"Mas mau bawa aku ke mana?" tanya Arini menatap jalanan dan Gilang bergantian.Dia merasa bingung karena semakin hari Gilang terlihat semakin aneh."Tunggu aja, aku bakalan bawa kamu ke tempat yang bagus deh. Nanti kamu akan tahu sendiri kalau sudah sampai."Arini merasa dia harus tahu akan di bawa ke mana. Tiba-tiba dia terpikir untuk mengirimkan sesuatu pada Wisnu. Arini mengeluarkan ponsel. Dia mengusap layar lalu membuka chat di sebuah aplikasi. Kemudian Arini mengirimkan lokasi terkini tempat dia berada sekarang pada pria itu. Arini berharap jika terjadi sesuatu padanya, Wisnu akan dengan cepat menemukan di mana Arini berada. "Jangan bawa aku ke tempat yang aneh-aneh ya, Mas." Gilang terus melajukan mobil dengan perasaan tidak sabar. Ya, dia tidak sabar untuk melakukan sesuatu pada Arini. Sementara Arini dalam perjalanan semakin merasa khawatir. Dia takut pria itu marah dan melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi padanya. "Muka kamu kok tegang banget sih, Rin?" Gilang ternya
"Brengsek!" teriak Gilang lalu mencoba berdiri kembali. Bagian belakang tubuhnya terasa sakit. Namun, dia masih bisa menahan rasa sakit itu. Gilang melangkah maju mendekati pria yang menraiknya keluar dari mobil tadi. "Mas Wisnu hati-hati!" teriak Arini setelah keluar dari mobil. Arini merasa tenang karena ada Wisnu yang datang untuk menolongnya. Perkelahian antara Wisnu dan Gilang tidak dapat terelakkan lagi. Setiap kali Gilang melayangkan pukulannya, Wisnu berhasil menghindar. Begitu juga dengan Gilang, dia masih bisa menghindar walaupun masih terkena pukulan dari Wisnu. Wajah Gilang terlihat babak belur dengan beberapa memar dan luka yang mengeluarkan darah. Sementara di wajah Wisnu hanya ada satu dua memar saja. Lama kelamaan Gilang mulai merasa lelah karena terus berusaha menghindari serangan dari Wisnu. Saat tubuhnya mulai terhuyung, pria itu menyebrang bagian perut Gilang sampai pria itu mengeluarkan darah dari mulutnya. Gilang pun jatuh tak sadarkan diri di atas tanah. W
Di ruangan kerja Arini, pria itu meminjam telepon untuk menghubungi seseorang, Arini tidak tahu siapa yang dihubungi pria itu. Tidak sopan jika dia menguping pembicaraan orang lain di telepon. Setelah pria itu selesai menelepon, anak yang bersama pria itu mendekati Arini. Dia terlihat menginginkan sesuatu. "Tante, ada makanan enggak?" tanya anak kecil itu padanya. Arini belum sempat menanyakan nama pria berjas dan anak kecil yang bersamanya. Dia tanyakan nama anak kecil itu pada orangnya langsung. "Namaku Aryan. Itu papaku, namanya Willy, aku baru pulang sekolah dijemput papa, katanya papa sekalian lewat padahal biasanya mama yang jemput. Ternyata mobil papa mogok." Cerita itu mengalir dengan lancar dari bibir anak kecil bernama Aryan itu. "Tante namanya siapa? Oh ya, Tante, aku lapar apa ada makanan di sini? Di ruangan ini?" Willy langsung menegur Aryan yang meminta makan. Padahal mereka sudah cukup merepotkan dengan menunggu di ruangan Arini. "Di ruangan ini enggak ada makana
"Belum lama kok. Kayaknya baru tiga bulanan deh. Iya, sekitar itu pokoknya. Acaranya enggak rame-rame, cuma undang tetangga dekat aja."Begitulah pernikahan yang terjadi pada pria yang bernama Kalingga itu. Dia mengatakan apa adanya."Kamu tuh suka merendah deh. Pasti pesta pernikahannya mewah di hotel berbintang lima kan?"Willy tidak percaya dengan penjelasan dari Kalingga itu. Tidak mungkin seorang anak dari kalangan atas menikah dengan cara sederhana dan tidak mengundang banyak orang."Ya tapi kenyataannya memang begitu kan. Pernah dengar enggak kabar pernikahan saya? pasti belum kan?" Yang dikatakan Kalingga memang benar adanya, kabar pernikahannya memang tidak tersebar di mana-mana. Baik media online, TV atau media berita lainnya. Padahal Kalingga juga banyak dikenal khalayak ramai. "Iya juga sih. Yang penting langgeng terus. Gimana bisnis akhir-akhir ini? Ada kemajuan apa enggak? Makin maju tentunya bukan?" "Ya disyukuri aja. Sekarang bisnis banyak yang merasa sedang turun,
"Hah? Iseng aja sih, siapa tahu habis ini ada perusahaan yang biasanya langganan sama perusahaan Gilang mau bikin tender lagi." Wisnu pikir jawabannya tidak akan membuat Arini curiga. "Oh maksudnya itu? Tapi kalau mau serius ngomongin kerjaanku sih enak ngomong di rumah aja Mas. Ini kan lagi di jalan. Enggak enak ngomong di jalan terus naik motor gini, suara Mas kadang enggak kedengeran gitu." Sepertinya Arini merasa tidak maslah membahas pekerjaannya dengan Wisnu di rumah. Mendengar ucapan Arini, Wisnu jadi bersemangat. "Kalau gitu kita mampir cari cemilan dulu, kayaknya obrolan kita malam ini bakalan panjang nih." Wisnu membelokkan motornya ke tempat penjual martabak manis. Makanan yang kebanyakan dijual malam hari ini memang tepat untuk dijadikan teman mengobrol pada malam hari. Pria itu memesan dua kotak, martabak manis dan martabak telor. Setelah membayar dan membawa pesanan, mereka melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Tiba di rumah, Arini masuk lebih dulu. Rumah itu tida
Denis mengajak Lita menuju ruangan Arini sesuai perintah dari Kalingga dan kemauannya sendiri. Daripada tidak bisa mengadakan penelitian di perusahaan sepupunya itu, dia memilih pasrah untuk dibantu oleh Arini. Dalam bayangannya Arini tetap perempuan paruh baya karena Kalingga memanggil dengan sebutan 'bu'. Lita yang mengikuti Denis hanya bisa merasa bingung karena diantar ke ruangan di lantai satu. Dia pikir di sana setelah ruangan cleaning service tidak ada ruangan lain, tetapi Lita terkejut saat tahu ada ruangan khusus di sana untuk Arini. Karena sebenarnya dia bukan pegawai biasa. Tiba di depan ruangan Arini, Denis baru akan masuk setelah mengetuk pintu ruangan itu. Dia masuk ke ruangan lebih dulu baru disusul oleh Lita. Di ruangan itu Lita merasa bingung karena hanya ada satu orang saja. 'Enggak mungkinkan orang itu yang namanya bu Arini, kok masih muda banget,' ucap Lita dalam hati sambil mengedarkan pandangannya di ruangan itu. "Ini yan
"Hush! ngaco kamu. Jangan sembarangan bilang Mas naksir Bu Arini, Bu Arini itu sudah menikah dan sedang hamil, masa Mas ngejar-ngejar istri orang." "Yah, aku salah dong. Tadinya udah seneng karena akhirnya Mas Kal yang enggak pernah keliatan deket sama cewek eh tiba-tiba naksir seseorang, tapi aku salah. Ya, maaf deh. Makasih buat bantuannya ya Mas.""iya, Sama-sama. Dah ya Mas mau kerja dulu, lagi banyak kerjaan. Pokoknya kalau ada apa-apa sama skripsi kamu, kontak aja Bu Arini, ya!" "Ok, Mas. selamat bekerja." Setelah panggilan berakhir, Lita pun meninggalkan kantor PT. Kalingga. Keesokan harinya, Wisnu seperti biasa sebelum menuju pangkalan ojek yang biasanya, dia akan mengantar Arini pergi ke kantor. Namun, ada yang berbeda dari hari ini, tanpa Wisnu dan Arini sadari, ada seseorang yang sedang mengintai dan mengikuti mereka sejak keluar rumah hari itu. Orang yang mengikuti mereka adalah seorang pria bayaran atau orang suruhan dari seseorang. Pria itu sudah mengawasi rumah Arin
Wisnu dibawa ke sebuah gedung kosong. Namun, pria itu masih belum sadarkan diri. Dia duduk di sebuah kursi dalam keadaan tangan Terikat di belakang kursi. Kepalanya ditutup sebuah kain berwarna gelap. Akhirnya Wisnu siuman. Dia membuka mata, tetapi tidak dapat melihat dengan jelas. 'Aku di mana?' batin Wisnu sambil terus memikirkan mengapa semua terjadi dan siapa dalang di balik penculikan dan penyekapannya sekarang. Seorang pria yang tidak Wisnu kenali berjalan mendekat ke arahnya. Pria itu menyadari jika Wisnu sudah siuman. Dia pun membuka kain yang sudah menutupi wajah Wisnu untuk memastikan dugaannya jika Wisnu sudah siuman. Ternyata benar. Pria itu merasa senang, dia mencari dua orang teman lainnya untuk memberitahukan tentang hal ini. Ketiga nya pun mendekati Wisnu dengan wajah garang dan siap untuk melakukan suatu hal yang buruk pada pria itu. "Siapa kalian?" tanya Wisnu saat ketiga pria itu mendekat dengan senyuman menyeringai.
Wisnu masuk kamar Rasyid. Di usia Rasyid yang menginjak remaja, Wisnu dan Arini masih tinggal di rumah Ratih. Mereka ingin menjaga sang mama dan merenovasi rumah itu untuk menambah kamar untuk kedua anak mereka. Pria itu duduk di tepi ranjang anaknya. Rasyid duduk di meja belajarnya sambil membaca buku pelajaran. "Besok ada ulangan enggak, Syid?" tanya Wisnu memperhatikan anak itu membaca buku. Dia ingin bicara empat mata dengan anak itu saat itu juga. "Enggak ada sih, Pa, ada apa?" tanya Rasyid yang sebenarnya sudah tahu tujuan Wisnu masuk ke kamarnya. "Duduk sini dulu, dong!" Wisnu menepuk ranjang di sebelahnya. Rasyid bangkit dan berpindah tempat duduk menuruti perintah Wisnu. Dia pun duduk di sebelah papanya. Malam itu Rasyid belum siap mendengar kabar buruk tentang dirinya. "Papa mau tanya sesuatu. Tadi siang kamu ketemu siapa? Siapa yang bilang kalau kamu bukan anak kandung Papa?" tanya Wisnu dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan anaknya. "Ada orang yang engga
Rasyid sudah berusia lima tahun dan Wisnu ingin memasukkan anak itu ke sekolah. Dia bertanya pada Arini rencana memasukkan Rasyid ke sekolah. "Rin, boleh enggak Mas masukin Rasyid ke sekolah TK yang bagus. Nanti dia sekolah dua tahun di sana, terus baru kita masukin ke SD, gimana menurutmu?" "Aku setuju aja. Nanti antar jemputnya gimana, Mas?" "Mas yang anter sekolah, pulangnya kamu naik ojek aja, nanti langganan sama salah satu ojek yang ada di pangkalan." "Ok. Terus kapan daftar sekolahnya, Mas?" "Minggu depan aja, nanti kita ke sekolah dulu buat daftar. Biar kamu tahu tempatnya di mana. Jadi, bisa jemput Rasyid pulang sekolah nanti." "Ok, Mas.""Kamu tuh dari tadi ok-ok aja, Rin," protes Wisnu pada Arini. "Ya kan memang jawaban yang tepatnya ok, Mas." Arini tertawa lebar. Keduanya setuju menyekolahkan Rasyid di usia lima tahun. Sementara putri kedua mereka sudah berumur dua tahun. Masih bermain di rumah bersama Arini. Tidak terasa anak-anak mereka cepat besar. Rasyid sudah
Malam itu Wisnu sudah membuat reservasi di sebuah restoran mewah untuk makan malam bersama Ratih dan keluarganya. Ratih merasa sangat senang diajak jalan oleh Wisnu bersama Arini dan Rasyid. Seketika perempuan paruh baya itu merasa kebahagiaannya lengkap bersama anak dan cucu."Nu, Mama sudah bahagia bersama kalian. Semoga kehidupanmu dan Arini beserta anak kalian bahagia juga selalu."Wisnu tersenyum bahagia mendapat doa yang baik dari Ratih. Dia pun merasa kebahagiaannya lengkap bersama Airin dan Rasyid walaupun. Perjuangannya menunggu Arini tidak pernah sia-sia."Aamiin. Makasih doanya ya, Ma. Semoga kita semua selalu bahagia."Selesai makan malam, Wisnu tidak langsung mengajak pulang kembali ke hotel. Dia mengajak mertua, istri dan anaknya mengelilingi kota Bogor. Baru kemudian kembali ke hotel.Malam itu Ratih tiba-tiba ingin mengajak Rasyid tidur bersamanya."Nu, tolong bawa Rasyid ke kamar Mama. Mama lagi enggak pengen tidur sendiri. Biar kamu menikmati waktu bersama Arini mala
Saat Rasyid sudah berusia dua tahun, Wisnu mulai mengajak Arini untuk membicarakan soal anak kedua pada Arini. Namun, Arini masih enggan untuk hamil lagi apalagi menambah jumlah anak. Wisnu terus membujuknya untuk memikirkan soal anak kedua. "Ayolah. Rin. Rasyid kan sudah dua tahun. Kasian dia kalau sendirian terus. Jadi, enggak ada teman mainnya." Begitulah salah satu cara Wisnu membujuk Arini. Arini menghela napas. "Mas, aku masih ingat gimana rasanya melahirkan itu. Jadi, aku masih belum mau hamil dan melahirkan lagi dalam waktu dekat." Arini sedikit trauma dengan yang namanya melahirkan itu. Dia masih berusaha untuk menghindarinya. "Gitu, ya? Ya sudah deh nanti aja kalau gitu." Arini tahu suaminya kecewa dengan penolakannya, tetapi dia memang masih belum mau untuk hamil lagi. Kali ini dia masih berusaha menolak sebisanya sebelum, tetapi jika nanti ternyata Arini hamil, dia akan menerima itu bukan karena terpaksa. Sebisa mungkin dia akan menghindari perasaan itu. ***Wisnu su
Wisnu sudah menyerahkan hasil pemeriksaan tes DNA pada Baskara. Pria itu menunggu jawaban dari sang papa saat setelah membaca hasil pemeriksaan itu.'Maaf katena sudah berbohong, Pa, tapi Rasyid juga butuh pengakuan. Jangan abaikan dia hanya karena dia bukan anak kandungku,' ucap Wisnu dalam hati sambil berdoa semoga hati Baskara mau melunak."Jadi, Rasyid benar anak kandungmu?" tanya Baskara untuk memastikan apa yang dia baca itu adalah benar adanya."Iya, Pa. Kan aku sudah bilang Rasyid itu anakku. Sekarang Papa percaya kan setelah melihat hasil tes DNA ini?""Sekarang Papa percaya jika Rasyid adalah cucu Papa. Maaf karena sudah mengabaikannya selama ini. Untuk urusan berita murahan itu kamu tidak usah khawatir lagi, Nu. Semua sudah selesai.""Iya, Pa."Baskara menepuk lengan Wisnu beberapa kali. "Kerja bagus. Kalau ada waktu main ke rumah bawa Arini dan Rasyid sekalian. Papa mau bertemu dengan mereka."Wisnu diliputi perasaan bahagia. Dia belum pernah sebahagia itu bisa mempertemuk
"Karena cuma kamu yang tahu arini hamil dan itu anak kamu, tapi selama ini kamu selalu mengelak dan tidak mengakui kalau itu anakmu, lantas kenapa sekarang kamu bilang anak Arini bukan anakku?" Wisnu tahu jika Gilang memang sengaja melakukan itu untuk mendapatkan sesuatu. Entah itu menghancurkan citra PT. Kalingga atau meminta uang. "Karena aku mau melihat kamu hancur!" Gilang tertawa di hadapan Wisnu. Jika Wisnu bisa hancur, Gilang akan merasa senang karena bisa membalaskan dendamnya pada pria itu. "Kamu tidak akan pernah bisa menghancurkanku!" Wisnu jelas tidak mau kalah dengan Gilang. Memang dia bersama Arini sudah membalaskan dendam Arini pada Gilang, sekarang setelah dia hancur dia pun tidak tinggal diam melihat Wisnu hidup bahagia bersama Arini. "Oh ya, mumpung kita sudah ketemu, aku akan mengakui. Memang aku yang menyebarkan berita itu dan aku juga bisa menyetop tersebarnya berita itu semakin luas lagi. Aku ada penawaran menarik buat kamu, gimana kalau kita barter aja?" Wis
Rasyid sudah berusia satu tahun, tetapi Baskara belum juga mau menerima kehadirannya sebagai cucu. Keras sekali hati pria paruh baya itu belum mau menerima kehadiran anak itu. Istrinya tidak pernah lelah untuk membujuk Baskara agar mau luluh hatinya. Namun, usahanya masih belum menemukan hasil. Pagi itu Wisnu sudah bersiap bekerja di kantor. Jadwalnya hari itu cukup pada. Namun, masih terlalu pagi untuk tersebar berita miring tentang pemimpin PT. Kalingga. Tersebar berita jika anak dari Wisnu adalah anak haram. Hasil hubungan gelap istrinya dengan pria lain. Berita ini tersebar di berbagai media online. Membuat Baskara mengamuk dan sejak pagi sudah menyambangi kantor PT. Kalingga untuk menanyakan langsung pada anaknya. Agar berita yang tersebar tidak semakin liar, Baskara sudah meminta untuk mentake down berita itu agar dihapus dari berbagai media online."Apa benar apa berita yang tersebar itu jika anakmu adalah hasil hubungan gelap Arini dengan pria lain?" tanya Baskara dengan nada
Usia Rasyid sudah masuk tiga bulan, tetapi sikap Baskara masih sama pada Wisnu dan Arini. Pria paruh baya itu masih belum ada keinginan untuk menerima Rasyid sebagai cucunya. Siang itu Wisnu mengajak Arini ke rumah orang tuanya. Mamanya ingin bertemu dengan sang cucu sehingga mengundang arini dan Wisnu ke rumahnya. "Duh, Mama kangen banget sama kalian." Perempuan paruh baya itu memeluk Arini dan Wisnu bergantian. "Sini biar Mama aja yang gendong Rasyid." Mamanya Wisnu itu mengambil sang cucu dari tangan anaknya. Mereka pun masuk rumah menuju ruang tengah lalu duduk di sofa. Rindu dan Wisnu masih merasa gerah karena masih betah mengendarai motor ke rumah sang mama. "Kenapa enggak naik mobil sih?" tanya mamanya Wisnu. "Kan kasian Rasyid kalau harus kepanasan kayak gini." Perempuan itu mengelus lembut kepala cucu Kesayangannya. "Mobil? Nanti diprotes papa lagi, Ma." Wisnu memang belum mau menggunakan apartemen dan mobil pribadinya selama Baskara belum mau mengembalikan perusahaan pad
Ratih dan Wisnu sudah menyiapkan tas perlengkapan bersalin buat Arini. Hari ini perut perempuan itu sudah mulai terasa kontraksi. Arini minta Wisnu untuk menemaninya banyak jalan. Berjalan di sekitar rumah, jalan di mall. Arini ingin melahirkan secara normal lebih dulu. Namun, jika di tengah proses ada kendala baru dia akan memilih jalan operasi. Siang itu kontraksi yang dirasakan Arini sudah mulai sering. Hampir setiap menit sekali, tetapi ketubannya belum pecah. Wisnu berinisiatif membawa Arini ke rumah sakit dengan taksi. Perjalanan menuju rumah sakit dalam kondisi seperti itu terasa lama. Satu menit terasa satu jam. Wisnu tidak menemani Arini sendirian. Ratih sang ibu mertua sudah pasti menemaninya. Pria itu belum sempat menghubungi mamanya. Rencananya nanti begitu tiba di rumah sakit Arini masuk ruang tindakan, Wisnu akan menghubungi sang mama. Akhirnya taksi yang mereka tumpangi tiba di rumah sakit, Wisnu membantu Arini dibawa ke ruang UGD semetara Ratih membawakan tasnya. Di