Wanita itu memutuskan untuk tidak mengangkat ponselnya. Setelah dering itu berhenti, Luisa buru-buru mematikan benda pipih miliknya itu. Ia benar-benar tidak mau diganggu oleh siapapun, termasuk Levi. Kini Levi adalah suami orang dan ia bukan wanita tidak punya pekerjaan yang iseng menggoda suami orang. Tok! Tok! "Luisa, ini Papa." Suara papanya terdengar di balik pintu kamar. Luisa bergegas membukakan pintu. "Ya, Pa." Papanya masuk ke dalam kamar sambil tersenyum. "Ada apa, apa Papa sakit?" tanya Luisa yang memang selalu khawatir dengan keadaan sang Papa sejak terakhir koma hampir tiga minggu. "Tidak. Papa baru saja dapat telepon dari Levi. Papa lupa memblokir nomornya waktu itu. Maafkan, Papa." Luisa mendesah kecewa. "Papa bilang apa?" tanya Luisa. "Papa bilang, kamu sudah tidur dan memang ganti nomor. Saat dia minta nomor kamu, Papa gak kasih karena Papa bilang, kamu ga mau diganggu dulu dan ingin menenangkan diri. Benar begitu kan?" gadis itu baru saja suudzon dengan papany
Flashback"Polisi? Maaf, sepertinya Bapak-bapak salah orang. Di sini saya dan.... ""Mari, ikut kami ke depan, Bu. Bisa dijelaskan di kantor polisi nanti. Lalu untuk Pak Edmun yang sekarang sedang sakit, akan ada petugas yang berjaga di depan. Anda juga akan dimintai keterangan Pak Edmun.""Pak, Bapak salah orang! Kalian salah tangkap. Siapa yang.... ""Mari silakan jalan sendiri keluar atau kami borgol dan jadi bahan tontona orang-orang?" ancaman itu membuat nyali Cristy bingung. Sekilas ia melihat ke arah Edmun yang masih tergolek pasrah. Suaminya belum pulih dan kini ia harus dibawa ke kantor polisi. "Bawa tas dan sita ponselnya!" kata petugas berbadan tambun pada salah satu anak buahnya. "Hei, apa yang kalian lakukan? Kalian gak bisa.... " percuma saja Cristy mencoba menahan gerakan petugas kepolisian itu karena tas dan ponselnya sudah disita. Wanita itu menggeram, saat ia melihat dua anak buahnya yang berjaga di luar kamar perawatan tengah menunduk dan dijaga ole seorang polisi
"Tuan mau makan? Biar saya ambilkan, " ucap Rana saat ia membuka pintu kamar dan melihat suaminya tengah sibuk di depan laptop. Karena tidak ada jawaban, Rana mengira bahwa suaminya tidak mendengar ucapannya. Gadis itu memutuskan untuk menghampiri Levi. "Tuan, apa Tuan mau makan?" "Saya gak suka dengar suara kamu yang jelek itu! Jangan bicara dekat-dekat saya! Sana jauh!" Levi mendorong keras tubuh Rana hingga gadis itu terhuyung dan jatuh duduk di atas ranjang. "Maaf, Tuan." Rana kembali bangun dari duduknya, lalu melesat keluar dari kamar. Bu Hera melihat apa yang dilakukan putranya pada sang Istri. Bukannya ia tidak tahu Levi itu galak, nekat, terlalu berani, dan tidak ada belas kasih, kecuali pada wanita bernama Luisa. Ia berpura-pura menata tanaman hias di atas bufet, saat Rana keluar dari kamar. "Ada apa, Rana?" tanya Bu Hera pura-pura tidak tahu. "Ah, tidak apa-apa, Nyonya. Saya mau ke dapur sebentar.""Mau apa? Pekerjaan rumah tangga ini sudah dikerjakan oleh bibik. Kam
"Kalian gila ya, menyekap perempuan yang lagi hamil?! Aku akan balas semua ini, lihat saja!" Cristy terus berteriak dari dalam ruangan kosong, tempat ia disekap. Ini adalah hari ketujuh ia di dalam sana. Meskipun ia diberikan makan, tetapi ia tidak bisa keluar ke mana pun. Terkurung di kamar yang hanya bisa dibuka dengan password. "Siapa kalian sebenarnya?! Hei, bangsat!" Wanita itu trus meracau kesal, terkadang disertai makian karena rasa marah dan tidak terima di ruangan kosong tanpa udara. Hanya ada kipas angin saja dan sebuah ranjang. Dua orang pria yang berjaga di luar hanya bisa menggelengkan kepala mendengar makian wanita yang mereka sekap. Keduanya juga tidak tahu, harus sampai kapan mereka menjaga wanita itu. "Bosen juga di sini nungguin perempuan berumur yang mulutnya pedes banget, " kata salah seorang dari dua penjaga itu. "Bisa dibayangkan yang jadi suaminya. Kayaknya tuh cewek dominan. Kenapa harus disekap ya? Disekap tapi di kasih makan. Aneh bos Levi mah.""Iya, nam
"Pak Levi, apa kabar? Oh, iya, kenalkan ini Abdi, pacar saya." Luisa tersenyum canggung. Abdi mengangkat tangan ingin berjabat, tetapi Levi malah menatapnya sangat mengerikan. Mungkin bagi sebagian pria nyalinya akan menciut saat ditatap tajam oleh pria yang dari wajahnya saja begitu dingin dan killer, tetapi bagi Abdi, ia biasa saja. Ada banyak bandit yang ia temui. Karena Levi tidak kunjung menyambut tangannya, Abdi pun menggandeng tangan Luisa untuk melanjutkan perjalanan. "Tunggu!" Levi mencengkeram pundak Abdi. Jelas sekali terlihat karena buku jari tangannya memutih. Luisa mendelik kaget karena apa yang dilakukan Levi pada om sambungnya. Srak!Satu kali gerakan tangan, Abdi mampu memelintir tangan Levi hingga pria itu berjinjit menahan sakit. "Baiklah, jadi begini maunya cara berkenalan kita. Kenalkan saya Abdi. Pacar sekaligus calon suami Luisa. Saya harap, kalian bisa move on, jalani hidup masing-masing. Oh, iya, suami baik-baik tidak akan menggoda wanita lain." Sekali ger
"Sepertinya Pak Levi yang mengikuti kita," kata Abdi sambil terus menatap mobil yang ada di belakang mereka dari spion. Luisa pun menoleh ke belakang dengan kaget. Napasnya mendadak naik turun karena takut. "Kita mampir ke mal saja. Kita nonton, gimana?" tanya Abdi memberikan saran. "Ya ampun ide Kakang benar. Ayo, kita ke mall! Di depan sana ada mall yang ada bioskopnya." Abdi mengangguk. Laku mobil sedikit lebih dekat dari yang sebelumnya. "Anggap saja kita tidak tahu kalau dibuntuti dan jangan lupa kalau kita masih harus berlakon ya, Kang," ujar Luisa mengingatkan. "Siap, saya akan akting secara totalitas," jawab Abdi denga antusias. Kapan lagi bisa jalan dengan cewek cantik, masih muda, baik, janda pula. Tentu saja ia tidak mau melewatkannya. "Bagus, berarti kalau totalitas, nonton bioskop kamu yang bayar ya, ha ha ha.... " "Iya, Non. Siap. Tapi hanya nonton saja ya. Kita gak makan di sana." Luisa mengangguk semangat. Begitu tiba di lobi parkiran lantai dasar, Abdi dan Lu
Levi pulang ke rumah dengan wajah masam. Hari ini ia gagal mengetahui di mana Luisa tinggal. Jika saja ia bisa lebih sabar dalam menghadapi wanita itu dan pacar kontraknya, maka dapat dipastikan ia segera mengetahui alamat Luisa. Kini, entah kapan lagi ia bisa bertemu dengan wanita yang selalu menjadi obsesinya itu . Ia sangat sulit menyingkirkan Luisa dari benaknya. Apalagi dua kali pernah melewati malam panas yang menggairahkan bersama gadis itu. Tidak masalah tidak perawan, asalkan wanita itu adalah Luisa. "Berhasil menguntit Luisa?" tanya Bu Hera yang tiba-tiba keluar dari kaamrnya, saat Levi hendak menaiki anak tangga. Pria itu terdiam di tempatnya. Dari mana mommynya tahu? Apa dari Luisa? Berarti semalam Luisa tahu kalau ia dibuntuti? "Saya hanya ingin tahu di mana rumahnya, Mom, " jawab Levi santai. "Lalu setelah tahu?" Bu Hera melipat kedua tangannya di dada. "Kamu mau main ke sana dan menganggu wanita itu lagi? Kamu udah punya istri. Ingat itu Levi! ""Ya, saya punya is
Moment yang sangat ia nantikan adalah sidang cerai yang ia sempat ajukan dahulu. Untunglah Om Hendro bertugas di Pengadilan Agama, sehingga bisa membantu mempercepat proses sidang yang akun berlangsung hari ini, tepat pukul sebelas. Luisa diantar oleh papanya, ibu sambungnya, dan juga calon suaminya, Abdi. Edmun tentu saja tidak hadir karena pria itu di penjara. Semua urusan akan lebih cepat selesai karena pihak tergugat tidak pernah datang. "Yang nganter ramai sekali ini, kayak bukan mau nganter sidang cerai, tapi nganter wisuda," ledek Om Hendro yang tengah berhabat tangan dengan Pak Darmono, lalu keduanya berpelukan. Teman lama yang masih sangat dekat dengan papa Luisa itu. Luisa dan yang lainnya pun ikut bersalaman dengan Pak Hendro. Luisa merasa sangat beruntung kenal dengan pria bernama Hendro, bahkan sejak ia masih SMP. "Sepuluh menit lagi giliran kamu masuk Luisa. Jadi ke mana-mana," kata Pak Hendro pada wanita itu. "Baik, Om. Makasih banyak udah tolongin Luisa. Nanti di