Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Kota telah lama tenggelam dalam keheningan. Hanya lampu jalan yang masih menyala redup, menemani deretan bangunan yang sunyi. Sesekali suara kendaraan terdengar di kejauhan, namun lebih sering yang terdengar hanyalah desir angin malam yang mengalir di antara gedung-gedung.Jonathan meregangkan tubuhnya yang terasa kaku setelah berjam-jam duduk di bangku beton dekat taman. "Aku pulang dulu," ucapnya sambil menguap lebar. "Sudah nggak tahan, kepalaku rasanya berat banget."Dion mengangguk. Ia juga sudah mulai mengantuk. "Aku juga. Besok ada kelas pagi."Mereka berdua menoleh ke arah Morgan yang masih duduk dengan santai, kakinya berselonjor di atas bangku."Kamu nggak pulang?" tanya Jonathan heran.Morgan mengangkat bahu. "Belum ngantuk."Dion melirik jam di ponselnya, lalu kembali menatap Morgan. "Jangan sampai kemalaman. Sudah jam segini, takutnya ada apa-apa di jalan."Morgan hanya tersenyum kecil tanpa menjawab. Setelah kedua temannya pergi, ia b
Pagi harinya, Morgan terbangun dengan kepala berat. Tubuhnya terasa pegal, tapi kasur tipis yang dia tiduri lebih nyaman daripada aspal. Ia mengerjapkan mata, mencoba memahami dimana dia sekarang.Di sampingnya, seorang pria berseragam duduk dengan santai, mengamatinya."Mas Morgan," sapa satpam itu dengan senyum kecil.Morgan langsung terduduk kaget. "Kok saya bisa di sini, Pak?"Satpam itu terkekeh. "Semalam saya lihat Mas kayak orang mabuk di depan gerbang. Terus saya bopong ke sini deh. Saya kira Mas mabuk beneran, ternyata enggak."Morgan memejamkan mata sejenak. Bayangan kejadian semalam perlahan kembali ke benaknya. Dia ingat mengendarai motor ke kampus dalam kondisi setengah sadar karena mengantuk berat. Dia juga ingat bagaimana aspal dingin menyambut tubuhnya saat dia akhirnya menyerah dan tertidur di depan gerbang.Morgan menghela napas panjang. "Pak, saya jadi—""Nggak cuma itu, Mas," potong satpam itu dengan nada lebih serius. "Selang beberapa lama, ada motor dan orang mon
Morgan bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dalam sekejap, matanya menangkap sosok di dalam mobil itu. Ia yakin itu adalah Prof. Gin, meskipun sosok itu hanya terlihat sekilas. Dan yang lebih mencengangkan, sebelum mobil itu melaju lebih jauh, Morgan sempat melihat Prof. Gin melirik ke arahnya. Lirikannya itu singkat, hampir tidak terlihat, namun cukup jelas bagi Morgan.“Prof. Gin?” gumam Morgan, masih terkejut.Tanpa berpikir panjang, Morgan langsung berbalik arah dan menyalakan motor dengan cepat. Ia tak peduli lagi tentang arah yang seharusnya ia ambil. Yang ada dalam pikirannya hanya satu: mengejar mobil itu. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia tidak bisa membiarkannya begitu saja.Ia melaju cepat, menghindari kendaraan lain, dan berusaha mengejar mobil Prof. Gin yang semakin menjauh. Jalanan agak sepi, memberi sedikit keuntungan bagi Morgan untuk menambah kecepatan. Namun, mobil itu terlalu cepat, dan jaraknya semakin jauh.“Jangan sampai hilang!” pikir Morgan denga
Morgan menahan napas, matanya fokus pada layar ponselnya yang sedang merekam percakapan antara Prof. Gin dan investor tersebut. Setiap kata yang keluar dari mulut Prof. Gin semakin membuat darahnya mendidih. Ia merasa seolah telah menemukan bukti yang sangat berharga untuk melawan pria itu.Tapi saat ia mulai merasa sedikit lega dan yakin bahwa ia telah mengumpulkan cukup bukti, tiba-tiba pikirannya teralihkan oleh suara kucing disebelahnya. Sontak ia tersentak, hampir membuat ponselnya terjatuh dari genggaman tangan. Dalam ketergesaan itu, dia tanpa sengaja menekan tombol kamera.Klik!Sebuah cahaya terang seketika membias dari ponsel, dan Morgan seketika menyadari bahwa flash kamera menyala tanpa sengaja. Hatinya langsung berdegup kencang. "Aduh, sial!" pikirnya, matanya melihat sekilas kilatan cahaya itu yang pasti akan membuat orang-orang di dalam gedung itu menyadari kehadirannya. Mereka pasti sudah tahu kalau ada seseorang di luar yang mengawasi.Tak lama kemudian, beberapa oran
Setelah berhasil menyembunyikan diri dan memastikan bahwa ia aman dari kejaran, Morgan memutuskan untuk kembali ke kampus. Dengan motor yang sudah mulai terasa berat karena perjalanan panjang, ia melaju pelan menuju taman kampus yang sepi. Hari sudah siang, dan tidak banyak orang yang terlihat di sekitar taman tersebut. Itu adalah tempat yang sempurna untuk bertemu dengan Jon dan Dion, dua teman yang selalu ada saat ia membutuhkan.Morgan merasa gelisah, tetapi ia tahu bahwa ini adalah langkah yang tepat. Ia mengeluarkan ponselnya dan menatap rekaman dan foto yang berhasil ia ambil tadi. Semua bukti yang ia miliki bisa menjadi kunci untuk menghentikan tindakan jahat Prof. Gin. Begitu sampai di taman, ia segera menghubungi Jon dan mengajak temannya itu untuk berkumpul.Tak lama kemudian, Jon datang dengan wajah serius. Begitu melihat Morgan, dia langsung menghampiri dengan langkah cepat."Gan, kamu kenapa? Kok lusuh gitu?" tanya Jon, matanya penuh keprihatinan.Morgan menatap Jon, la
Regina adalah anak didik Prof Gin yang sedang melakukan bimbingan rutin untuk tugas akhirnya. Wanita polos itu sama sekali tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. "Saya sekarang sudah di ruangan,"Pesan tersebut membangkitkan semangat mahasiswa tingkat akhir itu untuk menyelesaikan tugas akhirnya. "Baik banget sih Prof Gin. Padahal cuti. Tapi masih nyempetin waktu buat ngoreksi proposalku,"ujar Regina.*Malam itu, suasana kampus sepi, hanya ada beberapa lampu jalan yang menyinari jalan setapak menuju gedung kampus. Morgan, Dion, dan Jon sudah siap dengan penampilan mereka—jaket hitam, masker, dan topi hitam, berusaha menyamarkan identitas mereka. Masing-masing dari mereka terlihat tegang dan penuh perhitungan, hati mereka berdetak kencang saat mereka berdiri di depan tembok yang menghalangi mereka untuk masuk ke gedung kampus yang sepi ini. Misi mereka malam ini sangat berisiko, namun sudah tidak ada pilihan lain. Mereka harus masuk ke ruangan milik Prof Gin, mencari bukti-bukti y
Malam itu, Regina tengah duduk di meja kerjanya, dengan lampu kamar yang menyinari dokumen-dokumen yang belum selesai ia revisi. Hening. Hanya suara ketikan keyboard yang terdengar, menambah kesunyian malam yang mencekam. Sesekali ia menghela napas, memikirkan banyak hal. Pikirannya tertuju pada masalah yang belum selesai antara kejanggalan tiga temannya dan Prof Gin, serta keanehan-keanehan yang ia rasakan sejak beberapa waktu terakhir. Namun, ia mencoba untuk tetap fokus pada tugasnya, berharap semua itu akan segera selesai.Tiba-tiba, ponselnya berdering. Regina menoleh, melihat layar yang menunjukkan nomor asing. Awalnya ia ragu, tidak mengenal nomor itu. Namun, ada sesuatu yang menggelitik hatinya, sesuatu yang membuatnya merasa harus mengangkat telepon tersebut. Ia mengusap ponsel itu dan menjawabnya dengan rasa penasaran."Halo,"[Selamat malam, apa benar ini dengan Regina Jensen]"Iya saya sendiri,"[Kami dari rumah sakit Medika ingin memberitahukan Anda bahwa ayah Anda, Rob
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suasana di kontrakan Morgan sudah terasa tegang. Di dalam kamar, Morgan, Dion, dan Jon masih tertidur lelap, tubuh mereka tertutupi selimut tebal. Namun, ketenangan pagi itu segera terganggu oleh suara alarm ponsel yang berdering. Jon, yang tidur di atas kasur dekat jendela, terbangun dan meraih ponselnya dengan tangan yang masih setengah sadar.Begitu ia membuka layar ponsel, wajahnya langsung berubah. Berita terbaru muncul di Instagram, dengan judul yang mencolok dan menyentak hati."Tragedi Ledakan di Kampus: Prof Robert Jensen Dilarikan ke Rumah Sakit dengan Luka Bakar Serius, Tiga Mahasiswa Diduga Terlibat"Jon langsung terlonjak dari tempat tidurnya, matanya terbuka lebar. Tanpa berpikir panjang, ia cepat-cepat mengguncang tubuh Morgan yang tidur di sampingnya. "Morgan! Dion! Bangun, kalian lihat ini!" teriak Jon dengan suara terbata-bata.Dion yang masih mengantuk langsung meremut wajahnya, berusaha mengusir kantuk. Namun, begitu mend
"Sedikit lagi proyek itu selesai. Kamu segera susun anggarannya ya. Pastikan jangan sampai ada yang nggak keinput," ujar Arthur. "Baik pak," Bahkan setelah tiba di rumah, tak hentinya pria paruh baya itu membicarakan pasal bisnisnya. Menggambarkan betapa kerasnya dia bekerja meski sudah kaya raya. "Kalau begitu saya permisi pak," ujar asistennya. Arthur mengangguk. Kini waktunya Arthur istirahat. Namun setelah beberapa detik ia memalingkan pandangannya dari asistennya, kini asistennya muncul lagi dihadapannya. "Mohon maaf pak, ada tamu yang ingin menemui bapak," Arthur mengerutkan dahi. "Jam segini ada tamu?" Arthur menoleh ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 10 Malam. "Iya pak, katanya urgent pak," sahut Asisten. Tanpa bertanya siapa yang bertamu malam-malam begini, Arthur memilih menemui tamunya itu. Yang benar saja begitu tiba di ruang tamu dia dibuat heran dengan tamunya malam ini. Sosok cengengesan itu duduk diatas sofa dengan sopan itu layaknya ta
Morgan membuka tasnya dengan santai, berniat mengambil catatan untuk membunuh waktu gabutnya. Sementara Jon dan Dion masih berkutat dengan skripsi mereka. Namun, begitu resleting tas terbuka, matanya langsung menangkap sesuatu yang berbeda yaitu setangkai mawar merah, masih segar, kelopaknya terbuka dengan indah. Morgan terdiam. Mawar itu… Dia sudah lama berniat memberikannya pada Regina, sebagai ungkapan isi hatinya yang sebenarnya. Sebuah permintaan maaf atas semua kesalahpahaman yang terjadi, sekaligus sebuah pengakuan. Namun, entah kenapa, kesempatan itu selalu terlewat. Entah karena situasi yang tidak tepat, atau mungkin karena dia sendiri masih ragu apakah ini saat yang tepat. Tapi sekarang, melihat bunga itu di dalam tasnya, dia merasa seolah mendapat pengingat. "Niat baik nggak boleh ditunda," pikirnya. "Aku harus minta maaf ke Regina, sekalian ngasih bunga ini sebagai ungkapan isi hatiku yang sebenarnya." Morgan menarik napas dalam, kemudian dengan gerakan cepat, ia mer
"Ngurus cucu satu aja susahnya kayak ngurus puluhan orang. Susah banget. Pengennya itu lo ngadi-ngadi. Pengen jadi tukang ojeklah, pengen jadi anak kos lah, pengen jadi gelandangan lah, sekarang pengen jadi bos ojek, setelah ini pengen apalagi coba?" Sopir dan asisten Arthur terdiam seksama setelah mendengarkan ocehan Arthur. Di dalam mobil yang biasanya membahas schedule meeting dengan client atau urusan bisnis lainnya, kali ini dipenuhi dengan keluhan Arthur terhadap cucunya. "Kalian jangan diam aja dong! Kasih tanggapan atau apa kek," keluh Arthur mendapati sopir dan asistennya tak merespon. Mereka justru terlihat kompak mengangguk sungkan. "Menurut kalian saya harus gimana? Kalau tak larang, nanti dia ngambek. Tapi nggak mungkin juga toh cucuku jadi bos ojek. Apa kata orang-orang nanti. Udah paling bener dikurung aja si Morgan itu. Ngrepoti ae," Arthur mulai putus asa. Terlihat dari caranya menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. "Maaf pak, tapi saya rasa dengan mengu
Jauh dari kehidupan sebelumnya. Tanpa perlu panas-panasan mencari penumpang hanya untuk bertahan hidup. Tidak ada aturan harus bangun pagi agar tidak antre mandi. Dan tak perlu mengeluarkan tenaga setengah isdet demi memenuhi semua kebutuhannya. Karena sekarang apa yang dia butuhkan ada dalam genggamannya. Begitulah kehidupan Morgan sekarang ini. Sudah hampir satu bulan sejak dinyatakan bebas dari penjara, dia kembali ke setelah awan menjadi tuan muda Morgan Junior Collim. Hari-harinya dihabiskan dengan rebahan sembari menunggu luka akibat tembak di kakinya mengering. Saking nyamannya, dia enggan keluar kamar hanya untuk melihat matahari. Dari jendela kamarnya terpampang lukisan pemandangan asli langit kota. Jauh sekali dengan pemandangan di kontrakannya. Tak hanya itu, kalau urusan makan, dia tak perlu khawatir. Pelayan di rumahnya sedia 25 jam di depan kamarnya. Lantas beban mana lagi yang hendak kau keluhan Gan Morgan...."Ahhhh bosaaaann," ujarnya sembari membanting hp.Berula
"Maaaakk, Jon bebasss,"Tidak ada momen paling mahal detik ini selain pelukan antara ibu dan anak. Mungkin diluar sana sahabat Morgan satu ini terkenal akan kemandiriannya. Namun siapa sangka, dia adalah anak yang amat dekat dengan orang tuanya. "Alhamdulillaaahh Jon!! Alhamdulillah Alhamdulillah," Ucap syukur itu tidak sekedar terdengar trenyuh di telinga. Melainkan tembus relung hati. Begitu juga dengan setiap untaian doa yang tak ada jedanya keluar dari bibir sang ibu. Setiap amin-nya menembus langit dan langsung didengar oleh Sang Maha Kuasa. "Maapin Jon ya maak," "Iya Jon, lain kali ati-atiiii yaa. Baca bismillah dulu yah, jangan gegabah," Tak hentinya sang ibu mengusap rambut putranya yang kini usianya mencapai hampir seperempat abad. Namun bagi sang ibu, anaknya tetap anak kecil yang butuh nasihat. "Iya mak, Jon janji bakal lebih hati-hati lagi," Disatu sisi yang paling tersiksa melihat momen ini tidak lain adalah Morgan. Melihat Jon yang dirangkul orang tua dan adik-ad
Mata Gin langsung membelalak melihat kehadiran Prof Robert. Regina, yang mendampinginya, terlihat tenang meskipun ada sedikit rasa cemas di wajahnya. Prof Robert memandang ke sekeliling ruang sidang dengan tatapan sinis. Suasana mendadak hening. Semua orang, bahkan Jaksa dan hakim, tampak terkejut.Prof Robert lalu membuka mulutnya dengan suara yang masih agak serak, namun jelas terdengar di ruang sidang. "Yang Mulia, saya di sini untuk memberikan keterangan yang sangat penting," katanya. "Silahkan,""Saya ingin mengungkapkan sebuah fakta yang selama ini tersembunyi. Semua tuduhan terhadap Morgan Junior adalah fitnah belaka. Saya adalah saksi utama yang mengetahui siapa sebenarnya yang terlibat dalam pencurian alat-alat laboratorium dan kejahatan lainnya."Seluruh ruangan sidang terkejut mendengar pernyataan tersebut. Gin yang duduk di sebelah pengacaranya tampak cemas dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Prof Robert melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih keras, "
Sidang hari ini dimulai dengan penuh khidmat. Hakim ketua beserta jajarannya telah memasuki ruang sidang. Semua orang di dalam ruangan itu segera berdiri, termasuk Morgan dan teman-temannya yang duduk di kursi terdakwa. Mereka hanya bisa menundukkan kepala. Yang mereka rasakan hanyalah malu, takut , selebihnya pasrah. "Apakah semua sudah siap?" kata hakim ketua sambil melihat ke sekeliling ruangan, memastikan semuanya siap.Jaksa penuntut umum berdiri dengan formal, membuka berkasnya. "Semua siap, Yang Mulia."Hakim ketua mengangguk, lalu melanjutkan, "Tolong bacakan nama terdakwa."Satu per satu nama dibacakan. "Saudara Morgan Junior, Derren Ardiansyah, Jonathan Rizki, Dion Wiyono mohon berdiri," Semua terdakwa diminta berdiri dan menunjukkan diri mereka.Keempat pemuda itu berdiri, satu sama lain saling pandang dengan rasa malu yang memuncak. Morgan merasa seolah-olah beban berat terletak di pundaknya, apalagi dia sudah merasa tidak pantas mengangkat dagunya lantaran telah membu
Ruangan rumah sakit yang sepi itu kembali terisi dengan suara detakan mesin medis yang monoton, namun kali ini suasana terasa lebih mencekam bagi Regina. Ia duduk di samping ranjang ayahnya, Prof. Robert, yang terkulai lemah. Hanya ada cahaya remang dari lampu rumah sakit yang memberi sedikit kehidupan pada wajah Prof. Robert yang pucat. Ia memegang tangan ayahnya, berusaha untuk memberinya sedikit kehangatan yang bisa mengembalikan semangat hidup.Sudah beberapa hari berlalu sejak kecelakaan yang membuat ayahnya terbaring tak berdaya, dan meskipun dokter mengatakan bahwa mungkin ada harapan ia bisa sadar, Regina tetap merasa cemas. Tak ada yang lebih ia inginkan selain melihat ayahnya kembali seperti dulu. Namun saat ini, Prof. Robert hanya terbaring dalam ranjang, dengan sesekali napasnya yang terengah-engah, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia akan bangun dalam waktu dekat.Tiba-tiba, terdengar suara samar dari mulut Prof. Robert. Suara itu begitu lemah dan serak, seolah berasal d
“Kita semua sama-sama jadi korban Gin. Apa pun alasannya, nyatanya kita sekarang sama-sama kena getahnya. Aku mohon banget sama kamu, Derren. Pas sidang nanti, kamu harus jadi saksi. Akui semuanya. Dengan begitu, mungkin akan ada harapan agar kamu bisa bebas.”Derren menggeleng lemah. “Mana bisa, Gan… Aku kan—”“Kalau kamu jujur, pasti ada jalan. Lagian, kamu melakukan semua ini karena diancam, kan?” Morgan memotongnya cepat.Jon masih kesal. Dia menggerutu dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu dengan amarah yang meluap-luap, ia menatap Derren tajam.“GOBLOK BANGET JADI ORANG! Lain kali pikir dulu dong kalau mau bertindak!”Derren menunduk. “Iya, iya… Aku tahu aku salah,” ucapnya.“Jon, udah, Jon,” sahut Morgan, menepuk pundaknya agar lebih tenang.Tapi Jon masih mendelik ke arah Derren. “Gara-gara kamu, kita semua di sini. Gara-gara kamu, Morgan kena tembak,"Derren menggigit bibirnya. Ia tahu Jon punya hak untuk marah.Tapi di saat yang sama, dia juga merasa bahwa ini adalah ke