Luisa menangis tersedu di depan sang Papa. Mau mengelak pun tiada guna, karena sudah jelas bukti CCTV kamar papanya menunjukkan suaminya yang telah merampok uang dan surat berharga. Sampai saat ini ia masih tidak tahu untuk apa uang begitu banyak dirampok suaminya? Mereka mungkin saat ini tengah kesulitan ekonomi, tetapi bukan berarti ia juga membenarkan tindakan suaminya. Jika sudah begini, ia pun tidak bisa membela suaminya. Menahan papanya agar tidak memaksanya bercerai. "Kamu itu bodoh, Luisa! Papa sudah merasa ada yang tidak beres saat suami kamu beli showroom motor dan juga mobil. Belum franchise minimarket di dua titik, usaha bisnis join dengan teman dan yang lainnya. Padahal setahu Papa, Edmun tidak begitu banyak tabungan untuk modal. Sekarang sudah jelas, dia berutang untuk bisnis dan bisnisnya mangkrak, sehingga ia harus bayar utang dengan cara apapun. Bahkan istrinya sendiri pun bisa ia jual jika sudah tidak punya jalan keluar lainnya. Lihat, dia merampok kamar Papa. Po
"Mas! Jangan lari kamu! Dasar maling! Mas!" Sekeras apapun Luisa berteriak, mobil yang ditumpangi suami dan juga mertuanya sudah melaju kencang meninggalkan lobi parkir mal. Meninggalkan dirinya yang hanya bisa berderai air mata melihat kepergian sang Suami dan mertua yang tidak mempedulikannya. Semua berakhir. Pernikahan yang ia impikan hanya berpisah saat maut datang, ternyata tidak dikabulkan Tuhan. Suaminya pergi meninggalkan dirinya dan banyak utang di luaran sana yang ia tidak tahu berapa jumlahnya. Luisa memesan ojek online kembali untuk pulang ke rumahnya. Ya, rumah itu adalah rumah mereka berdua dan bukan tidak mungkin rumah itu pun sudah digadai oleh suaminya karena surat rumah sudah tidak ada lagi di tempatnya. Dengan berat hati ia terpaksa meminta Bik Noni untuk berhenti bekerja karena ia dan Edmun akan berpisah. Sementara itu, Edmun dan ibunya memang tidak pulang ke rumah, melainkan mereka pergi ke sebuah kos-kosan. Sudah dua hari mereka tinggal di sana. Tepatnya Bu Me
Luisa tengah membantu Bik Nisa menata makanan di meja. Gadis muda yang baru sembuh itu sudah kembali bekerja walau keadaannya masih lemah. Untuk itu, Luisa tidak tega bila Bik Nisa mengerjakan semuanya. Usia mereka memang tidak beda jauh, mungkin hanya beda dua tahun saja. Lebih tua dirinya dari Bik Nisa, untuk itu Luisa lebih menganggap ART papanya sebagai teman. Kring! Kring! Telepon rumahnya berdering. Luisa mengeringkan tangan, lalu bergegas untuk mengangkat telepon. "Halo, siapa nih?""Ya ampun, HP kamu sama papa gak bisa ditelepon daritadi.""Huaa... Mbak Jasmin. Apa kabar? Kapan balik?""Sehat, aku, Mas Pram, dan Nugie akan pulang minggu depan. Bilangin papa ya, Luisa.""Oke, jangan lupa oleh-oleh.""Siap, jangan lupa juga aku dijemput. Kalau sopir papa gak bisa, kamu dan Edmun saja yang jemput ya." Luisa diam. Tidak mungkin ia ceritakan nasib rumah tangganya pada sang Kakak. "Oke, Mbak. Salam untuk Nugi danas Pram."Luisa baru saja menutup telepon rumahnya, saat suara pap
Foto yang dikirimkan oleh Cristy sepertinya sangat berefek pada Edmun, hingga lelaki itu begitu cemas dan hanya bisa mondar-mandir di dalam kamar kosnya. Jika ia pulang ke Jakarta, bisa dipastikan ia akan diserang oleh Pak Darmono. Namun, jika ia tetap di sini, Cristy juga ancaman baginya. Apa yang harus ia lakukan? Edmun mengeluarkan uang dolar dari dalam tasnya. Ia tidak tahu persis berapa jumlah sesuai dengan nilai tukar dolar terhadap rupiah hari ini. Namun, satu hal yang ia ketahui bahwa uang dolar itu jika dicairkan bisa mencapai seratus juta. Dokter bedah. Edmun mendapatkan ide untuk pergi ke dokter bedah. Ia harus benar-benar menghilangkan identitas sebagai Edmun. Ia harus menjadi orang baru demi menghindari dari semua urusan utang yang membelitnya. Edmun pergi ke Money Changer yang ternyata tidak begitu jauh dari kosannya. Ia harus menukarkan beberapa lembar uang dolar untuk biaya hidupnya selama melarikan diri, sekaligus untuk melakukan bedah kecil di bagian wajah agar ti
Luisa dan Levi sudah duduk di sebuah restoran seafood yang sangat terkenal di daerah Jakarta Pusat. Ya, Levi sengaja membawa Luisa berjalan-jalan keliling ibu kota sambil berwisata kuliner. Meskipun wajah wanita itu nampak tidak nyaman, tetapi Levi sebagai pria dewasa, sama sekali tidak mempermasalahkannya. Luisa pasti sedang memikirkan suaminya yang belum juga ada kabar. "Restorannya ramai ya, Pak? Saya baru kali ini makan di sini." Luisa berkata jujur sambil menikmati pemandangan lalu-lalang pelayan dan juga pengunjung yang melewati mejanya. "Oh, gitu, memangnya kamu biasa makan di mana sama Edmun?" tanya Levi. "Di mal, keliling dari satu resto ke resto lainnya." Levi mengangguk sambil tersenyum. "Mahal pajaknya kalau begitu, he he he... " Luisa pun ikut tertawa. Di dalam hatinya ia membenarkan perkataan Levi. Makan di mal memang boros pajak. Udah kena PPn masih ada lagi PP yang lain. Namun, makan di mal itu mengasikka baginya karena memang terbiasa dibawa ke tempat seperti itu.
"Talak Luisa, baru aku percaya ucapan kamu." "Iya, aku akan menalak Luisa, tetapi tidak sekarang. Aku sedang berusaha menenangkan diri dari Luisa dan papanya. Kamu tahu, Pak Darmono tentu tidak akan tinggal diam saat anaknya ditalak. Bisa hancur nama beliau saat kabar itu merebak.""Kalau begitu jangan pernah mengucapkan kalimat pengharapan buatku. Setelah kamu menalak Luisa, baru kamu boleh meneleponku lagi."Edmun hanya bisa mendesah kesal saat Cristy memutus panggilannya. Ia memang pasti akan bercerai dari Luisa cepat atau lambat. Sudah pasti papanya Luisa tidak akan memaafkannya karena telah merampok. Ponselnya kembali berdering, kali ini yang muncul di layar adalah kontak mamanya. Edmun malas mengangkat. Ia membiarkan saja panggilan itu berhenti dengan sendirinya. Jika ia angkat, maka pasti ada saja kabar tidak baik yang diberitahukan padanya. Edmun memaksa matanya untuk terpejam karena sudah sejak kemarin ia mengalami insomnia, tetapi usahanya sia-sia. Mata pria itu masih sa
Bugh! Tubuh Edmun terhempas di aspal. Seorang pria berbadan tinggi tegap melayangkan satu pukulan di rahang pria itu. Lalu seorang pria lagi menarik merah baju Edmun, agar pria itu berdiri, kemudian kembali melayangkan tendangan di perutnya. Bugh! Edmun terjerembab dengan hidung dan mulut yang mengeluarkan darah. Tangannya berada di atas perut menahan pedih. Ia tidak mengenali dua pria berwajah sangar itu, sehingga ia merasa kebingungan. Tidak ada orang yang menolongnya karena ini sudah sangat malam. Ia memang sengaja keluar untuk membeli bir. Tubuhnya terasa dingin sehingga ia membutuhkan minuman itu untuk menghangatkan tubuhnya. "K-kalian s-siapa?" tanya Edmun sambil menahan sakit dan pedih di wajahnya. "Cuih! Berani ngutang, tapi gak mau bayar! Malah kabur sampai ke sini. Ingat, mau kabur ke mana pun kamu tetap akan kami buru. Kalau kami habisi sekarang, uang bos kami tidak akan kembali! Jadi, segera kembalikan uang tiga ratus delapannya puluh juta milik Pak Hendra, jika kamu
Tok! Tok! "Permisi!" Ratih menoleh ke arah depan rumahnya . Suara pagar diketuk cukup keras, membuatnya yang sedang menyuapi anaknya berusia dua tahun. Tok! Tok! "Permisi!""Ya, sebentar!" Ratih bangun dari duduknya dan dengan tergopoh berjalan untuk membuka pintu. "Ma, titip Kevin ya. Saya mau lihat tamu di depan." Mamanya mengangguk. Melanjutkan menyuapi cucunya makan nasi. Ratih berjalan menghampiri tamunya yang ada di balik pagar. Dua pria berbadan tegap menatap Ratih dengan tajam. "Cari siapa, Pak?" tanya Ratih bingung karena ia belum pernah melihat dua pria di depannya. Asing dan sedikit menakutkan. "Apa Mbak Ratih benar saudara dari Edmun, suami dari Luisa?" pria berbadan tegap yang kulitnya lebih gelap mengeluarkan sebuah foto dari dalam saku jaket kulitnya. "Iya benar, Edmun adik saya. Yang di foto ini benar adik saya." Ratih mengangguk. "Boleh kami masuk?""Oh, baik, Pak, silakan! Maaf, saya gugup, jadinya lupa membuka pagar. Mari, Pak, silakan masuk!" Ratih menunt
"Ma, Kevin gak bersalah, Ma. Wanita itu memfitnah Kevin. Kevin gak tahu apa-apa soal Dion dan Kevin gak kenal wanita itu!" Kevin terus merengek pada mamanya dari balik jeruji besi. "Mama justru bingung sama kamu. Kalau kamu gak kenal, kenapa wanita bernama Elsa itu punya semua buktinya? Dia sampai punya struk pembayaran hotel, villa, bukti chat ponsel, bukti transfer, dan rekaman suara kamu berencana mencelakai lelaki bernama Dion. Mama gak bisa bantu kamu, Kevin. Mama harap kamu bertaubat! Pantas Tuhan tidak ijinkan Mama berbesan dengan Bu Rana, ternyata emang anak Mama yang gak pantas bersanding dengan putri mereka.""Mama, semua itu fitnah! Mama harus percaya Kevin." Namun yang dilakukan wanita adalah segera beranjak dari penjara. Tujuannya hari ini adalah pergi ke rumah orang tua Elsa. Ya, ia harus mendengar cerita tentang Elsa dan juga Kevin.Bu Dian terheran-heran melihat kedatangan seorang wanita yang tidak ie kenal."Ibu siapa ya?" tanya Bu Dian yang saat ini sedang menimang
Dewasa(21+) Romi dan Mutia sudah tiba di Bali. Tiket honeymoon pemberian Elsa tentu saja saja tidak akan dilewatkan oleh keduanya. Ya, Elsa-lah yang memberikan Romi tiket bulan madu sebagai hadiah pernikahan kedua suaminya. Sampai kapan pun Elsa merasa tidak akan bisa membalas semua kebaikan dan juga ketulusan suaminya. Pemuda yang menjadi tersangka atas skandal yang ia susun bersama kekasihnya Kevin. Sebuah foto dikirimkan Mutia pada Elsa sebagai informasi bahwa mereka sudah sampai di kamar pengantin yang dipesan oleh Elsa. Selamat berbulan madu. Itulah pesan yang dibalas oleh Elsa. Mutia memperlihatkan balasan pesan pada suaminya. “Aa yakin kalau Mbak Elsa baik-baik saja? kenapa diterima hadiah bulan madu seminggu ini. Mahal banget loh,. Padahal papa juga mau kasih tiket bulan madu, tapi udah keduluan Mbak Elsa,” kata Mutia tisak enak hati. Romi tersenyum hangat, lalu menarik Mutia dalam pelukannya. “Ing
“Kamu ini, Pa, gak dapat ibunya, tetap saja terobsesi dengan keluarganya. Anak sendiri masih muda, cantik kaya, malah dapatnya suami orang. Nambah anaknya pula.” Rana terus menggerutu di kursi orang tua pengantin. Wanita itu masih tidak ikhlas jika putrinya menikah dengan Romi; anak dari wanita yang dahulunya digilai suaminya. Ditambah posisi Romi saat ini masih istri dari Elsa yang baru tiga puluh dua hari yang lalu melahirkan, tentu saja pernikahan yang seperti terburu-buru ini mengundang banyak gosip di luaran sana. “Ma, anaknya saling suka, kok. Kenapa kita harus gak setuju? Romi itu anak baik. Solatnya rajin dan juga pintar. Dia belum lulus aja udah dapat kerjaan. Pernikahannya dengan Elsa itu kecelakaan, bukan seperti pernikahan lainnya. Mama gak perlu khawatir, anak perempuan kita pasti senang dan bahagia bisa menikah dengan pujaan hatinya.” Levi tersenyum pada para tamu undangan yang sedang berjalan ke arahnya untuk bersalaman. Di seberang kursi orang tua ada L
"Selamat Pak Romi, bayinya lelaki dan lahir dengan selamat, meskipun baru delapan bulan di dalam perut.""Alhamdulillah, apa saya bisa melihat istri saya, Dok? Istri saya beneran gak papa?""Nggak papa, Pak, semuanya sehat selamat. Lagi disiapkan dulu untuk pindah kamar ya. Bayinya juga dibersihkan dulu, baru nanti bisa diazankan.""Berat badannya berapa, Dok?" tanya Bu Diana menyela."Beratnya tiga kilogram lebih dua ons. Panjangnya empat puluh sembilan. Normal semua dan tampan." Romi tersenyum senang sambil menoleh pada mertuanya. "Alhamdulillah, terima kasih banyak, Dok." Semua orang yang ada di sana ikut senang dengan kabar yang diberikan dokter, termasuk Luisa dan suaminya. Meski mereka tahu yang lahir bukanlah cucu dari benih anak mereka, tetapi mereka tidak keberatan dan tetap menerima Elsa. "Selamat Romi, terima kasih sudah menjaga Elsa dengan baik. Bunda gak sangka anak lelaki Bunda bisa hebat sekali seperti ini," ucap Luisa sembari memeluk putranya. Romi terharu, hingga ad
"Mama gak habis pikir sama kamu, Elsa. Apa maksud kamu membiarkan Romi menikahi gadis bernama Mutia? Romi itu suami kamu. Dia peduli sama kamu, Elsa. Kamu hamil dan dia juga sayang sama anak kamu!" Bu Diana hampir menangis saat mengetahui kabar bahwa Romi baru saja melamar gadis bernama Mutia. "Gak adil buat Romi, Ma. Sampai saat ini saya gak tahu bagaimana saya di masa lalu. Saya juga gak ngerti hubungan saya dan Romi seperti apa. Ternyata Romi punya wanita yang ia suka, begitu juga sebaliknya. Romi terlalu baik, Ma. Gak mungkin Elsa tega mengambil Romi. Setelah anak ini lahir, Elsa akan melepas Romi. Ini sudah keputusan Elsa. Romi pun setuju. Mama gak usah khawatir, Elsa gak papa. Elsa udah anggap Romi itu adik Elsa. Benar dia sayang Elsa, tapi sebagai kakak, bukan pasangan karena Romi menyukai dan mencintai Mutia. Bulan depan mereka akan menikah, dua Minggu menjelang saya HPL, semoga saja berjalan lancar." Bu Dian memijat keningnya. Ia tidak bisa begitu saja merubah keputusan putr
"Mbak Elsa mau tinggal di sini?" Romi menatap Elsa tidak percaya."Iya, mau di sini saja nginep lagi. Rumah bunda kamu adem." Romi merapikan baju kemeja yang hari ini ia pakai ke kampus. Pemuda itu tidak keberatan saat istrinya membantu mengancingkan beberapa kancing kemeja bagian bawah. "Saya mau kuliah.""Iya, yang bilang kamu mau konser itu siapa? Kuliah aja. Aku mau di sini. Ini kan rumah suamiku." Elsa memegang kedua pipi Romi sambil tersenyum."Boleh? Kalau gak boleh, aku cium, nih!" pemuda itu tidak punya pilihan selain setuju. Elsa tertawa, lalu mengambil tas ransel Romi untuk dibawa ke depan."Aku tunggu di ruang makan ya." Romi menatap pintu yang tertutup kembali. Tidak ada debat di jantungnya, seperti bila ia berdekatan dengan Mutia. Murni sikapnya pada Elsa adalah bentuk perhatiannya sebagai suami. Ditambah Elsa yang sedang amnesia bersikap begitu baik, maka tidak ada alasan baginya untuk membalas sikap buruk Elsa sebelum kejadian kecelakaan itu. Gegas ia menyemprotkan p
"Halo, Bun, assalamualaikum." Elsa menyapa sembari mencium punggung tangan ibu mertuanya yang berkurang lebar. Luisa, hari ini ia kedatangan tamu spesial. "Wa'alaykumussalam." Luisa memperhatikan wajah putra dan juga menantunya bergantian."Kalian sudah makan?" "Sudah, Bunda, saya makan makanan di klinik tadi. Boleh duduk ya, Ma." "Oh, iya, duduk aja!" Luisa sedikit canggung. Ia tidak suka dengan Elsa, itu sudah jelas, tetapi Elsa yang malam ini datang ke rumahnya adalah Elsa yang tengah amnesia. "Mau minum apa?" Romi menurunkan ranselnya."Mau air putih saja. Apa saya boleh ambil sendiri ke dalam? Saya mau lihat-lihat rumah mertua." Elsa tersenyum lebar. Sekali lagi Luisa menatap Romi dengan penuh tanda tanya. Putranya itu hanya tersenyum tanpa berkata apapun ."Ada di sebelah kanan." Luisa menunjuk dapurnya. Elsa berjalan melewati mertuanya dengan sedikit membungkuk sopan. "Kenapa dia?" tanya Luisa tanpa suara pada Romi."Lagi bener," jawab Romi juga tanpa suara. Pemuda itu men
"Gadis yang kemarin pacar Romi?" Elsa menaruh kembali gelas yang hampir saja menyentuh bibirnya. "Bukan, Ma, hanya dekat saja." Elsa meneruskan minum susu ibu hamil."Masih muda. Teman kampus?" Elsa mengangguk."Kayaknya suka Romi." Elsa tersenyum."Iya, kelihatan kok. Kalau tidak suka, mana mungkin berani ke sini hanya ingin tahu kenapa pesannya tidak dibalas." "Lalu kamu?" Bu Dian penasaran dengan raut wajah putrinya."Biasa saja. Tidak cemburu juga. Kehidupan Romi di luar sana bukan sepenuhnya menjadi urusan Elsa. Apalagi masalah hati. Elsa kira, mungkin akan bisa terus menjadi istri Romi, tetapi karena Elsa hamil dan Romi sebenarnya punya kekasih, lebih baik kami berpisah, Ma. Elsa gak papa.""Nak, k-kamu harus tarik ucapan kamu tadi," ujar Bu Dian terkejut. Elsa menggelengkan kepala."Kami masih bisa silaturahmi seperti saudara, Ma. Mama jangan khawatir." Elsa bangun dari duduknya sambil membawa piring kue berisi brownies.Bu Dian hanya bisa menatap kasihan pada putrinya. Nasib
"Jadi kalian pacaran?" tanya Elsa pada Romi dan Mutia. "Kami teman, Mbak," jawab Mutia jujur. "Lalu, ada apa ke sini? Apa kamu belum tahu bahwa Romi sudah menikah?" tanya Elsa tanpa memutus pandangannya terhadap Mutia."Sudah tahu, hanya A Romi udah gak ke kampus dua hari. Saya kira sakit. Wa saya gak dibalas, hanya dibaca saja." Elsa tersenyum pada suaminya. "Karena dia sedang menjaga saya. Jangan sungkan, kalian bicara saja, saya gak mau ganggu. Saya mau istirahat.""Biar saya bantu, Mbak," ujar Romi sudah berdiri untuk memapah Elsa."Aku belum jompo." Elsa mencebik, lalu berjalan masuk ke kamar.Kini, Romi dan Mutia ada di taman belakang. Mutia canggung berduaan saja dengan Romi di rumah mertua lelaki itu."Jadi, apa yang membawa kamu sampai di sini? Kamu nekat sekali," kata Romi sambil menggaruk rambutnya yang tidak terlalu gatal. "Mutia hanya ingin tahu kabar A Romi. Karena pesan Mutia gak dibalas.""Aku gak papa, Mutia. Terima kasih atas perhatian kamu. Sekarang aku masih su