Sandra menghela napasnya setelahnya ia mengambil foto tersebut. Di malam ulang tahun itu, seseorang yang sudah menjebaknya hingga harus tidur dengan Gerald dijadikan alat untuk membuat Gery semakin geram padanya. “Dia mahasiswa di kampus. Kita pernah bertemu dengannya lima tahun yang lalu saat memberikan undangan di sekolah. Kamu tidak ingat? Sebagai murid yang hormat pada gurunya, apakah tidak diperbolehkan, dia mengantar aku pulang?” Sandra bertanya dengan jantung yang berdegup dengan kencang. “Kamu sendiri, dapat dari mana … foto itu? Kayak sengaja banget, ingin buat aku selalu salah di mata kamu. Aku ulangi sekali lagi, Mas. Ceraikan aku! Jangan mencari alasan untuk terus menyiksaku. Bukti itu, silakan kamu jadikan untuk di meja sidang. Kalau kamu tidak ingin dipermalukan oleh keluarganya!” Gery menatap tajam wajah Sandra. “Mulai berani kamu, yaa!” Sekali lagi, lelaki itu hendak memukul Sandra. Namun, dering ponselnya menyelamatkan Sandra dari pukulan keras tangan kekar itu. S
Hati Gerald akhirnya tenang setelah menceritakan semua yang terjadi satu minggu yang lalu kepada Kayla. Ia tidak berani memberi tahu papanya dan hanya bisa menceritakan semuanya kepada sang mama yang sudah pasti akan selalu mendukungnya. Di kampus. Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Jam kuliah di kelas Gerald sedang kosong karena dosen sedang rapat. Sementara Sandra tengah mengajar di kelas fakultas managemen bisnis. "Udah makin lengket aja, lo!" seru Joseph seraya memberikan minuman kepada Gerald. Lelaki itu menyunggingkan senyumnya. "Gimana nggak lengket. Gue udah nunggu lama, dan dikasih kesempatan untuk bisa deket sama dia. Walaupun harus berhadapan dengan Papa dan juga suaminya Sandra." Ia mengecilkan suaranya di akhir kalimat. "Gue akan bantu elo buat nyari bukti perselingkuhan si Gery sama cewek itu." Joseph menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu seraya menerbitkan senyumnya. "Thanks, Joseph. Elo emang the best." "Nggak gratis tapi." Gerald lantas melirik malas ke arah
Gerald menghela napas pelan seraya menatap pria yang berteriak memanggilnya. Sementara Sandra mengatup bibirnya seraya menundukkan kepalanya lantaran malu sudah ketahuan sedang berciuman dengan Gerald. “Apaan sih, lo? Ganggu aja!” gerutu Gerald seraya menatap kesal sahabatnya itu. Dengan langkah lebarnya, Joseph menghampiri Gerald dan juga Sandra. “Mana … yang tadi gue minta? Malah pacaran di sini! Udah jadian, yaa? Cieeee ….” Joseph menggoda Sandra seraya menunjuk perempuan itu. “Nanti aja, besok. Hubungan gue jauh lebih penting daripada permintaan elo. Belum tentu juga elo bisa nyari bukti.” Joseph menyunggingkan bibirnya. “Ya udah. Besok, gue tungguin.” Gerald menganggukkan kepalanya. Sementara Joseph kembali pergi setelah mendapati Gerald dan Sandra berciuman. Matanya ternodai akibat ulahnya sendiri. Gerald menghela napasnya dengan panjang. “Joseph minta tolong aku untuk minta nomornya Nadya. Mau pendekatan tapi nggak berani.” “Ooh!” Hanya itu yang diucapkan oleh Sandra kepa
Acara makan malam dengan keluarga Gerald begitu terasa. Seperti menemukan keluarga di dalam sana. Ada adik, mama dan pasangan. Sandra yang sudah lama tidak pernah merasakan hangatnya kebersamaan dengan keluarga. Bahkan bisa dibilang Sandra tidak pernah mendapatkan hangatnya makan malam bersama keluarganya. Hidup sebatang kara sejak usianya delapan tahun. Hanya bersama neneknya, tiga tahun kemudian meninggal dunia. Pergi ke rumah kakaknya, tidak ada yang mau menerimanya. Sandra hidup melarat dari kecil hingga sekarang. Hingga memiliki suami. Namun, Gerald datang membawa cinta yang sudah dia simpan selama lima tahun ini. Berjanji akan mencintai Sandra dan mengeluarkan dia dari penderitaannya selama ini. “Terima kasih, untuk makan malamnya ... Mom,” ucap Sandra kemudian mengelap bibirnya dengan tissue. “Kapan-kapan kita dinner lagi, yaa. Mommy senang, seperti punya anak empat jadinya. Mimpi Mommy ingin punya anak banyak harus tertahan karena rahimnya harus diangkat. Tapi, ada kamu, a
Sandra berdiri mematung setelah sampai di dalam apartemen. Gerald kemudian menyalakan lampunya kemudian duduk di sofa ruang tengah. Memandang Sandra yang masih berdiri di depan pintu. Gerald lantas bangun dari duduknya kemudian menarik tangan Sandra hingga membuat perempuan itu tersadar dari lamunannya. “Kenapa diam di situ? Mau pulang?” tanya Gerald kemudian. Sandra menggeleng pelan. “Nggak. Jadi keinget satu minggu yang lalu,” ucapnya jujur. Gerald tersenyum tipis. Ia kemudian melangkahkan kakinya satu langkah agar lebih dekat dengan perempuan itu. Menatapnya dengan sorot mata yang begitu lembut dan hangat. “Karena itu, aku bawa kamu ke sini. Ingin mengulang kesalahan satu minggu yang lalu,” ucapnya dengan lembut. “Heuung?” “Itu pun kalau kamu mau. Kalau tidak ingin, aku akan mengantarmu pulang sekarang juga.” Gerald membuka jaket yang ia kenakan itu kemudian menyimpannya dengan asal di atas sofa. Kulit putih itu terekspos jelas oleh Sandra yang masih berdiri mematung. Hanya
"Profesor Sandra?" Seseorang memanggilnya dengan menggerakkan bahunya lantaran perempuan itu tidak juga tersadar jika ada yang memanggil namanya. Sandra terlalu menikmati lamunannya kala bercinta dengan Gerald di malam itu. Ia pun langsung tersadar kemudian menoleh pada dosen yang memanggilnya tadi. "Iya, Pak? Ada apa?" tanyanya kemudian. "Profesor kenapa, dari tadi melamun sambil gigit bibir? Sariawan, ya? Bibirnya merah soalnya."Sandra meringis pelan seraya menganggukkan kepalanya. "I—iya, Pak." "Hemmm ... minum obat, jangan lupa. Sudah masuk jam kuliah, Prof. Kelas Teknik program S2."Sandra segera menatap jam yang melingkar di tangannya kemudian bergegas bangun dari duduknya. "Astaga. Terima kasih, Pak sudah mengingatkan saya. Sudah lewat sepuluh menit yang lalu." "Itulah kenapa saya memanggil Anda sedari tadi." Sandra kembali meringis. "Sekali lagi terima kasih, Pak. Saya ke kelas dulu." Perempuan itu melangkahkan kakinya dengan lebar agar segera tiba di kelas.Setibanya d
Mereka sudah tiba di apartemen. Sandra tengah mengeluarkan semua belanjaan yang mereka beli tadi di supermarket. Sementara Gerald tengah menyimpan tasnya dan mengganti kemejanya dengan kaus. Kemudian menghampiri Sandra lagi yang masih sibuk dengan belanjaan yang mereka beli tadi. “Kamu, suka banget sama daging sapi. Steak, rendang, dan semuanya. Dari dulu hingga sekarang, selera kamu masih sama.” Gerald mengulas senyumnya. “Seleraku dalam mencintaimu saja tidak pernah berubah. Aku bukan orang yang banyak memilih. Kalau satu, sudah ... satu saja. Tidak perlu ganti-ganti.” Sandra manggut-manggut dengan pelan. “Seperti itu. Padahal, banyak banget yang suka sama kamu. Dari tua hingga muda.” “Tapi, hatiku hanya memilih kamu. Tidak bisa diganggu gugat!” Sandra mengendikan bahunya. Ia kemudian mengambil pisau dan membuka plastik daging yang akan ia masak di sore itu. “Mandi dulu, Gerald. Setelah itu makan,” titah Sandra seraya menyalakan api untuk memanggang daging sapi tersebut. “Ka
“Kamu di sini dulu. Kalau mau mandi dulu juga silakan. Jangan keluar!” Gerald segera mengenakan celana dan juga kausnya. Ia kemudian keluar dari kamar setelah merapikan diri agar tidak dicurigai oleh papanya itu . “Gerald?” Sekali lagi, lelaki itu memanggil nama anaknya. “Iya, Pa.” Gerald keluar dari kamarnya seolah baru saja bangun dari tidurnya. “Baru bangun tidur?” tanya Jason kemudian duduk di sofa ruang tengah. Gerald menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Ada apa, Pa? Tumben banget, datang ke sini. Tahu juga kalau aku ada di sini.” “Nanya Kayla, katanya kamu nggak ada di rumah. Papa hubungi dari tadi nggak diangkat-angkat.Tahunya lagi tidur.” Gerald tersenyum tipis. ‘Iyaa. Tidur sama perempuan,’ ucapnya dalam hati. Ia kemudian menatap sang papa yang terlihat lebih santai dari biasanya. “Kenapa, Pa? Ada apa, sampai hubungi aku berkali-kali, terus datangin aku ke sini?” Jason menghela napasnya dengan panjang. “Papa mau bahas pertunangan kamu dengan Cynthia.” Mata itu lant
“Heuh? Hukum mati?” Gerald tampak terkejut mendengar vonis untuk Frans.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Bukan karena kasus penembakan yang dia lakukan pada kamu, melainkan karena polisi berhasil menemukan markas Frans. Gudang tempat menyembunyikan narkoba dan senjata illegal.”“Aaahh ….” Gerald manggut-manggut dengan pelan. “Jadi, hukumannya adalah hukum mati? Divonis mati?” tanya Gerald sekali lagi.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Hukuman mati. Akan dieksekusi satu bulan lagi. Hanya membutuhkan satu kali sidang dan … dibawa ke tempat eksekusi.” Jason kembali menjelaskan kepada Gerald.Sementara Gerald tersenyum menyeringai sembari melirik Sandra yang masih duduk di sampingnya. “Baguslah. Aku lega, mendengarnya.” Gerald kemudian mengulas senyumnya kepada Jason.Jason menepuk-nepuk bahu Gerald dengan pelan. “Cepat sembuh, Gerald. Selesaikan kuliah kamu, lulus dengan predikat baik dan … menikahlah.” Jason menerbitkan senyum tulus kepada sang anak.Gerald menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Jason dengan suara paniknya.Gerald langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung dibawa ke ruang operasi untuk mengambil peluru yang menancap di tubuh lelaki itu. Kurang dari dua jam lamanya operasi itu akhirnya selesai dilakukan.“Operasinya berjalan dengan lancar. Beruntung, peluru itu hanya menancap di bagian tulang belakang. Peluru itu sudah berhasil diambil dan kondisinya saat ini masih kritis. Kami akan membawanya lima menit lagi ke ruang intensif untuk melakukan perawatan selanjutnya sampai kondisinya kembali normal,” tutur Dokter Azmi—penanggung jawab kala operasi pengambilan peluru di tubuh Gerald.Sandra menghela napas lega setelah mendengar kabar dari Dokter Azmi bila Gerald selamat dari tembakan itu. Ia mengalami sedikit trauma bila seseorang terluka oleh luka tembak. Sebab Gery meninggal oleh peluru yang menancap di jantungnya. Sehingga membuat Gery tidak bisa diselamatkan.Kayla datang dengan wajah paniknya. “Sayang. Kamu baik-bai
Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Hari ini adalah hari Minggu. Gerald dan Sandra pergi ke mall untuk belanja keperluan bayi yang sama sekali belum mereka beli.“Karena bayinya laki-laki, lebih baik kita beli warna yang lebih ke warnah laki-laki. Seperti warna biru, putih atau abu-abu. Yang cerah-cerah. Oke?” Sandra memberi saran kepada Gerald.Pria itu memberikan jempolnya kepada Sandra. “Oke, Sandra. Terserah kamu saja, yang penting semua keperluan untuk bayi kita sudah terpenuhi.”Sandra kemudian menerbitkan senyumnya. “Kita beli baju dulu kalau begitu. Baju, celana, handuk, selimut dan topi. Kaus kaki juga.”Gerald menggenggam tangan Sandra dan membawanya masuk ke dalam toko perlengkapan serba ada. Lengkap, berbagai macam keperluan bayi ada di sana.“Yang ini bagus, nggak?” Sandra menunjuk pakaian bayi kepada Gerald.“Bagus. Ambil aja yang menurut kamu cocok, Sayang. Jangan tanya aku. Aku mah terserah kamu aja. Kalau kata kamu bagus, berarti bagus juga menurut aku.”Sandra
“Bentar ... mau mandi dulu!” teriak Gerald menjawab panggilan dari mamanya itu.Sandra lantas memukul lengan lelaki itu. “Ishh! Gerald. Gak usah teriak juga.”Gerald terkekeh pelan. “Aku mau mandi dulu. Mau mandi lagi nggak?”Sandra menggeleng. “Mau cebok aja. Mandi mah besok pagi lagi aja.”“Ya sudah. Aku mandi dulu.”Sandra mengangguk. Ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan area sensitifnya terlebih dahulu.Sepuluh menit kemudian Sandra keluar dari kamarnya dan menghampiri Kayla dan juga Jason serta Laura yang sudah menunggu mereka tiba di sana untuk makan malam bersama.“Gerald sudah dipanggil?” tanya Jason kepada Kayla.“Sudah. Tadi katanya mau mandi dulu,” ucapnya menjawab pertanyaan sang suami.Jason mengerutkan keningnya. “Kok, aku nggak lihat kamu naik tangga?”Kayla mengendikan bahunya. “Mungkin kamu lagi sibuk dengan rainbow cake buatan Sandra. Makanya nggak lihat aku ke atas.”Jason manggut-manggut dengan pelan. Ia kemudi
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.Dering ponsel Sandra berbunyi, panggilan dari Gerald. Ia kemudian segera menerima panggilan tersebut.“Halo, Gerald?” tanyanya kemudian.“Sandra. Hari ini mungkin aku pulang jam tujuh malam. Banyak tugas yang harus aku kerjakan soalnya. Mengejar ketertinggalan tiga bulan nggak masuk.”“Oh iya, Gerald. Nanti aku simpan kuenya di kulkas saja kalau begitu. Kalau lapar, tinggal ambil saja di sana, yaa.”“Iya, Sayang. Ya sudah kalau begitu aku lanjut nugas lagi.” Gerald menutup panggilan tersebut setelah memberi tahu bila dirinya akan pulang malam. Khawatir Sandra cemas lantaran tidak ada pulang di jam yang biasanya dia pulang.Sandra kemudian keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri. Menghampiri Kayla yang sedang menggendong Felisha.“Mamanya ke mana, Mom?” tanya Sandra kepada Kayla.“Lagi mandi dulu katanya. Biar pulang nggak perlu mandi lagi.”Sandra manggut-manggut. “Gerald tadi telepon, katanya dia akan pulang di jam tujuh. Ada banyak tugas
Satu minggu sebelum tragedi ....Gery menemui Jason di gedung International Global.“Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda.” Gery berucap dengan tegas dan datar.“Apa itu?” tanyanya ingin tahu. “Silakan duduk.” Jason mempersilakan Gery duduk di sofa yang tak jauh dari kursi kebanggaannya.Gery menghela napasnya dengan panjang. “Anda masih belum ingin menyetujui hubungan Sandra dan Gerald? Saya sudah ikhlas mereka bersama, Pak Jason. Kalau masalahnya ada pada saya ....” Gery memberikan dokumen surat permohonan cerai kepada Jason.“Saya sudah menandatangani surat cerai ini dan dua minggu lagi sidang dimulai. Semoga hakim menyetujui permohonan ini dan Sandra akan saya minta mengenakan pakaian longgar agar tidak kelihatan kalau dia sedang hamil. Tolong, Pak Jason. Saya hanya bisa berharap banyak pada Gerald.“Dia pasti bisa menjaga Sandra dari Frans. Saya tidak ingin Sandra jadi budak Frans. Anda pasti tahu bagaimana kejamnya dia kepada perempuan. Bukan karena cinta, tapi obsesi. Saya,
“Morning!” Gerald menyapa anggota keluarganya yang tengah duduk menunggunya keluar untuk sarapan sama-sama.Kayla menelengkan kepalanya kemudian menatap Gerald dengan lekat. “Kok, keluarnya dari kamar atas? Jam berapa pindahnya?”“Mom!” Gerald menatap datar mamanya itu.Kayla lantas menerbitkan cengiran kepada anaknya itu. “Yuk, aah sarapan. Laura harus berangkat ke sekolah, Gerald ke kampus, Daddy ke kantor dan Nicko ke kantor juga.”“Para ladies mau ngapain?” tanya Gerald kemudian.“Mommy sama Sandra mau santai leha-leha di rumah lah. Main sama si bayi mungil Felisha.” Kayla menerbitkan senyumnya.Gerald menghela napasnya dengan pelan. “Yang penting kalian bahagia.”“Selalu itu yang kamu ucapkan pada kami. Memangnya kamu sendiri tidak bahagia?” tanya Kayla kemudian.“Tentu saja bahagia. Kenapa tanya seperti itu?”Kayla mengendikan bahunya. “Hanya tanya.”Gerald manggut-manggut. Tak lama setelahnya, dering ponsel Jason berbunyi. Gerald menoleh kepada papanya yang tengah mengerutkan k
Makan malam untuk pertama kalinya bersama keluarga Gerald di rumah milik orang tua lelaki itu tentunya. Membuat Sandra bahagia luar biasa karena merasa sudah menjadi bagian dari keluarga tersebut.Ada Kinara dan Nicko juga di sana membuat suasana di sana semakin ramai karena adanya mereka. Usia Felisha kini sudah menginjak satu bulan dua minggu, semakin sehat dan berisi setelah dirawat dengan baik oleh Kayla yang memang sudah ahlinya merawat anak-anak.“Seru banget, makan malam di malam ini. Terasa lengkap setelah adanya Kak Gerald dan Kak Sandra di sini,” ucap Kinara kemudian menerbitkan senyumnya.Kayla menganggukkan kepalanya sembari mengulas senyumnya. “Sama. Mommy juga merasakan hal yang sama, Sayang. Akhirnya, yaa. Kita bisa berkumpul lagi dan tambah dua personel. Sebentar lagi ada kandidat baru lagi. Calon cucu Mommy. Tiga bulan lagi akan lahir.” Kayla menerbitkan senyumnya kepada Sandra.Perempuan itu lantas membalas senyum Kayla. “Terima kasih, sudah menyambutku dengan baik.
Sandra gelagapan kemudian menelan salivanya dengan pelan. “He—heeuuh? Mak—maksudnya, Pak Jason?” Jason memutar bola matanya dengan pelan. “Jangan panggil saya dengan itu. Panggil saja Papa apa susahnya? Kayak nggak pernah pu—“ Jason mengatup bibirnya menahan ucapannya yang sudah pasti akan membuat Sandra terluka bila lolos keluar dari bibirnya. “Kayak apa, Pa?” tanya Gerald dengan suara datarnya. Jason menggeleng pelan. “Tidak ada. Papa sudah tahu dan lupa, kalau Sandra memang sudah tidak punya orang tua sejak lama,” ucapnya pelan sembari melirik Sandra yang tengah tersenyum tipis. “Dia tidak seberuntung Papa.” “Kan, sudah Papa katakan tadi. Tidak perlu diperbesar. Kamu sudah dewasa, seharusnya paham dengan ucapan Papa.” Gerald mengendikan bahunya. “Papa juga harus jaga lisannya. Jangan sampai keceplosan lagi.” Jason menganggukkan kepalanya dengan pelan kemudian mengusapi lengan anaknya itu. “Cepat sembuh, Nak. Jangan lama-lama di sini. Mentang-mentang nggak perlu bayar!” Geral