"Jangan, Pak, saya mohon! Jangan sampai Mas Ed tahu kejadian kemarin. Saya akan melakukan apapun agar Pak Levi tidak mengatakan apa-apa pada suami saya.""Apapun? Kamu yakin? Apa kamu mau saya minta bercerai dari Edmun, kemudian kamu menikah dengan saya?""Kalau itu tentu saja tidak mungkin, Pak. Saya mencintai suami saya. Apa tidak ada yang lain, Pak?""Apa kamu mau terus tidur bersama saya tanpa ikatan? Pasti tidak'kan? Saya pun tidak mau. Oleh karena itu, coba pikirkan tawaran dari saya. Lekas sembuh ya, nanti saya hubungi lagi. Saya harus ke Jepang untuk beberapa hari ke depan. Salam untuk Edmun."Sambungan itu pun terputus. Tawaran yang diminta Levi membuat kepalanya sangat pusing. Ia sangat mencintai suaminya, tentu ia tidak mau bercerai dari Edmun apapun alasannya. Apalagi ini semua adalah kesalahannya sendiri. Edmun benar-benar tidak memaafkannya jika sampai suaminya itu tahu, ia tidur dengan pria lain. Makan pun sudah tidak bisa ia teruskan. Luisa memilih turu dari ranjang d
"Ah, i-itu, a-aku hanya ingin melihat kursi pijat di kamar papa. Ya, kursi pijat papa, ini badanku pada sakit habis begadang diajak teman lihat proyek jalan, jadinya pengen dipijat. Lumayanlah lima menitan, Sayang. Badanku enak lagi. Nanti kalau aku punya uang, aku akan beli kursi pijat seperti yang di kamar papa. Enak banget, pijatannya pas. Ayo, temani aku makan!" Lusia tidak sempat mengomentari jawaban suaminya. Tangannya sudah terlanjur ditarik ke ruang makan. Edmun nampak gelisah karena uang yang ia sembunyikan di dalam baju kemejanya, membuat kulit perutnya gatal. Pria itu makan dengan cepat karena ia harus segera pergi dari rumah mertuanya. "Kalau kamu masih betah di sini, kamu di sini saja dulu, Sayang. Aku mau melakukan perjalanan bisnis ke Bali. Doakan semua lancar ya." Bola mata Luisa membesar. Ia senang dengan perkataan Edmun yang sepertinya sudah memulai kembali bisnisnya. "Beneran, emang udah mulai lagi, Mas? Sama siapa?" tanya Luisa antusias. "Ada temen kuliah dulu.
Luisa terus menghubungi ponsel suaminya, tetapi tidak aktif. Ia begitu penasaran ingin menanyakan apa yang sebenarnya suaminya lakukan di kamar sang Papa. Luisa memutuskan pulang ke rumah, berharap ada informasi yang bisa ia dapat tentang suaminya dari Bik Noni. "Eh, Nyonya sudah pulang, mau saya buatkan teh atau kopi, Nyonya?" tanya Bik Noni yang menyambut Luisa dengan senyuman. Luisa menggeleng cepat, lalu bergegas naik ke kamarnya. Bik Noni hanya bisa menghela napas, sejak semua barang berharga di rumah ini diambil paksa orang yang tidak dikenal, kedua majikannya menjadi aneh. Untung gajinya masih dibayar, kalau tidak, ia pun tidak berani betah bekerja bersama Luisa. "Bik, Bik!" Seru Luisa dari lantai atas. "Ya, Nyonya." Bik Noni menghampiri majikannya; berdiri di anak tangga pertama. "Tadi Mas Edmun ke sini? Bawa baju? M-maksud saya bawa tas?" tanya Luisa panik. "Iya, Nyonya. Pakai ransel yang untuk naik gunung itu yang besar. Katanya mau ada urusan ke Malang," ujar Bik Noni
Luisa menangis tersedu di depan sang Papa. Mau mengelak pun tiada guna, karena sudah jelas bukti CCTV kamar papanya menunjukkan suaminya yang telah merampok uang dan surat berharga. Sampai saat ini ia masih tidak tahu untuk apa uang begitu banyak dirampok suaminya? Mereka mungkin saat ini tengah kesulitan ekonomi, tetapi bukan berarti ia juga membenarkan tindakan suaminya. Jika sudah begini, ia pun tidak bisa membela suaminya. Menahan papanya agar tidak memaksanya bercerai. "Kamu itu bodoh, Luisa! Papa sudah merasa ada yang tidak beres saat suami kamu beli showroom motor dan juga mobil. Belum franchise minimarket di dua titik, usaha bisnis join dengan teman dan yang lainnya. Padahal setahu Papa, Edmun tidak begitu banyak tabungan untuk modal. Sekarang sudah jelas, dia berutang untuk bisnis dan bisnisnya mangkrak, sehingga ia harus bayar utang dengan cara apapun. Bahkan istrinya sendiri pun bisa ia jual jika sudah tidak punya jalan keluar lainnya. Lihat, dia merampok kamar Papa. Po
"Mas! Jangan lari kamu! Dasar maling! Mas!" Sekeras apapun Luisa berteriak, mobil yang ditumpangi suami dan juga mertuanya sudah melaju kencang meninggalkan lobi parkir mal. Meninggalkan dirinya yang hanya bisa berderai air mata melihat kepergian sang Suami dan mertua yang tidak mempedulikannya. Semua berakhir. Pernikahan yang ia impikan hanya berpisah saat maut datang, ternyata tidak dikabulkan Tuhan. Suaminya pergi meninggalkan dirinya dan banyak utang di luaran sana yang ia tidak tahu berapa jumlahnya. Luisa memesan ojek online kembali untuk pulang ke rumahnya. Ya, rumah itu adalah rumah mereka berdua dan bukan tidak mungkin rumah itu pun sudah digadai oleh suaminya karena surat rumah sudah tidak ada lagi di tempatnya. Dengan berat hati ia terpaksa meminta Bik Noni untuk berhenti bekerja karena ia dan Edmun akan berpisah. Sementara itu, Edmun dan ibunya memang tidak pulang ke rumah, melainkan mereka pergi ke sebuah kos-kosan. Sudah dua hari mereka tinggal di sana. Tepatnya Bu Me
Luisa tengah membantu Bik Nisa menata makanan di meja. Gadis muda yang baru sembuh itu sudah kembali bekerja walau keadaannya masih lemah. Untuk itu, Luisa tidak tega bila Bik Nisa mengerjakan semuanya. Usia mereka memang tidak beda jauh, mungkin hanya beda dua tahun saja. Lebih tua dirinya dari Bik Nisa, untuk itu Luisa lebih menganggap ART papanya sebagai teman. Kring! Kring! Telepon rumahnya berdering. Luisa mengeringkan tangan, lalu bergegas untuk mengangkat telepon. "Halo, siapa nih?""Ya ampun, HP kamu sama papa gak bisa ditelepon daritadi.""Huaa... Mbak Jasmin. Apa kabar? Kapan balik?""Sehat, aku, Mas Pram, dan Nugie akan pulang minggu depan. Bilangin papa ya, Luisa.""Oke, jangan lupa oleh-oleh.""Siap, jangan lupa juga aku dijemput. Kalau sopir papa gak bisa, kamu dan Edmun saja yang jemput ya." Luisa diam. Tidak mungkin ia ceritakan nasib rumah tangganya pada sang Kakak. "Oke, Mbak. Salam untuk Nugi danas Pram."Luisa baru saja menutup telepon rumahnya, saat suara pap
Foto yang dikirimkan oleh Cristy sepertinya sangat berefek pada Edmun, hingga lelaki itu begitu cemas dan hanya bisa mondar-mandir di dalam kamar kosnya. Jika ia pulang ke Jakarta, bisa dipastikan ia akan diserang oleh Pak Darmono. Namun, jika ia tetap di sini, Cristy juga ancaman baginya. Apa yang harus ia lakukan? Edmun mengeluarkan uang dolar dari dalam tasnya. Ia tidak tahu persis berapa jumlah sesuai dengan nilai tukar dolar terhadap rupiah hari ini. Namun, satu hal yang ia ketahui bahwa uang dolar itu jika dicairkan bisa mencapai seratus juta. Dokter bedah. Edmun mendapatkan ide untuk pergi ke dokter bedah. Ia harus benar-benar menghilangkan identitas sebagai Edmun. Ia harus menjadi orang baru demi menghindari dari semua urusan utang yang membelitnya. Edmun pergi ke Money Changer yang ternyata tidak begitu jauh dari kosannya. Ia harus menukarkan beberapa lembar uang dolar untuk biaya hidupnya selama melarikan diri, sekaligus untuk melakukan bedah kecil di bagian wajah agar ti
Luisa dan Levi sudah duduk di sebuah restoran seafood yang sangat terkenal di daerah Jakarta Pusat. Ya, Levi sengaja membawa Luisa berjalan-jalan keliling ibu kota sambil berwisata kuliner. Meskipun wajah wanita itu nampak tidak nyaman, tetapi Levi sebagai pria dewasa, sama sekali tidak mempermasalahkannya. Luisa pasti sedang memikirkan suaminya yang belum juga ada kabar. "Restorannya ramai ya, Pak? Saya baru kali ini makan di sini." Luisa berkata jujur sambil menikmati pemandangan lalu-lalang pelayan dan juga pengunjung yang melewati mejanya. "Oh, gitu, memangnya kamu biasa makan di mana sama Edmun?" tanya Levi. "Di mal, keliling dari satu resto ke resto lainnya." Levi mengangguk sambil tersenyum. "Mahal pajaknya kalau begitu, he he he... " Luisa pun ikut tertawa. Di dalam hatinya ia membenarkan perkataan Levi. Makan di mal memang boros pajak. Udah kena PPn masih ada lagi PP yang lain. Namun, makan di mal itu mengasikka baginya karena memang terbiasa dibawa ke tempat seperti itu.