"Biar aku buatkan masakan enak malam ini, Sayang. Tapi ingat, nantinya aku minta tambahan satu ronde lagi," bisik Rangga lembut pada istrinya, Febby, yang hanya dapat mengangguk lelah. Rasa lelah masih menyelimuti, bahkan tubuh Febby masih basah karena keringat sang suami sudah mau minta satu ronde lagi, sementara jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.45 di West Country. “Mau makan apa sayang?”“Steak ayam deh sayang,” jawab Febby.Rangga mengangguk.Setelah membersihkan bekas percintaan itu, Rangga segera melangkah ke dapur untuk memenuhi permintaan sang istri akan steak ayam. Di dapur, seorang pelayan setia menyambut kedatangannya dengan hangat. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya pelayan itu dengan sopan. "Sediakan daging ayam untukku, Bi. Aku ingin membuatkan steak ayam buat istriku," ujar Rangga, semangatnya terpancar dari sorot matanya. "Biar Bibi saja yang membuatkan, Tuan. Anda terlihat lelah," sang pelayan menawarkan diri, tidak ingin majikannya berlelahan.Rangga m
“Iya Ma, setelah kembali dari kota West Country, Rossa akan pulang ke rumah ini,” janji Rossa pada sang mama.Mayang mengangguk sambil tersenyum. Hanya Rossa yang dia miliki di dunia ini, dia akan melakukan apapun untuk sang anak.Mereka melanjutkan makan bersama, lalu shopping menggunakan uang di atm Mayang. Keduanya sudah mulai melupakan judi saat hidup mereka hancur dan dijauhi teman-temannya dulu.“Kita ke kafe dulu yuk,” ajak Mayang.Rossa mengangguk, kali ini dia ditraktir sang mama.Mayang dan Rossa duduk di sebuah kafe mewah di pusat kota Sun City. Hari itu, mereka berdua tampil sangat anggun dan berkelas, mengenakan pakaian mahal dari desainer ternama. Kaca hitam besar di belakang mereka memantulkan sosok dua wanita yang kini merasa memiliki kuasa atas hidup mereka, sesuatu yang dulu hanya menjadi angan-angan.Hari-hari kesulitan seakan menjadi mimpi buruk yang semakin menjauh. Setelah Rangga, menantu gembelnya itu, ternyata seorang konglomerat besar dari West Country, kehid
Ternyata orang yang mendekat adalah Mamanya Bayu. Dengan pandangan sinis, beliau memeriksa paper bag bergambar logo ternama di tangan Mayang dan Rossa. Dengan suara meremehkan, beliau berkata, "Jadi setelah Si Kodok berubah menjadi pangeran, kalian ikut merayakan, ya?" Hubungan Mayang dengan sahabatnya sudah retak berkeping-keping, tak ada lagi keinginan untuk berbasa-basi atau menjaga hati. "Lebih baik dari kodok menjadi pangeran daripada dari pangeran jadi kodok. Ngomong-ngomong, bagaimana kabar 'kodok' mu setelah kehancuran yang kau ciptakan itu?" Mayang menyindir dengan tajam. Mamanya Bayu menggenggam tangannya erat-erat, hampir terlihat bergetar, "Ini semua karena kalian... Kalian yang tak tahu diri, yang sengaja memanfaatkan anak saya," ucapnya dengan tatapan yang memancarkan kebencian. Mayang tertawa sinis, "Sudah terlalu jauh, Say. Apa pun katamu, kami sudah lepas tangan. Bahkan semua hutang telah dilunasi oleh Si Kodok yang kini telah berubah menjadi pangeran, bukan seba
“Feb, kamu hamil?” tanya Rossa.“Iya Kak,” jawabnya datar.“Wah selamat ya,” kata Rossa.“Makasih,” jawab Febby datar. Dia udah bisa menebak niat kedatangan sang kakak tiri ke rumahnya.“Kamar kamu mewah sekali Feb, ini seperti cerita dongeng,” kata Rossa. Tapi dia beneran sangat kagum dengan kemewahannya.“Ada apa kakak tumben datang tiba-tiba?” tanya Febby.Rossa duduk di sofa di sebelah adik tirinya. Kamar itu gelap hanya ada penerangan lampu tidur. Rossa sudah mendengar dari sang mama kalau Febby mengalami ngidam yang aneh. Namun ia tak menyangka perut Febby sudah sebesar ini.“Hmmm,” Rossa berdehem. “Gini Feb,kedatangan kakak mau minta uang bulanan juga dari Rangga. Kamu mau kan kakak tobat judi dan main gila di luar sana. Tapi kakak butuh uang bulanan kayak Mama.”Febby mendengus, lalu mengirim pesan pada suaminya. Tak butuh waktu lama Febby sudah mendapat balasan.“Kita bicarakan ini setelah makan malam saja. Kata Rangga kakak nginep di sini dl malam ini,” ucapnya.Rossa tersen
Malam harinya setelah makan malam mereka duduk di ruang keluarga. Rangga duduk berdampingan dengan sang istri, sementara Rossa duduk di depannya.Febby tangannya memegang secangkir teh yang sudah mulai dingin. Di sebelahnya, Rangga terlihat tenang, tetapi tatapan matanya menunjukkan bahwa ia siap menghadapi percakapan dengan orang yang dulu sering menghinanya. Di hadapan mereka, tiri Febby, duduk dengan sikap percaya diri yang nyaris sombong, seperti sudah tahu apa yang akan ia dapatkan dari pertemuan ini.“Aku datang ke sini untuk meminta uang bulanan, Rangga,” kata Rossa dengan suara yang terukur, namun tajam. “Uang bulanan?” Rangga membeo.Rossa mengangguk mantap.“Mama sudah mendapatkan jatah bulanan dari kamu, dan sekarang, aku juga ingin hal yang sama. Aku pikir itu wajar, mengingat kita ini keluarga.”Febby menatap tajam ke arah Rossa. Bagi Febby, ini bukanlah permintaan yang wajar. Kakak tirinya dan sang mama tidak pernah benar-benar peduli padanya atau keluarga mereka. Mer
TingMata Rossa membulat menerima nominal yang masuk dalam rekeningnya. Dia yakin anak buah Rangga melakukannya, karena saat ini Rangga tak memegang ponsel.“Terima kasih Rangga, terima kasih Febby,” ucapnya. Jumlahnya tak kaleng-kaleng. Pantas saja sang mama memberinya banyak barang branded. Kalau begini Rossa harus bersikap baik pada Febby dan Rangga.“Carilah kekasih, dan segeralah menikah, agar pria itu yang menanggung hidupmu,” kata Rangga sebelum naik ke lantai atas bersama sang istri.“Aku tidak boleh marah. Tahan emosi, dia pohon uangmu Rossa,” ucapnya pada diri sendiri sambil menatap pasangan bucin itu naik ke lantai atas.****Tiga Bulan KemudianArkana melangkah dengan pasti menuju ruang pertemuan di kantor polisi tempat Brian ditahan. Wajahnya serius, tak ada sedikit pun keraguan atau keragaman emosi di balik sorot matanya yang tajam. Setelah berbulan-bulan bekerja keras, ia akhirnya berhasil menyelesaikan tugas penting yang diberikan Rangga: merubah nama kepemilikan Sejah
Saat Arka hendak membuka pintu mobilnya, dering ponselnya memecah kesunyian, memaksa ia menunda langkahnya. Ternyata panggilan itu datang dari Rangga. "Halo, Tuan," sahut Arka. "Arka, besok Adrian akan tiba di sana untuk menggantikan posisimu. Beri tahu dia poin-poin penting dan latih selama tiga hari. Setelah itu, kau harus segera kembali ke West Country. Aku membutuhkanmu di sini," suara Rangga terdengar genting melalui sambungan telepon, membuat Arka mengerutkan kening dalam kebingungan. "Apa ada masalah di sana, Tuan?" tanyanya dengan rasa khawatir yang mendalam. "Tidak ada masalah, hanya saja aku kewalahan. Proyek besar mulai berdatangan dan aku sangat memerlukan bantuanmu," jawab Rangga, nada suaranya mencoba menenangkan namun tetap serius. "Baik, Tuan. Saya akan berangkat segera setelah memastikan Adrian mampu melanjutkan tugas di Abadi Group," janji Arka, suaranya penuh keteguhan. "Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku," pesan Rangga tegas. "Baik, Tuan. Saya akan usahak
"Boleh ya, Sayang? Kata dokter, semakin tua usia kandungan, semakin rajin kita harus melakukannya agar proses kelahiran anak-anak kita berjalan lancar," ucap Rangga sambil pelan-pelan mulai melepas pakaian istrinya. Namun, tiba-tiba suasana intim itu terganggu oleh suara ketukan di pintu kamar. Dengan langkah terburu-buru, Rangga membuka pintu dan mendapati kepala pelayan berdiri dengan ekspresi serius. "Ada apa, Bi?" tanya Rangga dengan nada penasaran. "Tuan, ada Nona Monica di bawah. Beliau ingin menemui Anda untuk membahas urusan penting," ucap sang kepala pelayan. Sayangnya, kata-kata itu terdengar oleh Febby yang langsung mengerutkan keningnya. "Iya, Bi. Sebentar ya," sahut Rangga, lalu ia berbalik memasuki kamar, mendapati wajah istrinya yang sudah masam. "Sayang, aku turun sebentar ya? Sepertinya Monica ingin minta tanda tangan saja," katanya, berusaha meredam amarah yang mulai terpancar dari mata Febby. Dengan suara dingin, Febby hanya menjawab, "Iya," seraya memberi iz
Arka masih berdiri dengan ekspresi serius, berhadapan dengan Nabila yang tampak gugup. Sebuah kesalahan fatal baru saja terjadi, membuat Nabila harus menghadapi amarah Arka, rekan kerjanya yang juga dikenal sebagai tangan kanan Rangga.“Ma–maaf,” ucap Nabila dengan nada terbata-bata. Matanya menatap meja, tak berani menatap langsung ke arah Arka. “Aku akan memperbaikinya.”Arka menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya tetap tegas. “Sudah seharusnya begitu, Nabila. Jangan campur adukkan masalah pribadi dengan urusan kantor,” tegurnya. “Data ini sangat penting. Kita dibayar untuk bekerja, bukan untuk mengecewakan pemilik perusahaan.”Nada suaranya yang dingin membuat Nabila merasa semakin bersalah. Rekan kerja lain di tempat itu, yang mendengar percakapan mereka, memilih untuk mengabaikannya.Nabila menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu Arka benar, dan ia harus memperbaiki kesalahan ini secepat mungkin. “Baik, Arka,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan. “Unt
Arka mengetuk pintu ruang kerja Rangga dengan hati yang sudah terasa berat sejak tadi. Ia tahu, percakapan ini akan melibatkan Nabila, yang terlihat semakin berusaha mendekatinya belakangan ini. Setelah mendengar suara Rangga mempersilakan masuk, Arka membuka pintu dan melangkah masuk bersama Nabila. Mereka duduk berdampingan, meskipun suasana di antara keduanya terasa canggung.Rangga menatap mereka sejenak, matanya tajam namun tetap ramah. Ia memulai pembicaraan, “Arka, saya akan segera mempersiapkan penggantimu-”Belum selesai kalimat itu terucap, Nabila langsung memotong, “Maksud Anda bagaimana, Tuan?”Nada suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu, namun juga sedikit ketakutan. Ia menatap Rangga, mencoba mencari penjelasan dari kalimat yang setengah terucap itu.Rangga tersenyum tipis, mengalihkan pandangannya pada Arka yang tampak tenang. “Arka kan sebentar lagi akan menikah,” lanjut Rangga, nadanya penuh pengertian. “Dia akan menjadi pimpinan salah satu anak cabang Wijaya Group
“Kalian ini berani-beraninya, ya, ngomongin Mama,” ujar Febby pura-pura marah sambil memandang mereka dengan alis terangkat.Elina dan Elio hanya tertawa kecil, tampak tak terpengaruh oleh wajah pura-pura serius mamanya. “Kami hanya bercanda, Mama!” jawab mereka serempak dengan wajah polos dan senyum lebar, seperti berusaha meyakinkan bahwa mereka tidak bersalah.Febby menggeleng, lalu tersenyum. “Ya sudah, ayo cepat sarapan dulu. Nanti keburu terlambat ke sekolah,” katanya dengan suara lembut, namun tetap tegas.“Siap, Mama!” balas mereka, masih dalam nada polos dan penuh semangat.Tak lama kemudian, Elina dan Elio mengambil tas mereka, dan bersiap turun ke lantai bawah. Di ruang makan, Rangga, sudah duduk dengan rapi dan tampan dalam setelan kerjanya, menunggu mereka dengan sabar. Di meja itu juga sudah ada nenek mereka, dan Rossa, yang duduk menunggu sambil tersenyum melihat keceriaan anak-anak itu.Melihat kedatangan mereka, Rangga segera berdiri dari kursinya dan dengan penuh kas
Malam telah larut ketika Mayang dan Rossa memasuki kamar. Setelah percakapan hangat bersama keluarga, mereka kini berdua, bersiap untuk beristirahat. Namun, suasana hati Rossa tampak tidak tenang. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan pandangan menerawang, sementara Mayang mengamati anaknya dengan lembut dari sudut ruangan."Ma," Rossa akhirnya membuka suara dengan nada pelan, tapi penuh rasa takjub, "Rossa sama sekali nggak menyangka, ternyata Arka bakal mendapatkan hadiah sebesar itu dari Rangga. Padahal tadi kami sempat diskusi, setelah menikah mungkin dia hanya akan pulang ke Sun City setiap akhir pekan. Tapi sekarang… hadiah itu mengubah segalanya. Kami bahkan bisa tinggal di sana bersama Mama."Mayang mendekati anaknya dan duduk di sebelahnya. Ia menggenggam tangan Rossa dengan lembut. "Iya, Sayang. Mama juga nggak pernah menyangka. Kalau Mama ingat-ingat lagi… Mama malu sekali atas apa yang pernah Mama lakukan ke Rangga dulu." Suara Mayang mulai serak. "Mama dulu menghina dia
Setelah Arka pamit pulang, Febby, Rangga, dan Mayang masih duduk bersama. Di samping mereka, Rossa duduk tenang, menyimak obrolan sambil tersenyum kecil, namun di wajahnya ada keraguan yang tersirat.Febby yang duduk di sebelah Rossa menatapnya dengan penuh perhatian. "Kakak, rencananya mau menikah di sini atau di kota Sun City?" tanyanya lembut, ingin tahu keputusan kakak tirinya itu. Pertanyaan itu sontak membuat semua mata di ruangan tertuju pada Rossa, menunggu jawabannya.Rossa tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. "Kak Rossa sih inginnya di Sun City saja," jawabnya akhirnya, memandangi mereka satu per satu. "Di sana banyak kenangan yang ingin kami pertahankan, tempat-tempat yang istimewa untukku dan Arka. Lagipula, kami juga akan tinggal di sana setelah menikah... meskipun harus berpisah jarak dan waktu dengan Arka yang akan tetap bekerja di sini." Ada sedikit nada ragu di ujung kalimatnya, seakan-akan perpisahan itu adalah pengorbanan yang tak mudah baginya.Rangga ya
“Kamu serius, sayang?” tanya Arka.Rossa mengangguk, “aku serius sayang. Kapanpun aku siap,” ulang Rossa.“Dua bulan lagi ada hari baik, apa kamu mau?”Rossa mengangguk.Arka kembali masuk ke dalam rumah sang atasan, dia minta Rangga dan febby kembali turun sebentar. Mereka pun berkumpul di ruang keluarga rumah mewah Rangga.Suasana hangat penuh kekeluargaan begitu terasa, terutama dengan adanya Febby yang tengah mengandung anak kedua, membawa kebahagiaan tersendiri bagi seluruh keluarga. Melihat Arka yang tampak ragu-ragu, Rangga segera menepuk punggungnya dan mempersilakannya duduk di samping."Ada apa, Ark? Kok wajahmu serius banget?" tanya Rangga, berusaha mencairkan suasana.Arka menarik napas dalam-dalam, memandangi ketiganya satu per satu, lalu berkata, "Saya ingin minta izin, Sama tante, Tuan dan Nyonya. Setelah berdiskusi dengan Rossa, kami memutuskan untuk menikah dua bulan lagi."Pernyataan itu mengejutkan semua orang, terutama Mayang, yang tidak menyangka rencana pernika
Rangga dan keluarganya bersiap untuk malam spesial mereka. Ia merangkul bahu istrinya, Febby, yang sedang hamil, dengan lembut sembari mengajak kedua anak kembar mereka, Elina dan Elio."Ayo, sayang, kita bersiap," ucapnya dengan suara hangat yang penuh semangat.Bocah kembar berusia empat tahun yang energik, tidak bisa menahan kebahagiaan mereka. Setiap kali diajak makan di luar, mereka tahu pasti bisa memilih menu yang mereka inginkan tanpa batasan. Restoran mewah dengan berbagai pilihan hidangan daging adalah favorit mereka.Si kembar masuk ke dalam kamarnya bersama suster Barbara."Kamu mau daging apa nanti?" tanya Elina sambil memandang adik kembarnya, dengan mata berbinar. Mereka sedang dibantu mengganti pakaian oleh suster Barbara, yang setia menemani mereka setiap hari."Aku mau daging sapi saja, kamu daging ayam saja, nanti kita bagi," jawab Elio, mencoba memberi saran."Oke, tos dulu dong!" Elina mengulurkan tangannya, dan keduanya melakukan tos sambil tertawa kecil.Suster
Rangga menatap Febby dengan perasaan yang tak menentu, dia nyaris tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar. Matanya menatap lekat-lekat wajah istrinya, seolah mencari kepastian lebih dalam dari sekadar kata-kata.“Ka—kamu beneran hamil, sayang?” tanyanya dengan suara terbata, penuh harap dan ketidakpercayaan.Febby tersenyum hangat, lalu mengangguk dengan penuh keyakinan. “Iya, sayang. Kita akan punya anak lagi,” jawabnya lembut, seolah kata-katanya itu adalah musik indah yang meresap ke dalam hati Rangga.Seolah tak mampu menahan luapan rasa bahagianya, Rangga menarik tubuh Febby ke dalam pelukan. Air mata jatuh tanpa malu-malu dari kedua matanya, namun ia tak peduli. Dalam hatinya, ia terus-menerus bersyukur pada Tuhan atas anugerah ini. Ia mengusap wajah Febby dengan jemari lembutnya, lalu menghujani pipi, kening, dan bibir istrinya dengan ciuman bertubi-tubi.“Aku bahagia sekali, sayang. Aku benar-benar nggak menyangka kalau Tuhan memberi kita kepercayaan lagi,” ucap Ra
"Nabila!" panggil Rangga ketika ia sudah ada di lobi. Kebetulan, Nabila juga masih berada di sekitar lobi. Dengan cepat, Nabila mendekati Rangga."Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan."Harusnya sih, saya tidak perlu bicara seperti ini. Saya minta maaf sebelumnya kalau apa yang akan saya ucapkan ini menyinggung perasaanmu," ucap Rangga mengawali kalimatnya, membuat jantung Nabila berdebar semakin kencang."I-iya, Tuan. Ada apa?" tanya Nabila dengan suara lirih."Tolong jangan berharap apa pun lagi pada Arka, apalagi mengejarnya secara berlebihan. Dia bisa menjadi orang yang paling membencimu karena dia sangat tidak menyukai wanita agresif. Dan sekarang, Arka sudah memiliki calon istri, dan mereka akan segera menikah. Calon istrinya itu adalah kakak iparku sendiri. Jadi, jangan coba-coba untuk mengganggu hubungan mereka lagi. Kamu sudah pernah melewatkan kesempatan emas, di mana saat itu Arka benar-benar ingin mengulang kembali hubungan kalian yang pernah terputus," uca