Sherly menatap Sonia yang mengepalkan telapak tangan di atas meja.“Apa kalian tidak bisa diam? Berhenti berdebat!” bentak Sonia.Juna dan Sherly akhirnya diam dan kembali ke pekerjaan masing-masing.Ruangan itu seketika hening.Sonia menoleh pada Lily, tatapannya penuh kebencian tetuju lurus pada Lily.Lily menyadari tatapan Sonia tertuju padanya, tetapi dia tak terganggu dan bersikap biasa. Lily membalas tatapan Sonia sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya. Dia harus menyelesaikan semuanya karena pemilihan direktur akan menyita banyak waktunya.***Saat jam makan siang, Lily mengajak Dini makan di luar perusahaan. “Aku yang traktir,” kata Lily.“Benaran kamu yang traktir?” tanya Dini tak percaya.“Tentu saja,” jawab Lily ikut tersenyum senang melihat Dini tersenyum bahagia.Lily mengajak Dini makan di warung sop yang tidak jauh dari perusahaan.“Kamu yakin mau makan di sini?” tanya Dini, menatap ragu pada Lily. “Kukira kamu tidak suka makan makanan pinggir jalan?”“Sop di sini katany
Arsen lantas duduk di tepi ranjang tepat di samping Lily, meraih tangan Lily dan menggenggam erat."Ada aku, jangan takut."Lily mengangguk kecil kemudian menoleh pada dokter.Setelah rangkaian pemeriksaan Lily selesai, Bibi Jess meninggalkan kamar bersama dokter.Arsen membetulkan letak selimut Lily, dia mengusap kening Lily yang sudah tidur lalu mengerutkan alis.Badan Lily hangat.Arsen keluar memanggil pelayan untuk menyiapkan air dan washlap agar dia bisa mengompres Lily.Tak lama Bibi Jess datang membawa apa yang Arsen minta.Wanita paruh baya itu berdiri di ambang pintu."Apa Anda mau tidur di kamar lain, Tuan? Biar saya yang menjaga Nona Lily," ucap Bibi Jess."Bibi ingin aku meninggalkan istriku yang sedang sakit?" Arsen bertanya dengan tatapan dingin.Melihat rahang Arsen mengetat membuat Bibi Jess menunduk. "Bukan begitu Tuan, saya hanya takut Tuan kurang istirahat dan malah sakit," lirih Bibi Jess."Tidak perlu cemas."Arsen menutup pintu kemudian berjalan menuju ranjang. D
Setelah mengatakan itu, Lily kembali memutar tubuhnya dan mengajak Dini pergi meninggalkan Sonia.Sonia hanya bisa menahan geram. Dia mengepalkan kedua telapak tangan di samping tubuh sambil terus menatap pada Lily yang sudah berjalan jauh darinya, sebelum akhirnya berbalik dan masuk ke ruang divisi dengan langkah marah.Saat hampir sampai ruangan divisi pemasaran, Lily melihat Thomas di ujung sisi ruangan menatap padanya. “Kamu duluan saja ke ruangan,” bisiknya pada Dini.Lily menghampiri Thomas. Sekretaris Arsen itu menyerahkan sebuah kantong kecil padanya."Ini Vitamin dari suami Anda," ucap Thomas.Mata Lily seketika melebar, dia refleks menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang mendengar. "Tolong jangan bicara sembarangan di sini!" desis Lily. Lily cemberut karena Thomas malah tertawa."Sampaikan terima kasihku padanya," ucap Lily lalu membuat gerakan tangan mengusir Thomas.Lily kemudian buru-buru berjalan ke ruang divisi pemasaran.Sementara itu tak jauh dari sana,
Malam harinya, setelah jam kerja usai, Arsen mengajak Lily keluar. "Kita perlu mencari hadiah untuk kolega bisnisku," katanya. Mata Lily berbinar. "Oke!" sahutnya, senang. Namun, sedetik kemudian ia menatap Arsen dari atas ke bawah. "Tapi, kamu harus sedikit menyamar." Arsen menaikkan sebelah alisnya, tak percaya. "Menyamar?" Lily mengangguk serius, lalu mengambil jaket dan topi dari lemari. Ia berdiri di depan Arsen yang kini berdiri di depan cermin besar di ruang ganti. Dengan cekatan, Lily memasangkan jaket dan topi itu pada Arsen "Ini berlebihan," komentar Arsen datar, menatap pantulan dirinya yang kini tampak berbeda. "Ini lebih baik daripada kita bertemu orang yang mengenali kita, lalu jadi gosip," balas Lily, tersenyum manis. Namun, senyumnya memudar saat melihat tatapan datar Arsen di cermin. Ia menunduk, memainkan ujung jaket Arsen. "Aku ingin orang-orang tahu kita sudah menikah. Tapi, seperti yang kubilang biarkan aku mendapatkan posisi direktur itu dulu." Ia mendongak,
Lily tidak banyak bicara selama perjalanan pulang. Dia takut salah bicara dan malah membuat Arsen salah paham. Setibanya di rumah, Bibi Jess dan tiga pelayan menyambut Lily dan Arsen. Arsen memberikan belanjaan pada pelayan lalu masuk. Dia berjalan beberapa langkah kemudian berhenti dan menoleh pada Lily yang tertinggal di belakang. Arsen mengulurkan tangan, memandang Lily yang tampak canggung. "Ayo!" Lily berjalan cepat agar bisa segera meraih tangan Arsen. Dia tersenyum merasakan genggaman Arsen terasa semakin kuat. "Semuanya sudah siap?" tanya Arsen tanpa menoleh. "Sudah Tuan," balas Bibi Jess. Seorang pelayan mendahului langkah Arsen dan Lily menuju bioskop mini di mansion itu untuk membukakan pintu. "Silahkan Tuan, Nona. Jika ada yang dibutuhkan kami akan berjaga di luar." Bibi Jess bicara, dia dan pelayan lainnya membungkuk memberi hormat. Arsen menatap ke meja yang sudah penuh dengan berbagai macam minuman dan camilan kemudian berkata," Tidak perlu be
Lily menahan napas saat Arsen mendaratkan ciuman di bibirnya. Dia bisa merasakan bagaimana pria itu menciumnya lembut dan lama kelamaan menuntut. Lily mengepalkan tangan di sisi badan, menutup matanya kemudian membukanya lagi saat Arsen meraih tangannya lalu membimbing tangan Lily untuk memeluk tubuh Arsen. Arsen menjauhkan wajah, dia tersenyum lalu menempelkan keningnya ke kening Lily. "Mau lebih?" tanya Arsen seraya mengusap bibir Lily menggunakan ibu jari. Lily menggeleng, wajahnya semerah kepiting rebus. Dia menunduk malu. "Aku mau ke kamar, aku mengantuk." Lily membuka pintu dan buru-buru keluar. Dia menggigit bibir bawahnya kemudian menyentuh bibirnya yang terasa kebas. "Aku memang sudah gila," gumam Lily. Sesampainya di kamar, Lily langsung mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi. Saat keluar Lily mendapati Arsen sudah berada di kamar. Lily masih saja malu, dia tidak menyapa Arsen dan langsung naik ke tempat tidur. Lily memunggungi Arsen dan berpura-p
Arsen menatap keluar kaca jendela mobilnya yang dikendarai Thomas, dia tersenyum mengingat permintaan Lily padanya untuk menemui koleganya di restoran. Arsen masih diam, bahkan saat Thomas memberikan informasi padanya. "Pak Anthony sudah sampai, asistennya baru saja mengabari saya, Pak." Arsen menoleh pada Thomas yang berada di belakang kemudi, memberikan tatapan dingin pada sekretarisnya itu karena mengemudi sambil mengecek ponsel. Thomas yang sadar akan kesalahannya segera meletakkan ponsel kembali. Hening. Hingga Thomas memandang Arsen dari kaca spion tengah dan bertanya," Ngomong-ngomong hari ini Anda sepertinya bahagia sekali, Pak? Apa hal baik terjadi?" Arsen tak menjawab, dia memalingkan wajahnya keluar jendela lagi. "Kamu mau mobil baru?" Thomas melebarkan mata, dia sampai tak bisa berkata-kata mendengar tawaran Arsen. Thomas membuka jendela, mengeluarkan tangan kanannya sebelum menutup jendela lagi. "Tidak hujan Pak, saya yakin hari ini cerah. Kenapa tiba
Arsen langsung pulang setelah bertemu dengan Anthony. Dia memberi perintah pada Thomas tepat setelah asistennya itu menghentikan mobil dengan mulus di halaman. "Hari ini jangan ganggu aku dengan pekerjaan!" Tegas Arsen. Dia menatap Thomas yang mengangguk patuh"Tapi bagaimana jika ada informasi penting? Apa saya masih boleh mengirimkan pesan?""Hm!" Arsen menutup pintu mobil lalu memasukkan tangan kirinya ke kantong celana. Saat Arsen hendak melangkah samar terdengar suara teriakan dari dalam. Arsen mengerutkan kening. Dia mulai curiga melihat asap mengepul dari arah samping mansionnya di mana dapur kotor berada. "Apa terjadi kebakaran?" tanya Thomas yang masih berdiri tak jauh dari Arsen. Arsen dan Thomas masih fokus melihat ke arah asap muncul ketika seorang pelayan berjalan tergopoh menyambut. "Tu .. Tuan, Anda sudah pulang." Arsen melihat kepanikan di wajah pelayan itu. "Apa yang terjadi?" Thomas bertanya ke pelayan sebelum Arsen. "I ... itu... itu Nona Lily
Lily masih sibuk melakukan pengamatan di tempat pameran. Setelah selesai dia langsung mengajak Dini dan Juna segera kembali ke ARS. Lily tidak tahu Arsen mengirim pesan. Hingga saat di lampu merah dia mencoba mengecek ponselnya. Lily kaget, tapi dia mencoba menyembunyikan gelagatnya itu. [ Maaf baru balas, aku pergi ke tempat pameran bersama Dini dan Juna. Aku tidak tahu kamu mengirim pesan ] Lily melihat pesan itu sudah dibaca oleh Arsen, tapi suaminya itu tidak membalas pesannya. ‘Apa dia marah?’ gumam Lily di dalam hati. Dia termenung. “Apa ada masalah?” Juna yang mengemudi menoleh pada Lily yang duduk di sampingnya. Dia membuat Dini yang mengantuk di kursi belakang seketika membuka mata lebar. “Kenapa?” Dini mencondongkan badan di tengah-tengah antara kursi Juna dan Lily. “Tidak ada apa-apa,” balas Lily lalu menyimpan ponselnya di dalam tas kembali. "Ayo segera ke kantor, aku tidak mau kalian terkena sindiran atau makian Sonia karena membantuku," ucap Lily
Dini seketika diam. Dia menatap Lily dengan tatapan tak percaya. “Kamu bercanda? Mana mungkin kamu istrinya Pak Arsen?"Lily mengedikkan kedua bahu. “Seperti gosip yang kamu dengar, aku juga bisa dengan mudah membuat gosip dan membuat gempar dengan pernyataanku," ucapnya .Dini menggeleng pelan dan menganggap Lily hanya sedang bercanda. “Sudahlah Lily! Kamu jangan bertindak aneh-aneh. Lebih baik fokus ke tahap akhir pemilihan direktur pemasaran.”Lily seketika ingat akan hal itu, lalu berkata, “Oh ... ya, aku mau mengajakmu ke suatu tempat.”Dahi Dini berkerut halus. “Ke mana?”“Ikut saja, nanti juga kamu akan tahu.”“Kapan perginya?” tanya Dini penasaran.“Nanti habis makan siang.”Dini mengangguk-angguk.Mereka masuk ke ruangan, di sana sudah ada Sonia dan staff lain yang sedang asik bergosip.“Pak Arsen memang sangat kaya, pulang dari kantor saja memakai helikopter padahal mobil juga banyak di bawah,” ucap salah satu staff.“Pasti dia pergi menjemput kekasihnya untuk mengajak ken
Arsen melihat senyuman hambar tergambar jelas di wajah Lily. Dia membiarkan wanita itu berjalan meninggalkannya di belakang dan hanya memandangi punggung Lily.Arsen membeku di tempatnya untuk beberapa detik, sebelum dia berjalan cepat dan memeluk tubuh Lily dari belakang. "Masih seperti mimpi?" bisiknya.Lily mengangguk. Tak lama dia berjengket.Arsen menggigit telinga Lily sampai wanita itu mengaduh, setelahnya Arsen menyandarkan dagu ke pundak Lily."Masih merasa ini mimpi?" Arsen berbisik lagi di telinga Lily.Lily menggeleng. "Tidak! Aku percaya ini bukan mimpi," ucapnya. Suaranya tercekat. Lily memejamkan mata menahan gelenyar aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya saat Arsen mulai menciumi lehernya.Perbuatan Arsen membuat Lily tak kuasa.Mereka berakhir kembali ke kamar dan melakukan aktivitas menyenangkan bagi pasangan suami istri seperti malam sebelumnya. Arsen memeluk Lily setelah mereka bercinta, tatapannya beralih ke kalung yang melingkar di leher wanita itu. Arsen men
Malam itu Sonia terlihat senang karena Bryan mengajaknya makan malam. Dia dan Bryan datang ke restoran bintang lima dan diarahkan ke private room yang sudah dipesan Bryan sebelumnya. Saat masuk ke private room, di sana sudah ada Monica dan Arya yang menunggu kedatangan Bryan. Namun, mereka tak menyangka jika ternyata Bryan malah mengajak Sonia. Monica menatap tak senang. Dia bertanya-tanya, kenapa Bryan malah datang bersama Sonia, sedangkan putranya itu tak memberitahu kalau mereka akan makan malam berempat. “Selamat malam, Om, Tante,” sapa Sonia sopan. Bahkan Sonia juga mengulurkan hadiah yang dibawanya untuk Monica. Bukannya menerima hadiah pemberian Sonia, Monica langsung membuang muka. Dia memperlihatkan rasa tak senangnya akan kehadiran Sonia di sana. Sonia kecewa karena Monica tak mengambil hadiah yang dibawanya, sampai Bryan yang menerimanya lalu meletakkan di samping kursi Monica. “Ternyata kamu mengajaknya ikut makan malam,” ucap Monica dengan nada ketus, “pad
Lily panik, dia berdiri kemudian mendekat ke arah Arsen. Lily meraih tangan pria itu dan menariknya masuk."Apa yang kamu lakukan di sini?" Lily ketakutan, mengintip dari ambang pintu, dia menoleh ke kiri lalu kanan sebelum menutup pintu.Lily memandang Arsen cemas. Dia tidak bisa melakukan apa-apa saat pria itu malah berjalan meninggalkannya.Lily mengekori Arsen yang mendekat ke meja kerjanya, pria itu mengambil lembaran kertas di atas meja lalu membacanya.Lily takut Arsen akan mengomentari pekerjaannya, lalu menyambar kertas itu dari tangan sang suami.Arsen membalik badannya, dia menyandarkan pinggang ke meja kerja Lily lalu bersedekap mengamati seisi ruangan."Sudah sepi apa kamu tidak takut sendirian? Ada yang bilang di sini seram." Lily memandang Arsen yang berdiri di depannya. Dia menggeleng lalu berkata," Aku tidak takut hantu, manusia lebih menakutkan."Arsen menarik sudut bibir, tangannya menggapai pinggang Lily hingga wanita itu jatuh ke dalam pelukannya."Aku manusia,
Lily berpura-pura tak mendengar obrolan Juna dan Dini. Dia kembali menikmati sarapannya dan menyesap kopi yang baru saja Dini buatkan. Lily berprinsip tidak akan mempercayai omongan orang lain jika tidak mengalami atau melihatnya secara langsung. Dia tidak ingin menjadi orang bodoh untuk kesekian kali di hidupnya. Termakan omongan orang yang hanya ingin merusak kebahagiaannya. Terlebih ini tentang Arsen. Pria yang dia cintai. "Lily bagaimana menurutmu?" Lily menoleh Dini yang bertanya, dia meletakkan gelas kopinya lantas menjawab," Aku malas mengomentari gosip." Lily tersenyum. "Sebentar lagi aku mau ke lantai tujuh," ucapnya. Juna hanya menatap datar melihat reaksi Lily. *** Sepuluh menit kemudian Lily berjalan pelan menuju lantai tujuh. Saat keluar lift sebuah pesan masuk dari Arsen. Lily berhenti sejenak untuk membaca pesan itu. [ Pulang awal saja kalau merasa sakit dan tidak nyaman ] Lily tersenyum, membalas kembali pesan dari Arsen untuk menenangkan pr
Lily pergi ke kamar mandi. Dia berdiri di depan cermin lalu memakai syal yang Thomas berikan untuk menutupi lehernya. Lily memerhatikan dengan seksama dan memastikan syal itu sudah menutup sempurna di lehernya. “Sepertinya sudah aman,” gumam Lily. Lily merapikan tasnya karena harus segera kembali ke ruang divisi pemasaran, tetapi saat masih berdiri di depan cermin, Sonia tiba–tiba keluar dari salah satu bilik kamar mandi dan berdiri mensejajari Lily sambil cuci tangan. “Syalmu bagus.” Sonia melirik Lily yang berdiri di sampingnya. “Apa karena tak bisa mendapatkan Pak Arsen, lalu sekarang kamu mengincar asistennya? Seleramu sekarang turun, ya,” sindir Sonia sambil tersenyum miring. Lily berdiri tegap, ekspresi wajahnya datar menanggapi ucapan Sonia. “Aku tidak perlu menjelaskan kehidupan pribadiku padamu,” balas Lily dengan enteng, “lagi pula aku tidak butuh orang yang mengajakku bicara agar dianggap teman tapi kemudian menusuk dari belakang dan merundungku.” Lily bicara
Hari berikutnya Lily sudah bangun, tapi malas membuka mata. Dia masih betah memeluk Arsen di atas ranjang, merasakan betapa nyamannya kulit mereka saat bersentuhan. Lily tersenyum, merasa senang karena kejadian malam tadi yang dilewatinya bersama Arsen bukanlah mimpi. Dia bahagia, meskipun merasa pegal dan perih di beberapa bagian tubuhnya. Lily semakin mencurukkan kepala saat Arsen menariknya lebih dalam ke pelukan. Dia ingin berlama-lama seperti ini, tapi sadar tetap harus pergi bekerja. "Sudah pagi, tidak mandi?" Suara Arsen yang serak dan lengket terdengar begitu seksi di telinga Lily. Dia tersenyum menyadari kalau pria seksi itu adalah miliknya. "Aku boleh terlambat 'kan Pak CEO? Aku masih ingin bersamamu," kata Lily, memeluk erat Arsen dan masih enggan membuka mata. "Terserah! Tidak ada yang akan memarahimu." Arsen membalas setelah itu mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Lily. Lily berbunga-bunga, berpikir setidaknya masih bisa bermalas-malasan se
Arsen mengerutkan kening, menahan tubuhnya dan menatap curiga pada Lily. "Tunggu! Kamu minum alkohol?" Arsen melihat Lily kaget mendengar pertanyaannya. Dia memegang tangan Lily karena Lily baru saja memukul dadanya. "Sembarangan! Apa kamu mencium bau alkohol dari mulutku?" Amuk Lily dengan bibir cemberut. Arsen tersenyum lantas menahan tangan Lily di sisi kepala wanita itu. "Aku harus memastikan kamu menginginkannya dengan kesadaran penuh." Arsen memandang mata Lily, tatapan mereka saling mengunci. "Aku sadar, aku menginginkanmu," balas Lily. Lily merasakan cekalan tangan Arsen melonggar bersamaan dengan pria itu yang kembali menyatukan bibir mereka. Arsen menjauhkan wajah, menatap begitu dalam pada Lily, dari mata indah sampai bibir ranum gadis itu tak luput dari sapuan pandangannya. “Aku tidak akan mundur, jadi kamu jangan menyesal,” ucap Arsen. Lily menggeleng pelan dengan senyum manis di wajahnya. “Aku tidak akan menyesal.” Mendapat sinyal untuk terus maju dari