Tanpa terkendali, sepeda motor yang dikendarai oleh Radin tersebut menabrak tiang pembatas jalan yang berwarna kuning hitam. Radin dan temannya terlempar dari motor, sedangkan bagian depan motor ringsek usai menghantam pembatas dari beton tersebut. Sedangkan anak yang nyaris ditabrak oleh Radin terpaku di tempatnya karena terkejut.
Tubuh Radin tersungkur mencium aspal, sedangkan temannya menghantam tiang pembatas lainnya. Tas yang ia bawa terlempar ke sisi lain jalan.
Radin bangkit, lalu menghampiri temannya yang kini terkapar tak bergerak di tepi jalan. Saat itulah, ia baru menyadari bahwa kepala temannya itu sudah pecah. Isinya berceceran di aspal.
Radin membeku di tempatnya. Tak percaya bahwa rekan kejahatannya telah pergi dalam keadaan mengenaskan seperti itu.
Kemudian, sayup-sayup Radin mendengar teriakan orang-orang di belakangnya. Saat ia menoleh ke belakang, tampaklah beberapa orang yang meng
Sebelas tahun yang lalu.Rinto memarkirkan sepeda motornya di halaman rumah Rania. Ibu Rania menyambutnya dengan penuh suka cita, lalu menyuruh Rinto duduk. Ia sendiri masuk ke dalam untuk memanggil Rania.Tak lama kemudian, Rania menemui Rinto di ruang depan. Ia tersenyum kaku pada pemuda yang baru saja tiba di kampung halaman mereka untuk menghabiskan libur semester tersebut.Rinto tersenyum lebar. Ia benar-benar senang melihat keadaan Rania saat ini. Sebab, terakhir kali saat ia bertemu dengan gadis itu, Rania tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.Kini, Rania tampak lebih sehat. Bobot tubuhnya juga tampaknya sudah bertambah. Benar kata Rustam yang rutin mengabarinya mengenai keadaan Rania, gadis itu sudah mulai pulih dari rasa duka yang mendalam.“Bagaimana kabarmu?” tanya Rinto. Ia tidak berbasa-basi. Rinto benar-benar ingin mengetahui keadaan Rania, langsung d
Saat berbagai cara untuk menyembuhkan Rania gagal, orang tuanya akhirnya menempuh cara terakhir: mengurung Rania di rumah mereka dengan harapan kelak Rania akan pulih dengan sendirinya. Lagipula, mereka mulai dibuat malu oleh tingkah Rania yang seperti orang tidak waras.Di dalam kamarnya sendiri, Rania lebih banyak menangis karena tidak diizinkan menunggu kedatangan tunangannya. Ia bahkan mulai menolak untuk makan karena terlalu terbebani dengan kesedihan saat pria yang ia nantikan, tak kunjung datang. Membujuknya untuk makan menjadi perjuangan tersendiri karena Rania hanya mau makan dua atau tiga suap nasi dalam sehari.Akibatnya bobot tubuh Rania merosot drastis. Tubuhnya yang dulu ideal hingga menjadi bunga di kampungnya, kini hanya menyerupai tulang berbalut kulit. Rania juga menjadi sangat lemah, hingga hanya mampu berbaring di ranjangnya sepanjang hari.Keadaan Rania yang menyedihkan itu berlangsung selama berbula
Sebelas tahun yang lalu.Tiga hari setelah mengunjungi Rania, Rinto kembali ke rumah gadis tersebut dengan ditemani oleh Rustam. Sebelum menemui Rania lagi, Rinto berbicara terlebih dahulu dengan orang tua Rania.Pembicaraan tersebut berlangsung cukup lama. Sebab, kedua orang tua Rania tidak serta merta menyetujui usulan Rinto. Sekalipun upaya yang Rinto sampaikan tersebut adalah demi mengembalikan kesehatan jiwa dan raga Rania yang terlalu berduka dengan kematian tunangannya.Setelah Rustam—sebagai orang terakhir yang melihat tunangan Rania dalam keadaan hidup—angkat bicara, orang tua Rania melunak. Mereka akhirnya mengizinkan Rinto melaksanakan rencananya untuk menolong putri mereka.Maka, Rinto pun lalu menemui Rania. Hanya dengan dua kalimat sakti yang membuat wajah Rania menjadi lebih cerah.“Dua hari lagi, kita akan pergi ke tempat Rais. Jadi, bersiaplah.&
Pagi harinya, rombongan beranggotakan enam orang tersebutm bergerak menuju tujuan utama mereka. Saat tiba di tempat yang dimaksud oleh Rinto dan Rustam, kedua orang tua Rania terkesiap dan bersikap waspada. Mereka menatap putri mereka yang terperangah melihat pemandangan yang mengiris hati itu.“Ayo, kita ke tempat Rais,” ajak Rinto hati-hati.Tubuh Rania mematung di tempatnya. Ia sampai harus dipapah oleh ayahnya saat menyusuri jalan setapak menuju lokasi tunangannya dimakamkan. Kakinya menolak untuk melangkah maju lebih jauh, namun ayah dan ibunya tetap membimbingnya menuju tempat peristirahatan pria yang sudah pergi untuk selamanya itu.Tubuh gadis yang ditinggalkan begitu saja oleh pemuda yang dicintainya itu bergetar menahan emosi yang bergejolak dalam dirinya. Ia nyaris berbalik dan meninggalkan tempat itu. Namun orang-orang yang bersamanya, tidak membiarkan ia melarikan diri.Rinto
Sepuluh tahun yang lalu, Rinto menikahi Rania. Rustam memberikan kabar itu saat Radin masih mendekam di penjara. Rustam juga membeberkan perbuatan Rinto yang ikut memalsukan kematian Rais.“Jadi, Rinto menyuruhmu membuat makam palsu di pemakaman umum? Aku tidak kaget. Dengan uangnya, dia bisa memalsukan segalanya,” kata Radin pada Rustam.Rustam tidak berani menatap Radin. Ia merasa bersalah karena telah berbuat sejauh itu demi memenuhi kehendak Rinto.“Kamu sendiri… apa tidak marah atau sedih karena Rania melupakanmu? Kata dokter atau psikolog itu, entahlah, aku tidak tahu nama pekerjaannya, Rania menolak mengingatmu lagi karena terlalu menyakitkan untuknya. Sebenarnya dengan pengobatan, ingatan Rania bisa dikembalikan. Tapi Rinto menolaknya dan malah menikahi Rania,” sahut Rustam tanpa mengangkat kepala. Lagipula, siapa yang tega menyaksikan kemalangan pasangan yang gagal menikah itu?
Rustam kembali mengangguk pelan. Dalam hati meminta ampun kepada Tuhan karena telah melakukan kebohongan demi kebohongan hanya demi menjaga persahabatan.***Beberapa bulan yang lalu.Radin menghempaskan tubuh di atas sofa. Ia sengaja tidak menyalakan lampu apartemennya, agar tubuhnya lebih rileks di bawah temaram malam.Hari yang melelahkan dan menjengkelkan. Radin sebenarnya hanya ingin tidur, namun Reza meneleponnya.“Besok saja. Aku mau tidur,” kata Radin sebelum Reza sempat mengatakan apa-apa. Namun rupanya Reza tidak peduli.“Bos, jadi bagaimana? Apa saya perlu mencari pengganti anak itu?”Radin berdecak kesal. Ia tahu siapa yang dimaksud dengan ‘anak itu’. Seorang gadis muda belia yang berpenampilan menggairahkan, yang baru saja Radin berhentikan sebagai asisten pribadi. Sayangn
Setelah setengah jam berlalu, Radin dan Ramon akhirnya menemui Rania dan Rea di gazebo di halaman belakang kediaman Rasyid. Meskipun masih ada sisa-sisa peluh di keningnya karena ketakutan usai bertemu dengan Rasyid, Ramon tersenyum lebar pada kedua wanita itu. Tampak lega karena sudah keluar dari ‘kandang macan’.“Maaf agak lama. Tapi sudah beres. Nah, sekarang, ayo kita pulang,” ajak Radin sambil mengulurkan tangan pada Rania yang masih dalam posisi duduk.Rania tertegun melihat uluran tangan Radin. Sementara Ramon berdeham cukup keras untuk mengingatkan sahabatnya. Radin tersentak, menyadari bahwa Rania bukanlah Rania yang dahulu ia kenal. Dengan agak tersipu, ia menarik tangannya perlahan.“Dihalalin aja, kenapa? Sudah pada tua juga,” sindir Ramon jahil, yang membuat Radin membekap lehernya.“Bicara apa? Ayo pulang,” balas Radin menutupi ke
Sebelum Rania sempat mengajukan alasan lain untuk menolak, Radin sudah membungkam dengan satu penjelasan lagi.“Periksa mobile banking-mu. Reza pasti sudah mengirim gajimu untuk bulan ini, beserta bonusnya. Gunakan itu untuk menyenangkan anakmu. Meskipun kau menolak digaji, aku yang tidak mau mempekerjakan karyawan tanpa dibayar. Jadi, besok pagi aku akan menjemput kalian di unit yang kalian tempati. Setelah apa yang kalian alami beberapa bulan terakhir ini, kalian berhak untuk sedikit bersenang-senang.”Rania kehilangan alasan untuk menolak lagi.***Radin menepati janjinya. Pukul sembilan pagi, ia sudah menekan bel pintu unit apartemen yang ditempati oleh Rania dan putrinya.Rania yang membukakan pintu, sempat tercengang melihat penampilan casual Radin. Ia yang sudah terbiasa melihat Radin dalam balutan stelan jas dan dasi, melupakan bahwa atasanny
Dua bulan kemudian.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania binti Ramdan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”Radin mengucapkan kabul dengan mantap, tanpa kesalahan dan tanpa rasa gugup sedikit pun. Ia sudah menantikan pernikahan ini selama tiga belas tahun, jadi tidak ada alasan untuk melakukan kesalahan atau merasa gugup sedikit pun.Setelah dua orang saksi menyatakan sah, ucapan hamdalah menggelora di ruang keluarga kediaman Rasyid sekeluarga. Rasyid sendiri selaku saksi nikah dari pihak Radin, bahkan tak kuasa menahan tangis haru melihat pernikahan anak angkatnya tersebut.Demikian pula Rustam yang menjadi saksi nikah dari pihak Rania. Sebagai orang yang telah mengikuti kisah cinta Rania dan Rais atau Radin sejak masih remaja, ia tampak sangat bahagia dan lega karena pada akhirnya, Rania dan Radin bisa bersatu. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat untuk cinta yang terhalang ha
Mobil yang ditumpangi Rania dan Rea melaju dengan kecepatan sangat tinggi hingga tiba di kediaman Rasyid dalam waktu yang lebih cepat daripada biasanya. Keduanya langsung menemui Rasyid yang tengah menemani Rona yang tengah ‘bermain’ di sebuah dojo.Rania tersentak saat melihat putrinya tengah belajar dasar-dasar ilmu bela diri dari seorang wanita. Karate, jiujitsu, entahlah, Rania tidak yakin. Hal yang lebih penting adalah, keberadaan Rona di dojo itu adalah tanpa sepengetahuan Rania sebagai ibunya.Namun, Rania tak ingin langsung menyinggung hal itu. Sebab, saat ini, ada hal yang lebih genting untuk dibahas dengan Rasyid.“Bundaaa!” seru Rona sambil berlari untuk memeluk Rania. “Aku latihan karate. Kata Kakek Rasyid, aku bisa sekuat Om Radin kalau rajin latihan.”Rania mengusap puncak kepala putri semata wayangnya itu. Astaga. Lihatlah anak ini.
Hanya terdengar suara ringisan dan jeritan mereka yang tertembak. Hampir dapat dipastikan, korban terbanyak jatuh dari pihak Rinto. Entah dengan anak buah Radin. Kalau pun jatuh korban dari pihak mereka, tentunya mereka sudah menolong kawan mereka.Dari luar toko, di antara keluh penderitaan anak buah Rinto yang tertembak, terdengar langkah kaki seseorang yang mendekat. Bunyi langkahnya teratur, menimbulkan gema yang tertata di antara teriakan para anak buah Rinto.“Bagaimana terornya? Rinto, pasti menyeramkan, ya, tidak bisa ke mana-mana karena bisa tertembak kapan saja. Di kandang lawan, lagi.”Rinto terkesiap. Itu Radin! Dia sedang mengejek Rinto, pria yang sudah ‘merebut’ cinta pertamanya.Kedua tangan Rinto terkepal. Dia murka atas penghinaan itu. Tapi untuk saat ini, tidak ada yang bisa ia lakukan. Radin sedang di atas angin berkat kelicikannya menipu Rinto yang tidak me
Mobil yang ditumpangi oleh Rania dan Rea melesat sekencang-kencangnya, menjauh dari lokasi pertemuan Radin dan Rinto. Sayup-sayup, terdengar bunyi rentetan tembakan dari gedung bekas pusat perbelanjaan tersebut.“Mas Radin sedang mengamuk,” komentar Rea sambil menengok ke belakang, seakan ia bisa melihat pertempuran di dalam gedung tersebut. “Mereka mungkin sudah kehilangan nyawa.”Namun Rania tidak sependapat. Ia ikut menengok ke belakang.“Kalau mereka terluka, aku rasa iya. Tapi, seperti kata Radin, tidak ada yang akan mati atau masuk penjara. Radin pasti akan menyelesaikan sesuai janjinya,” ujar Rania tenang. Sama sekali tidak gusar atau merasa cemas atas apa yang tengah terjadi.Rea menoleh pada Rania. Tercengang mendengar ucapan Rania.“Jadi, Mas Radin akan mengampuni mereka?” tanya Rea, tampak meragukan ujaran Rania.&
Tapi, di sisi lain, persetujuan Rania untuk hidup bersama dengan Radin telah menggoyahkan tekad Radin untuk membalas perbuatan Rinto. Barangkali memang benar, jalan terbaik adalah melupakan lalu mengambil langkah baru bersama seseorang yang berharga seperti Rania ….“Baiklah kalau begitu. Aku akan ….”Ucapan Radin terputus saat seseorang menyela kalimatnya. Bukan Rea atau Rania, melainkan seorang pria yang telah memaksa Radin berbuat sejauh ini.“Rania? Kau mau hidup bersama penjahat ini???!!!”Rania, Radin dan Rea serempak menoleh pada Rinto. Rupanya, dia telah keluar dari toko. Ramon dan Ryan mungkin masih dalam posisi siaga terhadap anak buah Rinto, sehingga Rinto memanfaatkan ketegangan itu untuk ke luar.Dugaan Radin ternyata hampir sepenuhnya benar. Di belakang Rinto, empat orang anak buahnya mengikuti disusul oleh Ramon dan Ryan.
Radin mendengus dan tersenyum miring. Ia tidak ingin menunjukkan emosi apa pun lagi. Segalanya tergantung pada Rania. Ia pun menoleh pada kamera ponsel yang dipegang oleh Ramon.“Bagaimana, Rania? Sudah mengingatku? Apa pendapatmu? Diselesaikan di luar sana atau di sini?” tanya Radin tenang.Sementara itu, Rinto tampak terguncang. Wajahnya memucat. Tubuhnya gemetaran dan menggeleng berkali-kali. Tidak memercayai apa yang ia alami saat ini. Para anak buahnya mulai saling melirik. Jelas, mereka sudah membaca situasi yang tidak menguntungkan itu.Namun Radin tak peduli pada keadaan Rinto. Ia hanya menunggu tanggapan Rania.Sayangnya, tidak ada tanggapan dari seberang sana. Bahkan, layar ponsel menunjukkan gambar yang bergoyang, pertanda pemegang ponsel tengah bergerak secara tiba-tiba.“Hei! Tunggu! Jangan ke sana!”Terd
Terdengar bunyi meja kayu yang dipukul. Rania tahu, Rinto pasti sudah murka. Kamera ponsel yang kini kembali menyorot wajahnya, menunjukkan betapa pria itu hampir tak dapat menguasai dirinya. Napasnya mulai memburu. Peluh mulai membasahi wajahnya. Rania bisa melihat dendam pada sorot matanya.“Saya hanya ingin berunding. Bukan membicarakan masa lalu atau pernikahan saya!”“Masalahnya, arah perundingan ini bergantung pada Rania. Jika dia meminta saya untuk mengampuni Anda, maka saya akan melepaskan Anda. Tapi jika dia tidak mau memaafkan Anda, maka kita akan bertarung di pengadilan, di luar sana, atau … di tempat ini. Tergantung situasi, pertarungan mana yang lebih cepat mendatangkan hasil.”Baik Rinto mau pun Rania, terkesiap mendengar kata-kata Radin. Rania ingin melihat wajah Radin saat mengatakannya, namun kamera ponsel masih menunjukkan sosok mantan s
Radin menyunggingkan senyuman saat melihat Rinto yang muncul dengan wajah memerah. Ia menyilakan saingannya dalam bisnis dan asmara itu duduk di kursi yang tersedia di sana. Sebuah meja kayu membatasi mereka berdua.“Mana pengkhianat itu?” tanya Rinto geram. Matanya liar mencari-cari ke penjuru ruangan.Ruangan yang mereka gunakan adalah salah satu toko yang telah tutup namun sebagian perabotan di dalamnya masih ada. Di tempat yang telah ditinggalkan itu, Radin, Ramon dan Ryan berhadapan dengan Rinto yang ditemani oleh empat orang pria yang tampaknya bukan karyawan biasa.Radin terkekeh mendengar pertanyaan musuhnya itu. Ia tersenyum mengejek hingga membuat Rinto tersentak dan makin geram.“Pengkhianat bagi Anda, tapi bukan bagi saya. Justru, dia sangat setia pada saya,” balas Radin. “Saya kira saya sudah menjelaskan bahwa saya adalah orang yang bertanggung jawab atas ke
Rona yang sedang berada di dalam mobil, tampak ceria. Tidak ada kekhawatiran dalam nada bicaranya. Seolah ada sesuatu yang telah menenangkannya. Sebaliknya, Rania yang menjadi semakin panik.“Kenapa, Sayang? Kok tidak sekolah? Om supir sakit jadi tidak bisa mengantar?”“Tidak, Ma. Kata Kakek Rasyid, aku boleh main dulu di rumah Kakek Rasyid yang besar itu. Aku boleh main air sepuasnya, Ma!”Rania membelalak. Ia tidak mengerti. Apa-apaan, mengapa Rasyid seenaknya mengatur anaknya? Bahkan membawa Rona pergi ke kediamannya tanpa seizin Rania selaku ibunya.Rania hendak beranjak menuju ke kamar Radin untuk melanjutkan upayanya menggugat ulah Radin, namun urung karena langkahnya tertahan. Radin ternyata sudah berdiri menghalanginya.“Aku yang meminta tolong ayahku untuk melindungi Rona sementara kita menemui mantan suamimu,” kata R