Mereka berdua melangkah pelan menghampiri Dea.Bian melirik penuh rasa penasaran. Ia tidak paham mengapa Amelia datang bersama dengan mantan suaminya."Bian, boleh mama bicara sebe
Beberapa bulan telah berlalu, Dea merasakan perutnya begitu sakit. Di saat itu dia sedang berada di rumah sang mama. Seketika Amelia membawanya ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu langsung menelepon Bian yang masih di kantor bersama Marco. “Ada apa, Ma?” tanya Bian dari balik teleponnya. “Dea masuk rumah sakit, Sayang. Kamu segera ke sini ya? Sepertinya dia akan segera melahirkan.” Tanpa berpikir panjang, Bian langsung menyanggupi permintaan sang mama. “Kenapa?” Marco penasaran karena melihat tingkah Bian yang tidak tenang. “Aku harus ke rumah sakit, Marco. Sepertinya Dea akan segera melahirkan.” Marco terlihat bahagia mendengar kabar bahwa Dea akan menjadi seorang Ibu. “Waow, itu berita yang sangat baik. Aku akan menghubungi Mama dan Papa Justin. Kamu tidak boleh panik.” Bian menepuk pelan bahu Marco. “Apa yang harus aku lakukan?” tanya Bian begitu polos. Tiba-tiba telapak tangannya terasa sangat dingin. “Kamu pulang dulu. Persiapkan segala kebutuhan untuk bayi baru lahir
Setelah siuman dari pingsan, Lusi segera memberikan minuman kepada Bian. Gadis itu menanyakan bagaimana keadaannya. "Mas Leo, apakah kepalanya masih sakit?" tanya Lusi khawatir. "Aku sudah ingat semuanya, Lusi. Kenapa kamu membohongiku?" balas Bian balik bertanya. Lusi terlihat gugup. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Satu kali dalam seumur hidupnya merasakan jatuh cinta. Dan kini harus terluka. Patah dan hancur hatinya. Ternyata gadis itu mencintai lelaki yang sudah beristri. Kakek Baya menghampiri Bian. "Lusi melakukan hal itu karena dia sangat mencintaimu, Bian. Maafkan kakek juga. Kakek merasa bahagia melihat Lusi bisa tersenyum kembali semenjak kepergian kedua orangtuanya." Kakek Baya menjelaskan semuanya. Ia membawa Lusi ke hutan dan jauh dari tempat tinggalnya semula karena tidak ingin gadis itu kenapa-napa. "Maafkan saya. Saya harus kembali untuk menemui istri saya." "Tapi Mas?" Lusi terkesiap. Ia belum siap jika harus kehilangan Bian secepat itu. "Maaf Lusi. Bian harus
Beberapa bulan telah berlalu. Keadaan Bian semakin membaik, tetapi ia masih belum mengingat apapun tentang masa lalunya. Lelaki tampan itu telah selesai membantu Kakek Baya mencari kayu di hutan. "Kakek, apakah setiap hari mencari kayu di hutan seorang diri?" tanya Bian kepada kakek itu. "Ya terkadang Lusi menemani Kakek. Tetapi ia lebih sering di rumah untuk memasak dan mempelajari tentang meracik obat seperti kakek. Ia ingin seperti kakek yang jago mengobati orang-orang." "Boleh saya menemui Lusi sebentar, Kek?" pamit Bian. "Tentu saja. Pasti ia sangat senang jika kamu membantu pekerjaannya." Kakek Baya tertawa renyah. Ia senang melihat hubungan Lusi dengan lelaki itu yang semakin dekat. Bian pun mengangguk senang. Ia pergi ke bagian dapur untuk melihat Lusi yang sedang sibuk memasak. "Hai, masih sibuk?" sapa Bian kaku. Padahal ia sudah mulai menerima Lusi sebagai calon istrinya. Tetapi selalu seperti itu saat berbicara dengan gadis itu. "Mas Leo? Ngapain datang ke sini? Mem
Uhuk !Dea tersedak oleh air liurnya sendiri. Ia tidak menyangka jika Marco akan menanyakan hal itu kepadanya. Wanita segera menghabiskan air putih yang ada di dekatnya."Em, maaf Dea. Kamu tidak apa-apa?" Marco tentu saja panik melihat Dea terbatuk-batuk karena pertanyaan konyolnya. Lelaki itu mencoba memijit tengkuk leher Dea."Aku baik-baik saja, Marco. Tidak perlu khawatir." Dea berusaha mengelak. Tidak enak jika dipandang banyak orang di sana.Untuk sesaat Marco membiarkan Dea mengatur nafasnya agar kembali stabil. Namun ia juga menanti sebuah jawaban dari wanita itu."Bagaimana kamu bisa tahu tentang Reno? Aku dan dia—" Dea menghentikan ucapannya. Seakan berpikir sejenak. "Ah, sebaiknya tidak perlu membahas tentang dia.""Kamu yakin? Tidak ada yang perlu dijelaskan tentang masalah ini? Apakah kamu sudah melupakan Bian?" tanya Marco penuh selidik. Padahal jelas-jelas ia tahu jika di kantor tadi melihat Dea menangis gara-gara mengingat kenangan bersama Bian.Dalam sekejap saja kedu
"Belum ada perkembangan. Maafkan kakek ya, Nak?" Kakek Baya tampak bersedih."Tidak apa-apa, Kek. Kakek sudah berusaha. Mungkin besok dia akan sadar."Lusi segera menemui Bian di kamar. Perempuan itu semakin mengagumi wajah tampan milik lelaki itu."Andai saja kamu bisa berbicara hari ini. Aku pasti sangat senang."Setelah mengatakan kalimat itu, tiba-tiba kedua mata Bian terbuka. Tentu saja Lusi merasa terkejut."Kamu sudah sadar?" tanya Lusi bersemangat."Aku di mana?" tanya Bian seraya memegangi kepalanya. Ia tidak mengingat apapun selain saat dirinya tertabrak mobil dan kepalanya terbentur."Kamu di sini bersamaku, Mas. Aku Lusi calon istrimu.""Calon istri?" Bian terlihat kebingungan.Lusi meminta Bian untuk menunggu sebentar. Wanita itu segera menemui sang kakek untuk menyampaikan kondisi Bian."Kakek, lelaki itu sudah sadar. Sepertinya dia kehilangan sebagian memorinya. Mungkin dia tidak mengingat namanya sendiri.""Kamu serius, Lusi? Kamu tidak menemukan kartu identitas atau ap
Amelia tersenyum kala menyadari siapa yang datang. Sepertinya wanita paruh baya itu mulai tertarik kepada lelaki tersebut."Nak Reno? Tumben pagi-pagi sudah ke sini?" tanya Amelia dengan wajah sumringahnya.Amelia melihat penampilan Reno. Lelaki itu mengenakan pakaian joging."Saya ingin mengajak Dea jalan-jalan pagi, Tante. Bukankah baik buat kesehatan ibu hamil?" ungkap Reno ramah."Memangnya Nak Reno tidak bekerja hari ini? Tante sih setuju banget kalau Dea diajak jalan-jalan pagi."Amelia semakin merasa bahagia. Karena pagi itu ia ada janji dengan Reza untuk bertemu di suatu tempat."Reno hari ini libur, Tante. Ada yang handel di kantor!" jawab Reno tegas.Dea yang sudah selesai menyiapkan makanan di atas meja jadi penasaran dengan siapa yang datang. Ia pikir papanya yang berkunjung untuk temu kangen dengan sang mama."Siapa, Ma? Ini sarapannya sudah siap," teriak Dea dari arah meja makan."Ayo, Nak Reno. Silahkan masuk," ajak Amelia kemudian."Terima kasih, Tante."Amelia berjala
Bian berhasil melepaskan ikatan tangannya. Ia segera mencari jalan ke luar. Sayangnya telapak kaki lelaki itu menginjak sebuah pecahan kaca yang tersebar sepanjang area belakang."Ternyata mereka sudah merencanakan semua ini."Bian merobek pakaiannya sendiri. Kemudian mengikatnya pada kaki yang berdarah."Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus segera kabur dari tempat ini."Bian melihat ada sebuah jendela kaca. Ia mencari sebuah besi untuk memecahkan kaca itu. Tertatih Bian untuk mencapai jendela itu. Ia berusaha sekuat tenaga agar bisa selamat.Jalanan terlihat sepi. Daerah yang sangat gelap dengan minim pencahayaan. Dinginnya malam menerobos masuk ke kulit Bian. Membuat lelaki itu menggigil dan kelelahan."Aku harus mencari bantuan."Tanpa diduga ada sebuah mobil yang melaju sangat kencang. Bian hendak mengelak namun terjatuh hingga akhirnya ia tertabrak dan tak sadarkan diri.***Keesokan harinya Annisa dan lelaki pilihan ibunya resmi menikah. Dia adalah Rasyid, lelaki yang terkena
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya suamimu. Kedatanganku ke sini untuk meminta maaf kepadamu. Sebenarnya selama ini aku masih mencintaimu, Dea.""Sudahlah, Ren. Kamu tidak perlu membahas masalah itu. Aku sudah memaafkanmu.""Terima kasih, Dea. Aku berjanji akan selalu ada untukmu. Sekarang kita pulang, ya? Semua orang pasti mengkhawatirkan kamu."Dea berdiri dari tempatnya. Namun tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Hampir saja ia pingsan, namun tubuhnya segera ditangkap oleh Reno."Dea, kamu kenapa? Bangun Dea!" Bergegas Reno mengangkat tubuh Dea dan memasukkannya ke dalam mobil lalu ia menemani gadis itu di kamarnya.Reno menanti Dea hingga sadar. Amelia sudah menyiapkan teh hangat dan membalurinya minyak kayu putih.Dengan perlahan Dea membuka kedua matanya. Amelia segera mengambilkan teh buatannya, namun Reno mendekat dan meminta agar dirinya diberi kesempatan untuk menjaga Dea."Biar saya saja yang memberikan minumannya, Tante. Saya ingin memperbaiki semua kesalahan saya dah
Sore yang cerah telah berganti menjadi gelap. Bian belum pulang dari mini market. Hal itu membuat Dea kebingungan."Ma, kenapa Kak Bian lama sekali, ya? Tadi katanya cuma sebentar."Dea semakin merasa risau. Perasaannya sudah tidak enak. Ia takut terjadi apa-apa dengan suaminya."Kamu yang sabar ya, Dea. Coba hubungi nomornya dan cepat suruh pulang.""Baik, Ma."Dea segera mencari ponselnya. Ia mencoba menghubungi Bian dan ternyata ponsel suaminya tertinggal di meja nakas."Yah, Ma. Ponsel Kak Bian ketinggalan. Bagaimana ini?" Dea semakin risau. Harusnya ia bahagia karena hubungan semakin dekat."Sudah. Kita tunggu saja. Sebaiknya kita berdo'a agar Bian baik-baik saja."Dea mengangguk cepat. Ia sampai belum mau minum obat yang harusnya sudah ia konsumsi."Apakah sebaiknya kita menyusul Kak Bian, Ma? Seharusnya Kak Bian berada di tempat yang tidak terlalu jauh dari sini," ungkap Dea kepada sang mama."Suasana sudah gelap, Sayang. Mama tidak mau nanti kamu kenapa-napa. Mama yakin Bian a