"MORGAN!!!""Morgan tungguin!!!"Telinganya dengan jelas mendengar teriakan wanita itu. Namun apa daya tangan kanannya terlanjur memutar gas hingga motornya melaju dengan kecepatan tinggi."Pa an sih Regina. Paling mau nebeng," ujarnya bodo amat. Langit sudah mulai senja disertai gerimis dan sorot lampu jalan mulai menyala. Morgan mengendarai motornya dengan kecepatan sedang.Namun, ketenangan sore itu seketika terguncang. Suara deru motor yang mendekat dengan cepat membuatnya menoleh. Tiba-tiba, segerombolan geng bersepeda motor muncul di kejauhan. “Duh, itukan dengnya Derren,” ucapnya setelah mengenali jaket dan motor mereka.“Pasti mereka mau balas dendam gara-gara ku laporin polisi kemarin,”Derren dan gengnya, seperti bayangan iblis yang muncul dari kejauhan. Lampu motor mereka menyala terang, menciptakan pantulan sinar di permukaan basah jalanan ketika hujan. Suara deru mesin yang kuat memecah keheningan senja, menciptakan atmosfer yang penuh ketegangan. Mereka berkeliaran di
Morgan memakai jaket lalu mendekati motornya. Tak lupa ia memberikan helm pada kakeknya yang hendak ikut ke kost.Arthur menatap motor milik cucunya dengan datar, seolah pertama kali melihat objek transportasi tersebut. Matanya menyisir motor itu dari ujung hingga ujung, dan Morgan bisa merasakan aura ketidaknyamanan yang tersirat dalam ekspresi wajah kakeknya.“Ayo dipake helmnya,” pinta Morgan."Tidak bisakah kita naik taksi saja?" tanya Arthur dengan nada keberatan.Morgan tertawa kecil. “Duh, tinggal naik aja repot amat sih,”Arthur menghela napas panjang, tampaknya mencoba menerima kenyataan. Dia mengangguk setuju, meski masih terlihat ragu.Sejatinya Morgan ingin berbagi kebahagiaan sederhana dengan naik motor di jalan yang bebas.*19.30 WIBKlik...ceklikk...."Adooohh, ini pintunya berapa abad sih nggak dibenarin," omel Arthur. Begitu ia kembali ke kamar Morgan sambil menggantung handuk di badan, dengan menahan segala keluhannya selama di kamar mandi yang air krannya kecil.Al
22.00 WIB"Padahal masih jam segini, pada kemana ni drivernya," keluh Arthur sambil memeriksa pesanan di aplikasi yang tak kunjung mendapat driver.Morgan hanya bisa menggelengkan kepala melihat kakeknya bersikeras mendapat fasilitas mewah disini."Emang kakek pesan apa aja sih," tanya Morgan sembari menutup laptopnya. Lantaran muak daritadi tak hentinya mendengar ocehan pria paruh baya itu."Nggak banyak kok," sahut Arthur.Morgan bergegas pindah posisi duduk di sebelah kakeknya. Dimana kasur busa tersebut akan terasa goyang Ketika ada yang pindah posisi."Apa aja coba?" tanya Morgan lagi."Cuma ini kok," Arthur menunjukkan layar ponselnya yang berisi tampilan deretan menu makanan yang ia pesan. "Matcha Slice, Chia Hempseed Choco Brownies, Carrot Cake, Buttermilk Fried Chicken and Waffles Egg Benedict, Hot Cappuccino, Creamy Mac and Cheese,Super Nutty Protein Bowl, dan Vegan Champion Omelette,""Buset banyak banget! Nggak sekalian di pindah kesini aja restorannya." maki Morgan tak ha
Matahari pagi setelah hujan meninggalkan jejak-jejak kesejukan di kampus. Udara segar dan embun pagi masih menempel di rerumputan dan dedaunan. Pepohonan tampak lebih hijau dan segar, tetes-tetes air yang tersisa gemerlap di ujung daun.Suasana pagi itu dihiasi oleh warna-warni payung yang menggantung di tangan mahasiswa. Jejak-jejak basah di tanah mengisyaratkan bahwa hujan belum lama turun. Sebagian mahasiswa yang berjalan di trotoar tampak membawa tas dan payung, sementara sebagian lainnya memilih untuk menikmati pagi tanpa perlindungan, menyusuri trotoar sambil merasakan tetes air yang masih menggantung di daun-daun.Di area terbuka, beberapa kelompok mahasiswa terlihat berkumpul, duduk di bangku-bangku atau rumput yang kering. Beberapa di antara mereka asyik berbicara dan tertawa, sementara yang lain tengah sibuk mengamati ponsel mereka atau membaca buku. Sementara itu, aroma tanah basah dan udara segar pagi menciptakan suasana yang menyegarkan. Sejauh mata memandang, bangunan-ba
Gerombolan geng Derren tiba di kampus. Mereka berjalan dengan sikap yang percaya diri, langkah yang berirama seolah-olah menandakan keberanian. Mereka bergerak dalam formasi yang teratur, sesekali berbicara dan tertawa dengan nada keras. Ekspresi wajah mereka memberikan kesan antara santai dan siap siaga, seolah-olah mereka adalah pemain besar di kampus ini dan siap menghadapi apapun yang datang.Outfit mereka mencerminkan identitas geng yang kuat dan solid. Tidak ada dari mereka yang menggunakan outfit murahan. Pasti outfit yang mereka pilih dari brand terkenal.Beberapa di antara mereka mungkin melemparkan tatapan tajam, menunjukkan bahwa reputasi geng ini telah meluas, dan orang-orang di kampus tahu bahwa mereka bukan sekadar kelompok biasa. Sementara itu, sebagian mahasiswa lain mungkin merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka, dan suasana kampus yang seharusnya riuh menjadi sejenak hening seiring dengan kedatangan geng ini."Ren, jujur aku masih nggak terima. Kita harus balas
Mobil Ferrari 458 melaju dengan kecepatan tinggi, menyapu tiap debu di jalan kala malam itu. Pengemudinya kurang konsentrasi karena terpengaruh minuman beralkohol.Hingga kakinya hampir telat menginjak rem setelah sebuah motor menyebrang jalan.Cekikkkkkkk...Hampir saja mobil itu menabrak pengemudi motor tersebut. Namun berkat kejelian sang pemilik mobil, kecelakaan pun terhindarkan.Pukulan tangan ditujukan pada setir yang tak bersalah. Namun luapan emosi itu justru dilampiaskan pada stir. Sama halnya seperti seorang anak yang selalu dimanja oleh orang tuanya dan mendapat kemudahan dimanapun ia berada.Ketika keinginannya tak terwujud, orang lain yang akan menjadi pelampiasan amarahnya. Itulah yang dirasakan seorang anak yang bangga sekali, lantaran nadinya terikat dengan dekan di kampus tempatnya menimba ilmu.Ya, siapa lagi kalau bukan Derren. Brosur yang ia lihat tadi siang cukup menampar wajahnya. Terlebih lagi sosok mahasiswa yang ia anggap cupu dan gembel justru menggantikan p
Kamar kos Morgan meredup seiring dengan matinya layar tiga laptop yang sebelumnya menyala terang. Cahaya redup dari luar jendela menyoroti suasana yang semakin damai. Tiga mahasiswa itu terbaring di atas kasur busa dengan posisi tak beraturan.Morgan, yang biasanya menjadi penguasa di atas kasurnya, kini harus berbagi tempat tidur dengan rekannya. Tubuhnya meliuk dengan bebas, salah satu tangan di bawah bantal dan kaki yang terentang. Di sebelahnya, Dion tidur dengan posisi yang mungkin mencerminkan kenangan dari jam-jam panjang di depan laptop. Tangannya masih mencengkeram pena, dan di atas kasur terdapat beberapa lembar kertas yang entah bagaimana masih belum terjatuh. Sementara Jonathan, dengan tubuh yang lebih gemuk, mungkin memiliki posisi tidur yang paling unik di antara ketiganya. Kakinya sedikit terlipat dan satu tangannya berada di dekat wajahnya.Kamar yang sebelumnya penuh dengan suara kibaran keyboard dan diskusi teknis, sekarang menjadi damai dan bisu saat ketiga mahasisw
"Gila lu bawa motornya,""Lah daripada kena omel,""Itu dah pasti. Minimal kalau mau ngeprank malaikat nggak usah ajak kita,""Siapa yang mau ngeprank,"Lah elu--""Ssssttttt!!"Diantara tiga manusia itu, Dion yang dianggap paling waras dan bisa profesional dalam segala situasi."Udah-udah debatnya nanti aja. Yang penting kita masuk dulu. Datang, presentasi, pulang, lupakan," ujar Dion sembari membawa proposal yang telah dijilid rapi."Setuju!" sahut Morgan sembari memetikkan jarinya."Kalau gitu kita gasss sekarang,""Gasss,"Didepan aula kampus mereka berdiri sejenak. Itung-itung mempersiapkan mental sebelum dihajar para dosen."Bentar dulu deh,"Saat Morgan dan Dion hendak melangkah masuk ke aula, Jonathan justru menghentikan langkah mereka. Tampak jelas raut wajahnya menunjukkan kebingungan."Apalagi sih Jon," gerutu Morgan."Tadi si Dion bilang, datang... presentasi... pulang... lupakan. Maksudnya disuruh nglupain projeknya?"Morgan menepuk dahinya usai mendengar pernyataan rekan
Titt...Entah berapa kali Morgan menghubungi beberapa nomer dikontaknya. Namun sebagai penutup aktivitasnya malam ini, dia berniat ke parkiran rumah sakit untuk mengambil tasnya di jok motor. Begitu tiba di parkiran, Morgan langsung menuju ke motornya. Dan ini ke sekian kalinya ia mendapati ponselnya berdering. Brughh..Tasnya sudah dia ambil bersamaan dengan menjawab telpon dari seseorang. Siapa lagi kalau bukan bodyguardnya. Setelah mengakhiri panggilan teleponnya, Morgan merasakan sesuatu yang tidak beres. Suara langkah kaki yang pelan serta bayangan yang mengintai membuat bulu kuduknya merinding. Dalam remang-remang gelapnya parkiran, ia melihat sekelompok bayangan orang mendekatinya. Hatinya berdegup kencang, karena ia tahu ancaman telah mengintai. Ia sempat berpikir bahwa bayangan itu mungkin keluarga dari pasein lain yang dirawat di rumah sakit ini. Mungkin hal yang sama juga dilakukan orang itu. Setidaknya hal itu membuatnya tenang. Tapi yang benar saja bayangan itu semakin
Di setiap langkahnya, selalu diiringi doa. Di setiap nafasnya teriring restu untuk melangkah lebih laju. Barangkali Morgan lupa bahwa ia memiliki harta paling berharga. Tak ada tandingannya bila dibandingkan dengan harta atau sejenisnya. Detik yang dilalui terasa lebih lama, begitu melihat sosok paruh abad itu terbaring tak berdaya di ruang rawat inap. Dalam hati Morgan, untuk masih ada disini bukan di ICU. Kalau itu sampai terjadi, mungkin saat ini juga ia akan membantai musuhnya. Kalaupun boleh memutar waktu, maka Morgan memilih tidak melakukannya. Baginya untuk apa memutar waktu kalau pada akhirnya berada diluka yang sama. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Penyesalan pun bagai air liur yang ditelan tanpa rasa. Jangankan mencium kening kakeknya, cucu kesayangan Arthur Collim tak beranjak dari ambang pintu. Ada setitik kekhawatiran tapi semua itu tertutupi dengan hasrat ingin menghabisi musuhnya hari ini juga. "Permisi mas,"Alih-alih memikirkan balas dendam, su
"Kalau kamu ingat, saya pernah memaksa kalian bertiga untuk segera melakukan observasi ditempat yang jauh bahkan tempat itu hanya rekayasa. You know? Orang dan bangunan disana berasa didalam kendali saya," ucap Prof Gin. Morgan menggertakkan giginya. Ingin rasanya ia segera keluar dari ruangan ini. Namun naasnya pria itu membuatnya penasaran akan rencana murahan yang telah dirancang. "Rencana pertama berhasil. Dengan membuat kalian bertiga betah disana. Kemudian serangan terakhir saya adalah mengirimkan anak buah untuk merusak project kalian. Dengan begitu fokus kalian teralihkan pada masalah tersebut. Itu artinya semakin mudah tim IT untuk menyabotase ponselmu. Dan ternyata semua dokumen ada disitu. Sama sepertimu yang selalu memunculkan gagasan ide terbaru tentang program. Saya juga sering meluncurkan aplikasi hacker sekali klik, bisa mengakses seluruh informasi," sambung Prof Gin. 'Kurang ajar!! Jadi selama ini---' Morgan hanya bisa membatin. Sementara kedua tangannya mengepal.
Dalam hening koridor kampus yang sepi, Prof. Gin memimpin dua mahasiswa yang berjalan dibelakangnya. Morgan dan Derren mengikutinya dengan irama langkah yang sama. Sesekali mereka saling melempar tatapan sinis. Jelas di wajah mereka tersirat amarah yang belum terbalaskan. Ketika tiba didepan pintu ruangan, Prof. Gin segera membuka pintu dan mempersilakan keduanya masuk. Ruangan itu penuh dengan aroma buku serta pengharum ruangan yang khas. Rak-rak penuh dengan literatur teknologi dan dinding dipenuhi dengan sertifikat dan penghargaan. Prof. Gin duduk di meja kerjanya dengan santai, tetapi tatapannya tajam dan penuh otoritas. Morgan dan Derren berdiri di depan meja profesor itu, merasa seakan ditarik masuk ke dalam pusaran masalah yang lebih besar. "Silakan duduk," ucap Prof. Gin, suaranya yang tenang tidak mencerminkan kesabarannya. Kedua mahasiswa itu duduk di kursi yang tersedia. "Saya yakin kalian tahu mengapa kalian dipanggil ke sini," ujar Prof. Gin dengan nada naik turun
"Jadi selama ini atmnya ada di kalian?"Di depan ruko dua misterius itu menghadap Morgan. Merekalah bodyguard Arthur Collim yang berhasil dihubungi oleh Morgan. Sehingga mereka datang kesini itupun dengan penyamaran. "Benar tuan," sahut salah satu dari mereka. "KURANG AJAR! Jadi kalian yang narik uang itu," terlanjur naik pitam, Morgan menarik kerah baju pria itu hingga mendekat. "Demi Tuhan tuan, s-saya tidak pernah menyentuh apalagi mengecek isi atm tersebut," ujarnya ketakutan. "La terus siapa kalau bukan kamu," bentak Morgan. Geram dengan sikap bodyguardnya, Morgan sampai menghentakkan kaki melampiaskan amarahnya."Di rekening itu ada 4 triliun. Selama 24 jam hampir habis, ulah siapa kalau bukan ulah kalian!!!""Maaf lancang tuan muda. Beberapa hari ini tuan Arthur juga mengalami hal yang sama. Dana perusahaan juga menghilang. Jumlahnya tak sedikit tuan, hampir mendekati 2 triliun. Sedangkan rekening pak Arthur juga sepertinya dibajak oknum tak bertanggung jawab," ungkap seor
Pagi ini keluarga Jensen menyantap hidangan sarapan. Ruangan itu terhias elegan, dengan kursi-kursi empuk dan meja panjang yang dihiasi penuh dengan hidangan lezat. Semuanya terlihat begitu sempurna, seolah-olah menciptakan semacam kebahagiaan yang bersifat rutin di keluarga ini. "Itu tolong airnya ditambah ya bik,""Baik nyonya,""Sama satu lagi, ambilin buah di kulkas ya bik,""Iya nya,"Jauh sekali dengan kebiasaan Morgan sehari-hari. Yang hanya mengandalkan mie instan sebagai menu utama dan abadi. Jangankan duduk di meja makan, kos-kosannya saja tidak muat diisi seperangkat tempat duduk. Justru Kasur yang seharusnya menjadi tempat tidur malah digunakan sebagai alas apapun. Alas pantat, misalnya. Prof. Robert Jensen, duduk di ujung meja dengan sikap yang tenang. Dengan setelan jas yang rapi, dia memberikan kesan otoritas. "Ada kelas pagi yah?""Nggak,""Kok tumben berangkat pagi,""Mau rapat bentar,"Sedangkan Regina, anak semata wayangnya, duduk di seberangnya. Pakaian dan pena
Regina baru saja tiba di rumah setelah hari yang melelahkan di kampus. Namun, kelelahannya tak menjadikannya bermalas-malasan. Justru ia harus segera merawat rambutnya yang kusut. Regina berdiri di depan cermin kamar mandi, tetesan air masih terasa di kulitnya. Warna senja yang mulai meredup memancarkan sinar lembut ke dalam kamar mandi, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Dia membiarkan handuk putih lembut melilit rambutnya yang basah, meresapi sensasi hangat setelah selesai keramas. Dalam kesendirian itu, Regina merasa seolah-olah kamar mandi menjadi tempat perlindungan dari segala masalah yang terjadi di luar sana. Tetesan air yang menetes dari rambutnya menciptakan melodi lembut yang seolah-olah membawanya ke dunia yang jauh dari keriuhan dan drama kampus. Ponselnya yang ditaruh di samping wastafel, tanpa disadari bergetar seiring dengan notifikasi yang masuk. Namun, Regina masih asyik mengeringkan rambutnya di kamar mandi. Dalam keheningan tersebut sambil mengeringka
Teriakan dan tawa yang tak senonoh mulai mengganggu ketenangan. Geng Derren dengan bangga masih menyerbu bangku tempat ketiganya duduk. "Sekarang lihat sini, ini dia trio abal-abal! Masih nongkrong di sini sambil bermimpi sukses ya? Haha!" ujar Derren sambil menunjuk-nunjuk mereka satu per satu. Kedatangannya yang telat menjawab pertanyaan tiga trio ingusan itu. Yang sempat menanyakan keberadaan sang ketua geng. Tapi mbatin sih. "Bukan trio abal-abal tapi trio ingusan,""Oh ada baru ternyata,""Iyalah baru rilis,""Lebih cocok pakai nama itu deh. Lengkap juga formasinya ada kang ojek, ada pecundang, dan ada juga yang suka lapor ke dosen,""Ups, lengkap nggak tuh,"Jonathan yang biasanya cepat emosi, kali ini duduk dengan tenang. Ia membuka pesan dari Dion di ponselnya. Media tangkapan layar menunjukkan jumlah dana masuk di rekening Dion yang mencapai 700 juta rupiah dari klien yang telah mempercayakan proyek pada mereka. 'Gilaaak jauh dari perkiraan cuy,'batin Jonathan. Alis Jona
“Wooiii trio MJD,”Ketengangan di kantin sirna seketika. Saat itu hanya ada Morgan, Jonathan, dan Dion."MJD apaan?" Morgan melirik dua rekannya secara bergantian.Di tengah hiruk pikuk kampus Konoha, terdengar bentakan keras dari salah satu anggota geng yang dikenal sebagai musuh Morgan, seorang miliuner yang menyamar sebagai mahasiswa biasa. Geng tersebut terdiri dari Derren dan anak buahnya, yang telah menguasai kampus dengan perilaku intimidatif dan penindasan terhadap mahasiswa.Geng yang memerintah kampus tersebut memperlakukan mahasiswa berdasarkan status sosial dan kekayaan, bukan berdasarkan kemampuan akademik atau kepribadian. Mereka terus memperluas kekuasaan mereka tanpa ada yang berani melawan atau melaporkan tindakan mereka.Di tengah kondisi seperti itu, masih ada pertanyaan apakah ada mahasiswa lain yang berani menentang geng tersebut dan apakah ada harapan untuk mengembalikan keadilan di kampus Konoha.Dengan demikian, kehidupan kampus Konoha dipenuhi dengan keteganga