"Wah ... sepertinya sebentar lagi Papah akan dapat cucu, nih," ledek Muh, sambil tersenyum.Intan semakin tercengang. Ia tidak menyangka ternyata Muh sesantai itu. Ia pikir seorang pemilik rumah sakit akan menjaga wibawanya. Intan tidak tahu bahwa keluarga Zein memiliki hubungan yang hangat dan santai."Ya kan sesuai keinginan Papah. Sebagai anak yang baik, aku sih nurut aja. Yang penting udah usaha. Masalah hasilnya gimana nanti. Iya kan, Sayang?" ucap Zein sambil merangkul pinggang Intan dan menoleh ke arahnya. Sehingga bibir Zein begitu dekat dengan pipi Intan.Ternyata ada sisi lain dari Zein yang tidak Intan ketahui. Ia pikir selama ini Zein adalah orang yang kaku dan selalu serius. Namun ternyata ia justru sangat santai saat sedang berbincang dengan papahnya.Wajah Intan merona, ia hanya menjawabnya dengan anggukkan. 'Oh, jadi ini maksudnya harus mesra di depan orang tua?' batin Intan.Ia kesal karena Intan pikir Zein sedang berakting. Padahal saat ini suaminya itu sedang memanf
Intan terkesiap setelah mendengar ucapan Zein barusan. Ia tidak habis pikir mengapa Zein bisa bicara seperti itu. Padahal ia tidak pernah meminta Zein untuk melakukan hal tersebut.Hatinya yang sedang berbunga pun seketika hancur. Ia yang sudah diajak terbang tinggi oleh Zein, seolah langsung diempaskan begitu saja.Intan langsung menoleh dan merebut handuk yang ada di tangan Zein. "Ternyata benar ya apa kata orang. Punya suami tuh cuma mau enaknya aja. Udah dapet enaknya, tapi jaga perasaan istri aja gak bisa!" skak Intan. Ia membalikkan ucapan Zein.Zein ternganga. Ia tak menyangka Intan akan marah seperti itu. Padahal maksudnya hanya bercanda. Namun candaan orang kaku seperti dia tidaklah lucu."Satu lagi. Saya tidak pernah meminta Prof untuk mengeringkan rambut saya. Saya pikir Anda ikhlas melakukannya. Namun ternyata malah bicara seolah saya yang menyuruh Anda. Maaf, mulai saat ini saya pastikan tidak akan sekali pun saya merepotkan Anda. Permisi!" ucap Intan, kesal.Ia pun langs
Zein yang tanpa dosa itu langsung melajukan mobilnya kembali. Ia seolah tak peduli meski Intan sedang kebingungan akan sikapnya.'Seumur hidup, baru kali ini ada cowok yang perhatian sama aku. Tapi kenapa harus dia orangnya? Aku bingung harus seneng atau sedih. Sebab pria yang perhatian padaku justru pria yang paling menyebalkan,' batin Intan.Zein bingung mengapa Intan tercenung sejak ia masuk mobil tadi. Ia melirik ke arah Intan lalu ke arah sun visor. 'Pantesan, tisunya abis,' batin Zein. Ia yakin Intan tidak berani untuk meminta tisu padanya. Sampai darah yang ada di kakinya hampir mengering seperti itu.Setiap haid, Intan memang selalu begitu. Seperti orang yang pendarahan. Tak jarang darah yang keluar berbentuk gumpalan karena terlalu banyak."Kalau kamu butuh tisu, ambil aja di dashboard!" ucap Zein tanpa basa-basi. Ia tak menyangka haid Intan akan sebanyak itu. Sehingga tadi Zein langsung mengajaknya pulang. Alih-alih membelikan pembalut di apotek rumah sakit lebih dulu.Intan
Deg!Intan terperanjat saat melihat Zein muncul. Hantinya berdesir, bahagia karena ternyata Zein tidak meninggalkan rumah.'Eh, kirain pergi,' batin Intan, sambil menahan senyuman."Ditanya kok gak jawab," ucap Zein sambil berlalu menuju lemari. Ia mengambil pakaian santai karena ingin stay di rumah."Ini baru mau tidur, Prof," sahut Intan.Zein yang sedang mengambil pakaian pun menghentikan gerakannya. Kemudian ia menoleh ke arah Intan dan menaruh satu tangannya di pinggang. Satu lagi berpegangan pada lemari."Sampai kapan kamu mau manggil saya dengan sebutan seperti itu? Ini rumah, kamu istri saya dan saya bukan konsulenmu lagi. Apa kamu pikir panggilan seperti itu pantas untuk suami?" tanya Zein.Sebenarnya sudah sejak lama ia risih dengan panggilan seperti itu. Namun baru kali ini ia protes."Terus saya harus manggil apa?" tanya, Intan. Ia bingung panggilan apa yang pantas untuk suaminya itu."Ya terserah. Sayang kek, atau apa gitu," ucap Zein sambil balik badan dan menahan senyum
Zein terkesiap saat Intan mengatakan minta dipijit. "Kamu kan lagi haid. Ngapain minta pijit segala?" tanya Zein, kesal. Permintaan itu membuat pikirannya ke mana-mana. Ia sudah berusaha untuk tidak tergoda. Namun Intan malah seolah sengaja ingin menggodanya."Ya udah gak apa-apa kalau Mas gak mau. Maaf merepotkan," jawab Intan. Kemudian ia hendak berbaring dan pura-pura meringis kesakitan. Ia yakin Zein tidak akan tega melihatnya seperti itu."Ssshh, aduh," lirih Intan sambil meringis.Melihat Intan seperti itu, Zein pun tidak tega. "Ya sudah, mana yang mau dipijit?" tanya Zein, ketus."Sebentar," sahut Intan. Kemudian ia membalik tubuhnya perlahan, lalu tiarap di atas tempat tidur. Intan berusaha menahan senyuman karena merasa lucu saat melihat ekspresi Zein.Zein ternganga melihat posisi Intan seperti itu. Apalagi ketika Intan menunjuk bokongnya yang ada di hadapan Zein tersebut. "Yang ini, Mas," ucap Intan.Zein menelan saliva. "Kenapa kamu tidak pakai baju?" tanya Zein, lemas. Tu
Intan terperanjat saat mendapatkan pertanyaan itu dari Zein. Namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Kan tadi udah dipijit sama Mas. Alhamdulillah langsung ilang sakitnya," sahut Intan tanpa menatap Zein.Zein memicingkan matanya. "Apa tangan saya sangat ajaib sampai kamu langsung sembuh seperti itu?" tanyanya."Mungkin," sahut Intan. Setelah itu ia menyuap makanan ke mulutnya.'Apa dia tidak sedang membohongiku?' batin Zein. Ia masih curiga pada Intan.Saat sedang menikmati makanannya, Intan menatap Zein sambil tersenyum. Hal itu pun membuat Zein salah tingkah. "Ada apa?" tanyanya.Intan mengulurkan tangannya dan mengusap sudut bibir Zein dengan jarinya. "Mas tumben makannya kayak anak kecil, berantakan," ucap Intan. Setelah itu ia menunjukkan tangannya yang terkena bumbu di bibir Zein, lalu menjilat tangan itu sendiri.Tentu saja Zein semakin salah tingkah. Biasanya lelaki yang berbuat seperti itu terhadap wanita. Namun kini justru Intan yang melakukannya. "Apa kalau sedang haid kamu
Intan heran mendengar ucapan Zein barusan. "Maksudnya apa, sih? Apa secara gak langsung dia bilang kalau dia itu cinta sama aku?" gumam Intan. Ia merasa ucapan Zein barusan seperti pengakuan."Ah, mana bisa begitu. Kalau cinta ya harus bilang cinta. Masa diem-diem aja. Mana masih galak pula," keluh Intan. Ia masih tidak terima jika Zein belum mengungkapkannya dengan benar.Beberapa saat kemudian, Zein pun keluar dari kamar mandi. "Ayo pulang!" ajaknya.Intan tidak menjawab. Ia langsung berdiri dan membuntuti Zein."Mas duluan aja! Nanti aku lewat jalan lain," ucap Intan saat keluar dari ruangan Zein.Zein menoleh ke arah Intan. "Kenapa? Kamu malu jalan sama saya?" tanya Zein.
Intan terperanjat saat Zein menariknya. Ia pun mematung kaku, tak berani menoleh ke arah Zein. 'Duh, ketauan dong?' batinnya.Ia sudah tidak bisa mengelak lagi jika memang Zein mendengar semua ucapannya.Sebab Intan ingat betul bagaimana dirinya mendengar ucapan Zein saat sedang pura-pura tidur."Aku cinta kamu, Intan. Jangan tinggalkan aku," gumam Zein, pelan. Kemudian ia menelusupkan wajahnya di tengkuk Intan.Jantung Intan berdebar hebat. Ia tak menyangka Zein akan mengatakan hal itu dalam waktu dekat. "Mas," panggilnya. Ia bahkan terharu setelah mendengar ucapan itu.Namun, setelah beberapa detik, Zein tidak menjawab panggilan Intan. Intan pun mencurigai sesuatu. "Mas!" panggil Intan lagi. Nada suaranya mulai berubah.
Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany
“Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di
“Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua
“Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel
“Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka
“Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan
Ira mendorong Bian secara perlahan. “Berarti nanti kamu bisa gak pilih aku, dong?” tanyanya, saat Bian melepaskan tautan bibir mereka.Bian menatap Ira. “Kamu kan tau kalau aku sudah bersumpah untuk menjadikan tugas negara sebagai prioritas?” Ia balik bertanya.Wajah Ira langsung murung. “Iya,” lirihnya. Ia tidak bisa protes untuk hal itu. Apalagi mereka sudah beberapa kali membahas hal itu.“Maaf ya, Sayang,” ucap Bian sambil menangkup pipi Ira. Ia pun bingung karena tidak bisa berbuat apa-apa. Mengatakan janji manis pun tidak mungkin jika tak sesuai kenyataan.“Yah, mau gimana lagi. Udah risiko aku,” ucap Ira, pasrah.Sebenarnya ia hanya ingin jawaban gombal. Namun nyatanya Bian tidak bisa seperti itu. Sehingga Ira kecewa.“Dari pada mikirin yang enggak-enggak. Mending kita kerjakan yang iya-iya,” ucap Bian, genit.Ira mengerutkan keningnya. “Apa?” tanyanya.Bian melirik ke arah tempat tidur.Ira langsung menyipitkan matanya. “Ya ampun, Bi. Ini masih siang, lho,” keluh Ira.“Masalah
“Siap aku salah!” ucap Bian. Ia tidak ingin berdebat lagi dengan istrinya. Saat ini ia hanya bisa mengakui kesalahannya. Bian tidak mau sampai bulan madunya gagal karena hanya hal sepele.“Aku kecewa sama kamu,” ucap Ira sambil memalingkan wajah.Meski sedang kesal, melihat Bian mau mengakui kesalahannya membuat Ira senang. Baginya Bian mau mengaku saja sudah cukup, tetapi rasa kesalnya masih ada walaupun ia tidak marah lagi.“Yank, itu camilannya mau di makan, gak?” tanya Bian. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.“Gak!” jawab Ira, ketus.‘Haduh! Pake ketemu dia segala, sih. Jadi kacau gini kan bulan madunya. Gawat banget kalau sampe dia ngambek terus,’ batin Bian.‘Apa iya cewek tadi cuma temen lama dia? Tapi kenapa tatapannya ke aku sinis banget? Aku gak yakin,’ batin Ira. Kemudian ia memicingkan matanya ke arah Bian. Ia ingin menelisik apakah Bian berbohong padanya atau tidak.‘Semoga dia gak nanya macem-macem lagi, deh,’ gumam Bian dalam hati.Ira yang sedang kesal itu akhirnya t
Bian terkekeh. “Ya udah jalan dulu ya, Bang. Dari pada bulan madunya gagal nanti. Bahaya,” ucap Bian.“Oke, hati-hati!” sahut Zein. Ia pun tersenyum melihat tingkah adiknya itu. Zein merasa Ira tidak jauh berbeda dengan dirinya.Akhirnya mereka pun pergi.“Sayang, mau beli camilan dulu, gak?” tanya Bian. Ia khawatir istrinya akan bosan jika tidak ada makanan ringan.“Boleh, deh. Kalau gitu nanti mampir di minimarket aja dulu!” jawab ira.“Siap!” sahut Bian. Mereka pun menuju ke minimarket sebelum melanjutkan perjalanan.“Beli di situ aja ya, Yank?” tanya Bian saat melihat ada minimarket di depan.“Ya udah, ada parkirannya, kan?” sahut Ira.“Ada, tuh!” jawab Bian. Ia pun mengarahkan mobilnya ke minimarket tersebut. Kebetulan parkirannya sedang kosong, sehingga mobil Bian bisa masuk.“Kamu mau ikut turun atau nunggu di sini?” tanya Bian, saat hendak turun dari mobil.“Aku nunggu aja, deh,” sahut Ira. Ia malas jika harus turun. Sebab di luar, matahari cukup terik.“Ya udah, mau beli apa?