Hari ini semua orang kembali ke Jakarta. Sejak dari rumah sampai di pesawat Furqon berusaha menghalangi Fagan yang ingin berdekatan dengan Meizura. Pria paruh baya itu sengaja menempel pada putriny keduanya itu. Dia bajmhkan rela menahan ke kamar kecil hanya demi memastikan Fagan tidak mengambil kesempatan untuk mendekati Meizura saat di tidak ada. Hal itu membuat Sarah merasa sedikit kesal dengan sikap kekanakan suaminya itu. Sudah berulang kali dia meminta suaminya pergi ke toilet setelah melihat gelagat tidak nyaman dari tubuh suaminya. "Pah, pergilah! Aku akan pindah duduk di kursi Papa," bisik Sarah setelah mendatangi kursi suaminya. "Nggak usah, aku bisa menahannya," jawab Furqon dengan ekspresi yang di buat sedatar mungkin. "Papa yakin? Ingat kondisi papa, jangan sampai..." "Aku tidak apa-apa. Kembalilah ke kursimu!" kekeh Furqon yang langsung ditimpali dengan dengusan kasar Sarah. "Dasar batu," kesal Sarah sambil melirik sinis pada suaminya yang keras kepala suaminya. Ba
Sudah seminggu ini setiap pagi Fagan datang ke rumah mertuanya untuk sekedar menyapa dan membawakan makanan untuk sarapan Meizura. Hal itu Fagan lakukan untuk membuat memori baru tentang dirinya bersama Meizura. Tidak bosen pria itu datang meski kedatangannya tidak mendapat sambutan yang baik dari tuan rumah. Fagan hanya bisa menunggu di depan pos security yang ada di sebelah pintu gerbang sembari menunggu Security memanggilkan Meizura. Anehnya pagi ini sudah lebih dari lima dua puluh lema menit wanita yang selalu dia rindukan itu tak kunjung datang seperti kemarin-kemarin saat dia datang."Pak, bisa minta tolong dipanggilkan lagi?" pinta Fagan sopan, pada dua security yang berjaga di dalam pos. "Ini sudah lebih dari dua puluh menit tapi istri saya belum juga keluar," sambung Fagan sedikit membungkukkan tubuhnya saat berbicara. "Mungkin Mbak Zenia belum bangun," jawab salah satu security yang ber-name tag Jono. Merasa aneh, Fagan mengerutkan dahinya. "Tumben?" ujarnya lalu melihat j
"Mau makan sesuatu?" tanya Fagan yang dijawab gelengan oleh Meizura. "Pikirkan lagi, mungkin kamu ingin makan bakso atau martabak? Dulu saat kamu sakit kamu selalu minta dibelikan martabak atau makanan kesukaanmu yang lain." Tak menyerah Fagan bertanya lagi sambil tangannya membetulkan selimut di tubuh wanita yang berwajah agak pucat itu. "Dulu?" tanya Meziura dengan alis terangkat. "Hemm.... " Fagan mengangguk sambil tersenyum lebar. "Dulu kamu sangat manja kalau sedang sakit," ujarnya mengingat masa indah pernikahan mereka dulu. Melihat Fagan yang tersenyum membuat Meizura penasaran seperti apa masalalu mereka? Dari ekspresi wajah Fagan, seharusnya rumah tangga mereka sangat harmonis lalu kenapa mereka sampai berpisah? Pikir Meizura. "Seperti apa masalalu kita? Bisa ceritakan, waktu itu kamu kan sudah janji," tagih Meizura. "Iya, aku akan menceritakannya. Sekarang berbaringlah! Dengarkan aku sambil tiduran," perintah Fagan lalu membantu Meizura berbaring. "Pertama kali kita ber
"Hah? Kamu bercanda kan?" Kinanti melebarkan matanya. "Zura baru saja lulus sekolah dan umurnya jauh di bawahmu?" sambungnya masih dengan rasa tidak percaya mendengar permintaan putra sulungnya itu. Fagan mendengus, "Aku menyukainya Ma, lebih menyukainya dari pada Zahra. Akan lebih mudah membimbingnya dari pada Zahra yang sudah berumur matang. Apalagi Zura juga lebih ceria dibanding Zahra tentu dia lebih cocok dengan ku yang pendiam," ujar Fagan memberi alasan. "Ayolah Ma, bantu aku...." Fagan meraih tangan Kinanti. "Astaga.... Kamu ini..." Kinanti menghela nafas panjang. "Sekalipun Mama bersedia membantumu tapi bagaimana caranya membuat Zura mau menikah denganmu? Zahra saja menolak," "Eyang Farida, Mama hanya cukup menyakinkan Eyang Farida maka gadis itu akan menurut," ujar Fagan yakin. Setahunya sejak kecil Meizura tinggal dengan neneknya itu. Dan lagi sepanjang yang Fagan amati, semua orang di keluarga Arrasyid termasuk Furqon tidak ada yang berani membantah ucapan Eyang Farida
Pov Fagan. "Jadi benar kita sudah menikah?" tanya Zura saat aku berhenti bercerita. "Hemm.... kita menikah meski ada banyak yang tidak menginginkan pernikahan itu terjadi." Zura pun mengangguk samar lalu menyipitkan matanya ke arahku, "Kenapa kamu memilihku untuk menjadi pengantin pengganti untukmu?" Zura kembali bertanya. Spontan aku pun menarik sudut bibirku, hatiku merasa senang mendengar pertanyaannya. Itu artinya dia penasaran dan tertarik untuk mengetahui masalalu kami dan itu memang yang aku harapkan. "Seperti yang aku katakan kepada Mama, aku memilih menikahimu karena aku menyukaimu." Aku tidak berbohong, dari awal bertemu dengannya aku sudah tertarik padanya namun saat itu aku sudah bersama Mayang jadi aku membuang jauh-jauh perasaan itu. Dan saat aku memliki kesempatan untuk bersamanya aku sedang diselimuti oleh dendam. Sehingga muncullah ide gila itu untuk membalas Ardiaz. "Bukakah awalnya kamu ingin menikahi Mbak Zahra?" tanyanya dengan mata memicing seolah menunjukk
Pov Fagan. Sudah hampir tiga jam Zura tertidur pulas, mungkin karena pengaruh obat yang tadi diminumnya setelah sarapan. Suhu tubuhnya pun sudah mulai normal. Aku mengeceknya setiap setengah jam sekali. Bukan lebay tapi lebih ke takut jika tiba-tiba suhu tubuhnya kembali naik seperti cerita Bunda Sarah. Tadi Bunda sempat mengirim pesan dan memintaku untuk mengecek suhu tubuh Zura secara berkala. Ibu tiri Zura itu takut jika kondisi Zura kembali drop seperti tadi malam. [Fagan, tolong periksa suhu tubuh Zenia per satu jam sekali dan segera kirimkan fotonya ke saya. Jika suhu tubuhnya naik tolong minta bibi untuk menompresnya! Tolong jaga dia, jangan sampai kondisinya drop lagi!]. Isi pesan yang Bunda kirim beberapa jam yang lalu. Setelah mendapat pesan itu aku pun tak beranjak sedikitpun dari atas sisi ranjang tempat Zura mengarungi alam mimpi. Rasa khawatir merajai hatiku hingga membuatku tak merasa lelah sedikitpun meski sudah lebih dari tiga jam aku duduk tanpa bersandar.Kupanda
"Menjauhlah darinya!!!" geram Fagan dengan tatapan tajam pada pria yang saat ini sedang mengarahkan pandangannya ke arah sosok wanita yang berdiri dibelakang Fagan. "Kamu beneran Zura kan?" tanyanya lagi sembari mendekat untuk memastikan. "Menjauhlah!!!" sentak Fagan mendorong kasar Raka sampai membuat pria itu terhuyung ke belakang. Ya... Pria itu Raka, sepupu Fagan. Juga salah satu pengkhianat yang telah menjadi penyebab natalnya pernikahan Fagan dan Mayang. "Jangan mengujiku, kali ini aku tidak main-main!!" Kembali Fagan memberi peringatan pada saudara yang sudah tak dianggapnya sebagai saudara lagi itu. Bagaimana Fagan tidak sakit hati dengan sepupunya yang tidak tahu diri itu? Dengan berat hati Fagan berusaha untuk memaafkan laki-laki yang telah mengkhianatinya dan masih membiarkannya tetap bekerja di perusahaan yang dia pimpin, tapi bagai air susu dibalas air tuba, Raka bersama Adiba menghasut Zura agar pergi meninggalkan Fagan. "Siapa dia?" Suara Zura menarik Fagan dari pi
"Iya. Kamu mengingatku?" ujar Adiaz dengan mata berbinar. Zura menoleh pada Fagan yang berdiri kaku di sebelahnya. "Benar dia Ardiaz?" bisiknya. "Hah...." Fagan sedikit bingung namun tetap mengangguk. Saat pertama mendengar Zura mendengar menyebut nama Ardiaz, hatinya seketika dijalari rasa nyeri yang menyesakkan dadanya. Dikiranya istrinya itu mengingat pria flamboyan yang memiliki banyak kekasih itu. "Iya, dia Ardiaz." Dengan tatapan datar Fagan menunjuk kearah Ardiaz dengan dagunya. Hampir saja Fagan putus asa dan ingin menyerah karena harus merelakan cintanya kembali dirampas oleh adik kandungnya sendiri. "Kamu mengingatku kan?" tanya Ardiaz lagi untuk memastikan. Zura menggeleng, "Tadi aku hanya menebak saja," Nyess........ Ibarat disiram air darin pengunungan Himalaya hati Fagan mendadak dingin dan tenang. Sudut bibir tertarik kesamping, pria yang sudah menginjak kepala tiga itu tersenyum tipis. "Ma-maksudnya?" Ardiaz sedikit tergagap karena terkejut dengan jawaban wanita
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka