“Anda tidak bisa.”
“Maaf, Tuan. Kami tak ingin Anda juga terkena penyakit ini. Anda adalah orang penting, kami benar-benar tak ingin tuan tertular.”
“Ritual sangat sakral dan tidak bisa ada orang luar.”
Para tabib saling sahut menyahut menolak permintaan Illarion.
“Aku akan ikut atau kalian tak akan mendapatkan apa yang kalian inginkan,” ancam Illarion dingin. Tentu saja selain tumbal, para tabib ekstrim terkenal dengan bayaran mahal mereka.
Pemimpin tabib itu terlihat gentar, ia berpaling ke arah teman-temannya. Salah satu tabib maju ke depan Illarion.
“Kalau begitu kami tak akan melakukan ritual apa pun. Aku harap Anda bisa menerima bertambahnya korban dengan lapang dada h
Terima kasih telah membaca. Dukung penulis dengan VOTE novel ini ya ^^
“Haus…,” erang salah satu dari mereka. Amanda tersenyum dan menyodorkan botol minumnya pada wanita itu. Beberapa dari mereka bergerak dan menginginkan hal yang sama. “Lapar... haus… Nona!” “Tolong beri aku air….” Amanda berdiri dari tempatnya. “Mundur! Kembali ke tempat kalian masing-masing! Aku akan memberikan kalian makanan dan minuman asal kalian tertib!” Entah bagaimana ketegasan tiba-tiba muncul di dirinya. 'Bergaul dengan Pangeran Hitam rupanya membuatku lebih berani, huh,' batin Amanda sembari tersenyum. “Apa aku akan sembuh nona? Begitukah kata para tabib?” tanya wanita yang Amanda beri minum itu.
"Bukankah Anda mengirimku ke sini untuk menjadi tumbal? Bolehkah aku saja yang merawat mereka. Beri aku waktu dan jangan membakar kami," pinta Amanda. Para pasien memberikan reaksi beragam mendengar permintaan Amanda. "Kita akan segera mati, untuk apa ia merawat kita?" "Aku ingin hidup walau hanya seminggu lebih lama…." Amanda melihat wajah-wajah semangat dan putus asa yang silih berganti bermunculan di tempat itu. "Aku tak akan menumbalkan mu, begitu juga orang-orang di dalam sana. Kau tahu obat yang kau buat kemarin, kurasa itu antibiotik yang tepat untuk mereka." Para pasien di dalam sana mulai bergumam pelan. "Ada obat untuk kita?"
Tiba-tiba seorang nenek yang tadi menatap Amanda melangkah kedepan. “Umurku tak lama lagi, tapi aku bersedia menjadi sukarelawan merawat mereka.” Setelahnya beberapa orang mulai maju di belakang si nenek. Duke Gramer terlihat geram, apalagi setelah pria tua itu dibisiki oleh pemimpin tabib. “Apa Pangeran mau menanggung akibatnya jika Dewa marah dan menimpakan lebih banyak korban?” Illarion berjalan mendekat ke arah Duke tua itu. “Sudah beberapa kali kubilang, aku bersedia. Berikan aku waktu satu minggu, dan jika aku berhasil Anda harus terus mendukungku dalam pengambil alihan kekuasaan ini.” Illarion tahu, walau tanpa berkata seperti itu pun, jika ia bisa mengatasi masalah wabah ini, maka warga sendiri yang akan tetap membelanya. Tak peduli apa kata Duke Gramer yang menguasai daerah tempat tinggal mereka.
Tanpa Amanda ketahui itu adalah tatapan kagum, pandangan yang penuh penghormatan dan pengharapan. Seolah gadis dengan rambut putih yang melambai lambai itu adalah seorang juru selamat, saintess. Amanda berhenti beberapa langkah di depan Illarion, menjaga jarak. Tentunya gadis itu tak ingin pria yang mampu membuat jantungnya berdebar kencang itu sakit karena tertular melalui perantaranya. “Setelah kau mandi dan berganti pakaian, aku akan membantumu meracik cairan obat dalam porsi yang lebih besar,” ucap Illarion setelah melihat Amanda menunggu perintahnya. Gadis itu mengangguk sembari tersenyum, kali ini dengan senyuman yang lebih bercahaya ketimbang sebelum belumnya. ‘Tak menjadi tumbal kemudian tak jadi mengorbankan warga desa yang sakit karena pengaruh pr
Semburat kemerahan langsung menerpa wajah pucat Amanda, manik ungunya bergetar melempar pandangan ke arah lain dengan malu-malu. “Ti-tidak ada, aku akan kembali ke kamar,” ucap Amanda gugup dan langsung berbalik, membuat tangan Illarion di pergelangan tangannya terlepas. Pria tampan itu kembali melihat punggung gadis mungil itu yang berjalan menjauhinya, sebuah napas berat dihembuskan oleh Illarion. “Ck! Apa sih yang aku pikirkan…,” gumamnya. “Aku tak boleh bahagia, dan melupakan balas dendam ini,” ucap pria dengan manik kelam itu. Bayangan ketika ibunya terbakar dan menjerit-jerit mengatakan ‘balaskan dendamku Illarion!’ selalu menjadi mimpi di tiap-tiap malam pria itu. “Aku ingin tidur dengan tenang. Lagi,” gumam pelan Illarion sembari kembali mengaduk cairan
Amanda hanya diam saja menanggapinya. Beberapa wanita tampak berbisik-bisik mendengar pertanyaan Duke Gramer. Melihat orang-orang mulai menyimak pembicaraannya bangsawan tua itu makin gencar melecehkan Amanda. “Ia benar-benar tak bisa melupakan anakku, tentu saja, sudah seharusnya. Sial sekali Pangeran Hitam harus menikahi wanita sepertimu, setelah sebelumnya menikahi putriku. Dibandingkan penampilan anehmu kalian seumuran tapi kau benar-benar sangat tak menarik, hingga ia tak tertarik untuk menyentuhmu.” Amanda menggigit bibirnya, ia sedari tadi pura-pura tak memperhatikan bangsawan tua itu. Setelah menjelaskan cara penggunaan obat pada salah seorang warga desa di depannya, gadis itu kembali berkata dengan rasa sakit di dada. “Tuan, jika Anda butuh obat akan kusiapkan. Tapi-” “Melihat keahlianmu membuat obat, ku
Illarion menaikkan sebelah alisnya, tak menyangka perkataannya yang akan membawa jenazah Dutchess dari Elger lebih disetujui Duke Gramer ketimbang mengubur istrinya di Lembah ini. ‘Yah apapun itu, baguslah kalau begitu.’ Saat Pangeran Hitam sedang berjalan ke penginapannya menjelang malam, ia mendengar segerombolan warga desa yang berkumpul di tenda dapur darurat. “Kasian sekali gadis itu, dan ia hanya diam saja mendengar segala hinaan itu. Tapi yang aku lihat di penginapan pun kamar mereka terpisah” “Walau penampilannya mengerikan, tapi sampai mengatakan Pangeran Hitam harus meminum obat perangsang hanya untuk tidur dengannya, kurasa itu sangat keterlaluan.” “Apa
Sementara itu Amanda sibuk mencari alas untuknya tidur. Di lantai terasa sangat menusuk terutama saat masuk musim dingin seperti ini. ‘Aku tak boleh sakit, karena besok masih harus membagikan obat pada para pasien.’ “Ia kenapa tak tidur di kamarnya sendiri sih?” gumam Amanda. “Aku tak ingin ada gosip buruk yang menyebar tentang hubungan kita” bisik Illarion yang tiba-tiba sudah ada di samping Amanda. Gadis itu langsung terjungkal dari tempatnya karena terkejut. “T-tuan!” Melihat Amanda begitu kaget dengan ekspresi yang sangat lucu, Illarion malah tertawa keras. ‘Tampan sekali,’ puji Amanda dalam hati melihat Pangeran tampan dekat kedua lesung yang terbentuk di pipinya. Gadis itu bahkan melupakan fakta bahwa pria i