Meskipun makanan laut yang menggugah selera tersaji di atas meja, perjamuan makan malam di hari itu jauh dari ekspektasi yang diharapkan Riana. Terlepas dari usaha Abas untuk menjaga suasana di meja makan tetap terkendali, semua itu menjadi sia-sia dengan ketegangan yang makin terasa seiring waktu.Tatapan Alfin bagaikan belati tajam yang terbang menembus udara dan mendarat tepat pada Adrian. Namun, Adrian seolah-olah tidak peduli dan lanjut mengisi piringnya dengan makanan. Dia mengupas kulit udang dengan lincah, mencelupkannya ke saus cabai, lalu menaruhnya di piring Riana. Dengan nada yang tenang, dia berkata, "Ini udang kesukaanmu, Sayang."Riana tersenyum canggung, lalu membalas, "Makasih, Sayang."Setelah memakan udang besar itu, Riana menenggak segelas anggur putih. Dia menepuk pelan ujung bibirnya dengan kain serbet, lalu berujar, "Em, saya permisi ke toilet dulu.""Biar aku tunjukkan jalannya," kata Adrian menawarkan."Nggak usah. Nggak apa-apa, Adrian." Riana mengambil tasnya
'Apa? Memberi Adrian kesempatan memimpin perusahaan?' pikir Fredy. Jika Adrian menginginkan posisi direktur utama tahun lalu, Fredy mungkin tidak akan pernah mempertimbangkannya. Namun, dengan kondisi bisnis saat ini, mungkin dia bisa memanfaatkan situasi jika Adrian menjadi direktur utama.PT Bhimasakti kehilangan proyek dan Fredy sudah kehabisan akal mencoba mencari cara untuk mengembalikan kejayaannya. Adrian mungkin saja mempunyai solusi yang tidak ingin dia bagikan.Dalam benaknya, Fredy berpikir, 'Kalau Adrian berpikir dia bisa membuktikan dirinya dengan mengambil alih posisiku untuk sementara waktu, dia salah. Aku akan memanfaatkannya habis-habisan dan saat masa kepemimpinannya yang singkat berakhir, aku yang akan menuai semua hasil kerja kerasnya. Haha!''Adrian, kamu nggak tahu dukungan seperti apa yang aku miliki di dalam dewan direksi sekarang,' pikir Fredy sambil tertawa di dalam hatinya. Meski merasa sangat gembira, Fredy mencoba sebisa mungkin untuk menyembunyikan kegemb
Riana menghirup aroma baju Adrian, dan seketika itu juga pipinya memerah. Mengenakan kemeja kebesaran pria itu membuatnya merasa seperti sedang dipeluk oleh Adrian. Setidaknya, begitulah yang dirasakan oleh Riana."Wow," bisiknya, "wanginya sangat enak."Adrian memiliki pelembut pakaian dan cairan pelicin khusus untuk semua pakaiannya. Segala sesuatu di lemarinya memancarkan aroma maskulin khas yang hangat dan sensual.Dia menelan ludah, jantungnya berdebar kencang di dadanya. Setelah mencuci wajahnya, dia kembali ke kamar tidur, langkahnya dipenuhi kegugupan.Adrian sudah berada di tempat tidur. Dia sedang membaca buku. Dia menatapnya, dan mata mereka terpaku satu sama lain selama beberapa detik.Riana terkekeh sebelum mengangkat tangannya dan bertanya, "Gimana penampilanku?"Mata Adrian berbinar geli saat dia melihat penampilan Riana. "Cocok sekali," katanya, suaranya dipenuhi dengan kepuasan.Kaos dalam Adrian merupakan gaun tidur mini yang sempurna untuk Riana. Kaos itu menutupi le
Sambil tertidur, Riana terus berguling dan berputar. Di sisi kiri tempat tidur, dia merasa kedinginan dan sendirian. Riana sering kali mendapati dirinya bergerak ke arah kanan yang lebih hangat.Meskipun bantalnya agak keras, seperti roti yang terlalu matang, dia tanpa sadar merasa bahwa bantal itu menenangkan. Aromanyalah yang paling menarik perhatiannya. Aroma itu membuatnya merasa aman, dan tertidur seperti bayi sepanjang malam."Hmmm," gumam Riana. Dia tersenyum lebar sambil menikmati aroma maskulin yang menyelimuti dirinya.'Aroma ini sangat familier,' pikir Riana, 'Baunya seperti Adrian.''Adrian?' Riana membuka matanya. Ketika dia melihat bagaimana dia memeluk pria itu seperti boneka beruang, dengan kakinya melingkari tubuh pria itu, dia berteriak dalam hati, 'Oh, ya ampun!'Riana yang terkejut kembali memejamkan mata. Dia tiba-tiba teringat pada sebuah adegan di drama romantis yang dia tonton, di mana pemeran utama wanita terbangun dalam situasi yang sama. Dia berpikir, 'Kok h
Ranita berkata, "Saya merasa sangat terhormat bertemu dengan Anda, Pak Abas, dan terima kasih juga untuk sikap tulus Adrian yang bersedia memperkenalkan kami."Riana dan Adrian mengunjungi Ranita di rumah sakit pada sore hari, dan Abas ikut bersama mereka."Saya juga merasa senang karena dapat bertemu dengan ibu dari wanita yang telah merebut hati cucu saya." Abas tertawa dan berkata, "Asal Anda tahu saja, Adrian orangnya sangat pemilih. Riana pastilah gadis yang istimewa."Abas dan Ranita berbincang di meja makan kamar rumah sakit, sedangkan Riana duduk bersama Adrian di seberang mereka."Oh, Riana memang istimewa," Ranita tersenyum saat dia memuji anaknya, sambil melirik Riana dan Adrian. "Tapi Adrian juga baik.""Dia memang baik. Meski cucu saya ini keras kepala, tapi hatinya baik," jelas Abas. "Kadang-kadang saya merasa cemas. Jangan-jangan Adrian akan tetap melajang seumur hidupnya. Belakangan ini saya memang terus mendorongnya untuk segera berkeluarga. Jadi, saya senang dia berte
Riana berkata dalam hati, 'Ciuman selamat malam?'Mulut Riana ternganga saat dia menatap Adrian dengan mata terbelalak. Rasa geli di perutnya meningkatkan emosinya.Saat matanya menatap Adrian, jantungnya berdegup kencang di dadanya, dia tergagap, "Ci ... ciuman selamat malam?"Ada sedikit kekecewaan di mata Adrian saat dia bertanya, dan itu membuat Riana panik.'Apakah aku sudah memikirkannya dengan matang? Ya, tentu saja!' Setelah ciuman pertama mereka pagi itu, adegan tersebut sering terlintas di benaknya, dan dia bertanya-tanya bagaimana rasanya jika ciuman itu berlangsung lebih lama atau mungkin benar-benar nyata, bukan sekadar kecupan atau kuluman singkat.Adrian mengalihkan pandangannya sambil berkata, "Kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa, Ri."Dengan cepat, Riana memegangi wajah Adrian, matanya dipenuhi kerinduan. Setelah itu, Adrian tersenyum tipis. Dia mengangkat tubuh bagian atasnya sehingga Riana berbaring di lengan kirinya, dan dia mencondongkan tubuh ke arahnya.Riana
Adrian berseru setelah membuka penutup mata Riana, "Kejutan!"Mata Riana membelalak tak percaya, dan mulutnya ternganga. Dia sedang melihat sebuah ruangan kantor. Ruangan itu merupakan pusat segala aktivitas. Orang-orang sibuk masuk dan keluar, menyiapkan meja, dan mengatur telepon. Bilik-bilik berdiri dalam barisan yang rapi. Ruangan-ruangan kantor yang tertutup juga sudah dapat digunakan. Logo perusahaan menghiasi dinding-dinding yang baru dicat.Diliputi kegembiraan, Riana berseru, "Ya ampun. Apakah ini nyata?"Matanya berbinar dengan air mata kebahagiaan, jantungnya berdegup kencang dengan kesadaran bahwa mimpinya masih bisa dicapai. Dia dengan riang menoleh ke Adrian. Pria itu sedang berdiri sambil bersandar ke dinding. Riana serta-merta memeluknya dan mencium bibirnya."Terima kasih banyak, Sayang," kata Riana, penuh dengan rasa syukur. "Kantornya sangat indah."Adrian tersenyum. Dia melingkarkan lengannya ke pinggang Riana dan mencium leher kekasihnya dua kali. Lalu dia menjawab
Saat Kris tengah mengendarai mobil mereka keluar dari gedung opera, Adrian berkomentar, "Kupikir kamu sudah kenyang."Perut Riana berbunyi. Suaranya yang bergemuruh pelan seperti bergema di dalam mobil yang sunyi. Dia terkekeh mendengar suara itu dan berkata, "Tadinya aku memang kenyang. Tadi sore aku makan roti lapis dengan Ibu, jadi aku hanya makan sedikit saat kita makan malam. Sekarang tampaknya aku lapar lagi.""Tadi kamu 'kan cuma makan salad," kata Adrian. Dia menyuruh Kris untuk mampir ke hotel terdekat di mana mereka bisa makan larut malam.Hotel yang terdekat adalah Hotel Marriot, yang anehnya dipenuhi orang-orang pada pukul 10 malam."Sepertinya sedang ada acara, Pak," kata Kris, "Apakah sebaiknya kita pergi ke hotel lain?"Adrian mengerutkan kening. Dia menjawab, "Kita nggak punya pilihan lain. Menurutku restoran hotel seharusnya kosong. Hubungi manajer hotel dan atur agar seorang staf mereka menemui kami.""Ya, Pak," jawab Kris.Sesuai dugaan Adrian, tidak ada orang di dal
Kilas balikLebih dari enam tahun lalu.Abas akhirnya memutuskan untuk mengizinkan Linda terbang ke Widenia untuk merawat Adrian. Sudah lima bulan yang melelahkan sejak kecelakaan itu, dan akhirnya, Adrian bisa duduk. Namun, dia masih tidak bisa berdiri, bahkan sedetik pun, dan dia juga bergantung pada orang lain untuk hal-hal dasar seperti pergi ke kamar mandi, mengganti pakaiannya, dan sebagainya.Linda datang dengan wajah khawatir. Dia menata meja tempat tidur rumah sakit dan memperhatikan Adrian makan dalam beberapa menit berikutnya. Matanya tidak pernah lepas dari Adrian.Ketika Adrian selesai, Linda bertanya, "Adrian, bisa kamu ceritakan lagi tentang kecelakaan itu? Apa yang membuatmu keluar jalur?"Adrian menghela napas berat. Dia tidak suka mengingat kecelakaan itu. Dia menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku nggak ingin membahasnya.""Adrian, ini penting," Linda bersikeras. "Aku ingat kamu bilang kamu merasa ada yang menarik kakimu.""Ya. Mungkin ranting," jawab Adrian tanpa
Riana menikmati sensasi kejantanan Adrian yang tebal dan panjang keluar masuk darinya. Batang itu memenuhi dinding-dindingnya dan mencapai ujung-ujungnya. Tubuh Riana bergetar karena orgasme berulang yang dialaminya saat Adrian tiba-tiba memegang pinggang Riana dan mendorong kejantanannya dengan kuat."Aaaah!" Adrian mengerang keras. Matanya terpejam, dan rahangnya terkatup rapat.Riana sangat paham ekspresi itu. Tidak lama kemudian, dia merasakan cairan hangat pria itu memenuhi rahimnya. Matanya membulat saat dia bertanya, "Apa kamu ... sudah ejakulasi?"Pria itu mengerang. Dia menarik Riana turun dari tubuhnya dan memeluknya erat-erat. Dia mengaku, "Ya. Aku sudah menahannya sejak kamu mengulumku. Maaf. Rasanya terlalu nikmat."Riana sedikit kecewa. Namun, saat dia berbaring di dada pria itu, Riana merasakan kejantanannya berkedut di dalam dirinya. Adrian berkata, "Jangan khawatir. Aku belum selesai denganmu."Adrian tiba-tiba menggulingkannya ke sisi lain tempat tidur dan mendorong b
Di vila Adrian, Riana menunggu di tempat tidur hingga kekasihnya selesai mandi. Dia merasa sangat cemas. Dia berulang kali menarik napas dalam-dalam sambil terkadang mengepalkan tangannya ke selimut tempat tidur.Akhirnya, pria itu keluar dari kamar mandi.Seperti biasa, Adrian tampak rupawan. Rambutnya sedikit basah dan otot-ototnya bergelombang hingga ke pinggangnya yang ramping. Alih-alih piama, Adrian hanya mengenakan handuk di pinggangnya. Caranya berdiri dengan percaya diri di dekat pintu kamar mandi dengan dukungan minimal hampir membuat Riana lupa bahwa pria itu memiliki masalah kaki."Jadi, apa kejutannya?" tanya Adrian, suaranya terdengar memikat di telinga Riana."Ini kejutanku," jawab Riana. Dia berbalik dengan menggoda, memperlihatkan punggungnya kepada pria itu. Riana merangkak naik ke tempat tidur, dan saat dia melakukannya, gaun tidurnya terangkat ke pantatnya. Saat dia merasakan udara dingin ruangan itu di bagian tengah tubuhnya, dia tahu bahwa dirinya telah menunjukka
"A … aku nggak tahu harus berkata apa." Ranita menatap Riana dengan ekspresi cemas. Dengan suara bergetar, dia berkata, "Kamu yakin mau menikah?"Berhubung Adrian dan Riana sudah memantapkan diri untuk segera menikah, mereka pergi menemui Ranita di rumah sakit untuk menyampaikan kabar ini. Seperti yang sudah Riana duga, Ranita tidak terlalu senang setelah mendengar kabar tersebut."Bu, aku yakin." Suara Riana terdengar tegas, sorot matanya penuh dengan keyakinan. Dia menceritakan setiap detail tentang Adrian, mulai dari masa mereka kuliah hingga betapa Adrian selalu ada untuknya selama bertahun-tahun.Saat Riana menyampaikan ceritanya, Adrian duduk di sisi meja kopi, menunggu gilirannya untuk berbicara."Jadi, Beni bohong pas dia bilang ke kamu kalau dia yang menyelamatkanmu?" tanya Ranita. Ekspresinya yang berubah sedikit masam menunjukkan kemarahannya atas apa yang baru saja dia ketahui."Ya, Bu," kata Riana mengonfirmasi. "Beni juga tahu kalau dulu Adrian menyukaiku.""Aku paham Tan
Riana seketika terbangun saat merasakan sinar matahari menyentuh matanya. Dia memanggil, "Adrian?"Pria itu tidak berada di sampingnya. Ketika dia meraba dadanya, Riana menyadari bahwa dia sudah mengenakan baju tidurnya lagi. Dia pun paham bahwa Adrianlah yang mengenakan baju tidur itu untuknya sebelum pergi. Namun, ke mana Adrian pergi?Riana segera bangkit dari tempat tidur dan memeriksa kamar mandi. Adrian tidak ada di dalam. Kemudian, Riana melihat jam dan menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang!Tiba-tiba, Riana merasa cemas. Jantungnya berdebar tidak karuan saat dia bergumam, "Mungkinkah Adrian meninggalkanku?"Semalam, ketika Adrian bertanya apakah Riana mau segera menikahinya, Riana menolaknya dengan alasan dia tidak mau membuat Ranita syok. Riana ingin memberikan ibunya sedikit waktu untuk menyesuaikan diri sebelum Riana melangkah ke pernikahan lagi. Riana mengambil jubah satin dan mengenakannya sebelum keluar untuk mencari Adrian di rumah itu. Adrian tida
Adrian sangat terangsang. Sebagai seorang pria, tentu saja, dia pernah bermimpi bercinta dengan Riana.Riana yang berbaring telanjang di tempat tidurnya, terlihat sangat menggairahkan. Dadanya naik turun. Puting payudaranya yang bulat sempurna tegak, tungkainya yang jenjang gemetar, dan wajahnya bersemu merah. Mulutnya sedikit terbuka, dan bagian terbaiknya adalah bagaimana dia bisa menikmati pemandangan kewanitaannya yang telanjang.Bagi Adrian, bagian intim Riana sangat menggairahkan. Labianya tampak seperti bibir yang penuh, berkilau oleh jus cinta. Terlebih lagi, dia membayangkan bagaimana rasanya memasukinya.Adrian dengan bersemangat membentangkan kaki Riana. Sementara dia membelai dirinya sendiri, dia merasakan bagaimana kejantanannya menjadi lebih keras dan lebih tebal. Ketika dia menyejajarkannya ke pintu masuknya, jantungnya berdegup kencang.'Akhirnya ini terjadi. Riana menjadi milikku sepenuhnya.'"Aaah!" Saat dia mendorong anggotanya ke dalam kewanitaan Riana, dia mengeran
Riana mendesah. Dia merasa sekujur tubuhnya merinding saat Adrian menyentuh payudaranya. Adrian dengan cepat memasukkan tangannya yang besar ke bawah gaun tidur satinnya, dan meremas dada wanita itu dengan lembut. Adrian tidak menyia-nyiakannya sedetik pun. Sebelum Riana mengerang untuk kedua kalinya, bibir Adrian telah mencumbu bibirnya lagi, dan lidah mereka menari bersama. Suara bibir mereka yang saling mengecup yang sesekali disertai dengan desahan penuh gairah bergema di seluruh ruangan, dan Riana tidak bisa mendengar apa-apa lagi.Dia merasakan jari-jari Adrian bermain-main dengan putingnya. Sering kali, dia akan mencubitnya dengan ringan atau menelusurinya dengan jarinya. Tindakannya membuat seluruh tubuh Riana bergelinjang dan tangannya bergerak tanpa disadari, menekan setiap otot tubuh bagian atas pria itu. Tubuh Adrian sangat kencang. Dadanya keras, dan perutnya ramping. Riana menikmati setiap detiknya saat dia merasakannya.Cara Adrian menciumnya membuat bibir Riana menja
Adrian berkata, "Bersediakah kamu memilikiku?"Riana kagum bahwa setelah semua yang terjadi, Adrian masih mempertimbangkan perasaan dan keputusannya. Dia bukan tipe pria yang memutuskan segala sesuatu atas nama Riana dan mengasumsikan sesuatu berdasarkan status mereka saat ini karena, jelas, mereka sudah berperilaku seperti pasangan sungguhan.'Adrian benar-benar orang yang baik,' renungnya.Riana dengan lembut meletakkan tangannya di pipi pria itu. Matanya terpaku pada iris abu-abunya yang menawan. Dia berbisik sambil tersenyum, "Aku juga menginginkan hubungan ini. Aku ingin tahu akan seperti apa hubungan kita kalau kamu nggak kecelakaan. Sayangnya, kita nggak bisa kembali ke masa lalu, tapi setidaknya kita belum terlambat.""Ya, kita belum terlambat," Adrian setuju. Dia tersenyum, lalu mendekatkan dahinya untuk menempelkannya pada dahi Riana. "Kita berdua berada di sini dan usia kita juga masih muda.""Jadi, ya. Aku akan senang memilikimu. Kita nggak perlu berpura-pura lagi." Riana m
Riana patah hati. Bagaimana mungkin dia tidak merasa demikian? Dia merasa haknya untuk mendapatkan cinta dan kehidupan yang lebih baik telah dirampas.'Andai saja aku jatuh cinta pada Adrian dan bukan Beni. Andai saja Adrian nggak pernah mengalami kecelakaan. Andai saja Beni nggak berbohong pernah menyelamatkanku.'Setelah Adrian mengatakan yang sebenarnya, dia tidak bisa menahan tangisnya."Aku nggak bisa ... aku nggak bisa menerima kenyataan ini. Seharusnya orang itu adalah kamu! Kamulah orangnya!" Suara Riana pecah karena beban emosinya. Tangannya terkepal erat di dadanya, dan napasnya terengah-engah."Riana?" Dari kursi rodanya, Adrian berlutut agar bisa sejajar dengannya. Dia dengan lembut memegang lengannya dan bertanya, "Apakah aku telah mengatakan sesuatu yang salah?""Nggak!" Riana berpegangan pada lengan Adrian. Dia berkata, "Aku sangat marah pada Beni! Dia telah membohongi kita berdua."Bibirnya bergetar, dan dia berkata dengan tegas, "Aku hanya merasa bahwa seharusnya aku m