Pagi hari telah tiba. Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Di dalam kamar, hanya berselimut tebal tanpa mengenakan sehelai benang pun. Gerald dan Sandra masih dalam keadaan tertidur dengan saling berpelukan. Setelah berbagai jenis perdebatan yang mereka lakukan, Sandra meminta Gerald untuk melepasnya jika dirinya hanya menjadi beban hidup lelaki itu. Gerald semakin murka dengan ucapan perempuan itu hingga membuat perdebatan sengit pun terjadi. Namun, akhirnya kembali reda setelah Sandra meminta maaf. Ia hanya ketakutan tidak mendapat restu dari papanya jika Gerald membangkang. Suara alarm membuat bising telinga keduanya. Sandra kemudian mengambil ponselnya dan mematikan alarm tersebut. Mengucek matanya dan melihat jam di ponselnya. “Heuuh? Udah jam tujuh. Aku masih di sini.” Sandra menoleh kepada Gerald yang masih menutup matanya. “Mandi dulu deh. Habis itu aku buatkan sarapan dulu untuk Gerald terus pulang. Aku takut Gery sudah pulang.” Sandra beranjak dari tidurnya kemudian m
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Sudah hampir sepuluh jam lamanya Sandra berdiam diri di kamar sembari memikirkan ucapan perempuan yang sudah menjadi perebut suaminya itu. Hanya satu yang jadi pikirannya. Apakah Gerald juga merasakan yang sama saat bercinta dengannya? Seperti patung manekin yang bernyawa, tidak berhasrat hanya untuk mengeluarkan puncaknya. Dengan tangan memeluk kedua lututnya, pikiran Sandra terus melayang pada ucapan menohok Gery dan juga Natasha. “Sandra!” Gery menghampiri perempuan itu. “Eeuh! Iya, Mas?” Ia segera bangun dari duduknya dan berdiri di depan lelaki itu. “Kamu sedang apa? Sudah masak atau belum? Aku lapar!” “Mas. Bukankah sudah ada Natasha yang bisa membuat hidup kamu seperti ini. Kenapa masih mengikatku? Bukankah pernikahan kita sudah tidak ada lagi yang harus dipertahankan?” Sandra meminta penjelasan kepada suaminya itu. “Bayar dulu utangmu, dan aku akan menceraikan kamu.” Sorot mata tajam itu membuat Sandra merinding mendengarnya. “Di
Gerald menatap wajah Sandra dengan tatapan tajam hingga membuat bahu perempuan itu meringkuk dengan kepala menunduk. Ia berani mengatakan hal itu kepada Gerald, tapi ada rasa takut juga yang menghantuinya. “Apa kamu bilang? Jangan hubungi kamu lagi? Semudah itu, kamu berucap kayak gitu ke aku setelah semua yang sudah kita lewati seperti tidak ada halangan untuk melakukannya.” Gerald mencengkeram bahu perempuan itu dengan suara cukup menekan. Sandra kemudian memberanikan diri untuk menatap Gerald yang tengah mengeluarkan kemarahannya. "Lalu, kamu pikir hubungan kita akan berjalan dengan baik?” tanyanya lemas. “Ya. Aku yang akan berjuang, Sandra. Kamu cukup jalani saja. Aku yang sudah memilih kamu untuk menjadi pasanganku. Itu artinya, aku sudah tahu konsekuensinya, apa yang harus aku lalui. Kamu takut pada Gery, itu wajar. Tapi, nggak perlu takut juga sama Papa. Dia urusan aku, bukan urusan kamu!” Gerald menegaskan sekali lagi kepada Sandra. Dengan cara apa pun, dia akan terus meya
Bukannya menjawab, Gerald malah tertawa mendengar permintaan dari perempuan itu. Ia kemudian melahap dimsum yang dia pesan. “Gerald, kenapa nggak jawab?” tanya Sandra kemudian. Gerald kemudian melirik Sandra sembari menyunggingkan senyumnya. “Maunya, aku jawab bagaimana?” “Yaa ... tentu saja, mau menolongku.” Sandra berucap dengan pelan seraya menyeruput minumnya. Gerald terkekeh pelan sembarui geleng-geleng kepala. “Gampang!” ucapnya enteng. Sandra kemudian menolehkan kepalanya dengan cepat kepada Gerald. “Serius? Kapan, Gerald?” tanyanya antusias. Gerald menatap Sandra dengan tangan menangkup wajahnya. “Challing aja, kalau si Gery udah nggak ada di rumah.” Sandra lantas menerbitkan senyumnya dengan lebar. “Terima kasih, Gerald. Aku akan kasih tahu kamu kalau Gery tidak ada di rumah. Sekali lagi terima kasih, Gerald.” Lelaki itu kembali menerbitkan senyumnya seraya mengusapi pucuk kepala Sandra dengan lembut. “Buat kamu, apa sih yang nggak.” Gerald terkekeh pelan. “Hanya sat
Sandra mengerutkan dahinya kala melihat Gerald mengambil sebotol wine di dalam lemarinya. “Kamu mau mabuk? Ini udah jam dua pagi, lho.” Gerald kemudian membuka tutup botol itu dengan menghiraukan ucapan Sandra yang tengah duduk sembari menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidur. “Emang kenapa?” tanyanya setelah meneguk wine tersebut tanpa dia tuangkan ke dalam gelas. “Katanya ada jadwal kuliah pagi. Kenapa malah mabuk? Apa yang buat kamu minum-minum, heum?” tanyanya kemudian. Gerald menelan saliva dengan mata sayunya menatap sang kekasih. “Lagi pengen minum aja. Jam sembilan, tidur jam empat pun bisa bangun lebih pagi dari perkiraan kamu. Kalau mau tidur, tidur aja. Nggak usah nunggu aku. Aku belum ngantuk.” Sandra kembali menatap Gerald yang tengah duduk di sampingnya seraya menyandarkan punggungnya. Masih dalam keadaan telanjang dada, hanya mengenakan boxer miliknya. Sementara Sandra masih dalam keadaan polos tak berpakaian. “Aku minta, boleh?” Gerald terkekeh pelan. “Ngg
“Gerald!” Suara perempuan memanggil Gerald yang tengah duduk di kantin dengan Joseph. Tak ingin menoleh, ia tahu suara siapa yang memanggilnya. Tak lain adalah Cynthia. “Ngapa, Cynthia?” Joseph yang menyapa perempuan itu. “Gue nggak lagi ngomong sama elo. Kedatangan gue ke sini karena ada urusan sama ... ekhem! Calon suami.” Joseph tertawa, meledek perempuan itu. “Calon suami? Punya cita-cita jangan ketinggian, Cyn. Kalau nggak kegapai, terus jatoh, sakitnya sampai ke ulu hati. Aneh lo! Baru dapat restu dari Om Jason aja udah bangga!” cibirnya kemudian. “Apaan sih, lo! Nggak usah ikut campur urusan gue lo, ya!” sengalnya kemudian.Gerald kemudian menatap datar perempuan itu. “Apa yang dikatakan Joseph emang bener. Punya cita-cita, jangan ketinggian. Papa kan, yang restuin elo? Nikah saja sono ... sama bokap gue. Kalau pengen nyawa elo hilang di tangan nyokap gue!” ucapnya kemudian menatap dengan sangat datar perempuan itu. “Gerald! Papa kamu udah bilang, kalau tunangan kita akan
Sudah selesai memasang CCTV di ruang tengah, Gerald akhirnya menghela napasnya dengan panjang kemudian duduk di atas sofa ruang tengah tersebut. Sengaja ia matikan terlebih dahulu karena ada hal yang ingin dia lakukan di sana. “Udah selesai, Seph. Elo boleh pulang!” ucapnya seraya mengusir sahabatnya itu. “Mau ngapain lo, di sini? Ini mah bukan mergokin si Gery, tapi kalian!” sengal Joseph kemudian. “Berisik lo! Udah sono, pulang. Lagian Gery nggak akan pulang juga malam ini. CCTV masih dalam keadaan mati. Terserah gue lah, mau ngapain juga di sini.” Joseph lantas memutar bola matanya. Ia pun mengambil tasnya dan keluar dari rumah tersebut. Tidak ingin mengganggu apa yang akan mereka lakukan di sana. Tiiinnn!! Suara klakson dengan rem mendadak membuat Joseph panik tak karuan. Hampir saja menabrak perempuan yang hendak menyeberang di depannya itu. “Maura! Woy! Kalau mau nyebrang lihat-lihat dulu! Gila apa lo!” sengalnya lantaran terkejut dengan kehadiran Maura di sana. Maura me
“Ckk!” Gery berdecak pelan seraya mengambil mangkuk yang dipecahkan oleh Sandra. “M—Mas Gery ... sudah pulang?” tanyanya dengan suara sedikit panik. Jantungnya bahkan sudah berdebar dengan sangat kencang setelah melihat kehadiran suaminya itu. Gery kemudian membuang mangkuk itu dan menyapu bagian-bagian pecahan kecil yang tidak terlihat. Lalu menghela napasnya seraya menatap Sandra dengan kepala ia miringkan. “Lapar?” tanya Gery kemudian. Sandra menganggukkan kepalanya. “I—iya, Mas. Lapar. Aku mau masak mie dulu. Kamu mau?” tawarnya kemudian. Gery menggeleng pelan. Ia melangkahkan kakinya mendekati Sandra yang tengah berdiri di dekat kabinet. Kemudian menyentuh bagian dadanya yang terekspos. Terlihat bagian pink itu. Ia kemudian menyentuhnya dengan menjepit pucuk itu seraya menatap Sandra lekat. “M—Mas ... kamu mau ngapain?” ucapnya ketakutan. Sungguh, ia tidak ingin malam itu harus bercinta dengan Gery. Pria itu semakin mendekat. Menciumi ceruk leher jenjang milik istrinya itu
“Heuh? Hukum mati?” Gerald tampak terkejut mendengar vonis untuk Frans.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Bukan karena kasus penembakan yang dia lakukan pada kamu, melainkan karena polisi berhasil menemukan markas Frans. Gudang tempat menyembunyikan narkoba dan senjata illegal.”“Aaahh ….” Gerald manggut-manggut dengan pelan. “Jadi, hukumannya adalah hukum mati? Divonis mati?” tanya Gerald sekali lagi.Jason menganggukkan kepalanya. “Ya. Hukuman mati. Akan dieksekusi satu bulan lagi. Hanya membutuhkan satu kali sidang dan … dibawa ke tempat eksekusi.” Jason kembali menjelaskan kepada Gerald.Sementara Gerald tersenyum menyeringai sembari melirik Sandra yang masih duduk di sampingnya. “Baguslah. Aku lega, mendengarnya.” Gerald kemudian mengulas senyumnya kepada Jason.Jason menepuk-nepuk bahu Gerald dengan pelan. “Cepat sembuh, Gerald. Selesaikan kuliah kamu, lulus dengan predikat baik dan … menikahlah.” Jason menerbitkan senyum tulus kepada sang anak.Gerald menganggukkan kepalanya.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya Jason dengan suara paniknya.Gerald langsung dibawa ke rumah sakit dan langsung dibawa ke ruang operasi untuk mengambil peluru yang menancap di tubuh lelaki itu. Kurang dari dua jam lamanya operasi itu akhirnya selesai dilakukan.“Operasinya berjalan dengan lancar. Beruntung, peluru itu hanya menancap di bagian tulang belakang. Peluru itu sudah berhasil diambil dan kondisinya saat ini masih kritis. Kami akan membawanya lima menit lagi ke ruang intensif untuk melakukan perawatan selanjutnya sampai kondisinya kembali normal,” tutur Dokter Azmi—penanggung jawab kala operasi pengambilan peluru di tubuh Gerald.Sandra menghela napas lega setelah mendengar kabar dari Dokter Azmi bila Gerald selamat dari tembakan itu. Ia mengalami sedikit trauma bila seseorang terluka oleh luka tembak. Sebab Gery meninggal oleh peluru yang menancap di jantungnya. Sehingga membuat Gery tidak bisa diselamatkan.Kayla datang dengan wajah paniknya. “Sayang. Kamu baik-bai
Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Hari ini adalah hari Minggu. Gerald dan Sandra pergi ke mall untuk belanja keperluan bayi yang sama sekali belum mereka beli.“Karena bayinya laki-laki, lebih baik kita beli warna yang lebih ke warnah laki-laki. Seperti warna biru, putih atau abu-abu. Yang cerah-cerah. Oke?” Sandra memberi saran kepada Gerald.Pria itu memberikan jempolnya kepada Sandra. “Oke, Sandra. Terserah kamu saja, yang penting semua keperluan untuk bayi kita sudah terpenuhi.”Sandra kemudian menerbitkan senyumnya. “Kita beli baju dulu kalau begitu. Baju, celana, handuk, selimut dan topi. Kaus kaki juga.”Gerald menggenggam tangan Sandra dan membawanya masuk ke dalam toko perlengkapan serba ada. Lengkap, berbagai macam keperluan bayi ada di sana.“Yang ini bagus, nggak?” Sandra menunjuk pakaian bayi kepada Gerald.“Bagus. Ambil aja yang menurut kamu cocok, Sayang. Jangan tanya aku. Aku mah terserah kamu aja. Kalau kata kamu bagus, berarti bagus juga menurut aku.”Sandra
“Bentar ... mau mandi dulu!” teriak Gerald menjawab panggilan dari mamanya itu.Sandra lantas memukul lengan lelaki itu. “Ishh! Gerald. Gak usah teriak juga.”Gerald terkekeh pelan. “Aku mau mandi dulu. Mau mandi lagi nggak?”Sandra menggeleng. “Mau cebok aja. Mandi mah besok pagi lagi aja.”“Ya sudah. Aku mandi dulu.”Sandra mengangguk. Ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan area sensitifnya terlebih dahulu.Sepuluh menit kemudian Sandra keluar dari kamarnya dan menghampiri Kayla dan juga Jason serta Laura yang sudah menunggu mereka tiba di sana untuk makan malam bersama.“Gerald sudah dipanggil?” tanya Jason kepada Kayla.“Sudah. Tadi katanya mau mandi dulu,” ucapnya menjawab pertanyaan sang suami.Jason mengerutkan keningnya. “Kok, aku nggak lihat kamu naik tangga?”Kayla mengendikan bahunya. “Mungkin kamu lagi sibuk dengan rainbow cake buatan Sandra. Makanya nggak lihat aku ke atas.”Jason manggut-manggut dengan pelan. Ia kemudi
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.Dering ponsel Sandra berbunyi, panggilan dari Gerald. Ia kemudian segera menerima panggilan tersebut.“Halo, Gerald?” tanyanya kemudian.“Sandra. Hari ini mungkin aku pulang jam tujuh malam. Banyak tugas yang harus aku kerjakan soalnya. Mengejar ketertinggalan tiga bulan nggak masuk.”“Oh iya, Gerald. Nanti aku simpan kuenya di kulkas saja kalau begitu. Kalau lapar, tinggal ambil saja di sana, yaa.”“Iya, Sayang. Ya sudah kalau begitu aku lanjut nugas lagi.” Gerald menutup panggilan tersebut setelah memberi tahu bila dirinya akan pulang malam. Khawatir Sandra cemas lantaran tidak ada pulang di jam yang biasanya dia pulang.Sandra kemudian keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri. Menghampiri Kayla yang sedang menggendong Felisha.“Mamanya ke mana, Mom?” tanya Sandra kepada Kayla.“Lagi mandi dulu katanya. Biar pulang nggak perlu mandi lagi.”Sandra manggut-manggut. “Gerald tadi telepon, katanya dia akan pulang di jam tujuh. Ada banyak tugas
Satu minggu sebelum tragedi ....Gery menemui Jason di gedung International Global.“Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda.” Gery berucap dengan tegas dan datar.“Apa itu?” tanyanya ingin tahu. “Silakan duduk.” Jason mempersilakan Gery duduk di sofa yang tak jauh dari kursi kebanggaannya.Gery menghela napasnya dengan panjang. “Anda masih belum ingin menyetujui hubungan Sandra dan Gerald? Saya sudah ikhlas mereka bersama, Pak Jason. Kalau masalahnya ada pada saya ....” Gery memberikan dokumen surat permohonan cerai kepada Jason.“Saya sudah menandatangani surat cerai ini dan dua minggu lagi sidang dimulai. Semoga hakim menyetujui permohonan ini dan Sandra akan saya minta mengenakan pakaian longgar agar tidak kelihatan kalau dia sedang hamil. Tolong, Pak Jason. Saya hanya bisa berharap banyak pada Gerald.“Dia pasti bisa menjaga Sandra dari Frans. Saya tidak ingin Sandra jadi budak Frans. Anda pasti tahu bagaimana kejamnya dia kepada perempuan. Bukan karena cinta, tapi obsesi. Saya,
“Morning!” Gerald menyapa anggota keluarganya yang tengah duduk menunggunya keluar untuk sarapan sama-sama.Kayla menelengkan kepalanya kemudian menatap Gerald dengan lekat. “Kok, keluarnya dari kamar atas? Jam berapa pindahnya?”“Mom!” Gerald menatap datar mamanya itu.Kayla lantas menerbitkan cengiran kepada anaknya itu. “Yuk, aah sarapan. Laura harus berangkat ke sekolah, Gerald ke kampus, Daddy ke kantor dan Nicko ke kantor juga.”“Para ladies mau ngapain?” tanya Gerald kemudian.“Mommy sama Sandra mau santai leha-leha di rumah lah. Main sama si bayi mungil Felisha.” Kayla menerbitkan senyumnya.Gerald menghela napasnya dengan pelan. “Yang penting kalian bahagia.”“Selalu itu yang kamu ucapkan pada kami. Memangnya kamu sendiri tidak bahagia?” tanya Kayla kemudian.“Tentu saja bahagia. Kenapa tanya seperti itu?”Kayla mengendikan bahunya. “Hanya tanya.”Gerald manggut-manggut. Tak lama setelahnya, dering ponsel Jason berbunyi. Gerald menoleh kepada papanya yang tengah mengerutkan k
Makan malam untuk pertama kalinya bersama keluarga Gerald di rumah milik orang tua lelaki itu tentunya. Membuat Sandra bahagia luar biasa karena merasa sudah menjadi bagian dari keluarga tersebut.Ada Kinara dan Nicko juga di sana membuat suasana di sana semakin ramai karena adanya mereka. Usia Felisha kini sudah menginjak satu bulan dua minggu, semakin sehat dan berisi setelah dirawat dengan baik oleh Kayla yang memang sudah ahlinya merawat anak-anak.“Seru banget, makan malam di malam ini. Terasa lengkap setelah adanya Kak Gerald dan Kak Sandra di sini,” ucap Kinara kemudian menerbitkan senyumnya.Kayla menganggukkan kepalanya sembari mengulas senyumnya. “Sama. Mommy juga merasakan hal yang sama, Sayang. Akhirnya, yaa. Kita bisa berkumpul lagi dan tambah dua personel. Sebentar lagi ada kandidat baru lagi. Calon cucu Mommy. Tiga bulan lagi akan lahir.” Kayla menerbitkan senyumnya kepada Sandra.Perempuan itu lantas membalas senyum Kayla. “Terima kasih, sudah menyambutku dengan baik.
Sandra gelagapan kemudian menelan salivanya dengan pelan. “He—heeuuh? Mak—maksudnya, Pak Jason?” Jason memutar bola matanya dengan pelan. “Jangan panggil saya dengan itu. Panggil saja Papa apa susahnya? Kayak nggak pernah pu—“ Jason mengatup bibirnya menahan ucapannya yang sudah pasti akan membuat Sandra terluka bila lolos keluar dari bibirnya. “Kayak apa, Pa?” tanya Gerald dengan suara datarnya. Jason menggeleng pelan. “Tidak ada. Papa sudah tahu dan lupa, kalau Sandra memang sudah tidak punya orang tua sejak lama,” ucapnya pelan sembari melirik Sandra yang tengah tersenyum tipis. “Dia tidak seberuntung Papa.” “Kan, sudah Papa katakan tadi. Tidak perlu diperbesar. Kamu sudah dewasa, seharusnya paham dengan ucapan Papa.” Gerald mengendikan bahunya. “Papa juga harus jaga lisannya. Jangan sampai keceplosan lagi.” Jason menganggukkan kepalanya dengan pelan kemudian mengusapi lengan anaknya itu. “Cepat sembuh, Nak. Jangan lama-lama di sini. Mentang-mentang nggak perlu bayar!” Geral