Arini dan Wisnu sedang mengemas barang secara mendadak. Memang suaminya sejak membuka identitasnya menjadi suka melakukan hal-hal yang ada di luar nalar Arini.Setelah membuat kegaduhan di acara Gilang sekarang pria itu seolah mengajaknya kabur seperti sedang melarikan diri dari kegaduhan."Mas segini cukup enggak sih bawa bajunya?" tanya Arini sambil memperhatikan baju yang sudah dia masukan dalam koper."Cukup, bawa baju enggak usah banyak-banyak kok. Mas beliin banyak baju di sana."Arini ingin membantah soal beli baju itu, tetapi saat dia ingat Wisnu memiliki banyak uang dia gagal melarang suaminya."Ok. Beli di pasar baju murah aja, Mas. Itu kan bayarnya pake euro, pasti harganya mahal." Ternyata Arini tetap khawatir soal uang."Kamu tenang aja, Rin, uangku enggak akan habis cuma karena beliin kamu baju di Paris." Pria itu menenangkan dan meyakinkan Arini. "Terus, Mas, kita bilang apa sama Mama? Kan Mama belum tahu apa-apa soal Mas Wisnu. Enggak mungkin kan kita bilang kalau mau
Keesokan harinya Wisnu bangun lebih 6 dulu baru dia membangunkan Arini."Rin, kamu masih capek enggak?" tanya Wisnu pagi itu."Enggak secapek kemarin sih, Mas, emang kenapa?""Kalau kamu masih capek, kita jalannya besok aja, ya.""Emang mau ke mana, Mas?" tanya Arini penasaran suaminya akan mengajaknya ke mana."Jalan tapi deket hotel aja, mau ngajak kamu shopping. Mas pengen beliin kamu macem-macem di sini. Terus kita naik taksi ke menara eiffel. Mau?"Mendengar kata belanja dan menara eiffel Arini sontak membuka mata lebar-lebar. "Aku mau, Mas." Mata Arini berbinar. "Ya sudah biar cepet kita mandinya bareng aja ya."Arini tidak tahu jika mandi bareng yang dimaksud Wisnu itu hanya sekedar mandi tanpa melakukan kegiatan lain. Ternyata tidak, saat mandi pria itu terus melancarkan aksinya dengan memakaikan sabun di tubuh Arini berakhir dengan desahan dan lenguhan keduanya di kamar mandi.Setelah aktivitas bercumbu di kamar mandi selesai baru kemudian keduanya mandi. Arini diam merajuk
Wajah Arini memerah mendengar ucapan suaminya. Dia memang belum pernah ke luar negeri. Sekalinya pergi langsung ke Eropa. Arini banyak mengalami shock culture, berbeda dengan Wisnu yang sudah pernah jalan-jalan ke luar negeri karena memang orang tuanya pernah mengajaknya. Arini tidak tahu jika di Paris hal yang seperti itu sudah biasa, tidak hanya satu dua orang saja. Sudah menjadi hal lumrah di negeri Prancis itu. Wisnu menggandeng tangan Arini untuk mencari spot bagus untuk mengambil foto. Awalnya Wisnu banyak memfoto Arini dengan berbagai gaya dan pria itu merasa puas dengan hasilnya. Lalu mereka bergantian, Arini memfoto suaminya beberapa kali, tetapi Wisnu tidak puas dengan hasilnya. Dahinya berkerut melihat hasil foto Arini. "Wah, kok gini jadinya, Rin? Eiffelnya banyak kepotong nih. Kita foto berdua aja deh ya, tunggu Mas atur dulu kamera HP-nya." Wisnu berjalan mundur sambil memperhatikan kameranya sampai dapat tempat yang pas untuk mengambil foto mereka berdua dengan back
Wisnu tiba di kantor. Hari pertama bekerja setelah pulang liburan dengan Arini, dia berjalan menuju ruangannya dengan perasaan sangat bahagia. Hati pria itu sedang berbunga-bunga. Tiba di depan ruangannya dia tidak melihat Denis di tempatnya. Aneh tetapi dia tetap masuk ke ruangannya sambil tersenyum. Saat dia masuk dan melihat seseorang yang sedang duduk di kursinya, senyuman itu hilang dari wajah Wisnu. Dia terperanjat melihat sosok papanya di sana. "Papa apa kabar? Ngapain pagi-pagi sudah ada di sini?" Hubungan ayah dan anak itu tidak terlalu harmonis dan jarang bertemu. Walaupun perusahaan itu merupakan salah satu dari perusahaan keluarga, tetapi Wisnu tidak banyak diawasi oleh papanya. Dia lebih bebas mengekspresikan ide-idenya di perusahaan itu. "Duduk!" Wisnu duduk di kursi yang ada di ruangan itu yang biasanya digunakan untuk menerima tamu di ruangan itu. Arya Wardana--papa Wisnu pun berpindah tempat duduk bergabung dengan an
"Eh, Mas Wisnu apa kabar?" sapa tasnya. Hampir sana perempuan itu mencium pipi kanan dan kiri Wisnu jika pria itu tidak menghindar. Wisnu sudah bisa melihat gelagat Tasya akan melakukan itu padanya. Wisnu dan Tasya adalah teman sejak kecil karena orang tua mereka adalah rekan bisnis dan sering diajak ke beberapa acara orang tuanya. Usia mereka terpaut dua tahun saja. Wisnu lebih tua dari Tasya. "Aku baik. Kamu apa kabar? Lagi sibuk apa, Sya?" tanya Wisnu berbasa-basi karena dia tahu sedikit soal pekerjaan Tasya. "Yah biasalah aku sibuk ama kerjaan di kantor. Yah, Mas Wisnu tahu lah ya gimana kerjaan orang kantoran kayak gimana." "Jangan terlalu sibuk kerja sampai lupa cari pasangan, Sya. Buruan nikah biar tahu rasanya." "Mas Wisnu kayak yang udah tahu aja rasanya orang nikah. Emang banyak yang bilang gitu, temenku yang udah nikah juga pada bilang gitu. Ya, aku sih nunggu jodohnya dateng aja sih, Mas." Wisnu lupa jika keluarga dan orang yang dia kenal belum tahu jika dia menikah.
"Mas tadi ganti baju di rumah papa. Walaupun udah pindah ke apartemen, Mas masih nyimpen baju di rumah papa. Biar kalau butuh ganti baju di sana, Mas enggak bingung lagi." Arini menatap Wisnu penuh selidik, mencari celah di mata pria itu. Jika dia berbohong pasti tidak akan berani menatap Arini. Dari nada bicaranya pun Wisnu terlihat yakin tanpa keraguan dalam ucapannya. Wisnu mengajak Arini ke kamar karena khawatir Ratih akan terbangun mendengar suara keras istrinya. Arini duduk di tepi ranjang saat Wisnu mengganti kaus yang dia pakai tadi dengan yang ada di lemari. "Sekarang Mas udah ganti baju." Hidung Arini tidak menghidu aroma parfum Wisnu yang biasanya karena malam itu dia tidak pulang ke apartemennya untuk berganti pakaian. Apa pun yang dikatakan Wisnu membuat Arini tidak meragukan suaminya, tetapi dia tidak mengubah ekspresi wajahnya. "Ngomong apa tadi di sana, Mas?" Feeling Arini masih menangkap sesuatu yang lain. "Cuma makan aja, Rin. Enggak ada apa-apa. Papa katanya
"Mama? Padahal mama bisa cek sendiri anaknya lewat telepon. Ada-ada aja Mama tuh. Ada perlu lain lagi enggak, Sya?" Wisnu merasa ada yang aneh dengan Tasya, tetapi malas untuk bertanya. Dia juga tidak mau perempuan berlama-lama dengan di ruangan kerjanya. Dia pun sadar Arini sedang menatap tajam padanya dan meminta penjelasan. Semakin lama Arini menunggu penjelasan dari Wisnu kadar kemarahannya semakin meningkat."Mas lagi sibuk, ya? Padahal aku lagi pengen ngobrol sama minta bantuan Mas hari ini, bisa?" Tasya terus mencari celah agar bisa bersama Wisnu lebih lama di sana. "Kamu enggak ada kerjaan di kantor, Sya? Mas hari ini sibuk, maaf ya kalau enggak bisa bantuin kamu." Wisnu harap Tasya paham dan keluar dari ruangannya. "Oh, sibuk ya, Mas. Ya udah aku balik kantor aja deh sekarang, tapi siang ini bisa makan siang bareng enggak?" Arini melotot pada Wisnu. Pria itu utang penjelasan pada Arini. "Hmm ... siang Mas
Pulang dari kantor, Wisnu tidak langsung pulang ke apartemen. Dia membeli makanan untuknya dan Arini, masalah pakaian Arini, Wisnu sudah meminta Denis untuk mencarikannya dan mengantar ke apartemen karena akan digunakan setelah Arini mandi sore. Selesai membeli makanan di warung kaki lima, Wisnu kembali ke apartemen. Pria itu sudah terbiasa makan masakan warung kaki lima sejak dia mengaku sebagai tukang ojek pada Arini. Pria itu juga suka makan masakan warung yang sengaja dia beli dan dibawa pulang ke kontrakan untuk membuat Arini dan Ratih semakin percaya jika dia memang seorang tukang ojek. Malam itu Wisnu menikmati masakan warung dengan lahap sampai kenyang. Setelah makan pria itu membantu Arini mencuci piring. Pekerjaan rumah tangga juga sangat akrab dengan Wisnu sejak tinggal di kontrakan Ratih karena dia harus menjaga kebersihan kontrakan tanpa bantuan siapa pun. Berbeda dengan apartemen karena dia tidak tinggal di sana, dia perlu bantuan orang lain untuk
Wisnu masuk kamar Rasyid. Di usia Rasyid yang menginjak remaja, Wisnu dan Arini masih tinggal di rumah Ratih. Mereka ingin menjaga sang mama dan merenovasi rumah itu untuk menambah kamar untuk kedua anak mereka. Pria itu duduk di tepi ranjang anaknya. Rasyid duduk di meja belajarnya sambil membaca buku pelajaran. "Besok ada ulangan enggak, Syid?" tanya Wisnu memperhatikan anak itu membaca buku. Dia ingin bicara empat mata dengan anak itu saat itu juga. "Enggak ada sih, Pa, ada apa?" tanya Rasyid yang sebenarnya sudah tahu tujuan Wisnu masuk ke kamarnya. "Duduk sini dulu, dong!" Wisnu menepuk ranjang di sebelahnya. Rasyid bangkit dan berpindah tempat duduk menuruti perintah Wisnu. Dia pun duduk di sebelah papanya. Malam itu Rasyid belum siap mendengar kabar buruk tentang dirinya. "Papa mau tanya sesuatu. Tadi siang kamu ketemu siapa? Siapa yang bilang kalau kamu bukan anak kandung Papa?" tanya Wisnu dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan anaknya. "Ada orang yang engga
Rasyid sudah berusia lima tahun dan Wisnu ingin memasukkan anak itu ke sekolah. Dia bertanya pada Arini rencana memasukkan Rasyid ke sekolah. "Rin, boleh enggak Mas masukin Rasyid ke sekolah TK yang bagus. Nanti dia sekolah dua tahun di sana, terus baru kita masukin ke SD, gimana menurutmu?" "Aku setuju aja. Nanti antar jemputnya gimana, Mas?" "Mas yang anter sekolah, pulangnya kamu naik ojek aja, nanti langganan sama salah satu ojek yang ada di pangkalan." "Ok. Terus kapan daftar sekolahnya, Mas?" "Minggu depan aja, nanti kita ke sekolah dulu buat daftar. Biar kamu tahu tempatnya di mana. Jadi, bisa jemput Rasyid pulang sekolah nanti." "Ok, Mas.""Kamu tuh dari tadi ok-ok aja, Rin," protes Wisnu pada Arini. "Ya kan memang jawaban yang tepatnya ok, Mas." Arini tertawa lebar. Keduanya setuju menyekolahkan Rasyid di usia lima tahun. Sementara putri kedua mereka sudah berumur dua tahun. Masih bermain di rumah bersama Arini. Tidak terasa anak-anak mereka cepat besar. Rasyid sudah
Malam itu Wisnu sudah membuat reservasi di sebuah restoran mewah untuk makan malam bersama Ratih dan keluarganya. Ratih merasa sangat senang diajak jalan oleh Wisnu bersama Arini dan Rasyid. Seketika perempuan paruh baya itu merasa kebahagiaannya lengkap bersama anak dan cucu."Nu, Mama sudah bahagia bersama kalian. Semoga kehidupanmu dan Arini beserta anak kalian bahagia juga selalu."Wisnu tersenyum bahagia mendapat doa yang baik dari Ratih. Dia pun merasa kebahagiaannya lengkap bersama Airin dan Rasyid walaupun. Perjuangannya menunggu Arini tidak pernah sia-sia."Aamiin. Makasih doanya ya, Ma. Semoga kita semua selalu bahagia."Selesai makan malam, Wisnu tidak langsung mengajak pulang kembali ke hotel. Dia mengajak mertua, istri dan anaknya mengelilingi kota Bogor. Baru kemudian kembali ke hotel.Malam itu Ratih tiba-tiba ingin mengajak Rasyid tidur bersamanya."Nu, tolong bawa Rasyid ke kamar Mama. Mama lagi enggak pengen tidur sendiri. Biar kamu menikmati waktu bersama Arini mala
Saat Rasyid sudah berusia dua tahun, Wisnu mulai mengajak Arini untuk membicarakan soal anak kedua pada Arini. Namun, Arini masih enggan untuk hamil lagi apalagi menambah jumlah anak. Wisnu terus membujuknya untuk memikirkan soal anak kedua. "Ayolah. Rin. Rasyid kan sudah dua tahun. Kasian dia kalau sendirian terus. Jadi, enggak ada teman mainnya." Begitulah salah satu cara Wisnu membujuk Arini. Arini menghela napas. "Mas, aku masih ingat gimana rasanya melahirkan itu. Jadi, aku masih belum mau hamil dan melahirkan lagi dalam waktu dekat." Arini sedikit trauma dengan yang namanya melahirkan itu. Dia masih berusaha untuk menghindarinya. "Gitu, ya? Ya sudah deh nanti aja kalau gitu." Arini tahu suaminya kecewa dengan penolakannya, tetapi dia memang masih belum mau untuk hamil lagi. Kali ini dia masih berusaha menolak sebisanya sebelum, tetapi jika nanti ternyata Arini hamil, dia akan menerima itu bukan karena terpaksa. Sebisa mungkin dia akan menghindari perasaan itu. ***Wisnu su
Wisnu sudah menyerahkan hasil pemeriksaan tes DNA pada Baskara. Pria itu menunggu jawaban dari sang papa saat setelah membaca hasil pemeriksaan itu.'Maaf katena sudah berbohong, Pa, tapi Rasyid juga butuh pengakuan. Jangan abaikan dia hanya karena dia bukan anak kandungku,' ucap Wisnu dalam hati sambil berdoa semoga hati Baskara mau melunak."Jadi, Rasyid benar anak kandungmu?" tanya Baskara untuk memastikan apa yang dia baca itu adalah benar adanya."Iya, Pa. Kan aku sudah bilang Rasyid itu anakku. Sekarang Papa percaya kan setelah melihat hasil tes DNA ini?""Sekarang Papa percaya jika Rasyid adalah cucu Papa. Maaf karena sudah mengabaikannya selama ini. Untuk urusan berita murahan itu kamu tidak usah khawatir lagi, Nu. Semua sudah selesai.""Iya, Pa."Baskara menepuk lengan Wisnu beberapa kali. "Kerja bagus. Kalau ada waktu main ke rumah bawa Arini dan Rasyid sekalian. Papa mau bertemu dengan mereka."Wisnu diliputi perasaan bahagia. Dia belum pernah sebahagia itu bisa mempertemuk
"Karena cuma kamu yang tahu arini hamil dan itu anak kamu, tapi selama ini kamu selalu mengelak dan tidak mengakui kalau itu anakmu, lantas kenapa sekarang kamu bilang anak Arini bukan anakku?" Wisnu tahu jika Gilang memang sengaja melakukan itu untuk mendapatkan sesuatu. Entah itu menghancurkan citra PT. Kalingga atau meminta uang. "Karena aku mau melihat kamu hancur!" Gilang tertawa di hadapan Wisnu. Jika Wisnu bisa hancur, Gilang akan merasa senang karena bisa membalaskan dendamnya pada pria itu. "Kamu tidak akan pernah bisa menghancurkanku!" Wisnu jelas tidak mau kalah dengan Gilang. Memang dia bersama Arini sudah membalaskan dendam Arini pada Gilang, sekarang setelah dia hancur dia pun tidak tinggal diam melihat Wisnu hidup bahagia bersama Arini. "Oh ya, mumpung kita sudah ketemu, aku akan mengakui. Memang aku yang menyebarkan berita itu dan aku juga bisa menyetop tersebarnya berita itu semakin luas lagi. Aku ada penawaran menarik buat kamu, gimana kalau kita barter aja?" Wis
Rasyid sudah berusia satu tahun, tetapi Baskara belum juga mau menerima kehadirannya sebagai cucu. Keras sekali hati pria paruh baya itu belum mau menerima kehadiran anak itu. Istrinya tidak pernah lelah untuk membujuk Baskara agar mau luluh hatinya. Namun, usahanya masih belum menemukan hasil. Pagi itu Wisnu sudah bersiap bekerja di kantor. Jadwalnya hari itu cukup pada. Namun, masih terlalu pagi untuk tersebar berita miring tentang pemimpin PT. Kalingga. Tersebar berita jika anak dari Wisnu adalah anak haram. Hasil hubungan gelap istrinya dengan pria lain. Berita ini tersebar di berbagai media online. Membuat Baskara mengamuk dan sejak pagi sudah menyambangi kantor PT. Kalingga untuk menanyakan langsung pada anaknya. Agar berita yang tersebar tidak semakin liar, Baskara sudah meminta untuk mentake down berita itu agar dihapus dari berbagai media online."Apa benar apa berita yang tersebar itu jika anakmu adalah hasil hubungan gelap Arini dengan pria lain?" tanya Baskara dengan nada
Usia Rasyid sudah masuk tiga bulan, tetapi sikap Baskara masih sama pada Wisnu dan Arini. Pria paruh baya itu masih belum ada keinginan untuk menerima Rasyid sebagai cucunya. Siang itu Wisnu mengajak Arini ke rumah orang tuanya. Mamanya ingin bertemu dengan sang cucu sehingga mengundang arini dan Wisnu ke rumahnya. "Duh, Mama kangen banget sama kalian." Perempuan paruh baya itu memeluk Arini dan Wisnu bergantian. "Sini biar Mama aja yang gendong Rasyid." Mamanya Wisnu itu mengambil sang cucu dari tangan anaknya. Mereka pun masuk rumah menuju ruang tengah lalu duduk di sofa. Rindu dan Wisnu masih merasa gerah karena masih betah mengendarai motor ke rumah sang mama. "Kenapa enggak naik mobil sih?" tanya mamanya Wisnu. "Kan kasian Rasyid kalau harus kepanasan kayak gini." Perempuan itu mengelus lembut kepala cucu Kesayangannya. "Mobil? Nanti diprotes papa lagi, Ma." Wisnu memang belum mau menggunakan apartemen dan mobil pribadinya selama Baskara belum mau mengembalikan perusahaan pad
Ratih dan Wisnu sudah menyiapkan tas perlengkapan bersalin buat Arini. Hari ini perut perempuan itu sudah mulai terasa kontraksi. Arini minta Wisnu untuk menemaninya banyak jalan. Berjalan di sekitar rumah, jalan di mall. Arini ingin melahirkan secara normal lebih dulu. Namun, jika di tengah proses ada kendala baru dia akan memilih jalan operasi. Siang itu kontraksi yang dirasakan Arini sudah mulai sering. Hampir setiap menit sekali, tetapi ketubannya belum pecah. Wisnu berinisiatif membawa Arini ke rumah sakit dengan taksi. Perjalanan menuju rumah sakit dalam kondisi seperti itu terasa lama. Satu menit terasa satu jam. Wisnu tidak menemani Arini sendirian. Ratih sang ibu mertua sudah pasti menemaninya. Pria itu belum sempat menghubungi mamanya. Rencananya nanti begitu tiba di rumah sakit Arini masuk ruang tindakan, Wisnu akan menghubungi sang mama. Akhirnya taksi yang mereka tumpangi tiba di rumah sakit, Wisnu membantu Arini dibawa ke ruang UGD semetara Ratih membawakan tasnya. Di