Ayo kirimkan gem untuk cerita ini! Terima kasih!
Dengan langkah tergesa, Andre membelah kerumunan di IGD, mengikuti gulir roda bed yang membawa Lara dan Mahya ke koridor yang ramai. “Aku akan mengambil alih pasien ini!” seru Andre sambil mengikuti bed Lara. “Baik, Dokter!” sahut dokter jaga di IGD tersebut. Dalam hati, ia bersyukur karena dokter senior mau mengambil alih pasien mereka. Keadaan di IGD sedang kacau! Banyak pasien yang perlu penanganan dengan segera. "Siapkan ruang operasi! Cepat!" perintah Andre dengan wibawa tegas. "Ta–tapi, ruang operasi penuh, Dok!" sahut asisten bedah yang juga ikut berlarian. Andre menggeram, namun tidak berhenti sampai di situ. Ia segera berteriak dengan perintah mutlak dalam keadaan gawat darurat. "Pakai ruangan pribadiku!” "Baik, Dokter!” Sang asisten segera berlari menuju ke ruangan operasi pribadi milik dokter Andre, setelah sebelumnya, ruangan itu hanya menjadi mitos belaka. Sebagai mantan pemilik tunggal, Andre memiliki ruangan khusus untuk studinya. Ruang operasi pribadinya, yang se
Gelas kertas yang ada di genggaman Miriam remuk seketika. Dokter cantik itu segera pergi dengan amarah yang membara. “Lara! Seharusnya kau tidak memprovokasiku!” geramnya sambil berlalu pergi. “Do-dok!” Sang asisten yang tadi bersamanya tampak kebingungan. Namun, ia segera mengejar sang atasan yang tampaknya sedang terbakar amarah. Apa yang sebenarnya terjadi? *** Andre tampak menatap nanar ke arah Lara, sang pasien, si wanita pujaan, yang kini terbaring lemah di ruang perawatan. Kedatangan Bi Yani membuat lamunannya buyar. “Kopi, Dok?” tawarnya. “Terima kasih,” Andre menerima kopi yang disodorkan oleh Bi Yani dengan seutas senyuman. “Kenapa dokter tampan seperti Anda masih menjomblo?” tanya Bi Yani agak sedikit pribadi, setelah pembicaraan terakhir mereka tentang rencana pendekatan terhadap Lara. “Sebenarnya, saya sudah punya tunangan,” jawab Andre jujur. Ia memang merahasiakan hal ini dari semua orang. Namun, rencananya untuk mendekati Lara seharusnya menjadi batas jelas ant
Seno menyeringai. Respon sang dokter benar-benar di luar dugaannya. “Anda tahu, Dok? Ada dua tipe orang yang bisa meraih kesuksesan dalam sekejap mata,” katanya secara tiba-tiba. “Kemana arah pembicaraan ini?” Miriam menatap Seno tajam. Ia tidak sedang ingin diceramahi. Miriam sadar bahwa obsesinya terhadap Andre sudah di luar batas. Tetapi, dia tidak bisa mencegah kehendak hatinya begitu saja. “Saya bisa memberi saran dan juga … tindakan. Mana yang Anda pilih?” Seno mulai memberi pilihan kepada Miriam agar tak sembarangan masuk ke dalam aliansinya. Seno harus mengetesnya terlebih dahulu. Jika Miriam lulus, maka, kesuksesan atau apapun itu akan berada dalam genggamannya. “Ti–tindakan.” Miriam menjawab ragu, Ia tidak tahu apa yang akan ditawarkan oleh Seno kepadanya. “Anda seorang dokter, loh! Apa tidak masalah jika beraliansi dengan pengusaha seperti saya? Dan … tentu saja, tidak gratis!” Seno akhirnya mulai menampakkan niat buruknya. “Apa bayarannya?” “Otoritas Anda sebagai sa
Carol dan James saling berpandangan. Namun, anggukan dari sang kakak, membuat Carol mengedipkan kedua matanya. “Baiklah, Dokter. Kami akan mempercayakan semua ini kepada Anda.” “Terima kasih, tolong jangan membuat keributan. Hal ini harus diselesaikan dengan tenang, hm?” ucap Andre sambil menatap lurus ke arah kedua tamunya tersebut. “Baik ….” Setelah mengucap salam, mereka pun beranjak pergi dari ruangan sang dokter dengan langkah ringan. Tidak ada lagi yang harus mereka khawatirkan. “Untuk jaga-jaga, Kakak akan tetap huBroi pengacara kita,” kata James sebelum mereka keluar dari lobi rumah sakit. “Baiklah, Kak. Lakukan yang dianggap perlu. Aku akan memantau dari ruangan Mahya. Aku akan menyalin berkas-berkas yang berkaitan dengan kasus ini.” Kedua petinggi Channel Insight itu pun tidak lagi terlihat di area rumah sakit. Andre, di sisi lain, sedang menelepon sahabat lamanya untuk menagih utang budi yang pernah dia terima. *** “Bro, temui aku di kelab malam ini.” “Wow! Seorang
Menghabiskan malam yang seru bersama sahabat menjadi hal yang sangat berarti bagi Andre yang setiap hari didera kesibukan. Persoalan Lara tentu akan dia prioritaskan. Andre bahkan rela menukar jadwal dengan dokter lain agar dapat bersama dengan Riko demi Lara! “Udah, jangan cemberut. Nikmati malam ini dengan happy, Bro!” ucap Riko sambil mengangkat gelasnya. Andre hanya tersenyum kecut dan memesan soda. “Besok ada jadwal operasi, Bro! Gak boleh mabok lah!” “Ah! Nggak asyik!” Riko menggerutu, namun ia tetap mendentingkan gelas vodkanya kepada sang sahabat. “YOLO!” Suasana di kelab memang sangat hidup, Andre mengakui itu. Dorongan untuk menenggak alkohol tentu besar namun ia harus bijak. Mabuk-mabukan bersama Riko hanya akan membawa masalah pada pekerjaannya. Entah kapan Andre akan bisa bersantai tanpa menghiraukan jadwal kerja. “Eh, gimana kabar Kakakmu? Kok, nggak pernah kedenger?” Riko membuka obrolan. Andre hanya tersenyum simpul mengingatnya. “Baru nikah dia. Lagi bulan madu k
Lara membeliak mendengar permintaan sang sahabat. Namun, apakah Andre cocok disebut demikian? Ketika kasus tabrak-lari sang ibu masih terngiang-ngiang di pikiran. “Maaf, Ndre. Aku ingin istirahat,” Lara mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan Andre yang seolah menanti harapan atas kejelasan hubungan mereka. Tidak selayaknya mereka kembali berhubungan. Kedua keluarga itu seharusnya bermusuhan. “Lara …..” Andre tampaknya mengerti dengan sikap defensif Lara. Sekeras apapun ia mencoba, agaknya Lara masih menganggap bahwa keluarga Ramsey adalah pembunuh ibunya. Padahal, hasil otopsi mengatakan sebaliknya. “Tolong ….” Lara kini meringkuk dan bersembunyi di balik selimutnya. Ia kira, dengan keselamatan nyawanya dan juga meredanya ancaman terhadap Mahya, sudah cukup menjadi bukti bahwa Andre masih menghargai persahabatan mereka di masa lalu. Sudah cukup, hanya itu. Lara tidak bisa memberi Andre apa-apa lagi, terutama … jika itu menyangkut perasaannya. “Hhh ….” Andre
“APA?!” Seno menggeram ketika asistennya mengabari hal yang membuat darahnya naik seketika. Tengkuk Seno terasa sakit, namun ia mencoba bertahan. Beberapa menit lagi adalah waktu Seno naik ke atas panggung untuk peluncuran obat baru yang selama ini dikerjakannya: Escitalopram. Obat ini rencananya akan didistribusikan secara massif di masyarakat dengan harga subsidi mengingat … Seno memang sedang melancarkan aksi untuk mengeruk keuntungan tiada batas dari efek samping yang akan dihasilkan. “Hubungi Kapolres! Aku ingin berbicara dengannya!” sahut Seno kasar lalu menutup panggilan. Ia menarik napas dalam-dalam kemudian mencoba menstabilkan kembali degupan jantungnya yang tak karuan. Kali ini, Seno tidak boleh lagi kehilangan jejak Lara. “Ada apa? Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya Olivia yang baru saja bergabung dengannya di belakang panggung acara. “Bukan urusanmu,” jawab Seno cepat. Akhir-akhir ini, tensi Seno naik secara drastis. Hal ini disebabkan oleh kegagalan demi kegagalan d
BUGH! “Aww!” Lara mengaduh ketika seorang pria menabraknya. “Maaf, Mbak … ini,” ucapnya sambil menyodorkan sebuah ponsel model lama dengan catatan yang ditempelkan di atasnya. ‘Angkat telepon ini’. Begitu tulisan di catatan itu. “Mas! Tunggu!” teriak Lara pada pria bertopi hitam yang tiba-tiba pergi itu. Namun, dia malah berlari semakin cepat kemudian menghilang di tengah kerumunan. Lara terdiam. Tak lama kemudian, dering telepon tiba-tiba datang. “Apakah aku harus mengangkatnya?” Lara merasa curiga. Kejadian yang menimpanya beberapa waktu ini membuatnya kian waspada. Lara tidak boleh ceroboh dan membahayakan nyawanya. Dering telepon itu tak kunjung berhenti. Lara membiarkannya. Namun, detik kemudian, sebuah pesan berhasil menangkap perhatiannya. ‘Lynn, angkat teleponnya’ Kedua mata Lara membeliak. Lynn adalah panggilan sayang dari kedua orang tuanya. Hanya mereka bertiga yang mengetahui itu. Jantung Lara mencelos. Rasanya, kejadian ini hampir seperti mimpi. “Si–siapa?” Ia bert
Waktu berlalu begitu cepat sejak kali terakhir Lara mendengar tentang proses kasusnya. Persidangan terakhir yang menghadirkan Miriam, benar-benar menjadi tolok ukur kemenangan bagi pihaknya. Seno tidak dapat berkelit lagi. Hadirnya saksi dan kuatnya bukti-bukti menjadikan alibinya patah dan segala bantahan dari pengacaranya menjadi mentah. Lara dapat bernapas lega ketika hakim akhirnya menyatakan bahwa Seno bersalah atas kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan. Mantan suami Lara itu pun harus membusuk di penjara akibat perbuatan-perbuatannya. *** “Bagaimana?” tanya Lara ragu, setelah mematutkan diri di cermin selama beberapa waktu. Ia telah mencoba gaun itu sebelumnya, namun ketika hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lara malah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. “Cantik banget!” seru Mahya tanpa sedikit pun keraguan. Shanon berpikir serupa. Carol juga tampak mengacungkan jempolnya. Mereka bertiga sepakat bahwa tidak ada yang salah dari penampilan mempelai hari ini yang c
“Lara?” jawab suara di seberang ponsel Lara dengan nada rendah. Lara dapat menyimpulkan bahwa suara itu adalah milik Kakak Andre, Shanon. “Kak Shanon?” tanya Lara sebelum melanjutkan pembicaraannya. Ia ingin memastikan bahwa Shanon memang wanita yang dimaksud dan bukan orang lain. Lara sedikit melupakan bagaimana suara Shanon. Belasan tahun telah berlalu, dan hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali bertegur sapa setelah insiden salah paham tentang kecelakaan Ibu Lara. “Ya, ini aku, Ra. Shanon. Andre sedang menyetir, kami hendak kembali ke apartemen.” “Ah, baiklah. Aku akan menunggu di sini.” “Oke! Kami akan segera tiba, Ra. Tunggu, ya! Aku membawakan makanan hangat dari restoran favoritku di Jakarta ini. Semoga kamu suka, ya!” Lara mengiyakan, kemudian mengakhiri pembicaraan. Hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia masih belum yakin, bagaimana bersilkap setelah memusuhi orang yang salah selama beberapa belas tahun. Semoga saja, Shanon adalah sosok kakak perempuan seperti yang
Langkah Miriam berlalu begitu cepat menyusuri koridor untuk sampai ke lift yang ada di barat bangunan. “Sial!” Jemari lentiknya sibuk mencari-cari kontak travel agent yang bisa dihubungi. Miriam harus segera meninggalkan negara ini. Sayang, sinyal ponselnya ternyata tidak mendukung misinya, Miriam memutuskan untuk menundanya hingga ia sampai di lobby utama. “Halo?” Miriam akhirnya dapat menghubungi kenalannya. “Siapkan aku tiket ke Washington malam ini,jam–” “Dokter Miriam Rajapatni?” Seseorang tiba-tiba memotong percakapannya di telepon. Miriam terkejut, ia menoleh dalam keadaan setengah sadar. Pikirannya berkelana ke destinasi tujuan yang hendak didatanginya malam ini. “Siapa?” tanya Miriam dengan alis terangkat. Ia merasa tak mengenal pria-pria berkaos di hadapannya. Tiga pria cepak dengan perawakan seperti atlet. Mereka tampak ngos-ngosan, seakan baru saja mengejar hantu atau penjahat yang mencoba kabur. “Saya Detektif Ragas, Anda harus ikut kami ke kantor polisi untuk membe
“Menjelaskan apa. Ndre?” tanya Shanon dengan alis terangkat. Andre hanya menghela napas berat. Ia tahu bahwa campur tangan kakaknya hanya akan memperumit situasi. “Bagaimana Kakak mengetahui semua masalah ini?” Andre masih terheran-heran. “Mengapa Kakak menipuku? Apanya yang gawat?” “Andre! Oh, Andre! Apa yang Kakak tidak tahu? Terutama setelah menikah dengan pria hebat ini? Bahkan semut berbisik pun bisa kudengar!” Shanon bersedekap sambil memandang Andre dengan tatapan aneh. Andre seharusnya tahu bahwa Shanon tidak akan membiarkan adik semata wayangnya menderita, apalagi setelah mengalami pasang-surut kehidupan yang begitu mengguncang dunia mereka. “Hhh … Kayak, sudahlah. Ini bukan hal besar. Masalahnya sudah hampir selesai. Rekaman CCTV rumah sakit ini sudah sampai di tangan jaksa,” ucap Andre sambil melirik ke arah Miriam yang tampak tercengang. “Ba–bagaimana bisa?” Mata Miriam membelalak. Ia sangat yakin bahwa rekaman CCTV itu sudah dihancurkan olehnya, atau … seseorang telah
Andre menyipitkan kedua matanya tatkala nama sang kakak muncul pada layar ponselnya. Untuk apa kakaknya menghubunginya di waktu seperti ini? Tidak biasanya. “Halo?” “Ndre! Gawat! Kamu harus ke sini sekarang!” seru sang Kakak dengan napas tersengal. “Tunggu! Ke sini, ke mana?” Andre bingung karena tidak mungkin ia pergi ke Kanada dalam waktu singkat seperti pindah jalur angkot saja. Ia tak mengerti kenapa Kakaknya begitu tergesa dan seperti sedang dikejar setan seperti itu. “Ke rumah sakit! Bukan ke Kanada, Ndre! Ke rumah sakitmu! Ruangan direktur! Sekarang!” “Kakak–” Tut. Tut. Sambungan telepon terputus. Kakaknya itu memang selalu bisa memenangkan juara jika ada kontes ‘siapa yang paling bisa bikin orang penasaran?’. Andre meremas rambutnya kasar. Ia bingung bagaimana menyikapi permintaan sang kakak, padahal … LAra dan Mahya baru saja menikmati keindahan pantai di ujung utara Jakarta. Apakah mereka harus kembali? “Kenapa, Ndre?” Melihat wajah kusut sang kekasih, Lara tentu saja
Mahya terlihat cantik dengan riasan natural dan bibir lembabnya yang bersinar. Namun, tentu saja, satu hal yang aneh begitu membuat Lara iba. Mahya kini berada di kursi roda. “Kangen aku?” tanya Mahya sambil mengerlingkan sebelah matanya. Lara mengangguk sambil berlinang air mata. Ia kemudian menghambur ke arah sang sahabat dan memeluknya erat. “Apa kabar?” tanya Lara dengan suara serak. Mahya hanya tersenyum dan menepuk punggung Lara pelan. “Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat? Yang penting aku sudah sadar dari koma, kan?” ucap Mahya diiringi seulas senyuman. Lara mengendurkan pelukannya dan meneliti setiap tubuh sang sahabat. Benar. Mahya telah sadar dan hanya kakinya saja yang masih belum bisa berjalan dengan benar. “Ini cuma sementara, ‘kan?” tanya Lara khawatir. “Tentu saja. Aku ‘kan kuda liar! Mana bisa aku kalah begitu saja,” seloroh Mahya bangga sambil memamerkan otot bisepnya. Lara hanya tertawa. Pandangannya berpindah ke dua orang lain yang ada di kanan dan kir
Selama dua hari, Lara dan rombongannya menghabiskan waktu di bangunan tua milik sang Ibu. Saat ini, dengan persiapan yang lebih matang dari sebelumnya, ia kembali ke pengadilan untuk menghadiri sidang lanjutan. Bukti-bukti yang didapatkan di bangunan tua itu benar-benar menjadi titik balik bagi perkara Lara. Kali ini, sang pengacara dapat dengan yakin akan memenangkan gugatan terhadap lawan mereka! “Saudari Lara, silakan maju ke kursi saksi,” panggil sang hakim sambil menyorot tajam ke arahnya yang sedang duduk gelisah di bangku panjang. “Kau bisa, Sayang,” ucap Andre sambil menggenggam tangan Lara. Wanita itu mengangguk sambil menelan ludah saat mendengar panggilan dari sang hakim “Doakan aku, oke,” lirihnya pada Andre sambil mencoba menenangkan degupan jantungnya yang berdebar kencang. “Tentu, kau pasti bisa,” hibur Andre sambil mengacungkan tinjunya ke udara untuk menyemangati sang kekasih hati. Lara mengangguk, kemudian berdiri dan melangkah menuju kursi saksi di tengah ruan
“Andre! Tidaaaak!” Lara memekik tatkala suara tembakan itu bergema di sepanjang jalan. Suara letusan pistol itu merobek heningnya malam, melebur dengan suara detak jantung mereka yang berdegup kian kencang. Suasana menjadi kacau balau saat tembakan mulai terdengar. Aroma busuk asap mesiu segera mengisi hidung mereka dengan intaian kematian. Andre melihat dengan ngeri saat salah satu pria berjas itu jatuh dengan luka tembak di dadanya. “Aku baik-baik saja, Ra! Me–mereka yang tewas!” kata Andre sambil memastikan bahwa tidak hanya satu orang pria yang roboh di hadapan mereka, tapi, keempat-empatnya. Lara, yang terdiam sambil menahan napasnya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Air matanya mulai menetes ketika dia melihat orang-orang itu telah kehilangan nyawa. “Apa yang terjadi?” Lara bertanya-tanya ketika musuh mereka telah tewas tanpa aba-aba. Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan mereka. “Oh, Laraku yang malang ….” “Si–siapa?” Lara menoleh ke arah sumber suara. Di sana, s
Moncong senjata itu diacungkan ke arah kepala Andre, sontak sang dokter berusaha untuk tetap tenang karena … Lara ada tepat di belakangnya! “Whoa … tenang, Bung!” teriak Andre sambil menahan ketakutan yang mulai menjalari tubuhnya. Nyawanya sudah berada di ujung tanduk, hanya dengan satu tarikan pemicu, maka lubang kecil di kepalanya akan berhasil membuat hidupnya berhenti seketika. “Cepat!” Pria itu tak ingin lagi berbicara. Ia benar-benar ingin mengakhiri kejar-kejaran kucing dan anjing ini dengan cepat. Ia memakai kembali kacamatanya. Dan kini bergerak semakin dekat ke arah Andre dan Lara. “Ndre! Berikan aja, Ndre!” pinta Lara sambil menangis tersedu-sedu. Ia tak ingin nyawa orang yang sangat disayanginya berada dalam bahaya. Siapa yang bisa menjamin jika pria itu tidak hanya menggertak? Kondisi jalan sepi ini juga sangat tidak menguntungkan mereka. Hari pun sudah begitu gelap. Tidak mungkin ada orang yang bisa melihat kejadian mengerikan ini, apalagi untuk melaporkan kepada pih