"Tentu saja untuk menjemput kamu!" Suara tegas seseorang yang sangat tidak ingin di temui Meizura untuk saat ini. Meizura menatap laki-laki didepan itu dengan tatapan tajam. "Sayangnya aku tidak mau," jawabnya lalu bergegas pergi. "Zura...." panggil Fagan. Ya, itu Fagan suami Meizura. Sudah beberapa hari ini laki-laki itu mengawasi dan membuntuti istrinya itu. Fagan tahu dia sudah berbuat salah karena itu dia tidak serta merta memaksa istrinya untuk pulang ketika anak buahnya melaporkan keberadaan istrinya. Laki-laki 29 tahun itu berniat membujuk Meizura supaya istrinya itu dengan suka rela ikut kembali pulang bersamanya. "Ambil mobil sekarang!" perintah Fagan lalu bergegas mengejar Meizura. Meizura menoleh sebentar lalu mempercepat langkah kakinya begitu melihat Fagan mengejarnya. Namun Karena buru-buru kakinya saling menginjak dan membuat tubuhnya oleng."Zura..... Awas!!!" teriak Fagan, berlari dan dengan sigap menarik lengan Meizura sehingga wanita itu tak sampai jatuh dan ma
"Bohong...." bantah Meizura garang. "Kali ini aku serius. Ikut aku kembali pulang dan kita bicarakan semuanya baik-baik." Fagan berkata dengan lembut. Namun hal itu tak membuat Meizura luluh dan percaya pada ucapan laki-laki itu. Terdengar wanita itu menghela nafas lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. "Memang apa yang ingin kamu tawarkan?" tanyanya acuh. Fagan menghela nafas lega, lalu mengambil duduk di ujung ranjang tepat di depan Meizura. Setidaknya saat ini wanita di depannya ini masih bersedia untuk di ajak bicara baik-baik. "Tiga tahun, kita jalani pernikahan ini selama tiga tahun lagi. Jika sampai saatnya kamu masih ingin bercerai aku akan mengabulkan permintaanmu. Untuk kelanjutan biaya hidupmu aku akan memberikan kamu kompensasi yang cukup untuk kamu hidup nyaman sampai tua," tutur Fagan penuh percaya diri. Tak seperti yang di pikirkan Fagan, mendengar penuturan Fagan sontak membuat Meizura tertawa keras. "Ha ha ha....." tawa Meizura pecah. "Sayangnya aku sud
[Halo,, berikan ponselnya pada istriku!] Suara Fagan. [Katakan padanya, dia harus ikut aku pulang jika masih ingin bertemu dengan Eyang Farida.][A...apa?] pekik Zaskia lalu menoleh pada Meizura dengan wajah shock. "Ada apa?" Meizura mengerutkan dahinya bingung melihat ekspresi kaget Zaskia. "Fagan." Zaskia mengulurkan ponselnya. "Katanya kalau kamu .... Eyang Farida...," sambungnya kebingungan. Tak menunggu Zaskia menyelesaikan kalimatnya, Meizura segera mengambil alih benda pipih itu dari tangan Zaskia. [Halo,] ucapnya dengan wajah tegang. [Eyang Faridah di rumah sakit. Jika masih ingin melihatnya datanglah sekarang ke bandara.] Degh..... Jantung Meizura berdebar kencang mendengar Eyangnya di rumah sakit. Seketika ponsel di tangan Zura terlepas, matanya berkaca-kaca dan kedua tangannya saling meremas. "Tolong antar aku ke bandara," pintanya memelas. "Untuk apa? Kamu benar-benar ingin kembali?" tanya Zaskia tak percaya. Meizura menutup matanya sejenak, "Ya." Wanita itu menja
"Maksudnya, kalau bukan karena kamu sekarang Tante Farida tidak akan terbaring dalam keadaan kritis." Duar........ Kritis? Meizura melebarkan matanya karena terkejut. Baru beberapa jam yang lalu Fagan mengatakan jika Eyang Farida koma, lalu kenapa sekarang keadaannya kritis? Wajah Meizura mendadak pucat pasi. Kakinya tiba-tiba terasa lemas dan tubuhnya terhuyung, beruntung Fagan dengan sigap memegangi tubuh Meizura sehingga tidak sampai terjatuh. Nampak Zahra berlari mendekat dan ikut memegangi adiknya. "Kamu gak papa?" bisik Zahra khawatir. "Ayo duduk dulu," imbuhnya lalu memberi isyarat pada Fagan untuk membawa ke deretan kursi di belakang mereka. Setelah memastikan istrinya duduk dengan nyaman kembali Fagan mengarahkan pandangannya pada Tante dari istrinya itu."Maaf, tolong Tante jangan bicara seperti itu! Semua yang terjadi pada Eyang Farida adalah takdir dan jangan menyalahkan istri saya, kalau boleh memilih Zura juga tidak mau semua ini terjadi." Fagan berbicara sopan mesk
Saat aku membuka mata hal pertama yang aku lihat adalah seseorang wanita yang memakai baju perawat. "Anda sudah sadar?" tanyanya dengan senyum ramah."Sejak semalam. Anda tidak sadarkan diri, Alhamdulillah sekarang sudah sadar." Kembali wanita berpakaian perawat itu berbicara."Apa Anda mau minum? Atau ingin sesuatu?" tanyanya sopan. Aku menggeleng. Kuarahkan pandanganku pada sekeliling ruangan, tak ada orang lain selain kami berdua. Ku ingat-ingat kembali apa yang terjadi semalam. Degh.... tiba-tiba hatiku terasa nyeri mengingat kejadian sebelum aku kehilangan kesadaranku. Eyang..... Kenapa Eyang pergi meninggalkan aku sendiri di dunia yang tak pernah ramah padaku? Eyang.... Tak terasa lelehan bening merembes dari kedua mataku tanpa bisa aku tahan. "Sabar Bu, doakan saja semoga nenek Ibu mendapatkan tempat terindah di sisi Tuhan." Perawat mengelus pundakku pelan. Bukannya tenang, tangisku makin kencang. Miris sekali, ketika aku bersedih bukan keluarga atau suami yang menemaniku,
Pov Meizura. Setelah terdengar pintu tertutup, perlahan aku membuka mata. Aku berada di sebuah kamar yang lumayan familiar untukku.Dulu ketika aku masih kecil Papa sering memaksaku untuk menginap di rumahnya saat libur sekolah. Dan di kamar inilah aku tidur. Kamar utama dan paling besar di rumah mewah ini. Wanita itu mengatakan kalau aku sangat mirip dengan almarhum mama karena itu aku mewarisi semua miliknya tanpa terkecuali kamar utama di rumah ini. Di meja dan dinding kamar masih terpasang foto-foto Mama dan papa juga foto masa kecilku dan Mbak Zahra. Aku tidak tahu pasti alasan wanita itu melakukan semua ini. Jika wanita lain pasti akan menghapus masa lalu suaminya namun istri kedua papa malah mengisi rumahnya dengan kenangan dari masa lalu mediang istri suaminya. Apa aku telah salah selama ini? 'Zura tidak tahu kebenarannya, harusnya Papa bisa memakluminya.''Pokoknya sekarang Papa harus berubah! Jangan terlalu percaya sama Fagan, lihat sendiri kan belum selesai sama Zura s
"Lalu bagaimana dengan Mbak Zahra dan Mas Fagan? Apa mereka ada hubungan selama aku pergi?" Wanita itu langsung terdiam, wajahnya terlihat gugup. Matanya melihat ke kanan kiri tanpa berani menatap mataku secara langsung. "Emmm.... Aku tidak mengerti apa maksud pertanyaanmu? Zahra..... mana mungkin dia memiliki kedekatan khusus dengan Fagan,"Kedekatan khusus? Sepertinya wanita ini keceplosan. Mungkin aku harus memancingnya sedikit supaya dia mau berkata jujur. "Kalau kamu tidak bisa jujur, bagaimana aku bisa mempercayai ucapanmu sebelumnya." Seketika dia menatapku, wajahnya terlihat sendu. "Aku tahu kamu membenciku. Tapi, aku berani bersumpah atas nama Tuhan sedikitpun aku tidak pernah membencimu, apalagi Mamamu. Mamamu adalah penolongku dan orang yang sangat peduli padaku. Demi Tuhan aku tidak pernah memiliki niat untuk menghancurkan rumah tangganya. Aku menikah dengan Papamu setelah lima tahun kepergian Mamamu. Itu juga karena aku merasa bertanggung jawab melihat kesedihan Papamu
"Cepat hubungi Firdaus dan Kinanti, suruh mereka kesini! Kita selesaikan sekarang!" Perintah Furqon tegas. Kali ini Furqon benar-benar akan menepati ucapannya. Setelah kepergian Meizura beberapa bulan yang lalu membuat Fuqon sadar jika putrinya itu benar-benar tertekan dengan pernikahannya. "Iya, Pah." Tak menunggu lagi Sarah segera berdiri lalu menghubungi besannya. Selang beberapa menit wanita itu kembali duduk di samping Zura. "Mereka sudah di perjalanan. Mungkin lima belas menit lagi sampai," beritahunya. Meizura hanya diam sembari diam-diam mengamati setiap ekspresi orang-orang di ruangan itu. Fagan nampak kesal. Wajahnya tertunduk dengan tangan mengepal kuat. Zahra diam saja, sedikit bingung harus bersikap membela Fagan atau mendukung adik kandungnya.Furqon yang menyadari sikap kesal menantunya kembali berbicara, "Kali ini aku tidak ingin ada lagi yang di paksakan. Dulu aku tidak bisa menolak karena permintaan Mama Farida, tapi sekarang Mama sudah tidak ada, jadi semua ter
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka