Morgan, Jon, dan Dion melangkah pelan ke dalam sel penjara dengan langkah berat. Suara kunci besi beradu menggema di ruangan itu, menandakan pintu sel telah dikunci rapat.Baju oranye yang kini melekat di tubuh mereka terasa begitu asing, begitu menusuk harga diri. Dulu, mereka adalah mahasiswa unggulan, nama mereka terpampang di papan pengumuman kampus sebagai mahasiswa berprestasi. Foto-foto mereka sering muncul di media sosial universitas, dipuji sebagai anak-anak muda yang berbakat, punya masa depan cerah. Tapi sekarang? Mereka tak lebih dari tahanan, mengenakan seragam yang sama dengan para kriminal yang ada di ruangan ini.Morgan melirik ke sekeliling. Di dalam sel itu, beberapa tahanan lain menatap mereka dengan tatapan tak mengenakkan. Wajah-wajah sangar itu membuat nyalinya menciut. Ada yang bertato di leher, ada yang bekas luka menggores wajahnya, ada yang duduk bersandar di dinding dengan tatapan sinis Tidak ada yang tersenyum, tidak ada yang ramah. Seakan mereka semua si
Bunyi langkah sepatu beradu dengan lantai beton menggema di dalam sel tahanan. Beberapa petugas penjara berjalan di sepanjang koridor, mendorong troli logam yang penuh dengan nampan berisi makanan. Suara gesekan logam dan langkah kaki para tahanan yang mendekat untuk mengantri.Morgan, Jon, dan Dion masih diam di sudut ruangan, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka. Mereka belum sepenuhnya percaya bahwa hidup mereka telah berubah secepat ini. Kemarin mereka masih mahasiswa unggulan, wajah mereka terpampang di papan pengumuman kampus. Hari ini, mereka hanya tahanan berbaju oranye, duduk di lantai dingin dengan kepala penuh kebingungan.Seorang sipir meletakkan nampan di depan mereka. "Makan," katanya singkat sebelum melanjutkan membagikan makanan ke tahanan lain.Morgan melirik isi nampan itu.Sepotong ayam goreng, sayur bening dengan potongan kecil wortel dan sawi, serta nasi putih yang masih mengepul. Di sampingnya, ada satu gelas plastik berisi teh manis hangat. Tidak seburu
Di ruang ICU yang sunyi, hanya suara alat medis yang berbunyi pelan, seakan menjadi satu-satunya bukti bahwa Prof Robert masih bertahan. Tubuhnya yang terbalut perban nyaris tak bisa dikenali lagi oleh Regina. Hatinya terasa remuk melihat kondisi ayahnya seperti ini. Luka bakar memenuhi sebagian besar tubuhnya, membuatnya tampak begitu rapuh dibandingkan sosok kuat yang selalu ia kenal.Regina menggenggam tangan ayahnya yang dingin, air mata terus mengalir tanpa bisa ia tahan. “Ayah…” suaranya bergetar.Tak ada jawaban. Hanya napas berat dari alat bantu yang terus bekerja untuknya.Namun, di antara keheningan itu, bibir Prof Robert bergerak lemah, nyaris tak terdengar. “Mor…gan…”Regina tersentak. Ia mengira hanya halusinasi, tapi kemudian ayahnya kembali bergumam, “…Gin…”Matanya melebar. Morgan? Gin? Apa maksudnya?Regina menggigit bibirnya, hatinya bercampur aduk. Kenapa ayahnya menyebut nama Morgan? Bukankah Morgan yang menyebabkan semua ini? Bukankah video CCTV dan saksi mata sud
Pagi di dalam penjara dimulai dengan suara langkah kaki para tahanan yang antre di depan kamar mandi. Suara air yang mengalir dan percikan langkah basah menggema di lorong sempit yang hanya diterangi cahaya redup dari jendela kecil di atas.Morgan berdiri di belakang Derren, melipat tangan di depan dada sambil menunggu giliran. Jon dan Dion sudah selesai lebih dulu, memilih duduk di sudut sambil mengeringkan rambut mereka dengan handuk kasar yang disediakan penjara.Saat tiba giliran Derren, dia ragu. Mata coklatnya menatap pintu kamar mandi yang terbuka sedikit, memperlihatkan bak mandi lumutan dengan air jernih yang entah sudah berapa lama tidak dikuras. Dindingnya penuh kerak, dan baunya tidak segar seperti kamar mandinya di rumah yang selalu wangi sabun dan sampo mahal.“Eh, kamu duluan aja,” Derren buru-buru menoleh ke Morgan.Morgan menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu. “Ya udah.”Tanpa banyak cakap, Morgan melangkah masuk dan menutup pintu. Suara air mengalir terdengar da
Pagi itu, Prof Gin berdiri di depan gedung megah yang sudah lama ia targetkan, namun kini dilihatnya dengan cara yang berbeda. Gedung itu adalah markas Arthur Collim, sebuah tempat yang dulu menjadi simbol harapan yang gagal. Ia masih ingat betul bagaimana ia berdiri di pintu itu, penuh dengan harapan, hanya untuk dipermalukan dan ditolak begitu saja. Kini, setelah dua puluh tahun, ia kembali—lebih kuat, lebih bertekad, dan lebih siap untuk membalaskan dendam.Langkah kakinya terdengar berat saat ia melangkah memasuki ruang lobi yang penuh dengan kemewahan, dikelilingi oleh marmer, lukisan-lukisan mahal, dan ornamen lainnya. Semua itu mengingatkannya pada betapa kecilnya dirinya waktu itu. Namun, kini ia bukan lagi pria yang sama. Ia telah berubah.Arthur Collim sedang duduk di ruang kerjanya yang luas dan modern. Dengan tubuh yang terlihat lebih tua, Arthur tidak menyadari kedatangan Gin hingga suara langkah kakinya terdengar semakin dekat."Selamat pagi pak Arthur," suara Gin terden
Siang itu, para tahanan berbaris di bawah terik matahari, antre di depan dapur penjara yang hanya dinaungi atap seng berkarat. Udara panas bercampur aroma makanan sederhana yang sedang disiapkan di dalam dapur. Baki-baki besi ditumpuk di meja panjang, masing-masing berisi nasi putih, sayur bening yang lebih banyak airnya daripada sayur, sepotong tempe goreng, dan kuah kecap encer yang disiram begitu saja.Derren berdiri di antrean dengan ekspresi tak percaya. Begitu sampai giliran mengambil makan, dia memandangi isi bakinya dengan wajah nyaris mual. "Apaan nih? Kok kayak di warteg!" keluhnya."Buset, seumur-umur belum pernah liat ada makanan ini. Belum lagi tempatnya jorok banget. Ih,, peralaatannya juga jorok,"Jon, yang sudah lebih dulu duduk di bangku panjang bersama tahanan lain, menoleh dengan malas. "Kamu kira ini restoran bintang lima?" katanya sambil mengunyah. "Kalau nggak doyan, ya udah, gak usah dimakan."Derren berjalan ke meja dan duduk dengan lagak ogah-ogahan. Ia menat
Derren yang memang selalu bersikap songong, hanya menaikkan alis. "Ya, emang bener kan?" katanya santai.Jon mengepalkan tangannya, siap melayangkan pukulan. Tapi sebelum ia sempat bergerak, Dion buru-buru menariknya kembali ke tempat duduk."Udah, Jon! Jangan kasih dia panggung," bisik Dio.Jon menggeram, masih menatap Derren dengan emosi, tapi akhirnya duduk kembali dengan wajah kesal.Morgan menghela napas panjang. Suasana penjara ini makin lama makin penuh tekanan, bukan hanya karena aturan yang ketat, tapi juga karena emosi yang terus membara di antara mereka.Dan firasat buruk yang ia rasakan… masih belum mau hilang.*Malam semakin larut. Cahaya lampu redup yang menggantung di langit-langit sel berkedip sesekali, membuat suasana makin suram. Udara terasa lembap, bercampur bau keringat, karat besi, dan aroma tidak sedap dari toilet di ujung lorong. Di luar sana, suara rantai beradu dan langkah petugas patroli terdengar samar-samar, tetapi di dalam sel, kebisingan justru berasal
Gin menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya menjawab dengan nada mantap, “Regina. Ya Regina, anak dari Prof Robert,"Ruangan kembali sunyi. Beberapa dosen terlihat terkejut, sementara yang lain tampak datar saja. Dekan menghela napas. “Jadi, Regina yang melaporkan mereka ke polisi?”Gin mengangguk, “Benar,"Gin teringat kejadian saat dia hanya memberi saran pada Regina sebagai kolega yang peduli. Dia melihat betapa kecewanya Regina setelah melihat ayahnya dalam kondisi kritis akibat ledakan itu yang terjadi beberapa hari yang lalu. "Bisa Anda bayangkan bagaimana perasaannya? Ditambah lagi, ayahnya kehilangan semua data proyek dan merasa dikhianati oleh mahasiswa yang ia percaya.”Gin berbicara dengan begitu meyakinkan, seolah-olah ia benar-benar hanya sebagai pihak netral yang peduli pada keadaan Regina dan Prof Robert.Seorang dosen muda yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara, “Tapi, bukankah Regina sedang dalam kondisi emosional saat itu? Jika benar dia yang melapor,
"Sedikit lagi proyek itu selesai. Kamu segera susun anggarannya ya. Pastikan jangan sampai ada yang nggak keinput," ujar Arthur. "Baik pak," Bahkan setelah tiba di rumah, tak hentinya pria paruh baya itu membicarakan pasal bisnisnya. Menggambarkan betapa kerasnya dia bekerja meski sudah kaya raya. "Kalau begitu saya permisi pak," ujar asistennya. Arthur mengangguk. Kini waktunya Arthur istirahat. Namun setelah beberapa detik ia memalingkan pandangannya dari asistennya, kini asistennya muncul lagi dihadapannya. "Mohon maaf pak, ada tamu yang ingin menemui bapak," Arthur mengerutkan dahi. "Jam segini ada tamu?" Arthur menoleh ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 10 Malam. "Iya pak, katanya urgent pak," sahut Asisten. Tanpa bertanya siapa yang bertamu malam-malam begini, Arthur memilih menemui tamunya itu. Yang benar saja begitu tiba di ruang tamu dia dibuat heran dengan tamunya malam ini. Sosok cengengesan itu duduk diatas sofa dengan sopan itu layaknya ta
Morgan membuka tasnya dengan santai, berniat mengambil catatan untuk membunuh waktu gabutnya. Sementara Jon dan Dion masih berkutat dengan skripsi mereka. Namun, begitu resleting tas terbuka, matanya langsung menangkap sesuatu yang berbeda yaitu setangkai mawar merah, masih segar, kelopaknya terbuka dengan indah. Morgan terdiam. Mawar itu… Dia sudah lama berniat memberikannya pada Regina, sebagai ungkapan isi hatinya yang sebenarnya. Sebuah permintaan maaf atas semua kesalahpahaman yang terjadi, sekaligus sebuah pengakuan. Namun, entah kenapa, kesempatan itu selalu terlewat. Entah karena situasi yang tidak tepat, atau mungkin karena dia sendiri masih ragu apakah ini saat yang tepat. Tapi sekarang, melihat bunga itu di dalam tasnya, dia merasa seolah mendapat pengingat. "Niat baik nggak boleh ditunda," pikirnya. "Aku harus minta maaf ke Regina, sekalian ngasih bunga ini sebagai ungkapan isi hatiku yang sebenarnya." Morgan menarik napas dalam, kemudian dengan gerakan cepat, ia mer
"Ngurus cucu satu aja susahnya kayak ngurus puluhan orang. Susah banget. Pengennya itu lo ngadi-ngadi. Pengen jadi tukang ojeklah, pengen jadi anak kos lah, pengen jadi gelandangan lah, sekarang pengen jadi bos ojek, setelah ini pengen apalagi coba?" Sopir dan asisten Arthur terdiam seksama setelah mendengarkan ocehan Arthur. Di dalam mobil yang biasanya membahas schedule meeting dengan client atau urusan bisnis lainnya, kali ini dipenuhi dengan keluhan Arthur terhadap cucunya. "Kalian jangan diam aja dong! Kasih tanggapan atau apa kek," keluh Arthur mendapati sopir dan asistennya tak merespon. Mereka justru terlihat kompak mengangguk sungkan. "Menurut kalian saya harus gimana? Kalau tak larang, nanti dia ngambek. Tapi nggak mungkin juga toh cucuku jadi bos ojek. Apa kata orang-orang nanti. Udah paling bener dikurung aja si Morgan itu. Ngrepoti ae," Arthur mulai putus asa. Terlihat dari caranya menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. "Maaf pak, tapi saya rasa dengan mengu
Jauh dari kehidupan sebelumnya. Tanpa perlu panas-panasan mencari penumpang hanya untuk bertahan hidup. Tidak ada aturan harus bangun pagi agar tidak antre mandi. Dan tak perlu mengeluarkan tenaga setengah isdet demi memenuhi semua kebutuhannya. Karena sekarang apa yang dia butuhkan ada dalam genggamannya. Begitulah kehidupan Morgan sekarang ini. Sudah hampir satu bulan sejak dinyatakan bebas dari penjara, dia kembali ke setelah awan menjadi tuan muda Morgan Junior Collim. Hari-harinya dihabiskan dengan rebahan sembari menunggu luka akibat tembak di kakinya mengering. Saking nyamannya, dia enggan keluar kamar hanya untuk melihat matahari. Dari jendela kamarnya terpampang lukisan pemandangan asli langit kota. Jauh sekali dengan pemandangan di kontrakannya. Tak hanya itu, kalau urusan makan, dia tak perlu khawatir. Pelayan di rumahnya sedia 25 jam di depan kamarnya. Lantas beban mana lagi yang hendak kau keluhan Gan Morgan...."Ahhhh bosaaaann," ujarnya sembari membanting hp.Berula
"Maaaakk, Jon bebasss,"Tidak ada momen paling mahal detik ini selain pelukan antara ibu dan anak. Mungkin diluar sana sahabat Morgan satu ini terkenal akan kemandiriannya. Namun siapa sangka, dia adalah anak yang amat dekat dengan orang tuanya. "Alhamdulillaaahh Jon!! Alhamdulillah Alhamdulillah," Ucap syukur itu tidak sekedar terdengar trenyuh di telinga. Melainkan tembus relung hati. Begitu juga dengan setiap untaian doa yang tak ada jedanya keluar dari bibir sang ibu. Setiap amin-nya menembus langit dan langsung didengar oleh Sang Maha Kuasa. "Maapin Jon ya maak," "Iya Jon, lain kali ati-atiiii yaa. Baca bismillah dulu yah, jangan gegabah," Tak hentinya sang ibu mengusap rambut putranya yang kini usianya mencapai hampir seperempat abad. Namun bagi sang ibu, anaknya tetap anak kecil yang butuh nasihat. "Iya mak, Jon janji bakal lebih hati-hati lagi," Disatu sisi yang paling tersiksa melihat momen ini tidak lain adalah Morgan. Melihat Jon yang dirangkul orang tua dan adik-ad
Mata Gin langsung membelalak melihat kehadiran Prof Robert. Regina, yang mendampinginya, terlihat tenang meskipun ada sedikit rasa cemas di wajahnya. Prof Robert memandang ke sekeliling ruang sidang dengan tatapan sinis. Suasana mendadak hening. Semua orang, bahkan Jaksa dan hakim, tampak terkejut.Prof Robert lalu membuka mulutnya dengan suara yang masih agak serak, namun jelas terdengar di ruang sidang. "Yang Mulia, saya di sini untuk memberikan keterangan yang sangat penting," katanya. "Silahkan,""Saya ingin mengungkapkan sebuah fakta yang selama ini tersembunyi. Semua tuduhan terhadap Morgan Junior adalah fitnah belaka. Saya adalah saksi utama yang mengetahui siapa sebenarnya yang terlibat dalam pencurian alat-alat laboratorium dan kejahatan lainnya."Seluruh ruangan sidang terkejut mendengar pernyataan tersebut. Gin yang duduk di sebelah pengacaranya tampak cemas dan tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Prof Robert melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih keras, "
Sidang hari ini dimulai dengan penuh khidmat. Hakim ketua beserta jajarannya telah memasuki ruang sidang. Semua orang di dalam ruangan itu segera berdiri, termasuk Morgan dan teman-temannya yang duduk di kursi terdakwa. Mereka hanya bisa menundukkan kepala. Yang mereka rasakan hanyalah malu, takut , selebihnya pasrah. "Apakah semua sudah siap?" kata hakim ketua sambil melihat ke sekeliling ruangan, memastikan semuanya siap.Jaksa penuntut umum berdiri dengan formal, membuka berkasnya. "Semua siap, Yang Mulia."Hakim ketua mengangguk, lalu melanjutkan, "Tolong bacakan nama terdakwa."Satu per satu nama dibacakan. "Saudara Morgan Junior, Derren Ardiansyah, Jonathan Rizki, Dion Wiyono mohon berdiri," Semua terdakwa diminta berdiri dan menunjukkan diri mereka.Keempat pemuda itu berdiri, satu sama lain saling pandang dengan rasa malu yang memuncak. Morgan merasa seolah-olah beban berat terletak di pundaknya, apalagi dia sudah merasa tidak pantas mengangkat dagunya lantaran telah membu
Ruangan rumah sakit yang sepi itu kembali terisi dengan suara detakan mesin medis yang monoton, namun kali ini suasana terasa lebih mencekam bagi Regina. Ia duduk di samping ranjang ayahnya, Prof. Robert, yang terkulai lemah. Hanya ada cahaya remang dari lampu rumah sakit yang memberi sedikit kehidupan pada wajah Prof. Robert yang pucat. Ia memegang tangan ayahnya, berusaha untuk memberinya sedikit kehangatan yang bisa mengembalikan semangat hidup.Sudah beberapa hari berlalu sejak kecelakaan yang membuat ayahnya terbaring tak berdaya, dan meskipun dokter mengatakan bahwa mungkin ada harapan ia bisa sadar, Regina tetap merasa cemas. Tak ada yang lebih ia inginkan selain melihat ayahnya kembali seperti dulu. Namun saat ini, Prof. Robert hanya terbaring dalam ranjang, dengan sesekali napasnya yang terengah-engah, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia akan bangun dalam waktu dekat.Tiba-tiba, terdengar suara samar dari mulut Prof. Robert. Suara itu begitu lemah dan serak, seolah berasal d
“Kita semua sama-sama jadi korban Gin. Apa pun alasannya, nyatanya kita sekarang sama-sama kena getahnya. Aku mohon banget sama kamu, Derren. Pas sidang nanti, kamu harus jadi saksi. Akui semuanya. Dengan begitu, mungkin akan ada harapan agar kamu bisa bebas.”Derren menggeleng lemah. “Mana bisa, Gan… Aku kan—”“Kalau kamu jujur, pasti ada jalan. Lagian, kamu melakukan semua ini karena diancam, kan?” Morgan memotongnya cepat.Jon masih kesal. Dia menggerutu dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu dengan amarah yang meluap-luap, ia menatap Derren tajam.“GOBLOK BANGET JADI ORANG! Lain kali pikir dulu dong kalau mau bertindak!”Derren menunduk. “Iya, iya… Aku tahu aku salah,” ucapnya.“Jon, udah, Jon,” sahut Morgan, menepuk pundaknya agar lebih tenang.Tapi Jon masih mendelik ke arah Derren. “Gara-gara kamu, kita semua di sini. Gara-gara kamu, Morgan kena tembak,"Derren menggigit bibirnya. Ia tahu Jon punya hak untuk marah.Tapi di saat yang sama, dia juga merasa bahwa ini adalah ke