Waktu makan malam tiba, Pangeran Hitam dan Ratu Zaina terlihat berjalan bersama menuju ruang makan. Para pengawal dan pelayan melihat mereka seakan takjub, sosok Ratu Zaina sangat cocok bersanding dengan Pangeran Hitam. Ratu Zaina memiliki fisik yang tinggi untuk seorang wanita, dengan ukuran tubuh yang semampai itu ia berada tepat di bawah dagu Pangeran Hitam, membuat mereka secara raga ditakdirkan satu sama lain. Persis seperti pasangan dewa-dewi dari kuil Yunani.
Amanda berdiri beberapa langkah tak jauh dari Pangeran Hitam dan Ratu Zaina. Hatinya cukup teriris perih saat beberapa pelayan yang ia dengar membicarakan kedua orang itu.
“Ah betapa cocoknya.”
“Benar-benar pasangan yang serasi, mereka seperti ditakdirkan berdua.”
“Aku berharap mereka berakhir berdua, kud
Dukung penulis dengan VOTE dan bintang 5 ya ⭐⭐⭐⭐⭐ Di tunggu komentarnya kak ^^
“Itu hal yang sangat menguntungkan Kerajaan Eden,” sahut Illarion. “Sekaligus bencana,” timpal Ratu Zaina. “Beberapa kerajaan tetangga mulai mengincar rahasia pengobatan Eden, bukan hanya para tabib, dan kitab, tapi juga sumber daya alam kami yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan obat. Negeriku terkenal dengan armada lautnya yang kuat, tapi di darat kami tak bisa begitu mengandalkan kekuatan militer. Karena itu militer Anarka yang terkenal mampu melibas siapapun membuatku sangat tertarik. Aku memilih Anda untuk melindungi kami.” “Sayang kau tak memilih Landyork,” protes pura-pura Apollo. “Bukankah memilih yang terkuat adalah suatu keharusan?” tanya Ratu Zaina balik tanpa membalas hal itu sebagai suatu candaan. Menanggapi pernyataan Ratu Zaina, Ill
"Jadi hanya karena perjanjian belaka," gumam Ratu Zaina sambil mengerlingkan matanya ke arah Amanda. Kembali gadis itu buru-buru menunduk. Entah sudah berapa kali Amanda tertangkap mata oleh Ratu Zaina, menatap pria berambut kelam di saat Illarion tak melihatnya. Saat pagi tiba, seperti biasa Amanda menuju gazebo taman utara Istana Hitam untuk sarapan bersama. “Amanda!” sapa Apollo hangat. Hanya pria itu sendirian, berdiri dengan tangan melambai-lambai. Makanan sudah dihidangkan dan masih hangat. Menangkap ekspresi bingung dari wajah Amanda, Apollo langsung menjelaskan. “Pangeran Hitam dan Ratu Zaina diminta menghadap ke istana utama, menemui Baginda Raja.” “Oh …,” jawab Amanda singkat.
Ratu Zaina tertawa, “kau membuatku terkejut. Kukira Ratu Minerva memberikan pembantunya untuk dinikahi oleh Pangeran Hitam.” “Aku sih tidak keberatan kalau pembantu itu secantik Amanda, tapi tentu saja Amandaku adalah seorang putri bangsawan,” sergah Pangeran Apollo yang hendak meletakan tangannya di bahu Amanda. Namun gagal, tangan gadis itu langsung ditarik oleh Pangeran Hitam, hingga Amanda terseret beberapa langkah dari tempatnya. “Amandaku,” desis Illarion pelan. “Bergunjing dengan teman saat pelajaran memanah itu tak baik, aku akan membantumu mengingatnya,” sindir Illarion sambil mengukung Amanda dari belakang. Meraih tangan gadis yang jauh lebih mungil dari ukuran tangannya untuk menggenggam lengkungan busur, dan tangan lainnya ikut mengarahkan untuk menarik tarik busur.
“Aku permisi dahulu,” pamit Amanda dan berdiri dengan kikuk. ‘Kenapa juga aku duduk di sini.’ “Kemana?” tanya Illarion. ‘Ia tersinggung? Tapi kenapa ia tak marah?’ “Makan, bolehkah Tuan?” Amanda tidak lapar, tapi ia tahu jika seseorang tak nyaman dengan kehadirannya. Bayangkan saja, ia sudah merasakan hal ini hampir sepanjang hidupnya, Amanda sangat peka. ‘Dan si malaikat itu menyindirku terang-terangan Tuan Tampan, aku tidak bisa duduk di sini.’ ‘Ia benar-benar tak bisa marah?’ Illarion melihat Amanda tertawa canggung. “Duduk di sini, aku ak
Illarion langsung beranjak dari tempatnya menuju ke arah Amanda. “Apa kau begitu lapar sampai menangis?!” tanyanya dengan nada tinggi. “Ayo!” ajaknya sambil menarik tangan Amanda. Gadis itu setengah berlari mengikuti langkah Pangeran Hitam yang menyeret tubuh mungilnya. ‘Apa yang akan pria ini lakukan?’ Bersamaan dengan pikiran kalut Amanda, air matanya malah mengalir semakin deras. ‘Aku takut.’ Para koki istana langsung bersiap panik saat Pangeran Hitam ada di lorong istana menuju dapur. Pria itu melangkah masuk setelah menendang pintu dapur. “Duduk.” perintah Illarion pada Amanda sambil menunjuk kursi kayu di sampingnya. Kembali ia berdehem, sebelum mengulang kata-katanya. "Duduk …," ucap Illarion, kali ini jauh lebi
“Amanda!” panggil Ratu Zaina sambil berjalan dengan anggun ke gadis berkulit seputih salju itu. “Kau diminta ke istana utama, Baginda Raja ingin menemuimu.” “Aku?” tanya Amanda sambil mendongakan kepalanya menatap Ratu Zaina yang jauh lebih tinggi darinya. ‘Ada apa? Selain saat perkenalan setelah pernikahan kemarin, aku tak pernah diminta bertemu dengan Baginda Raja.’ “Kita pergi bersama ya? Kereta kuda sudah siap. Aku juga diminta ke istana utama.” Amanda mengangguk dan berjalan di belakang Ratu Zaina, karena wanita itu langsung berbalik meninggalkannya. Sesampai di istana utama Ratu Zaina melangkah lebih dahulu, membuat Amanda berjalan di belakangnya. “Istri Pangeran Hitam sepert
Amanda terlonjak kaget, "Ma-maafkan hamba," ujarnya seraya merunduk. 'Dia adalah pria yang terlihat berdebat dengan Tuan sebelum penyerangan di pesta dansa!' "Jangan sungkan, aku kakak iparmu," ucap pria berambut abu gelap bergelombang itu, senyum menawan mengembang dari wajahnya. "Pangeran Alexander," lanjutnya memperkenalkan diri seraya menyodorkan tangan kanannya untuk berjabat. "Amanda White Broke," balas Amanda sambil membungkuk hormat dan menarik gaunnya ke kedua sisi tanpa menjabat tangan kanan Alexander. 'Ia sama sekali tak mirip Pangeran Hitam atau Baginda Raja kecuali rambut mereka sama-sama berwarna abu gelap.' "Kau akan bertemu Raja?" Amanda menggeleng. "Aku ha
“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Ratu Zaina membuka percakapan di dalam kereta kuda, saat perjalanan balik ke istana hitam. “Pangeran Alexander sangat menyayangi adiknya, ia berharap bisa berbaikan segera dengan Pangeran Hitam,” jawab Amanda prihatin. Ratu Zaina nyaris tertawa mendengarnya, tapi melihat Amanda mengungkapkan hal itu dengan nada sedih, ‘ia benar-benar memberi tahu pembicaraan mereka kepadaku dengan mudahnya, dan memang aku akan percaya hal itu?’ Ia jadi tergelitik untuk bertanya. “Kau akan membantunya?” “Sepertinya, walau hamba tak begitu yakin akan hal ini, Ratu.” ‘Ternyata istri Pangeran Hitam hanya gadis kecil naif yang mudah dibodohi.’