Banyu memandangi Bara, Raga, dan Noah yang bermain bola bersama di halaman belakang. Ketiganya tampak akrab meskipun selisih umur diantara mereka cukup jauh. Banyu bersyukur, meskipun ketiganya memiliki orang tua yang berbeda, tapi mereka bisa sangat akur.
Lila yang datang dengan membawa satu pitcher sirup dengan beberapa gelas, disambut hangat oleh Banyu. Pria itu bahkan sudah berdiri membantu istrinya membawa minuman yang terlihat berat di tangan Lila.
Saat keduanya sedang duduk bersantai, Banyu yang awalnya memusatkan perhatiannya pada ketiga anaknya, kini mulai menatap lekat istrinya. Senyumnya tersungging saat melihat wajah Lila yang tidak berubah dan tetap cantik tanpa polesan make up.
"Kenapa sih, Mas? Jangan gitu ah! Ma
Banyu menggamit lengan Lila di sebelah kirinya sementara tangan lainnya menarik koper. Senyumnya mengembang saat mereka melangkahkan kaki di New York, tepatnya di bandara John Kennedy. "Mau makan dulu atau langsung ke hotel, Sayang?" tawar Banyu, tidak berselang dua detik, perutnya sudah keroncongan dan terdengar jelas di telinga Lila. "Ya jelas makan dulu lah, Kamu sudah kelaparan begitu, Mas," jawab Lila dengan tawa kecil. Banyu pun ikut tertawa karena tidak punya pilihan lain. "Tapi kalau kita makan dulu bakal ketinggalan kereta. Yang penting kita naik kereta dulu biar cepat sampai hotel," ujar Banyu yang sudah lumayan paham trik perjalanannya. Keduanya memang ingin merasakan perjalanan yang baru. Terbiasa di antar jemput dengan fasilitas perusahaan, membuat kedua
Niat hati ingin ke New York selama sepuluh hari untuk liburan dan mengurus pekerjaan, Lila dan Banyu malah belum juga pulang sampai hari ke dua belas. "Ayolah, Mas. Kita pulang, kasihan anak-anak. Ibu dan Papa juga kasihan jagain anak kita terus," ujar Lila saat Banyu menyeruput kopinya di pagi hari. "Lho, 'kan kamu yang bikin kita lama di sini," jawab Banyu seperti tanpa beban. "Lagian Mas Banyu bukannya ketemu klien dulu malah duluin jalan-jalan." Lila tidak mau dituduh begitu saja. "Justru itu yang utama, kamu harus bersenang-senang, Sayang. Di rumah kamu pasti sibuk ngurus anak-anak," ucap Banyu sembari melompat ke ranjang menjajari Lila yang sibuk mengedit foto. Lila beringsut, akhir-akhir ini kata 'bersenang-senang
Dengan tangan gemetar, Lila mengambil sebatang testpack. Seketika Ia terhenyak melihat dua garis merah yang terpampang di sana, sekali lagi Ia pun mengerjap memastikan dirinya tidak salah lihat. "Tidak," desisnya tidak percaya. Wajahnya merah padam dengan air mata yang siap ditumpahkan. Ia memutar knop pintu kamar mandi dan bergegas keluar. Rasanya sudah seperti tidak menginjak bumi lagi. Perlahan, air matanya pun berjatuhan. Ia langsung menyekanya karena menyadari Banyu berdiri tidak jauh darinya. "Kamu kenapa?" tanya Banyu khawatir. "Tidak." Lila pun menggeleng. Ia tidak yakin jawabannya adalah untuk menyangkal atau menyembunyikan sesuatu, mungkin keduanya. "Ada sesuatu yang salah?' tanya Banyu sekali lagi sambil mence
Lila yang awalnya tidak bisa menerima kehamilannya, akhirnya berhasil melewati sampai akhirnya dua buah hatinya lahir. Dua bayi perempuan yang lahir hanya berselang beberapa menit, diberi nama Sheena dan Shana. "Yang ini namanya Sheena Jasmine Adnan." Banyu menunjuk bayi yang bertubuh sedikit lebih kecil yang lahir lebih dulu. "Sedangkan yang ini Shana Rose Adnan," lanjut Banyu menjelaskan kepada petugas Rumah Sakit yang mencatat kelahiran dua anaknya. "Baik, Pak. Sudah kami catat, terima kasih." Petugas pun pamit dari ruang rawat VIP tempat Lila dan si kembar masih terbaring. Jika diamati dengan saksama, keduanya memiliki wajah kemerahan yang sangat mirip dengan warna khas Lila, kulit Indonesia. Banyu tidak henti-hentinya mengabadikan mereka ke dalam memori handphon
Empat Tahun KemudianRemaja berumur tujuh belas tahun itu berdiri tegak menatap ring basket yang jauh di depannya. Matanya memicing tajam dengan keringat bercucuran, membuat semua wanita disana hening dan menatap penuh kagum pada laki-laki dengan kaos basket bernomor punggung sebelas bertuliskan nama Adnan.Bara terlihat memantulkan bola basket itu sebelum akhirnya meluncurkan bola itu ke udara. Waktu berjalan seolah melambat ketika bola basket berputar-putar di udara, menembus sinar matahari yang terik. Suara "swish" terdengar saat bola itu melewati ring basket dengan sempurna.Para siswi yang berada di sekitar lapangan bersorak riuh dengan penuh kegembiraan. Sorakan mereka menggema di lapangan. Untungnya teman-teman Bara sudah cukup terbiasa dengan kelakuan para siswi sekolah mereka ketika Bara bermain basket di Lapangan. Mereka tentu saja tidak terganggu dengan tingkah centil para siswi disana.“Gila sih, Bro!” ucap salah seorang remaja laki-laki yang lain dengan rambut berwarna ke
“Keduanya sudah saya tanya, tapi tidak ada satupun yang mau menjawab tentang permasalahan apa yang sebenarnya membuat mereka bisa bertengkar seperti itu. Di sini pihak sekolah ingin melakukan mediasi. Seperti Bapak dan Ibu tahu, sekolah ini merupakan sekolah dengan reputasi yang baik. kasus seperti ini jarang terjadi di sekolah. Kalau pun terjadi, kami ingin ikut menangani dengan baik hingga mencapai kata sepakat,” ucap kepala sekolah itu dengan bijak.“Saya ingin meminta maaf–”“Opa,” sergah Raven tak suka.“Diam kamu! Sejahat apapun kata-katanya, apa kamu berhak meludahinya. Dia Kakakmu Rav!” hardik pria tua itu tegas.Raven terdiam. Ia tak suka mendengar kenyataan lelaki yang membuat semua pertengkaran di rumahnya dan membuat Mamanya meninggal adalah Bara. Jika Bara punya Ayahnya sendiri dan tidak ikut di rumah itu, ia pasti tidak akan kehilangan Ibunya. Juga tak perlu melihat Ayahnya yang marah hingga kesetanan. Semua ini adalah salah Bara.Sementara itu semua orang di ruangan itu
Suasana di kantin sekolah begitu riuh. Suara tawa, candaan, dan langkah-langkah riuh para siswa memenuhi udara. Namun, di sudut salah satu meja, terdapat Bara yang duduk sendirian, terpaku pada bukunya. Halaman-halaman cerita terbuka di depannya, tapi matanya kosong, melihat ke kejauhan tanpa tujuan. Hari-harinya telah dipenuhi oleh kesendirian dan kehampaan. Buku-buku dan cerita yang dulu mengantarkannya ke dunia fantasi kini terasa hambar.Sementara itu, di ujung meja yang lain, ada Eleanor. Gadis itu datang dengan langkah-langkah riang, senyuman ceria melingkupi bibirnya. Rambut yang anggun menggelombang dengan setiap gerakannya.Ketika Bara duduk sendirian di meja kantin sekolahnya, sesuatu terasa berbeda. Dia merasa ada mata yang mengamatinya. Ketika dia melirik ke sebelahnya, dia melihat Eleanor tersenyum ramah. Tanpa sengaja, mereka berdua duduk bersebelahan. Awalnya, Bara merasa canggung. Dia tidak terbiasa dengan untuk menatap sekelilingnya seperti ini. Namun, senyuman hanga
Bara membuka mata dengan perlahan saat sinar matahari pagi mulai menyusup masuk ke dalam kamarnya. Dia merasakan kehangatan selimutnya, tetapi tiba-tiba menyadari bahwa ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Dia mengambil telepon genggamnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur, lalu membukanya dengan cepat untuk melihat pesan terakhir yang dia terima semalam.Nihil, dia tidak menemukan satu balasan pun dari Eleanor.“Tumben,” gumam Bara.Meski sedikit kecewa, Bara mengenyahkan perasaan itu. Anak lelaki yang sebentar lagi akan genap berusia delapan belas tahun itu memilih untuk beranjak menuju kamar mandi dan membasuh mukanya dengan air dingin, sekedar untuk merasakan kesegaran.Setelahnya, remaja lelaki yang tubuhnya sudah sangat tinggi untuk usianya itu melangkah dengan mantap menuju ke meja makan yang ramai dipenuhi oleh adik-adiknya. Di antara mereka, ada dua bayi perempuan kembar yang menggemaskan, yang kini telah mencapai usia empat tahun.“Kakak!” seru kedua bayi kembar i
Sepuluh Tahun KemudianPerempuan berusia tiga puluh dua tahun itu tampak cantik dengan balutan gaun pesta berwarna merah yang menawan. Rambutnya yang panjang tergerai indah. Penampilannya jelas membuat mata pria manapun menatapnya dengan penuh minat. Muda dan Tua, semuanya menatap wanita bernama Shana Rose Adnan itu dengan tatapan kagum.“Nah ini, anak kami paling bungsu. nantinya Shana yang akan ikut mengembangkan bisnis di bidang ini. Dia lulusan Universitas Teknologi Rhein-Westfalen Aachen,” ucap Banyu bangga pada kolega bisnisnya.“Luar biasa, Jerman! Ich freue mich auf die Zusammenarbeit mit Ihnen,” ucap salah seorang kolega Banyu sambil mengulurkan tangannya.Shana pun tersenyum dan membalas jabat tangan itu. “Ja, ich bin auch gespannt darauf. Lasst uns zusammenarbeiten und Großartiges erreichen!”“Anakmu Luar biasa, Banyu,” puji pria yang lain.Dipuji terus menerus membuat Banyu selalu tersenyum. Ia sangat senang, meskipun seorang wanita, anak perempuannya bisa menunjukkan pad
Sheena lebih banyak diam setelah kedatangan Rain waktu itu. Ia bahkan lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Seperti saat ini, ia lebih memilih untuk duduk dan menatap foto bersama kembarannya ketika kecil. Tak lama, ia memilih untuk menutup foto itu dan membenamkan wajahnya di lututnya yang sudah merapat.“Shen, Lo ngapain?” tanya Shana yang baru saja membuka pintu kamar Sheena tanpa permisi.Sheena tak menjawab. Wanita itu hanya diam, sama sekali tak bersuara.“Shen, Gue mau jalan sama Rain, ayo jalan bertiga. Lo udah lama pengen jalan-jalan ke Kota Tua kan?” ucap Shana yang berjalan mendekat dan kemudian memegang pundak saudara kembarnya. Tak lama gadis itu terkejut karena pundak itu seolah bergetar.“Shen, Lo nangis? Kenapa?” tanya Shana sambil mengguncangkan bahu kembarannya.Sheena dengan kasar menepis tangan Shana. “Lo sengaja kan?”“Sengaja?” tanya Shana bingung. “Sengaja ap–”“Lo– Lo kan saudara Gue Shan. Lo tega sama Gue? Lo tau Gue suka sama Rain. Gue masih berbaik hati s
Tujuh Tahun KemudianShana masuk ke dalam rumah dengan senyum ceria. Ia juga banyak berceloteh. Entah apa saja yang dia ceritakan, kepada teman lelaki yang mengekor di belakangnya. Lelaki nyatanya tidak memprotes apapun. Ia mendengar dengan seksama, sesekali ikut tertawa dengan cerita Shana.“Shan, sama Rain?” tanya Lila yang baru saja keluar dari kamarnya karena mendengar celoteh ceria salah satu anak gadisnya yang kini sudah masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi di kota metropolitan itu. Jurusannya juga tak main-main, anak gadisnya itu memilih untuk mengambil Teknik Mesin.“Iya, Ma.” Shana segera memeluk Mamanya dan mencium punggung tangannya.“Hai, Tante. Rain kesini lagi. Semoga Tante gak bosen ya,” ucap Rain yang kemudian mencium punggung tangan Lila dengan takzim.“Gak akan pernah bosen. Tante malah seneng. Kalian udah makan?” tanya Lila bersemangat.“Belum, Tante. Rain laper,” ucap Rain tapa berbasa-basi. Pria muda itu tampaknya sudah tak sungkan dengan Lila.“G
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ungkapan itu sangat cocok untuk Mirea yang terjerembab karena ternyata masih terlalu sakit untuk digunakan berjalan.Rasa sakitnya mungkin bisa dia tahan, tapi rasa malunya terlalu besar saat ini. Ia bahkan hanya bisa menunduk ketika tangan yang sedikit kekar itu kembali mengangkatnya.“Non Mirea,” ucap Satpam yang tergopoh membuka gerbang. Saat pria itu hendak mengambil Mirea, Noah tampak bergeming.“Biar saya yang antar ke dalam rumah. Tolong antar saya,” ucap Noah yang terlihat tenang menggendong Mirea.Satpam itupun mengangguk dan berjalan di depan Noah. Sementara itu Mirea masih setia menutup mukanya karena sangat malu. Kulitnya yang memang tidak terlalu putih itu, tetap saja memerah seperti kepiting rebus jika ia malu.Baru saja melewati pintu rumah, para pekerja di rumah itu sudah histeris melihat luka-luka di tubuh Mirea. Mereka bahkan melupakan siapa yang menggendong Mirea.“Non Mirea, ya ampun Non. Non Mirea kenapa?! Aduh Non–”Mirea sudah tak m
Semua orang termangu saat Noah dengan cepat membuka baju seragamnya secara paksa, hingga menyisakan undershirt berwarna putih untuk menutupi tubuhnya yang sudah sedikit membentuk.Noah dengan cepat menutup baju putih Mirea yang tersiram sehingga tidak terlihat orang lain. Juga supaya kuah bakso itu ikut menyerap ke bajunya dan sedikit mengurangi rasa terbakar di tubuh Mirea.“Rea, gak apa-apa? Panas ya?”ucap Noah panik.“Aargh, panas..” desis Mirea sambil menahan rasa terbakar di setengah tubuhnya.“Maaf, ya. Gue gak tau. Jalannya nikung,” ucap perempuan yang tadi membawa satu nampan berisi dua mangkok bakso dengan kuah yang masih sangat panas. Meski begitu wajahnya lebih tampak kesal daripada meminta maaf dengan tulus.Tanpa banyak kata, Noah segera mengangkat Mirea saat itu juga. Membuat semua orang yang ada di sana semakin terkejut. Bahkan Clarine yang disamping Mirea memekik tak percaya dengan kejadian itu.Sementara orang yang membawa nampan bakso yang ternyata bernama Reaza itu
Tiga Tahun KemudianNoah, remaja berumur enam belas tahun itu, adalah atlit basket yang sangat berbakat di sekolahnya. Dengan tinggi badan yang mencolok dan keahlian bermain basket yang luar biasa, Noah telah menjadi pusat perhatian di antara teman-teman sekelasnya. Hari itu, lapangan basket sekolah dipenuhi dengan suara tawa dan semangat.Noah sedang berlatih intensif bersama tim basketnya. Pukulan bola dan derap langkah kaki menggema di udara. Teman-temannya berusaha sekuat tenaga untuk memberikan yang terbaik dalam sesi latihan tersebut. Di antara kerumunan pemain basket yang bersemangat, Noah memimpin dengan keterampilan dan ketangkasannya yang luar biasa.Namun, ada sesuatu yang membuat suasana semakin hidup. Para wanita di antara penonton, terutama kelompok teman sekelas Noah, tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Mereka berdiri di pinggir lapangan, sorak sorai, dan berteriak memberikan semangat kepada Noah. Seiring dengan setiap tembakan dan aksi spektakuler yang diperlih
Lila berjalan bersama dengan suaminya. Dalam hidupnya, ia tak pernah sangat berambisi seperti ini. Mukanya sudah ia buat arogan semenjak turun dari mobil paling mewah yang mereka miliki.“Selamat datang, Bapak dan Ibu. Kepala Sekolah sudah menunggu di ruangannya,” sambut salah satu orang dari sekolah tersebut.Tak ada yang menjawab, mereka hanya mengikuti saja langkah guru tersebut.Sesampainya di ruangan kepala sekolah di sana. Lila disambut hangat oleh kepala sekolah, tapi keduanya bergeming. Tentu saja Ibu Lais memandang remeh Banyu dan Lila melihat sikap mereka yang dingin.“Pantas saja anaknya gak tau sopan santun, ternyata didikannya,” ucap Ibu Lais yang membuat Lila menahan amarahnya dengan tetap duduk tenang, tapi ia mengepalkan tangannya erat-erat.“Saya sebagai–”Banyu segera memutar video yang ada di dalam tabletnya untuk memotong ucapan kepala sekolah itu. Ia menunjukkan pada Ibu Lais dan kepala sekolah. Video itu memperlihatkan bagaimana Lais bersikap. Bukan hanya saat me
Raga menghempaskan tubuhnya pada kasur empuk berwarna abu-abu. Remaja lelaki itu memandang langit-langit kamarnya sambil menghela nafas panjang.“Apa aku ikut Papa Dimas ya? Tapi di sana ada Mama Feby.”Raga mengalihkan perhatiannya pada sebingkai foto dimana ada fotonya dan ayah kandungnya yang sangat jarang ia temui. Foto yang diambil beberapa tahun lalu itu memperlihatkan kedekatan batin antara keduanya.Meski banyak cerita yang mulai Raga tahu tentang ayah dan ibunya di masa dulu yang kurang menyenangkan, nyatanya keduanya sudah berdamai dengan keadaan. Raga pun memahami kondisi keduanya.Banyu juga ayah yang baik. Dia penyemangat nomor satu bahkan sebelum ibunya. Raga tidak pernah menyesal berada di keluarga ini. Tapi lingkungannya selalu berusaha membuat Raga membenci dirinya.“Aku liburan di sana kali ya. Daripada aku cuma diem-diem aja selama di skors ini. Kayaknya udah lama juga gak pernah ketemu Papa Dimas,” gumam Raga yang kemudian mengambil ponsel di sakunya. Ia hendak men
Enam Tahun KemudianRaga Dewandra Adnan, itu lah nama seorang remaja yang kini duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas.Anak lelaki itu menunggu jemputan seperti biasanya di taman sekolah sambil memainkan ponselnya sekedar untuk melihat-lihat komik yang episodenya baru saja terbit.Saat tangannya tengah lincah menggulir dan matanya menatap fokus ke arah ponsel keluaran terbaru dari salah satu merek ternama di seluruh dunia, tiba-tiba saja seseorang melemparkan kaleng soda yang sudah kosong dan tepat mengenai dahi Raga.Raga tak bereaksi banyak selain membuang kaleng itu asal. Ia enggan menanggapi remaja laki-laki seumurannya yang terlihat seperti preman.“Anak pungut, Show off! Mamerin apa sih? Oh, hpnya baru. Najis! Norak!” ucap pria bernama Lais itu.Dua orang anak laki-laki yang lain mengekor dan memandang remeh juga pada Raga.Namun, Raga juga tak ambil pusing. Ia lebih memilih untuk kembali menatap ponselnya. Sekedar untuk mengunduh beberapa komik yang ingin ia baca.“Rag