Seno merasa tak tenang. Belum ada satu hari berpisah dengan Sabrina, ia merasa ada yang kurang. Ia merindukan Sabrina yang selalu siaga untuknya."Dimana dia," gumam Seno sambil berpikir kemana Sabrina pergi. Ia harus cepat-cepat menemukan Sabrina.Daripada terus merasa tak tenang, Seno memilih untuk menemui Bram. Mau tak mau, ia harus memohon pada Bram supaya dia bersedia memberitahukan keberadaan Sabrina. Ia tidak peduli jika nanti Bram mengejek dan meremehkan dirinya karena yang paling terpenting saat ini adalah ia bisa menemui Sabrina, meminta maaf dan membawanya pulang.Tok... Tok... Tok....Beberapa kali Seno mengetuk pintu kamar Bram tapi tak kunjung di buka olehnya. "Mas, buka pintu! Aku mau bicara denganmu!" Seno masih tak menyerah. Ia terus mengetuk pintu kamar Bram dan berharap segera dibuka olehnya. Seno yakin, Bram berada di kamarnya. "Apa tidur?" Seno bermonolog.Semalam Seno pulang lebih awal. Ia malas untuk berjaga di rumah sakit. Lebih baik ia memilih pulang untuk ja
Sabrina segera bersiap-siap setelah mendapatkan kabar dari Bram. Ia penasaran seperti apa kontrakan yang akan ia tempati nantinya. Sebenarnya tidak masalah meski tempat itu kecil, bagi Sabrina yang terpenting nyaman dan banyak orang. Sabrina tidak ingin tinggal di tempat sepi. Ia takut jika terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan."Mau kemana?" Lastri melihat bingung pada Sabrina yang sudah rapi padahal masih sangat pagi. "Aku ada janji sama teman, Bu.""Sudah pamit sama suamimu?" Lastri mengingatkan Sabrina untuk minta izin pada suaminya meski saat ini mereka tengah berjauhan. Lagipula, jaman sekarang sudah modern, Sabrina bisa izin melalui telepon atau mengirimkan pesan."Sudah kok," balas Sabrina singkat. 'Maafkan aku, Bu. Aku terus berbohong tapi aku janji, setelah semuanya selesai. Aku akan ceritakan'. Sabrina hanya bisa membatin karena saat ini, ia benar-benar belum siap untuk jujur. Ia belum siap melihat orangtuanya bersedih atas nasib buruknya."Sarapan dulu!""Tidak, Bu. Nan
Seno kebingungan tak ada Sabrina di rumah. Biasanya Sabrina selalu ada untuknya. Ia sudah berusaha menelpon dan mengirimkan chat untuk Sabrinq tetapi tak ada satu pun yang direspon oleh Sabrina. Padahal ia ingin Sabrina segera pulang.Tak bisa menunggu lebih lama lagi, akhirnya Seno memutuskan untuk pergi ke rumah orang tua Sabrina, ia berharap Sabrina berada di sana. "Permisi!" seru Seno ketika sudah sampai di rumah Sabrina. mengetuk-ngetuk pintu sambil beberapa kali memanggil supaya orang yang ada di dalam rumah mendengarnya.Tak lama pintu rumah terbuka. "Nak Seno, apa ada barang Sabrina yang tertinggal?" Lastri bertanya saat mendapati Seno saat ia membuka pintu. Ia berpikir Seno datang ke rumah untuk mengambil barang Sabrina yang tertinggal karena pagi-pagi sekali, Sabrina sudah pamit pergi buru-buru."Barang apa?" Seno yang tak tahu, memilih untuk balik bertanya Lastri. Ia datang tidak ingin mengambil apa pun. Ia datang untuk mencari keberadaan Sabrina."Ibu pikir kamu datang ke
Bram mengabaikan ponselnya yang terus berdering. Ia tak mau mau terganggu. Seharian ini, ia ingin habiskan waktunya bersama Sabrina sebagai pembuktian bawah ia benar-benar serius. Ia juga ingin dipandang sebagai pria yang bisa diandalkan oleh Sabrina. Mulai sekarang, Bram perlahan ingin mengatur Sabrina. Ia akan buat Sabrina menjadi wanita seperti yang ia inginkan karena ia menyukai wanita penurut dan lembut."Sabrina, boleh pinjam ponselnya?" Bram memulai aksinya. Pertama-tama, ia ingin membuang ponsel Sabrina supaya Seno atau siapa pun tidak bisa menghubungi Sabrina lagi."Boleh, Mas." Sabrina tidak menaruh curiga sedikit pun pada Bran. Ia langsung memberikan ponselnya tanpa berpikir panjang. "Apa yang kamu lakukan, Mas!" Sabrina berseru terkejut ketika tiba-tiba Bram membanting ponselnya."Aku tidak mau, Seno melacak keberadaan kamu. Nanti aku berikan yang baru," ucap Bran tanpa merasa berdosa. Bahkan Bram menginjak-injak ponsel Sabrina di hadapan Sabrina hingga ponsel itu sudah ta
Perasaan Nela makin tak tenang setelah mendengarkan ucapan Seno barusan. Awalnya ia akan datang sore nanti tetapi percuma jika ia memaksakan untuk bekerja. Pikirannya sudah tak bisa fokus. Ia butuh kepastian dari Bram atas hubungan mereka.Ada rasa tak percaya dengan ucapan Seno tetapi sepertinya itu serius karena Seno mau datang ke kantornya dan terlihat sangat frustasi."Aku harus pergi sekarang." Nela memutuskan untuk pergi sekarang juga tanpa memberitahukan kepada Bram terlebih dahulu. Ia berencana langsung mendatangi kantor Bram, ia tak mau nanti Bram menghindar darinya jika ia menghubunginya terlebih dahulu.Saat Nela baru sampai, ia melihat Bram di basemen terlihat buru-buru hendak pergi. Ia segera turun dari mobil dan menghampiri Bram."Sayang!" panggil Nela sedikit keras supaya Bram mendengarnya dan usaha Nela berhasil. Bram mendengar panggilannya."Kamu datang kesini tanpa meneleponku terlebih dahulu?" Bram melihat ke arah Nela. Tidak biasanya dia datang tanpa menelepon terl
Bram menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tidak setuju dengan keputusan Sabrina. Ia tidak rela Sabrina kembali pada Seno. Hanya ia yang berhak memilikinya bukan Seno."Aku tidak akan pernah setuju," ucap Bram mantap menolak keputusan Sabrina."Aku tidak perlu persetujuan dari kamu, Mas. Aku berhak mengatur kehidupanku sendiri." Sabrina membalas ucapan Bram tak kalah mantapnya karena ia merasa benar dan ia merasa berhak terhadap dirinya sendiri."Kamu harus ingat, Seno itu tidak baik buat kamu." Bram mencoba mengingatkan Sabrina tentang sikap Seno yang ringan tangan."Lebih baik Mas Seno daripada kamu, Mas. Kamu tega nyakitin perasaan wanita dan tidak setia." Sabrina berpikir, sekarang saja Bram tega meninggalkan Nela demi wanita lain. Padahal mereka berhubungan sudah cukup lama jadi tidak menutup kemungkinan Bram akan tega meninggalkan dirinya juga kelak, jika menemui wanita yang lebih baik lagi darinya. "Aku janji, aku bakal setia padamu. Kamu sudah lihat, bukan? Aku sudah memutusk
Seno dan Sabrina kini sudah rujuk kembali. Mereka juga mulai hidup baru di tempat yang baru.Seperti janjinya, Nela juga memberikan pekerjaan yang layak untuk Seno dengan gaji yang lumayan besar. Seno mendapatkan jabatan menjadi sekertaris pribadi Nela.Semua seakan kembali baik seperti dahulu. Sabrina rasanya sangat senang dan berterima kasih kepada Nela yang sudah membantunya. Ia semakin senang karena Bram juga sudah meminta maaf dan mengakui jika dia khilaf. Ia juga mendengar dari Nela kalau mereka berdua kembali lagi dan berencana untuk tunangan dalam waktu dekat ini."Sedang apa, Sayang? Aku pulang kamu sampai tidak tahu," ucap Seno sembari menghampiriSabrina yang tengah duduk di sofa, melihatpemandangan luar melalui jendela besar apartemen milik Nela yang dia pinjamkan."Mas." Sabrina tersenyum lalu meminta maaf, " aku sangat senang," ucapnya."Kenapa?" Seno duduk disamping Sabrina. "Tadi Mbak Nela bilang, dia akan bertunangan dengan Mas Bram dalam waktu dekat ini.""Oh, tadi
"Kita pulang saja." Seno sudah tidak berselera makan lagi. Ia berpikir lebih baik pulang."Bagaimana dengan acara makan malam kita?" Ahmad bertanya saat Seno sudah beranjak dari kursinya."Aku sudah tidak berselera makan lagi. Ayah, Ibu dan semuanya, kami pulang." Seno langsung menarik tangan Sabrina untuk segera pergi dari tempat itu. Hatinya tak tenang dan terus bergemuruh, benci dan juga jijik membaur menjadi satu tapi ia juga tak bisa melepaskan Sabrina begitu saja.Seno tahu, itu bukan salah Sabrina dan bukan kemauan dia. Ia juga ingin menerima dan mencoba ikhlas tapi ia manusia biasa. Ia tetap tak bisa menerima begitu saja. Ia marah dengan keadaan yang kejam terhadap dirinya."Mas, sakit." Sabrina meringis karena pergelangan tangannya terasa sangat sakit. Seno mencengkram pergelangan tangannya cukup kuat. Meski sudah protes tapi Seno seakan tak peduli. Dia terus menarik Sabrina hingga masuk ke mobil. "Aku sudah bilang, kita tidak usah datang. Aku sudah bisa mengira, jika hal
Setelah berpakaian, Rafka menuju kamar utama untuk melihat keadaan Sera yang tadi menangis. "Apa dia baik-baik saja?""Iya, dia terbangun karena mengompol. Aku sudah mengganti celananya dan dia langsung tidur lagi."Sabrina meletakkan pakaian kotor Sera ke keranjang cucian kotor khusus supaya tidak tercampur dengan lainnya."Kamu sudah mengantuk, belum?" Rafka menepuk-nepuk tempat tidur yang ada disebelahnya, meminta Sabrina untuk duduk.Sabrina mencuci tangannya, kemudian duduk di samping Rafka. "Ada apa?" Ia khawatir saat melihat wajah serius Rafka. "Ada masalah gawat?""Tidak ada, tidak ada masalah gawat." Rafka tersenyum dan meraih tangan Sabrina. "Aku izin cari kerja yang baru. Boleh, kan?""Apa kamu di pecat?""Tidak kok. Aku tidak di pecat tapi aku ingin mencari pekerjaan yang gajinya lumayan besar. Lagipula aku sekarang sudah lulus sekolah dan sudah punya ijazah untuk modal mencari pekerjaan lain." "Kenapa tiba-tiba ingin mencari pekerjaan lain?""Meski gajinya nanti tidak ja
Rafka terus tersenyum memandangi Sabrina yang tengah tertidur lelah setelah percintaan hebat mereka beberapa jam yang lalu. Ia tidak menyangka akan merasakan hal seindah ini."Aku sangat mencintaimu." Rafka berucap pelan sembari mengusap-usap rambut Sabrina yang lembut dan harum."Eh aku ketiduran, ya?" Sabrina membuka matanya meski merasa enggan. Ia sangat mengantuk dan sedikit lemas tapi ia tetap harus bangun dan berpindah kamar, takut terjadi apa-apa dengan Sera jika ditinggal tidur sendirian."Tidak apa-apa. Tidur saja lagi, pagi masih lama.""Kasihan Sera tidur sendirian. Aku takut dia haus atau jatuh."Sabrina hendak berdiri tapi kemudian ia duduk kembali dan menarik selimut yang entah sejak kapan ia memakainya. Ia tarik selimut itu hingga ke leher."Kenapa?" Rafka melihat Sabrina dengan tatapan bingung. "Sakit itunya? perlu aku gendong?""Ih apa sih." Wajah Sabrina bersemu merah ketika mendengar ucapan Rafka tapi bukan itu yang membuat ia tak jadi bangun."Aku hanya ingin memba
Sabrina mengajak Rafka ke kamar tamu. Ia seharusnya sudah memberikan hal ini pada Rafka sejak dulu tapi ia belum memiliki keberanian serta keyakinan untuk melakukannya. Namun, malam ini ia akan menyerahkan diri sepenuhnya untuk Rafka."Ada apa?" Rafka bertanya dengan polosnya."Aku hanya tidak ingin mengganggu Sera yang sedang tidur.""Ada masalah?" Rafka mengajak Sabrina untuk duduk di ranjang. Ia merasa khawatir, kalau-kalau ada masalah serius yang akan menimbulkan pertengkaran diantara mereka berdua hingga harus menjauh dari Sera."Tidak ada masalah." Sabrina salah tingkah, ia tidak mungkin bicara terang-terangan apa yang ingin ia lakukan. "Lalu?" Rafka menatap Sabrina dengan tatapan bingung. "Lalu...." Sabrina tidak menyelesaikan ucapannya, ia langsung menarik kaos yang Rafka kenakan, supaya dia mendekat Lalu tanpa aba-aba ia kembali mencium Rafka seperti di dapur tadi.Rafka yang awalnya bingung, kini ia mulai paham. Ia membalas ciuman Sabrina dan ia juga memberanikan diri untu
Rafka mondar-mandir panik di depan ruang IGD karena Sabrina mengeluh kesakitan. Tak perlu berpikir panjang, ia langsung membawa Sabrina ke rumah sakit saat itu juga."Suami Nyonya Sabrina?" tanya salah seorang suster."Saya." Rafka langsung maju.Suster itu melihat tampilan Rafka dari atas sampai bawah seolah tengah menilai."Saya suaminya," ucap Rafka lagi untuk menginterupsi suster yang tengah menilai dirinya.Hal ini sudah sering terjadi, Rafka sudah terbiasa mendapatkan tatapan seperti itu. Mungkin mereka tak percaya karena ia terlihat madih sangat muda. Mereka tidak mengira jika dirinya adalah seorang suami dan akan menjadi ayah."Mari ikut saya, Nyonya Sabrina akan melahirkan," balas suster itu akhirnya.Rafka mengangguk dan mengikuti suster itu. Jantungnya berdetak lebih kencang dan juga makin panik. Ini adalah pengalaman pertama baginya melihat orang yang akan melahirkan.Hal ini tak pernah terbayangkan bagi Rafka sebelumnya. Ia tak pernah menyangka akan menjadi seorang ayah
Seno terus melakukan terapi atas bujukan dari ayahnya. Awalnya ia terus menolak. Namun semuanya berubah ketika ia ditangani oleh seorang dokter wanita bernama Aza.Dokter cantik itu mampu menggetarkan hati Seno yang hampir mati karena tak percaya diri. Ketelatenan dan kesabaran Dokter Aza membuat Seno jatuh cinta dan ia makin bersemangat untuk sembuh karena Dokter Aza menyambut cintanya.Dokter Aza berstatus janda beranak dua tapi Seno tidak mempermasalahkan itu. Ia sendiri sadar jika dirinya bukanlah pria yang sempurna. Ia takut jika nantinya ia tidak sembuh dan tidak bisa memberikan anak untuknya, setidaknya dia sudah punya anak yang akan merawatnya di hari tua nanti.Atas kejadian ini, Seno sudah sadar banyak hal. Selama ini ia terlalu sombong, mudah terhasut ucapan orang dan tidak bisa menjaga istrinya dengan baik serta telah berbuat keji dan tega menganiaya istrinya sendiri serta adiknya. Ia pikir mungkin Tuhan marah padanya hingga memberikan ia kenyataan sepahit ini dalam hidupn
Sebulan setelah sembuh total. Rafka memilih untuk bekerja di bengkel motor milik temannya dulu saat masih aktif di club' motor. Ia tidak mau meminta bantuan terus menerus pada ayahnya meskipun ia yakin, ayahnya tidak akan keberatan untuk membantunya. Ia menolak bantuan ayahnya karena ia ingin berusaha untuk hidup mandiri dan bertanggung jawab kepada keluarganya dengan jeri payahnya sendiri. Hasilnya pasti tidak seberapa tapi Rafka tetap ingin berusaha sendiri."Raf, ini gaji pertama kamu." Roy memberikan amplop coklat berisi uang pada Rafka sebagai upah karena Rafka telah membantunya di bengkel."Terima kasih, Bang." Rafka tersenyum senang. Gaji ini adalah gaji pertamanya."Maaf ya, aku hanya bisa berikan kamu gaji segitu." Roy sebenarnya tidak enak memberikan Rafka gaji sedikit karena Rafka adalah anak orang kaya."Tidak masalah, Bang. Aku justru berterima kasih sama Abang karena bersedia menerima aku bekerja di sini.""Santai saja." Roy menepuk bahu Rafka. Ia bangga karena Rafka mas
Sebulan sudah berlalu ....Selama ini Sabrina yang merawat Rafka dengan penuh kesabaran dan berusaha untuk ikhlas sebagai ibadah saat Rafka dinyatakan keluar dari masa kritis dan boleh pulang."Mau makan apa?" tanya Sabrina saat melihat Rafka sudah bangun."Apa pun," jawab Rafka yang masih tidak berdaya berbaring di ranjang.Sudah seminggu setelah dinyatakan sembuh. Rafka minta langsung pulang ke rumah karena jenuh. Ia pulang dengan catatan wajib rawat jalan. Ia juga kasihan melihat Sabrina yang tidak nyaman tidur di rumah sakit demi menunggunya."Maaf, aku telah merepotkan kamu," ucap Rafka sebelum Sabrina pergi mengambil makanan. "Tidak perlu meminta maaf karena ini semua sudah menjadi kewajibanku.""Mendekatlah sedikit," pinta Rafka.Sabrina bingung tapi ia tetap mendekat ke arah Rafka.Rafka mengulurkan tangannya dan mengusap-usap perut Sabrina sambil tersenyum. Sekarang ia percaya jika itu adalah anaknya setelah mendengarkan cerita dari Wati tentang kejadian di rumah sakit saat
Semua datang ke rumah sakit saat mendapatkan kabar dari Wati. Mereka juga terkejut mendengar kronologi kejadian yang dialami oleh Rafka.Surti sendiri terus saja menangis tak berdaya di kursi rodanya. Ia merasa telah gagal menjadi seorang ibu setelah mendengar cerita dari Wati.Tidak hanya keluarga Rafka yang hadir, Sabrina juga datang bersama orangtuanya setelah mendapatkan kabar dari Ahmad tentang kecelakaan yang dialami oleh Rafka."Ayah, bagaimana kondisinya?" tanya Sabrina cemas. Ia tak mau kehilangan calon ayah dari anaknya."Kondisi Rafka kritis, semoga ia selamat," balas Ahmad yang tak sanggup menutupi rasa sedihnya sedih."Semua ini karena kamu!" Wati hendak menyerang Sabrina tapi Bram langsung menghalanginya."Ini rumah sakit, jangan buat keributan!" Bram menegur Wati supaya jaga sikap."Gara-gara dia, Rafka jadi sekarat. Bagaimana aku bisa tenang." Meski Wati tidak begitu akrab dengan Rafka tapi ia sebagai Kakak tetap merasa sedih."Ini bukan karena dia tapi karena Seno." B
Akhirnya acara ijab qobul dimulai. Rafka dan Sabrina kini sudah sah menjadi suami istri meskipun mereka belum siap dan masih tidak percaya hal ini bisa terjadi.Sabrina tak pernah mengira jika ia akan menikahi mantan adik iparnya yang usianya jauh dibawahnya.Memang benar, Sabrina baru tahu arti maut pada ipar. Mereka bisa merusak dan menghancurkan kehidupan rumah tangganya karena itu sangat disarankan saat sudah menikah lebih baik pisah rumah meskipun hanya ngontrak.Setelah acara selesai. Semua pamit pulang meninggalkan Rafka dan Sabrina berdua dalam kecanggungan.Rafka terus saja salah tingkah, ia bingung harus berbuat apa dan apa yang akan ia bicarakan karena memang mereka tidak dekat sebelumnya."Aku mengantuk," ucap Sabrina memecahkan keheningan dan kecanggungan diantara mereka berdua."Ya." Hanya itu yang bisa Rafka ucapkan.Sabrina tidak bicara lagi. Ia memilih segera masuk ke kamarnya yang mungkin sekarang lebih tepatnya kamar mereka.Rafka sendiri masih terdiam di ruang teng