Fagan tersenyum tipis, "Jadi menurutmu seperti itu? Bagaimana Jika posisinya di balik, aku dan Zahra saling mencintai apa yang akan kamu lakukan?" Deghh..... Tiba-tiba ada rasa nyeri yang menjalari hati Meizura mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut suaminya. 'Saling mencintai katamu? Setelah menghancurkan hidupku sekarang kamu ingin aku merestui kalian?' cibir Meizura dalam hati. "Kenapa diam? Bukankah tadi kamu sangat bersemangat membela Ardiaz? Kamu punya segudang argumen untuk membenarkan perbuatannya. Lalu sekarang bagaimana jika kamu yang di posisiku?" Fagan berusaha memprovokasi Meizura. di luar dugaan Meizura tersenyum lebar, "Aku akan merestui kalian. Silahkan bersatu dan hidup bahagia tentu saja setelah menceraikan aku," ucapnya dengan nada datar. Seolah ditampar dengan keras, wajah Fagan tiba-tiba memerah. Hatinya berdenyut nyeri dengan detak jantung yang memburu seperti baru selesai lari berkilo-kilo meter jauhnya. 'Ternyata semua yang aku lakukan selama ini tid
Pukul 12 malam mobil Fagan memasuki pelataran rumahnya. Dengan langkah lebar pria bertubuh tegap itu berjalan memasuki pintu rumah. Saat mencapai ruang tengah langkahnya terhenti karena melihat lampu dapur yang masih menyala. Nampak seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi dengan kepala yang di sandarkan di meja dapur. "Bi..." panggil Fagan tanpa mendekat. "Hah... iya tuan." Bi Minah agak terkejut dan langsung berdiri. "Maaf saya ketiduran," "Apa istrinya sudah tidur?" Tak berniat menimpali Fagan balik bertanya."Sudah Tuan. Dari jam sembilan tadi, sesuai perintah Tuan," jawab Bibi sedikit membungkukkan badannya. "Bagus," gumamnya sambil mengarahkan pandangannya ke pintu kamar sang istri. "Apa Tuan mau saya siapkan makan atau sekedar minuman hangat?" "Tidak perlu. Tadi saya sudah makan." Fagan mengeluarkan sebuah kertas dari dalam saku kemejanya. "Ini daftar makanan untuk istri saya besok. Tolong siapkan sesuai jam makannya!" "Baik Tuan." Bi Minah langsung menerima selemb
Pov Meizura. Suara nyaring alarm membangunkan aku dari buaian alam mimpi. Kucoba membuka mata namun rasanya berat. Ah... benar saja, saat kuraba kelopak mataku bengkak. Ini pasti akibat menangis semalam. Kuhela nafas panjang lalu beranjak bangun dan bersandar di kepala ranjang. Mengingat kejadian semalam membuatku merasa aneh dengan diriku sendiri. Entah kenapa aku sekarang menjadi sangat sensitif dan cengeng. Mungkinkah karena kehamilanku? Ya mungkin saja bayi yang aku kandung perempuan makanya aku jadi cengeng dan gampang tersinggung. Sudahlah, kejadian semalam sebaiknya tidak lagi aku ingat. Malu juga menunjukkan rasa sedihku di depan Mas Fagan. Pria itu pasti sedang menertawakan aku sekarang."Bodohnya kamu Zura," Aku beranjak turun dari ranjang dan menuju kamar mandi untuk bebersih diri lalu menjalankan kewajibanku sebagai seorang hamba Alloh. Sejak berpisah dengan Mas Fagan aku berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan bersyukur aku menjadi lebih tenang. Selesai ber
"Ya Alloh... Bi perutku..." Aku memegangi tangan Bibi yang gemetaran. "Ya Alloh... kenapa Nya?" Bibi memegangi Meizura yang sudah melrort ke lantai. Kakinya sudah tak sanggup menopang berat tubuhnya karena rasa sakit yang teramat dalam. Fagan yang awalnya penuh amarah mendadak kaku. Matanya membelalak melihat darah segar mengalir dari paha istrinya itu. "Ya Alloh Zura..." Fagan berlari mendekat Meizura dan langsung menggendong wanita itu. "Ambilkan kunci mobil saya di Bi," perintahnya pada Bi Minah. Tanpa menunggu lama, wanita paruh baya itu langsung berlari ke arah meja ruang tengah dekat tangga. Sambil gemetaran wanita paruh baya itu mengobrak-abrik laci meja. "Ini Tuan," teriaknya sambil berlari mengejar Fagan yang sudah lebih berlari keluar. Meizura menutup mata dan mencengkeram lengan Fagan untuk menahan rasa nyeri yang teramat sakit di perutnya. ang menahan sakit di perutnya hanya bi"Bi, tolong ikut ke rumah sakit bantu pegangi istri saya!" pinta Fagan setelah merebahkan
Pov Meizura."Fokus untuk menyelamatkan ibunya," ucap seorang wanita yang baru saja masuk kedalam ruangan yang entah siapa namanya. Aku hanya bisa melihat samar karena aku tak lagi fokus karen rasa sakit yang mendera di perutku. 'Apa maksudnya?" ucapku dalam hati. "Apa Walinya sudah setuju?" Kembali terdengar kalimat pertanyaan dari yang lain. "Iya Dok, walinya sudah mendatangani surat persetujuannya," jawab dokter wanita itu semabri menatapku iba.Degh.... Jantungku berdetak tak karuan mendenagr pembicaraan orang-orang yang ada di ruangan ini. "Baik kita mulai. Semua fokus untuk menyelamatkan ibunya. Persiapan untuk aborsi." Terdengar intruksi yang langsung di jawab oleh semua orang di ruangan dengan kata "Siap!".Tiba-tiba ada rasa nyeri menggelayut di dalam dadaku. Hatiku seperti diiris-iris mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut wanita yang aku yakini sebagai dokter.Aku ingin sekali berontak dan beranjak bangun namun lagi-lagi aku tak punya daya. Tubuhku benar-bena
Pov Meizura. Setelah sholat shubuh dan dzikir sebentar hatiku terasa lebih tenang. Tanpa melepas mukena dan merapikan sajadah aku beralih ke sofa. Kuluruskan kakiku yang kesemutan sambil memukul-mukulnya pelan. Hanya sebentar, tanganku meraih kertas persegi empat yang ada di meja samping sofa. Foto hasil USG terakhir inilah yang satu-satunya pelipur laraku sejak satu sebulan yang lalu. Lebih tepatnya hampir dua bulan kejadian naas itu menimpaku dan hanya menyisakan duka yang sampai saat ini masih menyelimutiku. Cekle.... Pintu terbuka, nampaknMas Fagan berdiri ambang pintu sambil membawa nampan yang berisi makanan. Reflek kuarahkan mataku pada jam diatas meja samping ranjang, pukul 7 pagi. 'Pantas," gumamku dalam hati. "Waktunya sarapan!" katanya sambil berjalan masuk dan meletakkan bawaannya di meja samping. Kulirik pria itu sebentar tanpa berniat menimpali. Ya sejak pulang dari rumah sakit, aku menutup mulutku rapat. Tak hanya dengan Mas Fagan aku menolak bicara, dengan bi M
Pov Meizura "Kumohon jangan menolakku," pintanya dengan tatapan sendu. Tangannya tak hentinya mengelus rahang dan leherku bergantian. Aku pun terhipnotis manik hitam itu dan hanya terdiam tak sanggup lagi melawan. Cup... Cup.... cup... cup.... Pelan dikecupnya kedua mataku bergantian lalu ujung hidungku dan berakhir di bibiku. Mas Fagan melumatnya lembut dan tanpa sadar akupun terbuai dalam pagutan dan cecapannya yang lembut. Tak bisa di pungkiri hatiku masih tetap miliknya. Hidup bersama selama dua tahun sudah membuat hatiku mengukir permanen nama Mas Fagan. Sikap lembut dan perhatiannya yang hampir dua bulan ini membuatku sedikit membuka diri untuknya. Meski tak berbicara aku tak lagi memandangnya dengan tatapan sinis. Ya, aku sadar dia pun sedih karena kehilangan putri kami sama sepertiku. Mas Fagan juga tak sepenuhnya salah, jika saja aku tak keluar dengan Adiba dia tidak akan emosi dan membentakku sehingga kejadian itu terjadi. Tanpa sadar tubuhku sudah beralih diatas tem
Pov Meizura. "Jangan salah faham dulu! Aku akan jelaskan, tolong dengarkan aku!" pintanya yang tidak aku gubris. Aku membuang muka tetap menolak menatapnya, tangannya pun aku tepis kasar. Anehnya terdengar dia malah tertawa, reflek aku menoleh. Kutatap sinis pria itu. "Aku senang jika lihat kamu kayak gini, sedikit-sedikit marah sedikit-sedikit cemburu. Sudah balik kayak dulu lagi,"Sontak aku memutar mataku jengah. Entah sejak kapan tapi pria ini mulai bersikap seperti dulu, di awal-awal pernikahan kami. Kuakui Mas Fagan adalah suami yang sangat baik sebelum aku tahu kebohongannya yang membuat hubungan kami memburuk sejak beberapa bulan yang lalu hingga kini.Sebenarnya aku tidak meminta banyak, aku hanya ingin dia mengakui kesalahannya dan secara gentle meminta maaf padaku. Jika memang dia tidak mencintaiku maka ceraikan aku secara baik-baik. Aku akan merelakan semuanya. Bukannya bertahan untuk bersama tapi saling menyakiti satu sama lain. "Dengarkan aku sebentar," pintanya men
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka