Arsen menatap keluar kaca jendela mobilnya yang dikendarai Thomas, dia tersenyum mengingat permintaan Lily padanya untuk menemui koleganya di restoran. Arsen masih diam, bahkan saat Thomas memberikan informasi padanya. "Pak Anthony sudah sampai, asistennya baru saja mengabari saya, Pak." Arsen menoleh pada Thomas yang berada di belakang kemudi, memberikan tatapan dingin pada sekretarisnya itu karena mengemudi sambil mengecek ponsel. Thomas yang sadar akan kesalahannya segera meletakkan ponsel kembali. Hening. Hingga Thomas memandang Arsen dari kaca spion tengah dan bertanya," Ngomong-ngomong hari ini Anda sepertinya bahagia sekali, Pak? Apa hal baik terjadi?" Arsen tak menjawab, dia memalingkan wajahnya keluar jendela lagi. "Kamu mau mobil baru?" Thomas melebarkan mata, dia sampai tak bisa berkata-kata mendengar tawaran Arsen. Thomas membuka jendela, mengeluarkan tangan kanannya sebelum menutup jendela lagi. "Tidak hujan Pak, saya yakin hari ini cerah. Kenapa tiba
Arsen langsung pulang setelah bertemu dengan Anthony. Dia memberi perintah pada Thomas tepat setelah asistennya itu menghentikan mobil dengan mulus di halaman. "Hari ini jangan ganggu aku dengan pekerjaan!" Tegas Arsen. Dia menatap Thomas yang mengangguk patuh"Tapi bagaimana jika ada informasi penting? Apa saya masih boleh mengirimkan pesan?""Hm!" Arsen menutup pintu mobil lalu memasukkan tangan kirinya ke kantong celana. Saat Arsen hendak melangkah samar terdengar suara teriakan dari dalam. Arsen mengerutkan kening. Dia mulai curiga melihat asap mengepul dari arah samping mansionnya di mana dapur kotor berada. "Apa terjadi kebakaran?" tanya Thomas yang masih berdiri tak jauh dari Arsen. Arsen dan Thomas masih fokus melihat ke arah asap muncul ketika seorang pelayan berjalan tergopoh menyambut. "Tu .. Tuan, Anda sudah pulang." Arsen melihat kepanikan di wajah pelayan itu. "Apa yang terjadi?" Thomas bertanya ke pelayan sebelum Arsen. "I ... itu... itu Nona Lily
Lily kaget mendengar ucapan Arsen. Dia sudah sangat percaya diri, jadi mana mungkin tes tertulis saja tidak lulus. Mustahil! Lily berjalan cepat ke arah meja rias untuk mengambil ponsel. Dia harus mengecek email segera. Lily hampir saja sedih dan putus asa, tapi ternyata Arsen hanya menggoda. Lily menoleh Arsen yang masih duduk di sofa. Dia membaca pesan yang masuk di emailnya, setelah itu memberikan tatapan kesal ke Arsen. "Aku lolos tahu!" Lily menghentakkan kaki, mengusap sudut matanya yang hampir meneteskan buliran kristal bening. Lily cemberut menatap Arsen yang berjalan ke arahnya. Dia diam saja saat Arsen mengusap puncak kepalanya. "Kamu menyebalkan," protes Lily. Arsen memulas senyum tipis. "Setelah ini kamu akan benar-benar diuji, jadi bersiaplah!" Arsen serius memperingatkan Lily. Dia pergi meninggalkan Lily ke kamar ganti dan berkata," Ayo keluar beli cake!" "Apa? Beli cake?" Suara Lily terdengar ceria. Dia tak bisa menyembunyikan rasa gembira. Ha
Pagi itu tanpa sarapan, Lily pamit berangkat lebih dulu ke kantor. Arsen yang melihat Lily terburu-buru hanya mengerutkan kening. Dia bahkan tidak membalas ucapan Lily karena istrinya itu sudah keluar kamar. Arsen masuk ke ruang ganti untuk berganti baju, dia masih berdiri di depan cermin ruang ganti dengan handuk yang melilit pinggang saat tiba-tiba saja melihat Lily masuk. "Astaga!" Lily kaget dan langsung membalikkan badannya memunggungi Arsen. "Untuk apa kembali?" tanya Arsen dingin. Dia mengambil baju ganti dari lemari kemudian mulai memakainya satu persatu. "Aku... aku...." Lily gugup. "Aku belum mendengar kamu membalas saat aku pamit tadi." "Itu penting?" Nada bicara Arsen masih tetap dingin. Lily menoleh sedikit memastikan Arsen sudah mengenakan celana dan kemeja. Lily merasa Arsen bersikap dingin lagi padanya sejak Dini menelepon kemarin lusa. "Iya, aku belajar dari Bunda kalau istri harus meminta izin suami saat keluar rumah," balas Lily. "Suami?" Arsen
Lily melihat Sonia mengepalkan tangan di sisi badan dan penuh percaya diri berkata," Aku akan mendapatkan posisi direktur pemasaran dan akan aku pastikan kamu ditendang dari ARS." Lily tertawa menghina lalu pergi meninggalkan Sonia. Sonia yang kesal ingin berteriak memaki Lily, tapi sadar banyak karyawan ARS yang berlalu lalang di lobi. Lily berjalan menuju lift, dia menyapa ramah karyawan lain yang mengantri. Namun, keramahan Lily tidak disambut baik. Dengan ekor matanya Lily melihat beberapa di antara mereka saling berbisik, tapi dia memilih untuk mengabaikan. Lily masuk ke lift, menekan lantai di mana para karyawan yang lolos tes tertulis dan wawancara akan mendapat pembekalan selanjutnya di aula. Sesampainya di sana Lily langsung duduk di salah satu kursi. Suasana masih sepi hingga Lily memilih membuka ponsel untuk mengecek adakah pesan masuk untuknya. Lily berdecak kesal saat mendapati tidak ada pesan dari Arsen. "Dia itu memang pria dingin, sebenarnya dia men
Lily menunggu dengan penasaran lantas tertawa mendengar jawaban wanita itu. "Pemiliknya terkenal kejam." Lily menunduk menyembunyikan senyum, dia tak ingin wanita itu curiga padanya. "Kalau begitu aku tidak akan mengganggumu, lanjutkan pekerjaanmu, aku doakan semoga semuanya lancar." Lily berdiri saat wanita itu juga berdiri. Dia tersenyum dan membalas lambaian tangan wanita itu. "Dia memang kejam, bahkan denganku masih saja kejam," gumam Lily. Dia menggeleng pelan kemudian duduk lagi. Lily kembali menyusun materi untuk presentasinya. Dia bahkan mematikan ponselnya agar bisa lebih fokus. ** Di ruang kerja Arsen Arsen menatap ponselnya yang tergelatak di meja. Dia mendengar ketukan dan suara Thomas tapi memilih mengabaikan. Arsen meraih lalu membalik ponselnya agar tak melihat layar. Dia menyandarkan punggung sedikit kasar kemudian memutar kursinya menghadap jendela. Arsen menumpukan siku ke lengan kursi kerjanya lantas memijat kening. Benarkah dia kesal hanya karena Lily
Lily bingung harus menjawab apa, sedangkan dia tidak tahu apa maksud Thomas. Lily masih mencoba mencerna apa yang terjadi saat Thomas semakin mendekat ke arahnya. Lily merasa terancam dan melangkah mundur untuk mengantisipasi. “Aku mohon selamatkan aku,” pinta Thomas memelas. Tiba-tiba Lily tersenyum penuh arti, dia menyadari jika Thomas pasti sedang terkena marah Arsen sampai bersikap begini. “Selamatkan dari apa?” tanya Lily pada akhirnya. Thomas mengembuskan napas pelan, lalu menceritakan tentang mobil yang sudah dia pesan dan seharusnya Arsen bayar. “Baiklah aku akan membantumu,” ucap Lily, “tapi jika berhasil, kamu berhutang satu permintaan dariku,” imbuh Lily seraya menaik-turunkan kedua alis. “Baik,” balas Thomas tanpa berpikir. “Oke, deal.” Lily dan Thomas sepakat. Thomas langsung meraih untuk menjabat tangan Lily, setelah sadar dia melepaskan tangan wanita itu dan minta maaf. ”Apa kamu sudah menyelesaikan tugasmu?” tanya Thomas kemudian. Kedua alis Lily b
Lily tertegun begitu juga semua orang. Ruangan itu seketika hening. Sonia yang memperhatikan Lily sejak tadi terlihat mengerutkan kening. 'Kenapa Pak Arsen menyudutkan Lily? Apa mereka sedang bersandiwara? Jelas Bryan bilang mereka mungkin punya hubungan spesial' Sonia menggeleng pelan setelah bergelut dengan pikirannya sendiri mendengar Lily bicara. "Menurut saya memanfaatkan bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan cara promosi ini, karena ini memang berdasarkan fakta yang sedang terjadi di tengah masyarakat kita. Mereka cenderung mengikuti apa yang selebgram populer yang mereka ikuti lakukan," jawab Lily. Semua orang terkejut karena Lily berani menjawab Arsen dengan sedikit menaikkan nada bicara. Sonia bahkan heran dari mana Lily memiliki keberanian seperti ini. Kecuali memang memiliki hubungan dengan Arsen. Sonia masih mengamati, ingin melihat sejauh mana dugaan Bryan benar. "Hampir semua perusahaan menggunakan selebriti media sosial sebagai BA dan laba peru
Lily masih sibuk melakukan pengamatan di tempat pameran. Setelah selesai dia langsung mengajak Dini dan Juna segera kembali ke ARS. Lily tidak tahu Arsen mengirim pesan. Hingga saat di lampu merah dia mencoba mengecek ponselnya. Lily kaget, tapi dia mencoba menyembunyikan gelagatnya itu. [ Maaf baru balas, aku pergi ke tempat pameran bersama Dini dan Juna. Aku tidak tahu kamu mengirim pesan ] Lily melihat pesan itu sudah dibaca oleh Arsen, tapi suaminya itu tidak membalas pesannya. ‘Apa dia marah?’ gumam Lily di dalam hati. Dia termenung. “Apa ada masalah?” Juna yang mengemudi menoleh pada Lily yang duduk di sampingnya. Dia membuat Dini yang mengantuk di kursi belakang seketika membuka mata lebar. “Kenapa?” Dini mencondongkan badan di tengah-tengah antara kursi Juna dan Lily. “Tidak ada apa-apa,” balas Lily lalu menyimpan ponselnya di dalam tas kembali. "Ayo segera ke kantor, aku tidak mau kalian terkena sindiran atau makian Sonia karena membantuku," ucap Lily
Dini seketika diam. Dia menatap Lily dengan tatapan tak percaya. “Kamu bercanda? Mana mungkin kamu istrinya Pak Arsen?"Lily mengedikkan kedua bahu. “Seperti gosip yang kamu dengar, aku juga bisa dengan mudah membuat gosip dan membuat gempar dengan pernyataanku," ucapnya .Dini menggeleng pelan dan menganggap Lily hanya sedang bercanda. “Sudahlah Lily! Kamu jangan bertindak aneh-aneh. Lebih baik fokus ke tahap akhir pemilihan direktur pemasaran.”Lily seketika ingat akan hal itu, lalu berkata, “Oh ... ya, aku mau mengajakmu ke suatu tempat.”Dahi Dini berkerut halus. “Ke mana?”“Ikut saja, nanti juga kamu akan tahu.”“Kapan perginya?” tanya Dini penasaran.“Nanti habis makan siang.”Dini mengangguk-angguk.Mereka masuk ke ruangan, di sana sudah ada Sonia dan staff lain yang sedang asik bergosip.“Pak Arsen memang sangat kaya, pulang dari kantor saja memakai helikopter padahal mobil juga banyak di bawah,” ucap salah satu staff.“Pasti dia pergi menjemput kekasihnya untuk mengajak ken
Arsen melihat senyuman hambar tergambar jelas di wajah Lily. Dia membiarkan wanita itu berjalan meninggalkannya di belakang dan hanya memandangi punggung Lily.Arsen membeku di tempatnya untuk beberapa detik, sebelum dia berjalan cepat dan memeluk tubuh Lily dari belakang. "Masih seperti mimpi?" bisiknya.Lily mengangguk. Tak lama dia berjengket.Arsen menggigit telinga Lily sampai wanita itu mengaduh, setelahnya Arsen menyandarkan dagu ke pundak Lily."Masih merasa ini mimpi?" Arsen berbisik lagi di telinga Lily.Lily menggeleng. "Tidak! Aku percaya ini bukan mimpi," ucapnya. Suaranya tercekat. Lily memejamkan mata menahan gelenyar aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya saat Arsen mulai menciumi lehernya.Perbuatan Arsen membuat Lily tak kuasa.Mereka berakhir kembali ke kamar dan melakukan aktivitas menyenangkan bagi pasangan suami istri seperti malam sebelumnya. Arsen memeluk Lily setelah mereka bercinta, tatapannya beralih ke kalung yang melingkar di leher wanita itu. Arsen men
Malam itu Sonia terlihat senang karena Bryan mengajaknya makan malam. Dia dan Bryan datang ke restoran bintang lima dan diarahkan ke private room yang sudah dipesan Bryan sebelumnya. Saat masuk ke private room, di sana sudah ada Monica dan Arya yang menunggu kedatangan Bryan. Namun, mereka tak menyangka jika ternyata Bryan malah mengajak Sonia. Monica menatap tak senang. Dia bertanya-tanya, kenapa Bryan malah datang bersama Sonia, sedangkan putranya itu tak memberitahu kalau mereka akan makan malam berempat. “Selamat malam, Om, Tante,” sapa Sonia sopan. Bahkan Sonia juga mengulurkan hadiah yang dibawanya untuk Monica. Bukannya menerima hadiah pemberian Sonia, Monica langsung membuang muka. Dia memperlihatkan rasa tak senangnya akan kehadiran Sonia di sana. Sonia kecewa karena Monica tak mengambil hadiah yang dibawanya, sampai Bryan yang menerimanya lalu meletakkan di samping kursi Monica. “Ternyata kamu mengajaknya ikut makan malam,” ucap Monica dengan nada ketus, “pad
Lily panik, dia berdiri kemudian mendekat ke arah Arsen. Lily meraih tangan pria itu dan menariknya masuk."Apa yang kamu lakukan di sini?" Lily ketakutan, mengintip dari ambang pintu, dia menoleh ke kiri lalu kanan sebelum menutup pintu.Lily memandang Arsen cemas. Dia tidak bisa melakukan apa-apa saat pria itu malah berjalan meninggalkannya.Lily mengekori Arsen yang mendekat ke meja kerjanya, pria itu mengambil lembaran kertas di atas meja lalu membacanya.Lily takut Arsen akan mengomentari pekerjaannya, lalu menyambar kertas itu dari tangan sang suami.Arsen membalik badannya, dia menyandarkan pinggang ke meja kerja Lily lalu bersedekap mengamati seisi ruangan."Sudah sepi apa kamu tidak takut sendirian? Ada yang bilang di sini seram." Lily memandang Arsen yang berdiri di depannya. Dia menggeleng lalu berkata," Aku tidak takut hantu, manusia lebih menakutkan."Arsen menarik sudut bibir, tangannya menggapai pinggang Lily hingga wanita itu jatuh ke dalam pelukannya."Aku manusia,
Lily berpura-pura tak mendengar obrolan Juna dan Dini. Dia kembali menikmati sarapannya dan menyesap kopi yang baru saja Dini buatkan. Lily berprinsip tidak akan mempercayai omongan orang lain jika tidak mengalami atau melihatnya secara langsung. Dia tidak ingin menjadi orang bodoh untuk kesekian kali di hidupnya. Termakan omongan orang yang hanya ingin merusak kebahagiaannya. Terlebih ini tentang Arsen. Pria yang dia cintai. "Lily bagaimana menurutmu?" Lily menoleh Dini yang bertanya, dia meletakkan gelas kopinya lantas menjawab," Aku malas mengomentari gosip." Lily tersenyum. "Sebentar lagi aku mau ke lantai tujuh," ucapnya. Juna hanya menatap datar melihat reaksi Lily. *** Sepuluh menit kemudian Lily berjalan pelan menuju lantai tujuh. Saat keluar lift sebuah pesan masuk dari Arsen. Lily berhenti sejenak untuk membaca pesan itu. [ Pulang awal saja kalau merasa sakit dan tidak nyaman ] Lily tersenyum, membalas kembali pesan dari Arsen untuk menenangkan pr
Lily pergi ke kamar mandi. Dia berdiri di depan cermin lalu memakai syal yang Thomas berikan untuk menutupi lehernya. Lily memerhatikan dengan seksama dan memastikan syal itu sudah menutup sempurna di lehernya. “Sepertinya sudah aman,” gumam Lily. Lily merapikan tasnya karena harus segera kembali ke ruang divisi pemasaran, tetapi saat masih berdiri di depan cermin, Sonia tiba–tiba keluar dari salah satu bilik kamar mandi dan berdiri mensejajari Lily sambil cuci tangan. “Syalmu bagus.” Sonia melirik Lily yang berdiri di sampingnya. “Apa karena tak bisa mendapatkan Pak Arsen, lalu sekarang kamu mengincar asistennya? Seleramu sekarang turun, ya,” sindir Sonia sambil tersenyum miring. Lily berdiri tegap, ekspresi wajahnya datar menanggapi ucapan Sonia. “Aku tidak perlu menjelaskan kehidupan pribadiku padamu,” balas Lily dengan enteng, “lagi pula aku tidak butuh orang yang mengajakku bicara agar dianggap teman tapi kemudian menusuk dari belakang dan merundungku.” Lily bicara
Hari berikutnya Lily sudah bangun, tapi malas membuka mata. Dia masih betah memeluk Arsen di atas ranjang, merasakan betapa nyamannya kulit mereka saat bersentuhan. Lily tersenyum, merasa senang karena kejadian malam tadi yang dilewatinya bersama Arsen bukanlah mimpi. Dia bahagia, meskipun merasa pegal dan perih di beberapa bagian tubuhnya. Lily semakin mencurukkan kepala saat Arsen menariknya lebih dalam ke pelukan. Dia ingin berlama-lama seperti ini, tapi sadar tetap harus pergi bekerja. "Sudah pagi, tidak mandi?" Suara Arsen yang serak dan lengket terdengar begitu seksi di telinga Lily. Dia tersenyum menyadari kalau pria seksi itu adalah miliknya. "Aku boleh terlambat 'kan Pak CEO? Aku masih ingin bersamamu," kata Lily, memeluk erat Arsen dan masih enggan membuka mata. "Terserah! Tidak ada yang akan memarahimu." Arsen membalas setelah itu mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Lily. Lily berbunga-bunga, berpikir setidaknya masih bisa bermalas-malasan se
Arsen mengerutkan kening, menahan tubuhnya dan menatap curiga pada Lily. "Tunggu! Kamu minum alkohol?" Arsen melihat Lily kaget mendengar pertanyaannya. Dia memegang tangan Lily karena Lily baru saja memukul dadanya. "Sembarangan! Apa kamu mencium bau alkohol dari mulutku?" Amuk Lily dengan bibir cemberut. Arsen tersenyum lantas menahan tangan Lily di sisi kepala wanita itu. "Aku harus memastikan kamu menginginkannya dengan kesadaran penuh." Arsen memandang mata Lily, tatapan mereka saling mengunci. "Aku sadar, aku menginginkanmu," balas Lily. Lily merasakan cekalan tangan Arsen melonggar bersamaan dengan pria itu yang kembali menyatukan bibir mereka. Arsen menjauhkan wajah, menatap begitu dalam pada Lily, dari mata indah sampai bibir ranum gadis itu tak luput dari sapuan pandangannya. “Aku tidak akan mundur, jadi kamu jangan menyesal,” ucap Arsen. Lily menggeleng pelan dengan senyum manis di wajahnya. “Aku tidak akan menyesal.” Mendapat sinyal untuk terus maju dari