"Cepat hubungi Firdaus dan Kinanti, suruh mereka kesini! Kita selesaikan sekarang!" Perintah Furqon tegas. Kali ini Furqon benar-benar akan menepati ucapannya. Setelah kepergian Meizura beberapa bulan yang lalu membuat Fuqon sadar jika putrinya itu benar-benar tertekan dengan pernikahannya. "Iya, Pah." Tak menunggu lagi Sarah segera berdiri lalu menghubungi besannya. Selang beberapa menit wanita itu kembali duduk di samping Zura. "Mereka sudah di perjalanan. Mungkin lima belas menit lagi sampai," beritahunya. Meizura hanya diam sembari diam-diam mengamati setiap ekspresi orang-orang di ruangan itu. Fagan nampak kesal. Wajahnya tertunduk dengan tangan mengepal kuat. Zahra diam saja, sedikit bingung harus bersikap membela Fagan atau mendukung adik kandungnya.Furqon yang menyadari sikap kesal menantunya kembali berbicara, "Kali ini aku tidak ingin ada lagi yang di paksakan. Dulu aku tidak bisa menolak karena permintaan Mama Farida, tapi sekarang Mama sudah tidak ada, jadi semua ter
"Baik," ucap Fagan, sadar jika dirinya dalam posisi terpojok. "Aku bersedia menceraikan Zura, hanya setelah anak kami lahir dan....." Fagan menggantung kalimatnya. "Saya tidak akan menyerahkan anakku kepada siapapun." Sahut Meizura tegas. Wanita cantik itu sudah tahu apa yang akan Fagan minta untuk kompensasi perceraian mereka.Semua orang tercengang, tidak ada yang menyangka Faham akan sepicik itu ingin memisahkan seorang ibu dari anaknya. "Jangan membuat masalah semakin rumit Fagan!" sentak Furqon marah. "Kamu itu seorang dosen harusnya bisa lebih dewasa dalam bersikap. Setidaknya akui jika kamu salah dan terima konsekuensinya. Jangan malah berkeras hati seperti ini," sambungnya penuh kekecewaan melihat sikap keras kepala menantunya itu. Firdaus mengusap wajahnya frustasi, pria itu benar-benar kecewa dan malu dengan sikap putra pertamanya yang selama ini selalu dia banggakan. "Tolong jangan membuat Papa malu, Fagan." "Sudah begini saja, biarkan dulu mereka bersama sampai Zura m
Setelah perjalanan sekitar satu setengah jam, sepasang suami istri yang sedang tak bertegur sapa itu telah sampai di depan rumah mereka. Fagan membunyikan klakson untuk memanggil security rumahnya yang baru beberapa minggu ini dipekerjakannya. Demi menjamin keamanan Meizura Fagan tak segan menyewa dua satpam khusus untuk menjaga rumahnya dua puluh empat jam. Pria itu juga membayar orang untuk membangun pagar beton di sepanjang halaman rumahnya. Tak ketinggalan gerbang kokoh besi bergaya modern terpasang dengan kokoh lengkap dengan CCTV-nya fi kedua sisi. Tak lama pintu terbuka secara otomatis, nampak dua security mengangguk sopan saat mobil memasuki halaman. Meizura hampir tidak mengenali rumah yang dulu pernah ditempatinya itu karena terdapat banyak perubahan, mulai dari pagar, gerbang dan cat rumah yang berwarna hijau sehingga terlihat lebih segar. Tak hanya itu, bunga-bunga di taman depan rumah juga bertambah banyak dan beraneka ragam. Terlihat sekali taman itu terawat dengan
Fagan segera menuju kantor setelah selesai mengajar di sebuah universitas ternama di kotanya. Jam masih menunjukkan pukul 11 siang saat dia sampai di kantornya. Masih ada satu jam untuknya memimpin meeting hari ini sebelum kedatangan tamu yang tadi pagi menghubunginya.Fagan cukup penasaran dengan apa yang akan dikatakan orang itu tentang istrinya. Akhir-akhir ini banyak hal yang membuatnya penasaran tentang istrinya itu. "Siang Pak. Meeting hari ini akan segera di mulai," beritahu Rangga, asisten pribadi Fagan saat pria itu baru sampai di lobi kantor. Rangga sengaja berdiri di lobi untuk menunggu kedatangan atasannya itu karena rapat akan segera dimulai.Tanpa menjawab Fagan langsung masuk ke lift khusus untuk petinggi perusahaan dan di ikuti Rangga. Tak sampai lima menit pintu lift kembali terbuka, nampak sebuah ruangan rapat yang sudah di penuhi beberapa karyawan. Satu jam lebih Fagan memimpin rapat yang di selingi beberapa kali bentakan dan amarah Fagan karena tidak puas dengan
"Nyonya, ada tamu menunggu di luar." BI Minah melapor sesaat setelah Meizura memasukkan suapan terakhir ke mulutnya. Wanita yang dari hari ke hari makin terlihat cantik di masa kehamilannya itu sedang menikmati makan siangnya saat ini. "Siapa?" Istri Fagan itu menoleh pada Bi Minah yang sekarang sedang berdiri memegangi kursi sebelahnya. "Laki-laki, saya belum pernah ketemu. Katanya saudaranya Tuan," Meizura mengerutkan dahinya. Saudara Fagan yang mana? "Sendirian?" tanyanya lalu meminum jus jeruk buatan pembantunya itu sampai habis. "Kayaknya sama Nonton Adiba, tadi sempat saya lihat masih di dalam mobil," jawab bi Minah sembari membereskan lauk yang ada di meja makan. "Ya sudah, biar aku lihat." Meizura bangun dari duduknya lalu berjalan santai melewati ruang tamu. Dahinya langsung mengerut begitu sampai di teras rumahnya. "Raka?" gumamnya dengan tatapan memicing pada lelaki tampan yang berdiri di ujung teras. "Hai...." sapa laki-laki itu. "Bagaimana kabarmu?" Raka berjalan
"Cukup!!!" teriak Fagan marah."Cepat katakan!" Adiba yang berbicara, gadis berambut sebahu itu terlihat lebih penasaran ketimbang Zura. "Tutup mulutmu!" Pria yang sudah di penuhi amarah itu mengarahkan tatapannya pada Adiba. "Lebih baik sekarang kamu bawa saudaramu......." ucapan Fagan terputus. "Bayi yang dikandung Mayang bukan anak Ardiaz tapi anakku," ungkap Raka dengan suara lantang. "Apa?" Adiba spontan berdiri karena kaget "Gil*...." sambungnya mengumpat. Berbeda dengan Adiba, Meizura nampak tenang meski beberapa detik sebelumnya wanita itu sempat menampilkan ekspresi kaget. "Kamu benar-benar menantangku." Fagan mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengeras dengan gigi bergemelatuk. "Ha ha.... ha...." Raka tertawa sumbang, "Ya, aku menantangmu. Apalagi yang akan kamu hancurkan?Pernikahanku sudah dibatalkan untuk apa lagi aku menyembunyikan fakta ini?" ujarnya lalu mengarahkan tatapannya pada Zura yang hanya menatapnya datar. "Janin itu adalah anakku bukan anak Ardiaz.
Fagan tersenyum tipis, "Jadi menurutmu seperti itu? Bagaimana Jika posisinya di balik, aku dan Zahra saling mencintai apa yang akan kamu lakukan?" Deghh..... Tiba-tiba ada rasa nyeri yang menjalari hati Meizura mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut suaminya. 'Saling mencintai katamu? Setelah menghancurkan hidupku sekarang kamu ingin aku merestui kalian?' cibir Meizura dalam hati. "Kenapa diam? Bukankah tadi kamu sangat bersemangat membela Ardiaz? Kamu punya segudang argumen untuk membenarkan perbuatannya. Lalu sekarang bagaimana jika kamu yang di posisiku?" Fagan berusaha memprovokasi Meizura. di luar dugaan Meizura tersenyum lebar, "Aku akan merestui kalian. Silahkan bersatu dan hidup bahagia tentu saja setelah menceraikan aku," ucapnya dengan nada datar. Seolah ditampar dengan keras, wajah Fagan tiba-tiba memerah. Hatinya berdenyut nyeri dengan detak jantung yang memburu seperti baru selesai lari berkilo-kilo meter jauhnya. 'Ternyata semua yang aku lakukan selama ini tid
Pukul 12 malam mobil Fagan memasuki pelataran rumahnya. Dengan langkah lebar pria bertubuh tegap itu berjalan memasuki pintu rumah. Saat mencapai ruang tengah langkahnya terhenti karena melihat lampu dapur yang masih menyala. Nampak seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi dengan kepala yang di sandarkan di meja dapur. "Bi..." panggil Fagan tanpa mendekat. "Hah... iya tuan." Bi Minah agak terkejut dan langsung berdiri. "Maaf saya ketiduran," "Apa istrinya sudah tidur?" Tak berniat menimpali Fagan balik bertanya."Sudah Tuan. Dari jam sembilan tadi, sesuai perintah Tuan," jawab Bibi sedikit membungkukkan badannya. "Bagus," gumamnya sambil mengarahkan pandangannya ke pintu kamar sang istri. "Apa Tuan mau saya siapkan makan atau sekedar minuman hangat?" "Tidak perlu. Tadi saya sudah makan." Fagan mengeluarkan sebuah kertas dari dalam saku kemejanya. "Ini daftar makanan untuk istri saya besok. Tolong siapkan sesuai jam makannya!" "Baik Tuan." Bi Minah langsung menerima selemb
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka