Suasana ruang sidang sangat menegangkan saat itu sebab hari ini merupakan hari di mana sang hakim akan segera membacakan putusan.Kursi-kursi peserta sidang sudah terisi. Di bagian kanan paling depan, Luisa duduk ditemani Pak Darmono, berharap putusan hakim tidak mengecewakannya. Sementara di bagian kiri, sang ibu dari terdakwa bersama Rana yang merupakan istrinya tengah menangis, tak sanggup menghadapi ini semua. Dan tangis mereka semakin pecah saat Levi yang merupakan terdakwa memasuki ruangan sidang.Suasana tiba-tiba menjadi riuh, para awak media tak mau kehilangan kesempatan untuk mengambil gambar dan video saat Levi memasuki ruangan. Hingga di depan mereka sang hakim akan memulai sidang saat ini, barulah mereka terdiam.Di depan sana hakim ketua membuka sidang seraya menyampaikan bahwa acara sidang kali ini adalah pembacaan putusan. Acara yang sangat ditunggu oleh semua peserta, terutama Luisa. Lagi dan lagi ibu Levi menangis, tak sanggup melihat putranya yang akan segera diberi
Beberapa hari setelah sidang terakhir itu Luisa terus menebar senyuman. Inginnya dia bergembira bersama sang suami, tapi nyatanya dia merasakan itu seorang diri. Abdi bahkan tak mengerti apa yang terjadi beberapa hari ini setelah memperhatikan wanita yang mengaku istrinya itu terlihat tak seperti biasanya.Memang Luisa kini jadi lebih menerima, dia juga lebih semangat membuat ingatan Abdi kembali. Tak seperti sebelumnya yang diam-diam sering menangis, kadang merasa putus asa dan tak bersemangat. Namun, kali ini tidak. Luisa merasa kebahagiaan lainnya di depan mata akan segera menyusul.Sempat terjadi di suatu malam Luisa mencoba mengungkapkan kebahagiaannya itu dengan kembali menggoda sang suami. Namun, begitulah Abdi, keras kepala dan masih saja menganggap Luisa orang asing yang murahan. Tidak seperti sebelumnya terjebak dalam perangkap Luisa, kini Abdi lebih bisa menahan diri dan terus menjaga jarak bahkan setelah melihat tubuh seksi istrinya. Hingga akhirnya tak tahan, Abdi justru
"Maafkan saya," kata Abdi begitu ia tersadar setelah mengarungi samudra dan lautan nikmat bersama sang Istri yang juga kelelahan bersamanya."Kamu itu suamiku. Jadi ngapain minta maaf? Lagian ini kewajiban kamu juga kasih nafkah sama aku." Luisa berbalik sambil memeluk guling. Ia sudah membersihkan tubuhnya, bahkan langsung mandi hadas besar, tetapi suaminya belum. Abdi masih merenung memikirkan apa yang telah mereka lalui."Maafkan saya karena belum bisa kembali seperti Abdi yang kamu kenal," katanya lagi. Luisa berbalik, lalu tersenyum."Mandi, lalu tidur. Biar besok segar lagi. Aku juga ngantuk. Suamiku perkasa sekali sampai-sampai aku kelelahan he he he ...." Luisa sudah bodo amat dengan ekspresi suaminya. Ia tidak tahan lagi untuk memejamkan mata karena ini sudah sangat malam. Keesokan paginya, Luisa keluar dari kamar dengan tubuh yang segar. Begitu juga Abdi. Mereka bergabung dengan Pak Darmono dan Nisa di ruang makan. Sudah ada bibik yang datang jam setengah enam pagi, lalu pu
Tanah merah sudah menggunung di atas pusara milik Pak Darmono. Mungkin sebagian keluarga sudah bisa menebak akan hal ini, tetapi mereka tidak menyangka akan secepat ini. Terutama Jelita yang begitu syok. Papanya sudah tidak ada lagi menemaninya di rumah. Bukam karena urusan bisnis, tetapi karena mereka sudah tidak berada di alam yang sama. Satu-satunya saudaranya tersisa Bu Gina dan para sepupunya yang berjumlah tiga orang. Dua minggu setelah tantenya menanyakan hubungannya dengan Syabil, kondisi Juragan Andri benar-benar drop. “Ma, Papi Andri sakit apa sebenarnya? Waktu itu kata Mama, papi sudah agak mendingan,” tanya Aryo, anak lelaki bungsu wanita itu. bagi Aryo, Vio, dan juga Meli, papa dari Jelita memang mereka panggil dengan sebutan papi. Karena papi mereka sudah tidak ada sejak mereka kecil, hanya pada Juragan Andri ketiganya menggantungkan hidup, termasuk sekolah. Sampai semuanya lulus sarjana, berkat jasa kakak dari mama mereka. Tentu saja ketiganya terpukul. Vio yang ber
Semua warga sudah pulang ke rumah masing-masing. Tenda kursi pun sudah dirapikan, ditumpuk tinggi agar besok, saat tahlilan lagi, tinggal diturunkan saja. Tikar dan karpet pun sudah masuk ke dalam rumah dan disimpan di rumah tengah. Namun, rumah juragan tidak sepi. Masih ada Udin, Yadi, Pak Hasan, bahkan Rinai masih di sana. Begitu juga Mbok Nah. Semua berkumpul di meja makan untuk berbincang sebelum semua kembali pada aktivitas masing-masing.Wajahnya pada sendu tak bercahaya. Semua sedih dengan meninggalnya majikan mereka. Suara pintu dibuka, semua menoleh ke lantai atas. Jelita turun digandeng oleh Syabil. "Mbok, buatkan saya air jahe. Tenggorokan saya sakit dan pedih banyak menangis," pinta Jelita dengan suara serak. "Boleh, Non, tunggu sebentar ya.""Mbok, nyalakan saja kompornya, terulus kembali ke sini lagi. Sambil bawa jahe aja, kupas di sini," titah Jelita lagi. Mbok Nah melakukan seperti yang diperintahkan majikannya."Bagaimana perasaan kalian? Pasti syok, sama seperti sa
Sebulan berlalu Abdi masih dalam mode ingatan yagbbekum kembali. Luisa masih bersabar terhadap hal itu, meskipun terkadang ada rasa lelah menderanya. Dalam keadaan hamil lima bulan, ia berusaha kuat, tegar mendampingi suaminya yang belum juga mengenali dan ingat padanya. Sebuah lamaran yang ia kirim ke kantor media redaksi, dibalas oleh pihak kantor tersebut. Akhirnya, setelah sekian lama menjadi nona dan nyonya, akhirnya ia diterima bekerja. Email yang baru ia baca subuh, ternyata mengatakan bahwa ia harus diwawancara pagi ini jam delapan. Luisa pun mandi dan bergegas mengganti pakaian. Abdi sejak tadi memperhatikan istrinya yang terus sibuk dengan wajah cerah ceria . "Mau ke mana? " tanya Abdi. "Mau wawancara kerja.""Kamu lagi hamil, emangnya bisa kerja?" Luisa tersenyum, kemudian mengangguk. "Kerja jadi editor media online. Bisa dikerjakan di rumah. Dari pada nganggur, nungguin suami yang gak inget sama istri, lebih baik saya kerja. Biar otak saya fresh, sehingga bayi saya
Sudah dua bulan sejak Levi diputuskan penjara selama sepuluh tahun dan selama itu pula, istri dan mommy-nya rajin menjenguk. Rana tinggal bersama ibu mertuanya, merawat Bu Hera yang kesehatannya perlahan menurun setelah Levi dipenjara. Beberapa kali beliau terserang demam, sariawan, asam lambung, dan pernah juga terjatuh saat tersandung karpet di ruang tamu. Daya tahan tubuhnya perlahan menurun karena terus memikirkan nasib putra semata wayang yang masih sepuluh tahun kurang tiga bulan lagi mendekam di penjara. Ia merawat dengan penuh cinta kasih karena mertuanya pun juga menyayanginya layaknya anak sendiri."Hari ini kamu gak jenguk Levi?" tanya Bu Hera."Nggak, Ma. Saya jenguk sesuai jadwal saja. Kalau sesuai jadwal, gak perlu bayar ke petugas, Ma. Kalau kita diluar jadwal, jadi kena bayar uang administrasi. Sayang uangnya, lebih baik disimpan untuk Mama yang lagi kurang sehat. Bisa untuk lahiran ini nanti juga." Rana memegang perutnya yang masih rata. Bu Hera tersenyum."Benar ju
“Assalamualaykum.” Rinai mengucap salam dari depan pintu rumah.“Wa’alaykumussalam. Eh, Rinai. Pak, Rinai pulang!” seru Bu Surti yang tidak lain adalah ibu dari Rinai. Ia menyambut anak gadis tengah yang baru lagi ini pulang setmah setengah tahun bekerja di Juragan Andri.“Alhamdulillah, anak Bapak udah pulang.” Pak Yanto juga menyambut putrinya dengan senang. Meskipun Rinai bekerja hanya berjarak satu kilometer saja dari rumah, tetapi Rinai memabg tidak pernah pulang ke rumah. Itu perjanjian yang ia sepakati dengan Jelita sewaktu akan bekerja. Kini, ia pulang ke ruamhnya untuk melepas rindu.“Kamu ijin berapa hari?” tanya Pak Yanto pada Rinai.“Saya keluar, Pak. Bapak udah dapat kabar kan, kalau Syabil menikah dengan majikan saya. Non Jelita adalah istri Syabil. Kabar terbaru yang saya dengar, Non Jelita tengah hamil. Jadinya saya pamit untuk tidak bekerja lagi. Saya udah gak ada harapan untuk dekat dengan Syabil karean Syabil udah menjadi ayah. Bukan hanya satu bayi yang dik