Seru? Kirimkan gem untuk cerita ini, yuk!
Suasana rumah sakit tampak seperti biasa. Hanya saja, ada mobil patroli polisi yang terparkir di pelataran depan. Biasanya, jika tidak ada kasus kriminal, mobil itu tidak ada. Sekarang, mungkin dalam rangka penyelidikan, mobil itu masih berlalu-lalang di sana. Andre menggegas langkah menuju ke ruang Presiden Direktur yang ada di lantai teratas, dekat dengan area VVIP yang menjadi ruangan termahal di Rumah Sakit Andromeda. Sesekali, ia melirik arlojinya, hari masih belum terlalu siang, pukul 11. “Presdir masih ada di ruangannya?” Andre bertanya pada sektretaris yang ada di depan. Ini adalah basa-basi sederhana, meskipun Andre berhak untuk masuk saja, mengingat, dia adalah calon menantu sekaligus pemilik sebagian rumah sakit ini. “Ada, Dokter. Tapi ….” “Tapi?” “Anda tidak boleh menemuinya. Begitu pesan beliau.” “Apa? Tidak masuk akal!” “Ma–maaf, Dokter. Tapi, kami dilarang membiarkan Anda masuk.” Andre mengacak kasar rambutnya, kemudian berjalan masuk ke kantor sang Presdir. Teri
“Apa? Siapa yang berhak memecatmu?” “Presdir.”“Berani-beraninya dia!” “Kakak! Tenanglah. Dia yang punya rumah sakit.” “Tetap saja! Berani-beraninya dia memecat adikku yang lucu! Tidak bisa dibiarkan! Aku akan mengadukan hal ini pada suamiku! Ndre! Tabah ya! Kakak akan segera datang!” “Kakak … bukan itu maksudnya. Kakak tolong bilang pada—” Tut … Tut … Tut …. Telepon itu terputus. Andre geram dan semakin kesal. Seharusnya dia memang tidak menghubungi kakaknya dan meminta tolong. “Padahal, aku cuma ingin dia menyampaikannya pada nenek! Kenapa jadi runyam begini?” Andre menyesali perbuatannya. *** Senja mulai merayap, Andre mengendarai sedannya dengan kecepatan sedang, menuju ke rumah aman yang Kramat Jati, Jakarta Timur. Kondisi jalanan sedang cukup padat-merayap, Andre harus bersabar. “Kenapa CCTV jadi masalah akhir-akhir ini?” Ia bergumam sambil memandang lelah ke arah jalan yang hanya menyisakan jarak sejengkal dari satu mobil ke mobil lainnya. Andre menghela napas dalam. Ia
“Silakan Pak Dokter. Katakan, apa yang bisa saya bantu?” Ibu Putri begitu senang hati membantu keperluan penyelamatnya. Andre tersenyum kemudian baru mengatakan hal yang selama ini sedang dicarinya. “Apakah restoran ini buka pada tanggal 1 Septermber?” tanya Andre setelah mengecek catatan pada ponselnya. Pada tanggal itulah Lara dilarikan ke rumah sakit. “Tanggal 1 September?” Ibu Putri mencoba mengingat-ingat. Ia juga mengecek catatan pada ponselnya. “Hari itu adalah hari sesaat sebelum saya pergi ke kampung halaman. Ada kecelakaan hebat di depan restoran. Saya takut sekali. Tapi, tidak bisa apa-apa kecuali menelepon polisi. Saya benar-benar sedang terburu-buru.” Andre tampak menaikkan senyumannya. “Jadi, ibu masih sempat menyaksikan kecelakaan itu?” “Iya, Pak! Bagaimana tidak. Suaranya kencang sekali terdengar. Meski waktu itu restoran sedang tutup, tetap saja, saya bisa mendengar benturan benda keras. Truk besar menabrak mobil itu sehingga penyok! Kasihan sekali,” kenangnya sam
Lara tertidur seperti bayi dalam pelukan Andre. Rasa marah, kecewa dan juga kesedihan yang membaur jadi satu, menyebabkan tubuhnya melemah. Ia tak memiliki tenaga lagi. “Eum …” Lara bahkan bergumam dalam tidurnya. Terkadang, keringat dingin mengucur bersamaan dengan teriakan-teriakan yang membuat Andre terkesiap. Pria itu tidur di sofa, tak jauh dari ranjang Lara. Ingin sekali Andre menemani Lara tertidur, tapi … ia tak ingin dianggap sebagai lelaki brengsek yang mencuri kesempatan tanpa persetujuan sang kekasih. “Ndre ….” Lara memanggil namanya, pada akhirnya. “Aku di sini,” sahut Andre pelan sambil bangkit dari posisi yang awalnya merebah. Ia menggosok matanya untuk menyesuaikan keadaan, kemudian berjalan mendekat ke ranjang Lara. “Ada apa, Ra? Kau memerlukan sesuatu?” Lara meraih tombol lampu tidur di sisi ranjangnya dan menyalakannya dengan perlahan. Ia dapat melihat wajah Andre secara lebih terang. “Enggak,” sahutnya sambil menggeleng pelan. “Tidurlah di ranjang. Nanti b
Andre tertawa sampai terlihat gigi-gigi putihnya. Senyumannya yang menawan membuat jantung Lara berdebar. Namun, wanita itu segera memalingkan wajahnya. “Pakai baju dulu!” perintahnya untuk yang kesekian. “Oke, oke. Tunggu sebentar, ya.” Andre berhenti menggoda Lara dan beranjak pergi ke kamar ganti. Beberapa helai pakaian selalu tersedia di mobilnya. Andre tak perlu risau jika ada kepentingan mendadak karena memang begitulah kehidupan seorang dokter. “Setidaknya, dulu … meski kini aku pengangguran,” gumam Andre sambil menyisir koleksi kaos dan juga celana pendek untuk bersantai di pagi hari yang cerah ini bersama Lara. ***“Ternyata, kau jago masak juga. Nasi gorengnya enak,” puji Andre setelah menyendok hidangan yang tersedia di hadapannya. “Terima kasih. Mungkin karena kebetulan aja. Biasanya yang memasak, ya, pembantu. Aku cuma kadang-kadang aja.” “Calon istri yang baik, nih,” seloroh Andre sambil melempar pandang ke arah Lara yang duduk di hadapannya. Wanita itu hanya tersi
“LARA!” “ANDRE!” Suara Lara tercekat tatkala mendengar suara barang pecah kemudian ada sesuatu yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya melalui jendela. Bau anyir dan busuk segera tercium. Lara benar-benar ketakutan karena tidak bisa melihat di dalam gelap. “Kau tidak apa-apa?” Andre tampak memeluk Lara, setelah mengulurkan tangannya ke arah ranjang. Listri padam. Mereka tidak bisa melihat apa-apa, tapi … Andre dapat menebak keberadaan Lara melalui suaranya. “Aku baik-baik saja, tapi … ada sesuatu yang masuk dari jendela!” “Tunggu di sini, aku periksa!” “I–iya ….” Lara masih berusaha menenangkan dirinya ketika Andre berjalan pelan menuju ke arah jendela. “Akh!” Andre terkejut karena sepatunya menginjak cairan yang hampir merobohkannya. Ia segera meraih pegangan apapun yang dapat menyeimbangkan tubuhnya. Andre lalu membuka jendela lebar-lebar. “Shit!” Andre memekik penuh kejutan ketika sinar bulan dapat memberikan sedikit cahaya untuk memeriksa sesuatu yang membuat mereka pen
Mobil Andre masuk perlahan ke area apartemen yang begitu mewah. Gedung tinggi itu begitu berbeda dengan apartemen Mahya. Lara mengetahui bahwa level penghasilan Andre memang jauh di atas sahabatnya, namun ia tak menyangka bahwa Andre juga bisa membeli unit apartemen mahal di kawasan jakarta ini. “Bagus, Ndre, apartemennya,” ucap Lara kagum ketika mobil mereka mulai masuk ke rubahah. “Ya. Aku senang jika kau menyukainya,” Andre memacu mobilnya perlahan karena area parkir bawah sudah terisi penuh. Ia menuju jalanan berkelok yang menghubungkan lantai paling bawah ke lantai yang ada di atasnya. Lara bisa menaksir harga apartemen yang sedang hendak ditujunya ini. Seno–meskipun tidak bisa menjadi suami andal–sering mengajarinya untuk menaksir harga sebuah barang. Dalam kehidupan seseorang yang penuh dengan limpahan harta, tentu akan ada banyak orang yang berusaha menipu mereka. Lara belajar bagaimana cara menilai barang sebagai sesuatu yang berharga atau hanya berupa rongsokan saja. Ke
Wajah Lara memerah, bukan karena malu … melainkan, efek alkohol telah naik hingga ke kepala. “Te—terlalu dekat ….” Andre mencoba memalingkan wajahnya. Ia tahu bahwa Lara tidak sepenuhnya sadar. “Hm? Apa yang kau katakan?” Suara Lara terdengar menggoda, dengan permainan tangan dan kaki yang mulai menggagahi Andre sepenuhnya. Juntaian rambut Lara membuat darah Andre berdesir hingga ke kepala. Bagaimana tidak? Rambut Lara begitu menggoda dengan wangi bunga yang menyeruak hingga menggelorakan gairah yang tertahan, pun desahan suara Lara, semua begitu sempurna. Kesempurnaan yang begitu menyiksa Andre akibat menahan gejolak hasratnya! “La–lara ….” Pria itu tampak kikuk dan malu-malu karena merasa diserang terlebih dahulu. Andre adalah tipe penyerang, jika demikian … ia merasa dipecundangi dan malah bingung harus berbuat apa,. “Ndre ….” Suara Lara kembali menggoda, alih-alih melepaskan jeratannya, wanita itu semakin berani mendekatkan diri. Kali ini, bibirnya beradu di dagu sang kek
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir
Selama dua hari, Lara dan rombongannya menghabiskan waktu di bangunan tua milik sang Ibu. Saat ini, dengan persiapan yang lebih matang dari sebelumnya, ia kembali ke pengadilan untuk menghadiri sidang lanjutan. Bukti-bukti yang didapatkan di bangunan tua itu benar-benar menjadi titik balik bagi perkara Lara. Kali ini, sang pengacara dapat dengan yakin akan memenangkan gugatan terhadap lawan mereka! “Saudari Lara, silakan maju ke kursi saksi,” panggil sang hakim sambil menyorot tajam ke arahnya yang sedang duduk gelisah di bangku panjang. “Kau bisa, Sayang,” ucap Andre sambil menggenggam tangan Lara. Wanita itu mengangguk sambil menelan ludah saat mendengar panggilan dari sang hakim “Doakan aku, oke,” lirihnya pada Andre sambil mencoba menenangkan degupan jantungnya yang berdebar kencang. “Tentu, kau pasti bisa,” hibur Andre sambil mengacungkan tinjunya ke udara untuk menyemangati sang kekasih hati. Lara mengangguk, kemudian berdiri dan melangkah menuju kursi saksi di tengah ruan
“Andre! Tidaaaak!” Lara memekik tatkala suara tembakan itu bergema di sepanjang jalan. Suara letusan pistol itu merobek heningnya malam, melebur dengan suara detak jantung mereka yang berdegup kian kencang. Suasana menjadi kacau balau saat tembakan mulai terdengar. Aroma busuk asap mesiu segera mengisi hidung mereka dengan intaian kematian. Andre melihat dengan ngeri saat salah satu pria berjas itu jatuh dengan luka tembak di dadanya. “Aku baik-baik saja, Ra! Me–mereka yang tewas!” kata Andre sambil memastikan bahwa tidak hanya satu orang pria yang roboh di hadapan mereka, tapi, keempat-empatnya. Lara, yang terdiam sambil menahan napasnya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Air matanya mulai menetes ketika dia melihat orang-orang itu telah kehilangan nyawa. “Apa yang terjadi?” Lara bertanya-tanya ketika musuh mereka telah tewas tanpa aba-aba. Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka. “Oh, Laraku yang malang ….” “Si–siapa?” Lara menoleh ke arah sumber suara. Di sana, s
Moncong senjata itu diacungkan ke arah kepala Andre, sontak sang dokter berusaha untuk tetap tenang karena … Lara ada tepat di belakangnya! “Whoa … tenang, Bung!” teriak Andre sambil menahan ketakutan yang mulai menjalari tubuhnya. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, hanya dengan satu tarikan pemicu, maka lubang kecil di kepalanya akan berhasil membuat hidupnya berhenti seketika. “Cepat!” Pria itu tak ingin lagi berbicara. Ia benar-benar ingin mengakhiri kejar-kejaran kucing dan anjing ini dengan cepat. Ia memakai kembali kacamatanya. Dan kini bergerak semakin dekat ke arah Andre dan Lara. “Ndre! Berikan aja, Ndre!” pinta Lara sambil menangis tersedu-sedu. Ia tak ingin nyawa orang yang sangat disayanginya berada dalam bahaya. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak hanya menggertak? Kondisi jalan sepi ini juga sangat tidak menguntungkan mereka. Hari pun sudah begitu gelap. Tidak mungkin ada orang yang bisa melihat kejadian mengerikan ini, apalagi untuk melaporkan kepada pih