Kata orang, memiliki tapi tak mencintai itu rasanya lebih menyedihkan dibanding mencintai tapi tak memiliki dan tampaknya aku setuju setelah melihatnya sendiri.
Dulu aku berpendapat kalau memiliki tapi tak mencintai itu tak ada salahnya, toh kita punya raga seseorang itu dan cinta akan tumbuh seiring waktu. Namun, sekarang aku mulai ragu sebab Mas Haikal tetap tak berubah.Ema adalah cinta pertamanya dan kami hanya bertahan karena keadaan, meski kadang mungkin suatu saat bisa saling menyakiti, dimulai dari sekarang.Aku mengedip-ngedipkan mata berharap apa yang kulihat itu salah, tapi ternyata berapa kali pun aku mencoba meragu tetap saja sosok pria yang ada di depanku tak berubah wujud begitu juga dengan wanita yang ada di hadapannya.Sang lelaki tetaplah Mas Haikal dan si perempuan adalah Ema. Ah, aku paham mungkin mereka sedang bernostalgia. Sementara aku dan Bang Dhimas hanya nyamuk.Oiya, mulai hari ini Dokter Dhimas memintaku merubah nama panggilannya menjadi Bang Dhimas.Terdengar akrab bukan?"Ana!" pekik Ema. Wanita berambut lurus itu ternyata lebih dulu sadar kalau aku dan Bang Dhimas telah berada di antara mereka."Bu Ema?"Aku tersenyum tipis saat melihat Mas Haikal dan Ema berjalan menuju ke arah kami. Wajah Mas Haikal langsung membeku kala melihatku bersama dengan Bang Dhimas.Entah kenapa, alih-alih menyapa satu sama lain. Bang Dhimas dan Mas Haikal malah bersikap layaknya hyena yang sedang memperebutkan wilayah kekuasaan.Mereka saling melempar tatapan tajam seolah ada dendam yang belum terselesaikan."Eh, Bu Ema ternyata belum pulang, ya?" sapaku basa-basi ketika mereka sudah tiba di depan kami."Belum, soalnya tadi aku gak sengaja ketemu Mas Haikal, sekalian ngobrol. Iya, kan Mas?" Ema melirik Mas Haikal dengan semangat. Sedangkan lelaki itu hanya berdehem sambil melihatku."Mengapa ponselmu gak aktif?" Bukannya menjawab Ema, dia malah balik menanyaiku dengan dingin. Bahkan tubuh Mas Haikal bergerak selangkah lebih maju dan wajahnya dia dekatkan kurang lebih lima centi di depan wajahku.Aku menautkan alis, gugup. "Po-ponselku? Oh, iya ponselku lowbath. Jadi gak sempat aku cek," dalihku sambil memundurkan langkah kagetSuasana 'awkward' tiba-tiba menyergap karena reaksi Mas Haikal yang terbilang posesif di depan yang lain."Oh jadi hapemu low? Oke, sekarang ikut Mas, kita harus pulang bareng," ujar Mas Haikal tegas."Se-sekarang, Mas?" pekikku terkejut.Tumben dia mau memintaku pulang bareng biasanya malas."Nggak, tahun depan."Glek.Aku nenelan ludah ketika mendengar nada suara Mas Haikal yang meninggi. Namun, belum juga aku menjawab sebuah suara sudah mewakili."Eh, sorry Kal, untuk kali ini boleh gue yang antar Ana? Lagi pula kita searah," kata Bang Dhimas datar."Kenapa dia harus pulang sama lo? Lo udah berubah jadi supirnya?" Alis Mas Haikal terangkat satu menatap Bang Dhimas sinis.See. Dia kenapa, sih? Sensi banget sama Bang Dhimas. Aku jadi penasaran."Ya, bukan supir tapi ...." Bang Dhimas melirikku sekilas,"calon sahabatnya mungkin," lanjutnya membuat rahang Mas Haikal tiba-tiba mengeras.Sebenarnya, aku cukup terkejut atas sikap Bang Dhimas. Bagaimana pun dia tahu aku adalah istri Mas Haikal karena mereka aslinya berteman. Namun, kata Bunda karena satu alasan hubungan keduanya jadi merenggang."Sorry Dhim, tapi gue gak bisa ijinin dia pergi sama lo, ayo, Na! Cepat!"Lagi, dia menarik tanganku tapi kali ini bukan Bang Dhimas yang mencegah tapi Ema. Gadis itu tampak bingung dengan adegan yang ada di depannya."Kamu kenapa sih, Kal? Biarin dong kalau Ana mau diantar sama Dokter Dhimas sekali aja, lagi pula bagus untuk mereka kali aja mereka bisa berjodoh biar pedekate. Betul kan, Na?"Uhuk! Mendengar pertanyaan Ema mendadak Mas Haikal terbatuk.Kami sontak menatap ke arahnya dengan wajah terkejut. Namun, Mas Haikal langsung mencoba bersikap normal kembali.Mendapati kondisi ini, aku jadi paham Mas Haikal pun belum bilang tentang status kami pada Ema.Baiklah, sudah kuduga lelaki itu memang masih menyimpan rasa sama cinta pertamanya."Berjodoh apanya? Nonsense! Udahlah, kami duluan! Ada yang harus saya bicarakan sama Ana."Kali ini Mas Haikal tampak bersikukuh dengan pendapatnya. Tanpa mempedulikan Bang Dhimas dan Ema yang melihat kami dengan tatapan aneh, lelaki bertubuh tegap itu menarik lenganku kuat sampai aku tak bisa mengelak.Kenapa dia kayak marah gini, sih? Apa aku berbuat kesalahan?(***)"Ada hubungan apa kamu sama Dhimas?" tanya Mas Haikal ketika kami tiba di parkiran.Tanpa basa-basi dia tiba-tiba menghentikan langkahnya untuk kemudian membalikan badan menghadapku. Hingga kami berdiri berhadapan di bawah guyuran hujan dan di bawah payung yang sama.Aku tercengang karena baru kali ini berdiri dalam jarak sedekat ini. Sampai-sampai dia pun sengaja memegang bahuku untuk menarikku lebih rapat agar tak kehujanan.Sontak dadaku berdebar hebat kala mata kami bertemu pandang. Kuakui mantan kakak angkatku ini tampan.Namun, untuk apa tampan jika galak sampai ke tulang?"Ana! Ayo, jawab! Kamu ada hubungan apa sama dia?" ulang Mas Haikal lagi dengan nada lebih keras karena aku hanya diam.Aku menghela napas dalam, mencoba sabar atas sikapnya."Bang Dhimas hanya orang tua wali di sekolah ini Mas dan dia juga kan psikiater langganan Bunda," jelasku tenang.Mendengar jawabanku, matanya melotot seketika. Entah apa artinya, tapi dapat kutangkap getar khawatir dalam sorot matanya."Jadi, psikiater yang suka diomongin Bunda itu dia? Kenapa Bunda gak jujur pada Mas?""Mungkin Bunda tahu kalau Mas Haikal bakal marah kalau bahas Bang Dhimas. Emang kenapa sih, Mas?" tanyaku semakin penasaran."Nggak apa-apa. Tapi, kamu beneran kan gak ada hubungan spesial sama dia?"Aku memijit pelipis yang mulai terasa berat. Lagi-lagi dia meragukanku."Emang, Mas kira hubungan kami seperti apa? Mas gak lupa kan, kalau aku baru batal nikah sama Randi dan sekarang aku istri Mas? Mana sempat aku mikirin cari pengganti?" desisku sebal.Kenapa dia harus bertindak berlebihan seperti ini, sih?Jujur, aku mencium bau-bau rahasia besar dibalik semua sikapnya."Iya juga sih, ya? Mana ada yang mau sama kamu selain saya?"Si-al!Aku memberengutkan mulut mendengar ucapannya.Heran, Bunda ngidam apa, sih? Sampai punya anak sebegini anehnya. Membuat darah tinggiku mendadak naik saja."Udah gak usah cemberut! Ayo, sekarang masuk mobil! Tangan saya pegel nih, pegangin payung," keluhnya lagi membuat dadaku semakin panas."Gak usah dipayungin! Lebih baik aku kehujanan dibanding dipayungin sama cowok jutek kayak, Mas! Ayo cepat buka kunci pintu mobilnya!" semprotku murka sambil berjalan ke arah mobil dengan kaki yang dihentakan.Sumpah! Aku menyesal pulang bareng dengannya.Mas Haikal sekilas tersenyum samar melihat tingkahku tapi aku tak peduli.Setelah Mas Haikal membuka kunci mobil, gegas aku pun membuka pintu dengan kasar.Masa bodo kalau nanti mobilnya rusak, biar dia tahu rasa!Namun, bukannya mengikutiku, Mas Haikal malah diam dan memperhatikanku dari jauh."Eh, kok Mas malah diam? Ayo cepet masuk!" teriakku kesal sambil membuka kaca mobil.Mas Haikal terkekeh pelan melihatku memprotes, dia pun berjalan menghampiriku yang masih cemberut.Dia tiba-tiba melongokan kepalanya ke dalam mobil lewat celah jendela yang terbuka.Sontak saja aku merapatkan punggung ke jok karena kaget karena wajah kami jadi sangat-sangat dekat."Eh, kok malah gini?" Aku gelagapan, sedang dia tersenyum jahil."Ana, kamu tahu gak kenapa saya suka kamu marah?" tanyanya seraya mengulum senyum."Kenapa?" balasku sebal."Karena kamu terlihat lebih cantik kalau lagi marah," jawabnya santai tapi sukses membuat jantungku berdegup nggak santai.As-ta-ga! Kenapa dadaku jadi jedak-jeduk begini, sih?"Ish! Gak usah gombal gak ngaruh!" jawabku sambil menyembunyikan muka karena pipiku mulai memanas."Ana!" panggil Mas Haikal lagi."Iya, Mas?" sahutku sambil kembali menatapnya."Kamu boleh dekat dengan siapa pun sebagai teman tapi tidak dengan Dhimas, oke? Tolong jauhi dia!" tegas Mas Haikal sambil berlalu dari hadapanku yang menatapnya bingung.Penasaran.Sebenarnya, ada apa sih dengan Mas Haikal dan Bang Dhimas? Kenapa Mas Haikal seolah takut aku berdekatan dengannya?Mas Haikal adalah kulkas berjalan. Itu pendapat ter-valid yang bisa kukatakan sekarang.Jangan harap ada rasa di antara kami, jika untuk memegang barangnya saja aku sudah dilarang sedemikian rupa sampai-sampai aku merasa sesak dan ingin segera turun dari mobilnya.Untuk apa mobil mewah jika yang menyetirnya tak memiliki kehangatan? Sekarang aku paham, mobil dan yang nyetir sama-sama kayak es. Dingin dan bikin hati ngilu.Sebenarnya, tadi aku sempat menganggap dia sudah mulai berubah dan melunak padakusetelah pertemuan dengan Ema dan Bang Dhimas di sekolah, tapi ternyata aku salah.Sepanjang jalan menuju rumah tadi ada saja larangannya padaku."Dont touch my car!""Duduk yang bener, kamu bikin saya gak konsen!"Eh, itu spionnya jangan dihalangin, saya gak bisa liat!"Astaga! Ada saja keluhannya padaku membuat hatiku tak nyaman dan menyesal tak pulang bareng Bang Dhimas saja.Teganya lagi.Aku kira sikap menyebalkan Mas Haikal itu akan berakhir di mobil tapi lagi-lagi aku terlalu ber-bu
Honeymoon ambyar. Mungkin itu judul yang tepat untuk bulan madu kami selama di puncak Cipanas.Please! Jangan membayangkan hal yang indah akan terjadi padaku dan Mas Haikal karena itu suatu keajaiban yang mustahil karena dari mulai perjalanan dari kota sampai ke villa Mas Haikal itu bersikap seperti aku bukan istrinya.Nasib. Mungkin begini fakta menyakitkan menikah dengan kakak angkat, apa-apa diatur dan apa-apa dia yang merencanakan. Sampai tempat tidur pun dia yang memisahkan.Apes sekali.Sepertinya memang benar, di hati Mas Haikal ada orang lain. Sehingga dia lebih senang menutup diri dibanding membuka hati. Aku paham dan mawas diri, lagi pula perasaanku masih teringat Randi.Miris.Sempat kukira wanita itu adalah Ema ternyata aku salah. Ada wanita lain yang ia idamkan selain Ema dan sosok itu tersimpan rapat di dompetnya.Kenapa aku tahu? Karena saat membayar di pom bensin tadi malam, mataku yang jeli ini tak sengaja melihat foto lawas seorang perempuan cantik berpakaian SMA ada
"Haikal, dunia emang sempit, ya? Bertahun-tahun kepisah ternyata kita malah ketemu di sini. Kamu apa kabar?" Lagi-lagi si wanita cantik, berambut panjang dan berjari lentik ini hanya fokus pada Mas Haikal seakan tak ada aku di sini. Kacang! Kacang! Kira-kira kacang di pasar berapa ya, Bu? Kok, perasaan murah banget sampai aku merasa dikacangin. "Baik." Mas Haikal berdehem seraya melihatku. Paling enggak dia sadar ada makhluk cantik yang sedang merasa tak percaya diri di sampingnya. "Ini siapa? Adiknya Haikal kan, ya? Aku ingat wajah kamu suka ada di walpaper ponselnya dulu. Ternyata wajah kamu gak banyak berubah ya, Dek?" tanya si wanita kutilang (kuku cantik, tinggi dan langsing) ke arahku yang sedang monyong ke depan. Tadinya sih, aku mau protes tapi demi norma kesopanan aku memaksakan senyum. "Iya, Mbak. Aku adiknya Mas Haikal," jawabku singkat yang langsung diberi lirikan maut Mas Haikal. Aku tahu dia tak setuju atas jawabanku. Namun, daripada nanti akhirnya si wanita kutil
Kalau boleh nih jodoh dianulir atau diremedial, pasti aku akan mengisi angket perjodohan dengan nama-nama seperti Tom Cruise, Lee Min Ho, Lee Seung Gi sampai Kim Seon Ho sebagai pengganti Mas Haikal.Namun, takdir memang terkadang kejam kalau kata Desi Ratnasari. Setelah bulan madu gagal, bertemu ibuku pun gagal sekarang bayangan untuk berjalan-jalan di taman bunga pun gagal.Itu semua adalah ulah Mas Haikal yang suka berbuat seenak udelnya. Tanpa mempedulikan perasaan seorang anak terbuang sepertiku. Dia dengan gaya diktatornya tiba-tiba menginfokan akan pulang hari ini karena dia ada urusan. Padahal semalam kami sudah sepakat akan menemaniku refreshing dan mencari ibu sekali lagi.Jadilah, semua acara dicancel dan aku hanya bisa gigit jari ... iya jari kaki.A-P-E-S!"Ngapain kamu lihatin saya? Mau nyantet saya?" tanyanya menyebalkan saat mataku tak henti memelototinya."Enggak itu ngeliat boxer. Eh bukan, maksudnya kesel," jawabku keceplosan. Aneh nih otak, setiap melihat Mas Haik
Yang namanya nikah sama kakak angkat, aku tidak pernah berharap tinggi akan berakhir dengan romantisme seperti film India apalagi drama Korea.Enggak ada adegan mesra-mesra atau apa pun namanya. Berharap dia tidak menghinaku saja sudah lebih dari bersyukur.Mas Haikal jadi suami perhatian? Nonsense!Aku takut global warming semakin tinggi kalau dia mengubah sikap jadi baik. Kami itu seperti Tom and Jerry atau Spongebob dan Squidward yang tak pernah saling mengisi dan tahu keburukan satu sama lain sampai ke akarnya.Dia tahu aku yang suka ngupil dan aku tahu dia yang suka kentut sembarangan.Di balik wajah tampannya, sifat Mas Haikal itu ... ah, entahlah. Aku takut kualat kalau menceritakannya.Namun, asumsi ini ternyata tak sepenuhnya tepat. Aku tak bisa berbohong, pelukan dadakan Mas Haikal di pasar Cipanas tempo hari membuat bulu kudukku sukses meremang dan jantungku berdegup kencang. Sedikit banyak perbuatannya yang sok perhatian itu mulai mempengaruhiku sampai-sampai kurasa di
Sebagai wanita yang sudah menikah aku ingin bersikap dewasa. Tidak cemburu, tidak julid, tidak dengki, tidak kepo dan tidak melakukan hal bodoh yang menyebabkan diri tersiksa tapi semua itu hanya teori karena Mas Haikal membuatku bingung setengah mati.Seusai acara keceplosan di restoran Mas Haikal tiba-tiba menjadi pendiam, dia sama sekali tak berbicara apa pun bahkan sampai kami tiba di apartemen dan masuk ke kamar masing-masing.Aku paham pasti dia tidak menyangka kalau reaksi Alvia akan sekeras itu hingga mereka pun cukup lama bicara. Terlebih banyak orang yang harus ia berikan klarifikasi walau akhirnya Alvia berjanji akan merahasiakannya dari yang lain.Oya, mungkinkah sikap diam suamiku itu dikarenakan ia menyesal mengakuiku sebagai istri di depan Alvia?Apa sepenting itu seorang Alvia dalam hatinya? Apa aku hanya bayang-bayang? Lalu, bolehkah aku menyerah saja? Dan mundur dari arena ini.Ah ... sial! Ternyata melelahkan, ya? Menjadi istri dari suami yang hatinya milik wanita l
Sebagai wanita yang sudah menikah aku ingin bersikap dewasa. Tidak cemburu, tidak julid, tidak dengki, tidak kepo dan tidak melakukan hal bodoh yang menyebabkan diri tersiksa tapi semua itu hanya teori karena Mas Haikal membuatku bingung setengah mati.Seusai acara keceplosan di restoran Mas Haikal tiba-tiba menjadi pendiam, dia sama sekali tak berbicara apa pun bahkan sampai kami tiba di apartemen dan masuk ke kamar masing-masing.Aku paham pasti dia tidak menyangka kalau reaksi Alvia akan sekeras itu hingga mereka pun cukup lama bicara. Terlebih banyak orang yang harus ia berikan klarifikasi walau akhirnya Alvia berjanji akan merahasiakannya dari yang lain.Oya, mungkinkah sikap diam suamiku itu dikarenakan ia menyesal mengakuiku sebagai istri di depan Alvia?Apa sepenting itu seorang Alvia dalam hatinya? Apa aku hanya bayang-bayang? Lalu, bolehkah aku menyerah saja? Dan mundur dari arena ini.Ah ... sial! Ternyata melelahkan, ya? Menjadi istri dari suami yang hatinya milik wanita l
Peristiwa semalam dan ancaman Mas Haikal sukses membuatku tak bisa tidur. Pikiranku sibuk melanglang buana karena cemas mantan kakak angkatku itu akan berbuat yang enggak-enggak saat aku terlelap.Mungkinkah aku parno?Sehingga benakku terus saja melancarkan invansi pertanyaan yang tak kunjung selesai dan membuatku stres.Bagaimana kalau dia tiba-tiba menyerang saat aku tidur? Bagaimana kalau pas bangun bajuku nggak ada? Atau tiba-tiba dia khilaf dan aku kehilangan statusku sebagai perawan?Ah, stress! Semua spekulasi tersebut sukses membuatku menjadi kunti yang rajin meronda hingga ayam berkokok tiba.Baru saja sekamar sudah pusing begini, gimana kalau lanjut ke tahap lebih intim? Bisa-bisa aku pingsan."Mata kamu kenapa bengkak gitu?" tanya Mas Haikal sambil melirik sekilas ke arahku yang lesu.Saat ini mobil Mas Haikal baru saja parkir di halaman sekolah tempatku mengajar. Seperti biasanya pagi-pagi begini masih belum banyak guru dan siswa yang datang.Mendengar pertanyaan Mas Haik
Waktu berjalan terlampau cepat, tak terasa pernikahan kami sudah mau setahun.Sudah banyak perubahan yang terjadi di antara kami. Mas Haikal yang biasanya jarang laporan kalau mau ke mana-mana sekarang apa pun dia kabarkan padaku.Entah apa alasannya, mungkin dia takut aku curiga. Drama salah paham yang dulu pernah menyerempet perselingkuhan tampaknya cukup membuat kami banyak belajar dan menjadi dekat termasuk antara keluarga.Sudah beberapa minggu ini juga, aku lebih sering pulang ke rumah Bunda dan menjenguk Ibu yang sudah tampak lebih baik. Wanita spesial yang memiliki keterbelakangan mental itu akhirnya mau aku ajak berkomunikasi dibanding sebelumnya. Dia tampak mulai mau mengenali aku sebagai anaknya.Kata-kata usiran kini tak ada lagi yang ada hanya kasih sayang meski lewat matanya. Sementara jika berbicara tentang bapak kandungku jujur saja aku sudah tak lagi mempertanyakan. Karena bagiku memiliki Mas Haikal, Bunda, Ayah dan dapat bertemu ibu kandungku sudah lebih dari cukup.
Camping adalah kegiatan yang paling aku inginkan selama hidupku. Namun, sebelumnya tak pernah tercapai karena Bunda selalu melarang."Biar Haikal saja yang jadi pendaki dan suka ninggalin rumah, kamu jangan!" Begitu Bunda bilang kalau aku ijin pergi.Kata Bunda, anak gadis jangan naik-naik gunung. Itulah mengapa semasa kuliah, aku hanya gemar mendengar cerita yang dibawa Mas Haikal saja dibanding merasakannya sendiri.Kemudian sekarang, setelah aku menikah alhamdullilah Mas Haikal si pecinta alam ingin mewujudkannya. Dia berencana membuat moment berbeda untuk kami berdua.Manis banget nggak, sih?"Kamu yakin mau naik gunung Puntang, kan? Tenang aja, karena tingginya nggak setinggi Semeru Mas yakin ini cocok buat pemula," kata Mas Haikal seraya merekatkan jaket ke tubuhku."Ya Mas. Insya Allah yakin."Aku tersenyum dan mengangguk pasti.Setelah memastikan barang bawaan tak ada yang tertinggal di mobil, aku dan Mas Haikal pun berjalan beriringan menuju titik kumpul.Aku menghembuskan na
Mas Haikal memasak. Suatu kejadian yang langka, aku yakin jika kami tak lagi gencatan senjata dan aku sakit pasti dia tak mau melakukannya."Gimana buburnya? Enak?" tanya Mas Haikal yang aku langsung jawab dengan anggukan.Dia tersenyum lega. Setelah kejadian salah paham tadi pagi, Mas Haikal kembali menjadi suami yang siaga. Lelaki itu seolah tak pernah lelah menjagaku. Mas Haikal bahkan tetap di sisiku sampai aku menghabiskan makanan buatannya."Alhamdullilah, tadi Mas sempet khawatir kamu gak suka. Sekarang, diminum dulu obatnya," kata Mas Haikal sambil menyerahkan segelas air minum dan obat penurun demam.Aku mengambil gelas tersebut dan lekas meminumnya sesuai perintah Mas Haikal."Setelah sembuh, jangan ke mana-mana ya, kamu di sini saja. Saya gak mau kamu sakit lagi," kata Mas Haikal. Wajah tampannya tampak sangat khawatir, padahal aku hanya demam dan panas."Iya. Iya. Lagipula aku sakit juga karena siapa," gumamku pelan tapi sepertinya dia mendengar."Maaf. Mas tahu, Mas yang
Apa? Alvia pindah ke apartemen sebelah? Bener-bener nyari perkara tuh orang!Aku membanting pintu apartemen dengan kasar. Lalu, masuk dan menghempaskan diri di sofa. Dadaku bergemuruh dan kepalaku berdenyut karena sakit kepala usai bertengkar dengan Alvia.Aku memang bodoh. Jelas-jelas bodoh. Bagaimana bisa aku mengajukan syarat yang belum tentu bisa aku penuhi? Membuat Mas Haikal bilang cinta? Alamak! Sama saja menantang buaya."Pusing kepalaku!" Aku mendengkus keras sambil menyandarkan kepala ke bantalan sofa.Pertemuan tak terduga dengan Alvia membuat dadaku emosi dan sukses mengurungkan niat untuk pergi dari apartemen.Saat ini, diam-diam aku berdoa semoga malam ini Mas Haikal tak pulang. Sehingga kami tak perlu bertemu dan mengakibatkan suasana canggung. Akan tetapi, baru saja beberapa menit aku berdoa tampaknya hal itu belum terkabul.Tiba-tiba di sela keheningan apartemen aku mendengar bunyi pintu apartemen ditekan seseorang.Aku yakin pelakunya Mas Haikal. Siapa lagi yang tahu
Pada akhirnya sebuah rahasia yang ditunda lama pasti akan terkuak juga. Layaknya, serapat apa pun sebuah rasa dipendam pasti akan muncul ke permukaan. Setelah terbongkar maka tinggal tersisa dua pilihan memperjuangkan atau mempertahankan.Kukira inilah yang tengah terjadi pada hidupku sekarang. Tak kusangka Mas Haikal akan berdiri di ambang pintu saat aku mengucapkan kejujuran dari hati yang terdalam. Namun, tetap saja tak merubah kondisi atau lantas jadi suatu pembenaran untuk memaafkan. Bagiku ... semua terlambat. Sekali saja kepercayaan dikhianati maka akan sulit bagiku untuk bisa kembali seperti dulu.Begitu juga berbicara hati, sekali hati ini koyak dan hancur maka akan sulit disatukan serpihannya. Meski harus kuakui, aku masih cinta, sangat-sangat cinta bahkan.Karena itulah aku membencinya dan benakku tak henti bertanya. Kenapa harus dia yang berkhianat? Kenapa harus Mas Haikal yang dicium Alvia?"Ana. Apa benar yang kamu katakan?" tanya Mas Haikal. Muka lelaki itu tampak cerah
Aku menghembuskan napas kasar sembari memandang wajahku sendiri di depan cermin rias yang ada di kamar hotel. Hari ini aku terbangun dengan kepala yang sangat berat setelah menangis semalaman.Aku tak ingat sudah berapa jam aku menangis dan sudah berapa tisu yang aku habiskan sampai pagi ini. Namun, yang kutahu muka dan rambutku sudah acak-acakan begitu juga mataku telah membengkak.Itu bukti kalau aku terlampau larut dan lama terkungkung dalam tangisan.Ternyata begini rasanya patah hati karena dikhianati. Kenapa perihnya lebih menganga dibanding saat aku gagal nikah?Sumpah ...!Ingin rasanya mencoba menepis bayangan Mas Haikal yang berselingkuh dengan Alvia semalam tapi anehnya ingatan itu malah melekat semakin dalam.Aku sangat jijik. Bukan hanya dengan mereka tapi dengan diriku sendiri. Membayangkannya saja aku sudah merasa buruk.Jangan-jangan benar kata Alvia, bahwa selama ini, aku hanya menjadi pelampiasan nafsu Mas Haikal itu pun karena Bunda dan apa yang kusentuh tak lebih da
"Mungkin dia bisa jadi berhubungan badan denganmu, tapi di benaknya hanya ada aku. Kamu harus ingat itu! Karena aku cinta pertamanya! Bukan kamu!"Aku kembali menghela napas dalam dengan hati penuh luka mengingat ucapan Alvia tempo hari di supermarket sebelum kami berpisah.Entah apa maksud Alvia, tapi dadaku bergejolak jika mengingat perlakuan dan bisikannya yang mengancam tersebut.Buruknya itu tak hanya berakhir di sana, kemarin pun dia kembali mengirim pesan padaku hanya untuk mengatakan kalau aku tak pantas menjadi istri seorang Haikal. Katanya aku hanya akan membawa aib dan keturunan yang berasal dariku akan buruk karena orang tuaku yang memiliki keterbelakangan mental.Wanita sakit jiwa!Sebenarnya, aku sudah berusaha menghilangkan suudzon pada Mas Haikal dalam otakku akibat pengaruh ucapan Alvia tapi tetap saja setiap memandang wajah Mas Haikal diri ini akan sibuk menerka-nerka.Apakah benar kata Alvia kalau aku hanya dijadikan pelampiasan? Benarkah dia berhubungan denganku h
Mas Haikal itu tipe lelaki yang terlalu banyak negosiasi. Buktinya, meski sudah kukatakan aku bersedia, tetap saja dia seakan memiliki banyak pertanyaan yang muncul di benaknya hingga akulah yang harus bertindak agresif lebih dulu mendekati lelaki kulkas tersebut.Hingga puncaknya malam tadi dia malah tak mau berhenti sampai pagi, ketika dia sudah mereguk manisnya syurga dunia untuk pertama kali.Luar biasa.Dasar lelaki! Setelah dikasih hati sekarang dia malah minta jantung. Awalnya saja sok gengsi, tapi akhirnya malah aku yang harus bangun kesiangan dan ijin ke sekolah dengan alasan tak jelas pada Pak kepala sekolah. Semua gara-gara Mas Haikal yang merajuk dan terus ketagihan.[Maaf, Pak, saya ijin gak masuk.][Kenapa?][Saya ada agenda penting mendadak.]Iya, agenda melayani suami.[Ya, sudah boleh. Tapi besok tolong hadir ya, Bu? Ada rapat.][Baik Pak.]Begitulah sekelumit percakapanku dengan Pak kepala sekolah karena Mas Haikal melarangku pergi kerja hari ini.Dia bilang kami har
Inikah yang namanya rindu? Lima huruf yang membuatku serba salah tapi malu mengakui. Ke mana-mana ingin tahu kabarnya, tapi sayang yang dirindu bahkan tak tahu. Apalagi kami baru bertengkar tepat di hari di mana dia akan sibuk selama seminggu di luar kota.Sejujurnya, kurasa pertengkaran kemarin adalah salah satu kejadian yang paling tak diinginkan oleh suami-istri yang mau LDR. Tapi, nyatanya malah itu yang terjadi.Tak ada kata sapaan selama kami terpisah jarak, dia diam aku diam. Semua menjadi terasa dingin dan sepi tanpa interaksi.Sempat kukira hubunganku mulai membaik ternyata aku salah. Sebaliknya terlihat semakin buruk karena bagiku rasanya ada yang kosong di dalam sini.Tak ada lagi handuk yang tersampir sembarangan, tak ada lagi teriakan menyebalkan dan tak ada lagi sikap aneh Mas Haikal.Gamang.Tanpa sadar aku sudah terjebak dalam imajinasi rekaanku sendiri.Mungkinkah dia di sana baik-baik saja? Lagi apa dia? Apa benar dia semarah itu hingga tak meneleponku?Huft!Aku mem