Wulan mengernyitkan keningnya saat melihat bendera merah putih yang terpasang di batalyon hanya setengah tiang. Pikirannya kembali melayang pada mimpi buruk yang merenggut suaminya. Hatinya semakin cemas dibuatnya. “Bu, ini kenapa kok benderanya dipasang setengah tiang? Adakah berita duka? Siapa yang meninggal?” tanya Wulan pada salah satu ibu persit yang kebetulan bertetangga dengan Wulan. Perempuan itu menggeleng. “Kurang tahu, Bu. Saya belum dengar informasi apapun soalnya. Suami saya juga belum pulang dari piket malam,” sahutnya. “Pak Danki ke mana memang?” tanya perempuan itu lagi. “Beberapa hari yang lalu pamit latihan, Bu. Tapi sampai sekarang belum pulang juga,” sahutnya berusaha tenang. Meski rasa cemas semakin menghantuinya. “Pantas, Bu. Pak Danki kan anggota Taipur. Latihannya harus lebih ekstra,” kekeh perempuan itu. “Iya. Saya berharap suami saya segera pulang,” balasnya berusaha tersenyum. Meski tatapannya kosong. “Insyallah pulang dengan selamat kok, Bu. Percaya
Usai masa iddah selesai, Wulan memutuskan untuk kembali ke rumah kedua orangtuanya di Jogjakarta. Kedua orang tuanya memang sudah tidak ada, sehingga nanti Wulan hanya akan tinggal bersama dengan Ara saja. Keluarga Langit pun memberikan warisan yang Langit wasiatkan untuk putri semata wayangnya, juga istri yang ditinggalkannya. Satu minimarket dan sejumlah uang, serta tanah yang semuanya adalah harta dari Langit. Bermodal harta yang ditinggalkan suaminya, Wulan pun masih bisa bertahan hidup. Juga tunjangan pensiunan suaminya. Maya pun sebenarnya berat melepas Wulan, tapi tidak baik juga jika masih tinggal di rumahnya. Apalagi ada ipar. Maya tahu itu. “Mama pasti bakal kangen banget sama kamu dan Ara,” katanya sambil menatap Wulan. Lalu mengecup pipi Ara yang kini dalam gendongannya. “Insyallah nanti kita akan sering main ke rumah Mama. Main sama Arsya juga kan, ya,” sahutnya sambil berusaha untuk tegar. Meski kini dia mati-matian menahan laju
“Om tadi kenal sama Mama katanya.”“Ara percaya?”Gadis berusia lima tahun itu mengangguk. “iya.Soalnya, Om tadi juga nyebutin nama Mama, Papa, bahkan Eyang Uti sama Om Awan. Omtadi ngaku temannya Mama,” jelasnya.Kening Wulan mengernyit mendengar penjelasanputrinya tentang orang asing yang baru saja ditemuinya.“siapa, ya?” gumamnya penasaran.Pasalnya, Wulan hanya melihat punggung lebarlaki-laki berkaos merah marun itu. Saat Wulan mendekat, laki-laki itu bergegaspergi. Tentu saja itu membuat Wulan curiga.“Lain kali, kalau Mama belum jemput, Ara tunggudi dalam kelas saja, ya. Sama Bu Guru.”“Tapi Ara yakin kalau om tadi kenal sama Mamakok. Om tadi juga tahu kalau Papa seorang tentara. Bahkan di saat orang lainnggak percaya Papa Ara tentara, om tadi percaya,” celotehnya.Wulan menarik napas panjang. Lalumengembuskannya dengan sedikit kasar. Dia pun mengajak anaknya pulang denganrasa penasaran yang masih berputa
Merasa hanya di sekolah TK Purnomo bisa bertemu dengan Ara, di jam yang sama dia kembali datang. Kali ini dia membawa sebuah kue donat dan sebuah sticker lucu-lucu yang pastinya anak kecil akan suka.Senyumnya selalu mengembang setiap kali melihat bocah menggemaskan itu keluar dari ruang kelasnya dengan tawa riangnya. Seolah menularkan kebahagiaan tersendiri untuk laki-laki yang kini sudah berusia tiga puluh enam tahun. Sudah hampir mendekati kepala empat, tapi belum juga mau menikah.“Ara!”Purnomo melambaikan tangannya dengan senyum sumringah. Tak lupa menunjukkan hadiah untuk gadis kecil itu. Namun detik berikutnya senyum di wajah Purnomo menghilang. Kerutan di dahinya terlihat tipis saat melihat Ara yang tadinya ceria menjadi terdiam seketika saat melihat Purnomo. Tak mendekat, tapi tidak juga menghindar.“Ara, sini! Om bawa hadiah buat kamu!”Laki-laki itu perlahan berjalan mendekat dan menekuk kedua lututnya agar sejajar tingginya dengan Ara.“Ara kenapa? Kok kayak nggak senang
"Emm … nggak. Siapa yang menangis?”Wulan yang sedikit salah tingkah karena ketahuan menangis pun memilih memalingkan wajanya ke arah lain. Enggan bertatapan dengan Purnomo.“Aku bisa melihat air matamu tanpa kamu bercerita, Wulan,” katanya dengan tenang. Namun berhasil membuat hati Wulan luluh lantak.Sepeka itu hati Purnomo pada Wulan. Meski mereka tak lagi memiliki ikatan apa pun. Hanya masa lalu.Perempuan itu memilih tak menjawab. Dia sibuk mengendalikan hatinya yang mendadak tak keruan setelah kehadiran lelaki yang menjadi masa lalunya itu. Karena Wulan pikir, Purnomo tidak akan datang lagi menemui Wulan untuk alasan apapun setelah kepergiannya saat itu.Apalagi melihat kedekatan Purnomo dan Ara. Mereka seperti memiliki ikatan batin tersendiri.“Apa kabarmu?” tanyanya mengalihkan bahasan. Meski dia sebenarnya ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Wulan selama lima tahun terakhir ini. K
Ayo, cepat, Om! Takut Mama kenapa-kenapa.”Ara terus menyemangati Purnomo yang masih berusaha mendobrak pintu rumah Wulan.Hingga percobaan keempat, pintu rumah itu berhasil terbuka lebar.Ara langsung lari menuju kamar ibunya. Purnomo menyusul tak kalah panik.“Mama!” teriak Ara sambil menangis dan memeluk ibunya yang masih tak sadarkan diri.“Coba Om periksa dulu,” ujarnya membuat Ara menggeser tubuhnya sejenak. Membiarkan Purnomo memeriksa keadaan Wulan.“Gimana, Om? Mama kenapa bisa kayak gini?” tanyanya di sela-sela tangisannya.“Mama kamu hanya pingsan. Tapi kita harus segera membawanya ke rumah sakit,” jawabnya berusaha tenang, meski hatinya cemas bukan main.Kemudian dia menghubungi Rio untuk membawa mobil ke rumah Wulan dan membawa perempuan tersebut ke rumah sakit.[“Ke rumah Mbak Wulan? Memang Mbak Wulan-“]“Cepat ke sini saja, Rio. Ini urgent. Wulan pingsan dan harus cepat ditangani!” potongnya cepat.[“Iya udah. Iya, Mas. Aku ke sana sekarang!”]“Cepat, Rio!” titahnya.[“
Ara, Purnomo, Ningsih, juga Rio menoleh ke arah sumber suara. "Eyang!"Ara turun dari gendongan Purnomo. Kemudian menghampiri Maya juga Awan yang mendekat padanya. "Mama, Eyang. Mama sakit," isaknya lagi setelah dipeluk oleh Maya. "Mama sakit apa? Kok Ara nggak kasih tahu Eyang atau Om Awan kalau Mama sakit?" Maya menatap cucunya cemas juga iba. "Nggak tahu. Tapi tadi pingsan, untung ada Om sama Nenek yang nolong Mama dan bawa Mama ke rumah sakit," paparnya. Maya pun menatap ketiga orang yang ada di hadapannya. Keningnya mengernyit heran. Merasa tidak asing, tapi dia seperti lupa. "Lho, Mas Pur?"Awan mendekati Purnomo dan menepuk bahunya pelan."MaasyaAllah, bisa ketemu lagi!" serunya lagi. "Gimana kabarnya, Mas? Selama lima tahun ini kok hilang kayak ditelan bumi," kekehnya. "Alhamdulillah baik, Awan.""Sibuk merantau di Surabaya sama Jakarta itu, Mas Awan. Sampai lupa pulang,
"Beneran Om mau datang?"Kedua mata Ara tampak berbinar. Purnomo mengangguk penuh keyakinan. "Iya, Om gantiin Mama kamu yang nggak bisa temani.""Tapi, kan ... Om bukan tentara seperti Papa?" Semua orang kembali terdiam. Benar, Purnomo memang bukan tentara seperti apa yang sudah Ara katakan pada teman-temannya. Apa kata teman-temannya nanti kalau Ara tidak membawa ayahnya yang seorang tentara? Bisa habis dibuli lagi nanti. "Ara tenang saja," ujar Maya menepuk bahu cucunya pelan. Membuat Ara menoleh pada sang Eyang. "Nanti Om Pur dipinjami baju papa saja. Bilang sama Mama.""Oh iya, betul! Mama masih simpan baju tentara Papa kan? Nanti Om Pur pakai itu saja, ya. Biar teman-teman Ara percaya kalau papa Ara seorang tentara yang gagah perkasa!" celotehnya dengan ekspresi menggemaskan. Membuat semua orang yang ada di sana tertawa karena tingkah lucunya."Betul itu!" sahut Awan yang ikut tertawa juga. Di
Malam beranjak naik. Ummi Rahmah diantar pulang ke hotel oleh Wulan dan Purnomo. Sebenarnya, Wulan ingin Ummi Rahmah menginap di rumahnya saja agar bisa ngobrol banyak dan mengakrabkan diri. Namun, Ummi Rahmah menolak. Merasa tak enak hati. "Ummi, nginap saja di rumah," ujar Wulan menatap penuh harap. "Insyallah kapan-kapan saja kalau Ara sudah di rumah. Sebenarnya juga pengin temenin mantu di rumah sakit. Tapi biar saja ada suaminya," kekehnya. "Iya, Mi. Biar mereka makin dekat," sahut Wulan. Purnomo sendiri yang sibuk dengan setirnya hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Hingga tiba di depan lobby hotel, Ummi Rahmah turun dan Wulan juga Purnomo pamit menuju rumahnya. Ara sendiri dijaga oleh Galaxy juga Hafifi. Dia diharuskan menginap satu malam untuk memantau perkembangannya. "Permisi, mau antar makan malam." Seorang pramusaji rumah sakit masuk mendorong troli berisi makanan dan obat untuk Ara. Lalu meletakkan makanannya di meja. "Terima kasih, Bu."
"Assalamualaikum, Ma?" ["Wa'alaikumsalam. Hafifi sudah di situ, Nak? Mama sudah sampai di parkiran. Kamu di ruangan mana?"] "Lantai tiga, Ma. Ruang Bugenvil nomor dua." ["Ya udah. Mama sama ayah ke sana sekarang, ya."] "Iya, Ma. Di sini juga ada ibunya Hafifi," katanya sambil menatap perempuan itu yang mengangguk dengan senyum tipis. ["MaasyaAllah ... ya sudah. Mama sudah masuk lift. Telepon Mama matiin, ya."] "Iya, Ma. Hati-hati." Ara mematikan panggilan teleponnya. Lalu menatap Ummi Rahmah yang juga menatapnya. "Mama saya sebentar lagi sampai, Mi," katanya memberitahu. "Alhamdulillah, nggak sabar ketemu besan," sahutnya dengan antusias. Meski sudah berusia empat puluh delapan tahun, ibunya Hafifi ini memang modis dan masih terlihat awet muda. Bahkan kecantikannya hampir sama dengan ibunya Ara yang usianya lima tahun di bawah Ummi Rahmah. Ibunya Hafifi seorang dosen juga ustadzah yang mengajar di pesantren miliknya sendiri. Jadwalnya padat dan sibuk. Sehingg
"Tidak, Lettu. Tidak apa," jawab Ara sedikit gugup. Namun, dia berhasil menguasai diri. "Terima kasih untuk bantuannya tadi," katanya mengangguk sopan. "Iya. Jangan terima kasih terus. Saya akan selalu usahakan ada buat Serda Ara sebelum orang tua Serda Ara datang," katanya dengan senyum tulus. "Emm ... saya rasa tidak perlu. Karena di sini sudah ada saya. Jadi, biar saya yang akan mengurusi keperluan is ... emmm ... Ara," timpal Hafifi begitu posesif menjaga istrinya. Ara menatap lelaki itu dengan kening berkerut. Merasa heran dengan sikap Hafifi yang menurutnya berlebihan. "Oh, begitu. Ya sudah. Kalau begitu saya pamit, ya, Serda Ara. Kalau butuh apa-apa hubungi saya saja. Saya akan usahakan," katanya lagi sebelum digiring keluar ruang rawat Ara oleh Hafifi. "Ah, ya. Terima kasih banyak." Hafifi yang menimpali. Kemudian menutup pintu dan menutupnya rapat-rapat setelah Lettu Arhan benar-benar pergi. "Kamu nggak seharusnya bersikap seperti itu sama Lettu Arhan. Dia itu ata
Kata-kata yang keluar dari mulut Hafifi masih terus terbayang di benak Ara. Pikirannya terus berputar. 'Bagaimana bisa dia berpikir akan melanjutkan pernikahan ini? Sedangkan aku menolak keras. Aku masih ingin berkarir di dunia militer tanpa terikat pernikahan dulu. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan untuk bisa membanggakan almarhum Papa.' Ara berusaha untuk fokus saat latihan bela diri. Namun, bayang-bayang wajah Hafifi terus menghantuinya. Hingga saat lawan menyerang, Ara yang tak siap terjatuh dengan tangan sebagai tumpuan. Gadis itu mengerang menahan rasa sakit di tangan kanannya. "Arggghhh!" Dia memejamkan kedua matanya. Berusaha menahan sakit yang menjalar dari siku hingga jai-jemarinya. "Astaga, Ara! Maaf, ya." Temannya langsung membantu berdiri sambil terus mengucapkan kata maaf karena dia tadi yang menyerangnya. "Bawa ke klinik sekarang!" titah pelatih dengan raut wajah cemas. Namun, tetap berusaha tegas dan tenang. "Tanganku sakit banget." Ara merasa
"Masih proses ta'aruf kan, Mi. Masih bisa dibatalkan kok. Lagian belum sampai pada tahap nadzor. Kita bisa bicarakan ini baik-baik melalui Pakde Hasan. Sebagai perwakilan keluarga kita," terangnya mencoba menenangkan ibunya. "Iya juga sih. Tapi tetap tidak enak hati sama Pak Yai dan Bu Nyai." "Ya, mau bagaimana lagi, Mi? Ara yang sekarang sudah sah menjadi istriku lebih pantas aku perjuangkan daripada Hasna." Ummi Rahmah mengembuskan napas panjang. Pasrah dengan keputusan yang diambil putranya. "Ya sudah kalau memang kamu sudah yakin dengan pilihan kamu, Nak. Kamu sudah tahu mana yang terbaik. Semoga Allah melimpahkan keberkahan pada pernikahan kalian," katanya dengan lembut. Hafifi mengaminkan doa sang ibu dengan seulas senyum. Hatinya lega karena sudah mendapat restu dari sang ibu tercinta. "Mana coba Ummi lihat foto menantu Ummi? Penasaran," pintanya. Hafifi menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa?" Ummi Rahmah menatap dengan kening be
"Taipur?" gumam Ara saat dia sudah berada di dalam kamar nyamannya. Dia sudah pulang ke rumah dan mandi agar tubuh lelahnya terasa sedikit segar. Taipur? Tawaran atasannya tadi masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Sebenarnya bisa saja, apalagi dia ditawari langsung oleh atasannya. Tinggal kemauannya saja untuk ikut daftar dan mengikuti pendidikan selama tujuh bulan. Tapi bagaimana dengan pernikahannya dengan Hafifi? Ara mengembuskan napas panjang. Lalu memilih merebahkan tubuh lelahnya. Menutup kedua matanya dengan napas teratur. Mencoba terlelap, tapi pikirannya masih melalang buana. Hingga dering ponsel yang menandakan pesan masuk mengusik waktu istirahatnya. Dengan gerak malas, tangan Ara meraih ponsel yang ada di atas nakas. Kedua matanya langsung membelalak membaca pesan masuk dari nomor tak dikenal. Dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk dengan punggung tegap. [Istriku, ini nomor suamimu. Tolong disimpan, ya.] [Suamimu, Muhammad Hafifi.] "Ya Allah
"Saya akan bicarakan perihal ini dulu dengan kedua orang tua. Insyallah hari ini saya akan pulang ke Jombang dan segera membicarakannya untuk kejelasan." Laki-laki bercambang tipis itu mengembuskan napas panjang. Lalu melanjutkan. "Jujur, saya juga berat menerima pernikahan ini. Tapi ... saya sebagai lelaki juga tidak akan meninggalkan apa yang sudah menjadi tanggung jawab saya begitu saja. Saya ... akan mengupayakan untuk mempertahankan pernikahan ini dan meresmikannya untuk melindungi hak perempuan," terangnya dengan tenang dan tanpa keraguan sedikit pun. Seolah yakin jika perempuan yang kini sedang menatapnya dengan jengkel itu adalah jodoh yang sudah Allah tetapkan untuknya. Ara mungkin jauh dari kata anggun karena memang karakternya keras dan mandiri akibat tempaan saat pelatihan menjadi prajurit TNI. Namun, Hafifi yakin jika di balik sifat kerasnya itu akan selalu tersimpan sisi perempuan yang mungkin tidak akan ditunjukkan pada orang lain, kecuali keluarganya. "Kenap
Laki-laki bercambang tipis itu terdiam sejenak. Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "saya akan berbicara hal ini dengan kedua orang tua saya dulu, Pak, Bu. Meski saya juga tidak menyangka akan menikah dengan cara seperti ini. Tapi saya memiliki prinsip untuk menikah hanya sekali seumur hidup. Saya pun yakin jika Allah memberikan jalan hidup saya seperti ini pasti ada kebaikan di dalamnya." Wulan menatap suaminya yang mengangguk. Sementara Ara tetap menatap penuh selidik. "Sekarang ceritakan siapa dirimu sebenarnya?" tanya Ara penasaran. "Kalau kamu memang bagian dari para gengster itu, maka aku akan mengantarmu ke jeruji besi karena sudah mengusik ketenangan warga sekitar!" tekannya menatap penuh intimidasi. "Ara, nggak boleh asal nuduh begitu tanpa bukti yang jelas," tegur sang mama. "Mana ada penjahat mau ngaku, Mama," balas Ara sambil memutar bola matanya. Namun, Hafifi sama sekali tak terusik. Senyum tipis terukir di wajah manisnya. "Sebelumnya, saya
["Hallo, Assalamu'alaikum, Mas. Tumben malam-malam telepon?"] Tubuh Ara lemas seketika mendengar suara Awan di seberang telepon. Dia mengusap wajahnya sambil menyandar pasrah. "Maaf, Wan ganggu. Ada hal penting ini. Ara ... Ara mau menikah." ["Apa? Menikah? Kapan? Kok dadakan? Tapi bukannya dia belum boleh menikah, ya karena kan masih belum dua tahun berdinas."] "Itu dia, Wan. Kena musibah," katanya pelan. Lalu mengembuskan napas kasar. ["Musibah? Gimana maksudnya, Mas?"] "Iya, Wan. Jadi ...." Purnomo menceritakan semua kejadiannya secara detail. Mulai dari versi orang-orang yang memergoki Ara dan Hafifi berduaan. Sampai versi Ara dan Hafifi. ["Astaghfirullah ...."] "Keputusan nggak bisa diganggu gugat, Wan. Mereka harus menikah sekarang juga," ujarnya tampak sedikit berat. Terlebih melihat bagaimana reaksi Ara. "Aku minta kamu jadi wali nikah Ara sekarang, Wan. Nikahkan Ara meski lewat sambungan telepon," pintanya. ["Ya Allah ... kok bisa begini? Ara nggak bisa menekan?