“Menjadi TKI tanpa memikirkan masa depan itu sama seperti mencalonkan diri menjadi budak selamanya.”
-o0o-
“Sepuluh juta aja lah, Mbak. Jangan banyak-banyak. Belum tentu waktu Mbak nikah nanti saudara-saudara Mbak itu mau nyumbang,” tegas Erni menggebu-gebu. “Jangan bodoh jadi orang, Mbak. Makin dimanfaatin nanti.”
Aku mendongak menatapnya yang berkacak pinggang. “Emang ada orang yang mau manfaatin orang pinter?”
Erni mengedikkan bahu sebelum menghempas pantatnya di sampingku. Dia mengembuskan napas panjang. “Iya enggak, lah, Mbak. Mana ada orang yang sanggup manfaatin orang pinter dengan sangat berlebih-lebihan. Kan dari awal udah pinter.”
“Iya udah,” putusku ikut mengedikkan bahu.
“Mbak.” Raut wajah Erni berubah garang. “Jangan terlalu baik jadi orang. Makin dimanfaatin nanti.”
“Emang ada orang yang mau manfaatin orang jahat?” tanyaku tenang.
“Iya enggak lah. Bisa-bisa sebelum berhasil manfaatin udah terlanjur dijahati. Ruginya doble dong,” jawabnya lesu.
“Iya udah.”
Erni mengembuskan napas panjang. “Mbak kenapa, sih, ngalah banget jadi orang? Saudara Mbak kan banyak.”
Aku mengangguk kecil. “Saudaraku emang banyak. Tapi semua keadaannya pas-pasan.”
“Jangan terlalu ngalah, Mbak. Mbak itu cuma ATM berjalannya keluarga Mbak. Gak lebih dari itu.” Lagi, kalimat Erni melukaiku. Akan tetapi, detik ini perubahan air muka dan gelagatku tak sekontras beberapa minggu lalu. Aku mulai bisa memahami karakter teman lamaku.
“Asal Mbak tahu, orang bodoh itu tercipta dari orang yang terlalu baik.”
Lipatan di dahiku tercipta. Apa-apaan Erni ini, kalimatnya itu pemikiran dari mana. Aku menggeleng lirih. “Terus?”
Mata perempuan itu membola. “Mbak udah sangat bodoh.”
Aku terdiam, berusaha mencerna seluruh kalimat Erni. Apa benar aku teramat bodoh. Jika dibilang bodoh, mungkin sangat benar. Aku tidak akan menampik kenyataan itu. Karena pada dasarnya pendidikanku hanya sebatas kelas satu Sekolah Dasar. Bagaimana aku bisa pintar seperti Erni yang lulusan Sekolah Menengah Pertama.
“Pintar bodoh itu bukan tergantung riwayat pendidikan terakhir, iya, Mbak. Riwayat pendidikan terakhir itu cuma membuktikan pernah sekolah, bukan memastikan pernah berpikir,” tutur Erni seolah tahu apa yang kupikirkan.
Pernyataan macam apa lagi ini? Aku semakin tidak mengerti dengan maksud lawan bicaraku. Atau mungkin semua ini terjadi karena sekolahku terlalu rendah?
“Ilmu pintar dan bodohnya jadi manusia itu gak pernah diajarin di sekolahan, Mbak. Setiap manusia belajar ilmu ini itu secara autodidak melalui lingkungan dan masalah yang dihadapi. Dan Mbak satu-satunya perempuan paling bodoh yang aku kenal.”
Entah mengapa tiba-tiba emosiku tersulut mendengar penuturan Erni. Apa maksud kalimatnya ini? Apa maksudnya aku juga satu-satunya manusia yang gak pernah berpikir.
“Jangan sembarangan!” tegasku.
Perempuan pemilik rambut sebahu yang dicat pirang itu mengembuskan napas panjang, lelah. “Mbak sadar gak, sih, kalau selama ini udah jadi ATM berjalan?”
Aku diam beberapa saat, mencoba mencari jawaban yang tepat dari pertanyaan Erni. Perempuan ini memang tipikal orang yang sama sekali tidak pernah memfilter kalimat. Tidak pernah memikirkan perasaan lawan bicaranya. Dia selalu mengutarakan apa yang ada dalam hati dan otak tanpa tapi, akan mengeyel saat yakin argumennya benar.
“Aku ikhlas kok.”
Erni tertawa mengejek. “Ikhlas itu bohong, Mbak. Gak ada manusia di dunia ini yang benar-benar ikhlas dimanfaatkan, disakiti, dibuat susah hidupnya. Semut aja yang gak punya akal kalau diganggu balas gigit, eh, Mbak yang punya akal teramat sempurna kalah sama semut.”
“Aku itu cuma mau berbakti ke orang tuaku, meringankan beban mereka,” jawabku membela.
“Masih kurang berbaktinya?” tanya Erni dengan nada heran.
Aku terdiam cukup lama, tidak tahu harus menjawab apa kalimat Erni. Kalimat sesederhana itu terkesan sangat berat untukku. Karena yang kutahu surgaku ada di bawah telapak kaki Ibu, belum akan berpindah sebelum aku menikah. Jadi, sungguh, untuk pertanyaan itu aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Mbak!” panggil Erni seraya mengguncang tubuhku. Perempuan itu sadar kalau aku tegah melamun. “Ditanya malah diam.” Dia mengembuskan napas panjang. “Oke, aku simpulkan belum.”
Dia menatapku lamat. Aku ikut menatapnya. Mata kami bertemu, terkunci cukup lama. Bedanya pandangan Erni menelisik jauh, mencari fakta-fakta yang ingin diketahui dari mataku. Karena yang kutahu, perempuan di sampingku sangat percaya kalau mata tidak pernah bisa berbohong.
“Asal Mbak tahu, menjadi TKI tanpa memikirkan masa depan itu sama seperti mencalonkan diri menjadi budak selamanya.”
Bagai dihujam panah puluhan kali saat berperang, penuturan Erni sangatlah menyakitkan. Aku bungkam seribu bahasa. Tenggorokanku tercekat. Kalimat itu begitu dasyat merampas beberapa ruang penuh dalam hati, mengusir penghuni sebelumnya untuk ditempati sendiri. Bagaikan penjajah yang dengan biadapnya merampas tahta kekuasaan seorang pemimpin dengan begitu kejam. Bajingan. Erni memang bukan bajingan, tetapi kalimatnya sangatlah bajingan.
Tanpa diinginkan air mataku merembes. Aku seperti tak memiliki kemampuan membangun benteng pertahanan untuk perasaanku sendiri. Erni kembali menegaskan kalimatnya, “Menjadi TKI tanpa memikirkan masa depan itu sama seperti mencalonkan diri menjadi budak selamanya.”
Ralat, itu bukan Erni yang menegaskan, tetapi tatapan matanya.
“Tidak ada yang sudi menjadi budak seumur hidup, Mbak. Kecuali orang yang punya akal tapi menukar akalnya hanya dengan rasa kasihan.”
Air mataku merembes semakin deras. Iya, benar kata Erni, tidak ada manusia yang sudi selamanya menjadi budak, tetapi untuk kalimat selanjutnya, entahlah, aku tidak bisa sepenuhnya setuju meskipun kemungkinan besar itu kebenarannya.
“Mbak mau jadi budak seumur hidup?”
Pertanyaan itu lolos dari bibir penuh Erni dengan sangat gamblang. Aku yakin dia sudah tahu jawaban yang akan setiap orang utarakan. Namun, sungguh aku tidak tahu maksudnya menanyakan hal yang jawabannya sudah pasti ‘tidak’. Mungkinkah dia memastikan kebergunaan akalku—atau memastikan akalku kutukar dengan rasa kasihan atau tidak.
Aku menggeleng sebagai jawaban. Biar perempuan ini puas. Namun, nyatanya pikiranku salah, bukannya puas Erni malah menatapku seolah tidak yakin.
“Mbak serius?” tanyanya memecahkan kelenggangan yang sempat tercipta tanpa direncanakan. Aku mengangguk kecil. “Kalau begitu, kenapa Mbak masih bodoh?”
Erni mengalihkan pandang kesembarang arah. “Sayang gak harus bodoh, kan, Mbak. Berbakti gak harus mengorbankan diri, kan, Mbak.”
Untuk kali ini aku sangat menyetujui kalimat Erni. Penuturan perempuan itu sangatlah benar. Aku yang salah besar selama ini. Tunggu, ralat, aku tidak salah, hanya saja selama ini aku kurang paham maksud bodoh dan mengorbankan diri.
“Jangan terlalu berlebihan, Mbak.”
Aku mengangguk kecil, lantas tersenyum. “Makasih,” lirihku sebelum menyeka mata. “Aku kirim sepuluh juta aja, gak lebih.”
“Itu mah terserah Mbak.” Aku tersenyum samar mendengar jawaban tak acuh Erni. Perempuan ini memang seperti itu, tapi aku bersyukur mengenalnya.
“Aku senang bisa kenal kamu,” ucapku tulus.
“Aku enggak. Mbak terlalu baik,” jawab Erni tanpa ragu. Aku tahu persis maksud kata ‘baik’ yang Erni ucapkan. Itu sebuah ejekan untukku, aku terlalu bodoh untuk ukuran perempuan secerdas Erni.
Bersambung .....
“Masa depan kamu iya Ibu, Bapak, sama Adik-Adikmu.” -o0o-Malam semakin larut. Aku baru saja merampungkan seluruh pekerjaan lima menit lalu. Setelah mengoleskan minyak urut dan mengurut perlahan bagian tubuh yang terasa sakit, aku meraih handphone. Ada lima panggilan masuk dari Siti, adik ketigaku.Tumben sekali anak ini, batinku.Tanpa pikir panjang aku balik meneleponnya. Baru beberapa detik langsung diangkat. Suara renyahnya menyapa rungu. “Assalamualaikum, Mbak Mei Meiku tercinta.”Mei Mei, itu panggilan sayang dari perempuan beranak satu itu. Dia sengaja memanggilku Mei Mei karena terinspirasi dari kartun Upin Ipin, juga karena aku bekerja di negara tempat Upin Ipin. Kedua sudut bibirku dengan refleks terangkat sempurna. “Waalaikumsalam adik cantiknya Mbak.”Terdengar dia tertawa renyah. Aku ikut tertawa.“Kamu di mana, Nduk?” tanyaku saat tawa kami mereda.“Di rumah Ibu. Zafar setengah bulan lagi kan menikah. Mbak sudah tahu, kan?”Aku mengangguk meskipun Siti tidak melihatnya.
“Karena Ibu surgaku dan Bapak cinta pertamaku.”*** “Lasmi, bulan ini transfer lebih banyak. Kasihan adik-adikmu, jarang makan enak.” Suara lembut Ibu terdengar sedetik setelah kugeser ikon menerima panggilan.Aku tersenyum miris mendengar kalimat Ibu. Menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskan perlahan. Kembali tersenyum, kuirarkan, demi bakti. Ibu wanita hebat, dia yang telah melahirkanku mempertaruhkan nyawa. “Iya, Bu, tapi aku belum gajian,” jawabku berusaha selembut mungkin meskipun ada sayatan baru di kalbu.Namaku Lasmi. Benar kata orang, menjadi anak pertama perempuan itu berat, sangat berat. Karena kendala ekonomi, aku hanya mengenyam pendidikan kelas satu SD, sekadar bisa membaca meskipun tak terlalu lanyah dan menulis, meskipun sangat jelek; lantas keluar, membantu Bapak membuat sapu ijuk dan tali tampar. Ibuku hanya Ibu Rumah Tangga. Adikku ada empat. Diusia 18 tahun aku menjadi TKI di Malaysia karena terlalu tak tega melihat kesengsaraan keluargaku, terutama Bapak
“Apapun alasan berkorban, jangan kesampingkan diri sendiri.”-o0o-“Mbak, aku mau nikah. Mbak bantu biaya, iya.”Suara Zafar dari layar handphone menggema memasuki rungu. Kuamati wajah lelaki pemilik jambang tipis itu dari layar handphone. Mimik wajahnya terlihat penuh harap. Aku tersenyum tipis. Cepat sekali tiba-tiba dia mau menikah. Padahal saat kutinggal mengadu nasib di negara orang dia baru saja disunat.“Serius mau nikah?” tanyaku dengan kedua sudut bibir terangkat sempurna.Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya. “Iya serius lah, Mbak. Masa bercanda.” Aku terkekeh kecil. “Mbak bantu biaya, iya,” lanjutnya penuh harap.Sepertinya baru minggu lalu Erni bilang, sebentar lagi adik terakhirku akan menikah dan hanya aku yang belum. Sekarang benar-benar akan terjadi. “Usiamu masih berapa kok sudah mau menikah?” tanyaku sedikit tak rela adik bungsuku menikah diusia yang sangat muda. Terlebih dia lelaki. “Apa gak enaknya kamu kerja dulu, dikumpulkan, biar masa depanmu dan istrimu cerah
“Berkorban boleh, sewajarnya saja.”-o0o-"Emang Mbak gak pengin menikah? Berkorban buat keluarga, sih, berkorban, tapi iya jangan kebablasan. Sayang sama masa depan sendiri," ucap Erni, teman sesama TKI dari Indonesia yang kebetulan menjadi pembantu tepat di samping kanan rumah Bosku. "Iya gimana, rencana mau pulang, tapi Bapak sama Ibu sakit-sakitan," jawabku seraya tersenyum miris. Ini kenyataan pahit di hidupku.Wanita itu merubah posisi duduknya hingga dia dapat menatapku lamat. "Mbak." Aku menoleh ke arahnya. Kita saling berhadapan, "Emang Mbak gak punya saudara?""Ada, empat.""Terus?" Wajahnya terlihat menyelidik."Apanya yang terus?" tanyaku bingung."Udah pada gede kan?"Aku mengangguk. "Yang tiga udah nikah malah.""Kan!" Dia menepuk pahaku keras, membuatku menjerit kesakitan. Wanita ini memang sungguh terlalu, kalau refleks tanpa sungkan menyakiti orang di sampingnya."Apa-apaan, sih? Sakit tau!"Wanita itu tertawa renyah, dia memang mudah sekali tertawa. Sore ini kami be
“Apapun alasan berkorban, jangan kesampingkan diri sendiri.”-o0o-“Mbak, aku mau nikah. Mbak bantu biaya, iya.”Suara Zafar dari layar handphone menggema memasuki rungu. Kuamati wajah lelaki pemilik jambang tipis itu dari layar handphone. Mimik wajahnya terlihat penuh harap. Aku tersenyum tipis. Cepat sekali tiba-tiba dia mau menikah. Padahal saat kutinggal mengadu nasib di negara orang dia baru saja disunat.“Serius mau nikah?” tanyaku dengan kedua sudut bibir terangkat sempurna.Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya. “Iya serius lah, Mbak. Masa bercanda.” Aku terkekeh kecil. “Mbak bantu biaya, iya,” lanjutnya penuh harap.Sepertinya baru minggu lalu Erni bilang, sebentar lagi adik terakhirku akan menikah dan hanya aku yang belum. Sekarang benar-benar akan terjadi.“Usiamu masih berapa kok sudah mau menikah?” tanyaku sedikit tak rela adik bungsuku menikah diusia yang sangat muda. Terlebih dia lelaki. “Apa gak enaknya kamu kerja dulu, dikumpulkan, biar masa depanmu dan istrimu cerah n
“Masa depan kamu iya Ibu, Bapak, sama Adik-Adikmu.” -o0o-Malam semakin larut. Aku baru saja merampungkan seluruh pekerjaan lima menit lalu. Setelah mengoleskan minyak urut dan mengurut perlahan bagian tubuh yang terasa sakit, aku meraih handphone. Ada lima panggilan masuk dari Siti, adik ketigaku.Tumben sekali anak ini, batinku.Tanpa pikir panjang aku balik meneleponnya. Baru beberapa detik langsung diangkat. Suara renyahnya menyapa rungu. “Assalamualaikum, Mbak Mei Meiku tercinta.”Mei Mei, itu panggilan sayang dari perempuan beranak satu itu. Dia sengaja memanggilku Mei Mei karena terinspirasi dari kartun Upin Ipin, juga karena aku bekerja di negara tempat Upin Ipin. Kedua sudut bibirku dengan refleks terangkat sempurna. “Waalaikumsalam adik cantiknya Mbak.”Terdengar dia tertawa renyah. Aku ikut tertawa.“Kamu di mana, Nduk?” tanyaku saat tawa kami mereda.“Di rumah Ibu. Zafar setengah bulan lagi kan menikah. Mbak sudah tahu, kan?”Aku mengangguk meskipun Siti tidak melihatnya.
“Menjadi TKI tanpa memikirkan masa depan itu sama seperti mencalonkan diri menjadi budak selamanya.”-o0o-“Sepuluh juta aja lah, Mbak. Jangan banyak-banyak. Belum tentu waktu Mbak nikah nanti saudara-saudara Mbak itu mau nyumbang,” tegas Erni menggebu-gebu. “Jangan bodoh jadi orang, Mbak. Makin dimanfaatin nanti.”Aku mendongak menatapnya yang berkacak pinggang. “Emang ada orang yang mau manfaatin orang pinter?”Erni mengedikkan bahu sebelum menghempas pantatnya di sampingku. Dia mengembuskan napas panjang. “Iya enggak, lah, Mbak. Mana ada orang yang sanggup manfaatin orang pinter dengan sangat berlebih-lebihan. Kan dari awal udah pinter.”“Iya udah,” putusku ikut mengedikkan bahu.“Mbak.” Raut wajah Erni berubah garang. “Jangan terlalu baik jadi orang. Makin dimanfaatin nanti.”“Emang ada orang yang mau manfaatin orang jahat?” tanyaku tenang.“Iya enggak lah. Bisa-bisa sebelum berhasil manfaatin udah terlanjur dijahati. Ruginya doble dong,” jawabnya lesu.“Iya udah.”Erni mengembusk
“Apapun alasan berkorban, jangan kesampingkan diri sendiri.”-o0o-“Mbak, aku mau nikah. Mbak bantu biaya, iya.”Suara Zafar dari layar handphone menggema memasuki rungu. Kuamati wajah lelaki pemilik jambang tipis itu dari layar handphone. Mimik wajahnya terlihat penuh harap. Aku tersenyum tipis. Cepat sekali tiba-tiba dia mau menikah. Padahal saat kutinggal mengadu nasib di negara orang dia baru saja disunat.“Serius mau nikah?” tanyaku dengan kedua sudut bibir terangkat sempurna.Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya. “Iya serius lah, Mbak. Masa bercanda.” Aku terkekeh kecil. “Mbak bantu biaya, iya,” lanjutnya penuh harap.Sepertinya baru minggu lalu Erni bilang, sebentar lagi adik terakhirku akan menikah dan hanya aku yang belum. Sekarang benar-benar akan terjadi.“Usiamu masih berapa kok sudah mau menikah?” tanyaku sedikit tak rela adik bungsuku menikah diusia yang sangat muda. Terlebih dia lelaki. “Apa gak enaknya kamu kerja dulu, dikumpulkan, biar masa depanmu dan istrimu cerah n
“Berkorban boleh, sewajarnya saja.”-o0o-"Emang Mbak gak pengin menikah? Berkorban buat keluarga, sih, berkorban, tapi iya jangan kebablasan. Sayang sama masa depan sendiri," ucap Erni, teman sesama TKI dari Indonesia yang kebetulan menjadi pembantu tepat di samping kanan rumah Bosku. "Iya gimana, rencana mau pulang, tapi Bapak sama Ibu sakit-sakitan," jawabku seraya tersenyum miris. Ini kenyataan pahit di hidupku.Wanita itu merubah posisi duduknya hingga dia dapat menatapku lamat. "Mbak." Aku menoleh ke arahnya. Kita saling berhadapan, "Emang Mbak gak punya saudara?""Ada, empat.""Terus?" Wajahnya terlihat menyelidik."Apanya yang terus?" tanyaku bingung."Udah pada gede kan?"Aku mengangguk. "Yang tiga udah nikah malah.""Kan!" Dia menepuk pahaku keras, membuatku menjerit kesakitan. Wanita ini memang sungguh terlalu, kalau refleks tanpa sungkan menyakiti orang di sampingnya."Apa-apaan, sih? Sakit tau!"Wanita itu tertawa renyah, dia memang mudah sekali tertawa. Sore ini kami be
“Apapun alasan berkorban, jangan kesampingkan diri sendiri.”-o0o-“Mbak, aku mau nikah. Mbak bantu biaya, iya.”Suara Zafar dari layar handphone menggema memasuki rungu. Kuamati wajah lelaki pemilik jambang tipis itu dari layar handphone. Mimik wajahnya terlihat penuh harap. Aku tersenyum tipis. Cepat sekali tiba-tiba dia mau menikah. Padahal saat kutinggal mengadu nasib di negara orang dia baru saja disunat.“Serius mau nikah?” tanyaku dengan kedua sudut bibir terangkat sempurna.Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya. “Iya serius lah, Mbak. Masa bercanda.” Aku terkekeh kecil. “Mbak bantu biaya, iya,” lanjutnya penuh harap.Sepertinya baru minggu lalu Erni bilang, sebentar lagi adik terakhirku akan menikah dan hanya aku yang belum. Sekarang benar-benar akan terjadi. “Usiamu masih berapa kok sudah mau menikah?” tanyaku sedikit tak rela adik bungsuku menikah diusia yang sangat muda. Terlebih dia lelaki. “Apa gak enaknya kamu kerja dulu, dikumpulkan, biar masa depanmu dan istrimu cerah
“Karena Ibu surgaku dan Bapak cinta pertamaku.”*** “Lasmi, bulan ini transfer lebih banyak. Kasihan adik-adikmu, jarang makan enak.” Suara lembut Ibu terdengar sedetik setelah kugeser ikon menerima panggilan.Aku tersenyum miris mendengar kalimat Ibu. Menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskan perlahan. Kembali tersenyum, kuirarkan, demi bakti. Ibu wanita hebat, dia yang telah melahirkanku mempertaruhkan nyawa. “Iya, Bu, tapi aku belum gajian,” jawabku berusaha selembut mungkin meskipun ada sayatan baru di kalbu.Namaku Lasmi. Benar kata orang, menjadi anak pertama perempuan itu berat, sangat berat. Karena kendala ekonomi, aku hanya mengenyam pendidikan kelas satu SD, sekadar bisa membaca meskipun tak terlalu lanyah dan menulis, meskipun sangat jelek; lantas keluar, membantu Bapak membuat sapu ijuk dan tali tampar. Ibuku hanya Ibu Rumah Tangga. Adikku ada empat. Diusia 18 tahun aku menjadi TKI di Malaysia karena terlalu tak tega melihat kesengsaraan keluargaku, terutama Bapak