"Mungkin dia bisa jadi berhubungan badan denganmu, tapi di benaknya hanya ada aku. Kamu harus ingat itu! Karena aku cinta pertamanya! Bukan kamu!"Aku kembali menghela napas dalam dengan hati penuh luka mengingat ucapan Alvia tempo hari di supermarket sebelum kami berpisah.Entah apa maksud Alvia, tapi dadaku bergejolak jika mengingat perlakuan dan bisikannya yang mengancam tersebut.Buruknya itu tak hanya berakhir di sana, kemarin pun dia kembali mengirim pesan padaku hanya untuk mengatakan kalau aku tak pantas menjadi istri seorang Haikal. Katanya aku hanya akan membawa aib dan keturunan yang berasal dariku akan buruk karena orang tuaku yang memiliki keterbelakangan mental.Wanita sakit jiwa!Sebenarnya, aku sudah berusaha menghilangkan suudzon pada Mas Haikal dalam otakku akibat pengaruh ucapan Alvia tapi tetap saja setiap memandang wajah Mas Haikal diri ini akan sibuk menerka-nerka.Apakah benar kata Alvia kalau aku hanya dijadikan pelampiasan? Benarkah dia berhubungan denganku h
Aku menghembuskan napas kasar sembari memandang wajahku sendiri di depan cermin rias yang ada di kamar hotel. Hari ini aku terbangun dengan kepala yang sangat berat setelah menangis semalaman.Aku tak ingat sudah berapa jam aku menangis dan sudah berapa tisu yang aku habiskan sampai pagi ini. Namun, yang kutahu muka dan rambutku sudah acak-acakan begitu juga mataku telah membengkak.Itu bukti kalau aku terlampau larut dan lama terkungkung dalam tangisan.Ternyata begini rasanya patah hati karena dikhianati. Kenapa perihnya lebih menganga dibanding saat aku gagal nikah?Sumpah ...!Ingin rasanya mencoba menepis bayangan Mas Haikal yang berselingkuh dengan Alvia semalam tapi anehnya ingatan itu malah melekat semakin dalam.Aku sangat jijik. Bukan hanya dengan mereka tapi dengan diriku sendiri. Membayangkannya saja aku sudah merasa buruk.Jangan-jangan benar kata Alvia, bahwa selama ini, aku hanya menjadi pelampiasan nafsu Mas Haikal itu pun karena Bunda dan apa yang kusentuh tak lebih da
Pada akhirnya sebuah rahasia yang ditunda lama pasti akan terkuak juga. Layaknya, serapat apa pun sebuah rasa dipendam pasti akan muncul ke permukaan. Setelah terbongkar maka tinggal tersisa dua pilihan memperjuangkan atau mempertahankan.Kukira inilah yang tengah terjadi pada hidupku sekarang. Tak kusangka Mas Haikal akan berdiri di ambang pintu saat aku mengucapkan kejujuran dari hati yang terdalam. Namun, tetap saja tak merubah kondisi atau lantas jadi suatu pembenaran untuk memaafkan. Bagiku ... semua terlambat. Sekali saja kepercayaan dikhianati maka akan sulit bagiku untuk bisa kembali seperti dulu.Begitu juga berbicara hati, sekali hati ini koyak dan hancur maka akan sulit disatukan serpihannya. Meski harus kuakui, aku masih cinta, sangat-sangat cinta bahkan.Karena itulah aku membencinya dan benakku tak henti bertanya. Kenapa harus dia yang berkhianat? Kenapa harus Mas Haikal yang dicium Alvia?"Ana. Apa benar yang kamu katakan?" tanya Mas Haikal. Muka lelaki itu tampak cerah
Apa? Alvia pindah ke apartemen sebelah? Bener-bener nyari perkara tuh orang!Aku membanting pintu apartemen dengan kasar. Lalu, masuk dan menghempaskan diri di sofa. Dadaku bergemuruh dan kepalaku berdenyut karena sakit kepala usai bertengkar dengan Alvia.Aku memang bodoh. Jelas-jelas bodoh. Bagaimana bisa aku mengajukan syarat yang belum tentu bisa aku penuhi? Membuat Mas Haikal bilang cinta? Alamak! Sama saja menantang buaya."Pusing kepalaku!" Aku mendengkus keras sambil menyandarkan kepala ke bantalan sofa.Pertemuan tak terduga dengan Alvia membuat dadaku emosi dan sukses mengurungkan niat untuk pergi dari apartemen.Saat ini, diam-diam aku berdoa semoga malam ini Mas Haikal tak pulang. Sehingga kami tak perlu bertemu dan mengakibatkan suasana canggung. Akan tetapi, baru saja beberapa menit aku berdoa tampaknya hal itu belum terkabul.Tiba-tiba di sela keheningan apartemen aku mendengar bunyi pintu apartemen ditekan seseorang.Aku yakin pelakunya Mas Haikal. Siapa lagi yang tahu
Mas Haikal memasak. Suatu kejadian yang langka, aku yakin jika kami tak lagi gencatan senjata dan aku sakit pasti dia tak mau melakukannya."Gimana buburnya? Enak?" tanya Mas Haikal yang aku langsung jawab dengan anggukan.Dia tersenyum lega. Setelah kejadian salah paham tadi pagi, Mas Haikal kembali menjadi suami yang siaga. Lelaki itu seolah tak pernah lelah menjagaku. Mas Haikal bahkan tetap di sisiku sampai aku menghabiskan makanan buatannya."Alhamdullilah, tadi Mas sempet khawatir kamu gak suka. Sekarang, diminum dulu obatnya," kata Mas Haikal sambil menyerahkan segelas air minum dan obat penurun demam.Aku mengambil gelas tersebut dan lekas meminumnya sesuai perintah Mas Haikal."Setelah sembuh, jangan ke mana-mana ya, kamu di sini saja. Saya gak mau kamu sakit lagi," kata Mas Haikal. Wajah tampannya tampak sangat khawatir, padahal aku hanya demam dan panas."Iya. Iya. Lagipula aku sakit juga karena siapa," gumamku pelan tapi sepertinya dia mendengar."Maaf. Mas tahu, Mas yang
Camping adalah kegiatan yang paling aku inginkan selama hidupku. Namun, sebelumnya tak pernah tercapai karena Bunda selalu melarang."Biar Haikal saja yang jadi pendaki dan suka ninggalin rumah, kamu jangan!" Begitu Bunda bilang kalau aku ijin pergi.Kata Bunda, anak gadis jangan naik-naik gunung. Itulah mengapa semasa kuliah, aku hanya gemar mendengar cerita yang dibawa Mas Haikal saja dibanding merasakannya sendiri.Kemudian sekarang, setelah aku menikah alhamdullilah Mas Haikal si pecinta alam ingin mewujudkannya. Dia berencana membuat moment berbeda untuk kami berdua.Manis banget nggak, sih?"Kamu yakin mau naik gunung Puntang, kan? Tenang aja, karena tingginya nggak setinggi Semeru Mas yakin ini cocok buat pemula," kata Mas Haikal seraya merekatkan jaket ke tubuhku."Ya Mas. Insya Allah yakin."Aku tersenyum dan mengangguk pasti.Setelah memastikan barang bawaan tak ada yang tertinggal di mobil, aku dan Mas Haikal pun berjalan beriringan menuju titik kumpul.Aku menghembuskan na
Waktu berjalan terlampau cepat, tak terasa pernikahan kami sudah mau setahun.Sudah banyak perubahan yang terjadi di antara kami. Mas Haikal yang biasanya jarang laporan kalau mau ke mana-mana sekarang apa pun dia kabarkan padaku.Entah apa alasannya, mungkin dia takut aku curiga. Drama salah paham yang dulu pernah menyerempet perselingkuhan tampaknya cukup membuat kami banyak belajar dan menjadi dekat termasuk antara keluarga.Sudah beberapa minggu ini juga, aku lebih sering pulang ke rumah Bunda dan menjenguk Ibu yang sudah tampak lebih baik. Wanita spesial yang memiliki keterbelakangan mental itu akhirnya mau aku ajak berkomunikasi dibanding sebelumnya. Dia tampak mulai mau mengenali aku sebagai anaknya.Kata-kata usiran kini tak ada lagi yang ada hanya kasih sayang meski lewat matanya. Sementara jika berbicara tentang bapak kandungku jujur saja aku sudah tak lagi mempertanyakan. Karena bagiku memiliki Mas Haikal, Bunda, Ayah dan dapat bertemu ibu kandungku sudah lebih dari cukup.
Sejatinya manusia tak bisa memilih dilahirkan dari rahim siapa, jadi jangan salahkan kenapa dia dilahirkan karena itu takdir yang tak terbantahkan.==Dinikahi Kakak Angkat"Maaf keluarga kami tidak bisa melajutkan rencana pernikahan ini, Randi tidak bisa menikahi Ana karena kami kecewa ternyata ayah kandung Ana bukanlah Pak Agus tapi lelaki yang memiliki keterbelakangan mental."Jleb. Seolah ada tusukan pisau yang tepat mengenai dadaku ketika mendengar ucapan ayahnya Randi. Tak menyangka dia akan menggagalkan pernikahan aku dan anaknya yang tinggal lima hari hanya karena aku bukan anak kandung Pak Agus--pria yang biasa kupanggil Ayah. Sejujurnya, aku pun baru tahu identitasku seminggu yang lalu kalau ternyata aku hanya anak angkat di keluarga ini.Menurut cerita Bunda, ayah dan ibu kandungku sama-sama memiliki keterbelakangan mental hanya berbeda tingkatannya saja, mereka bertemu di yayasan binaan sosial lalu karena saling tertarik akhirnya memutuskan menikah. Tak lama ibuku yang l
Waktu berjalan terlampau cepat, tak terasa pernikahan kami sudah mau setahun.Sudah banyak perubahan yang terjadi di antara kami. Mas Haikal yang biasanya jarang laporan kalau mau ke mana-mana sekarang apa pun dia kabarkan padaku.Entah apa alasannya, mungkin dia takut aku curiga. Drama salah paham yang dulu pernah menyerempet perselingkuhan tampaknya cukup membuat kami banyak belajar dan menjadi dekat termasuk antara keluarga.Sudah beberapa minggu ini juga, aku lebih sering pulang ke rumah Bunda dan menjenguk Ibu yang sudah tampak lebih baik. Wanita spesial yang memiliki keterbelakangan mental itu akhirnya mau aku ajak berkomunikasi dibanding sebelumnya. Dia tampak mulai mau mengenali aku sebagai anaknya.Kata-kata usiran kini tak ada lagi yang ada hanya kasih sayang meski lewat matanya. Sementara jika berbicara tentang bapak kandungku jujur saja aku sudah tak lagi mempertanyakan. Karena bagiku memiliki Mas Haikal, Bunda, Ayah dan dapat bertemu ibu kandungku sudah lebih dari cukup.
Camping adalah kegiatan yang paling aku inginkan selama hidupku. Namun, sebelumnya tak pernah tercapai karena Bunda selalu melarang."Biar Haikal saja yang jadi pendaki dan suka ninggalin rumah, kamu jangan!" Begitu Bunda bilang kalau aku ijin pergi.Kata Bunda, anak gadis jangan naik-naik gunung. Itulah mengapa semasa kuliah, aku hanya gemar mendengar cerita yang dibawa Mas Haikal saja dibanding merasakannya sendiri.Kemudian sekarang, setelah aku menikah alhamdullilah Mas Haikal si pecinta alam ingin mewujudkannya. Dia berencana membuat moment berbeda untuk kami berdua.Manis banget nggak, sih?"Kamu yakin mau naik gunung Puntang, kan? Tenang aja, karena tingginya nggak setinggi Semeru Mas yakin ini cocok buat pemula," kata Mas Haikal seraya merekatkan jaket ke tubuhku."Ya Mas. Insya Allah yakin."Aku tersenyum dan mengangguk pasti.Setelah memastikan barang bawaan tak ada yang tertinggal di mobil, aku dan Mas Haikal pun berjalan beriringan menuju titik kumpul.Aku menghembuskan na
Mas Haikal memasak. Suatu kejadian yang langka, aku yakin jika kami tak lagi gencatan senjata dan aku sakit pasti dia tak mau melakukannya."Gimana buburnya? Enak?" tanya Mas Haikal yang aku langsung jawab dengan anggukan.Dia tersenyum lega. Setelah kejadian salah paham tadi pagi, Mas Haikal kembali menjadi suami yang siaga. Lelaki itu seolah tak pernah lelah menjagaku. Mas Haikal bahkan tetap di sisiku sampai aku menghabiskan makanan buatannya."Alhamdullilah, tadi Mas sempet khawatir kamu gak suka. Sekarang, diminum dulu obatnya," kata Mas Haikal sambil menyerahkan segelas air minum dan obat penurun demam.Aku mengambil gelas tersebut dan lekas meminumnya sesuai perintah Mas Haikal."Setelah sembuh, jangan ke mana-mana ya, kamu di sini saja. Saya gak mau kamu sakit lagi," kata Mas Haikal. Wajah tampannya tampak sangat khawatir, padahal aku hanya demam dan panas."Iya. Iya. Lagipula aku sakit juga karena siapa," gumamku pelan tapi sepertinya dia mendengar."Maaf. Mas tahu, Mas yang
Apa? Alvia pindah ke apartemen sebelah? Bener-bener nyari perkara tuh orang!Aku membanting pintu apartemen dengan kasar. Lalu, masuk dan menghempaskan diri di sofa. Dadaku bergemuruh dan kepalaku berdenyut karena sakit kepala usai bertengkar dengan Alvia.Aku memang bodoh. Jelas-jelas bodoh. Bagaimana bisa aku mengajukan syarat yang belum tentu bisa aku penuhi? Membuat Mas Haikal bilang cinta? Alamak! Sama saja menantang buaya."Pusing kepalaku!" Aku mendengkus keras sambil menyandarkan kepala ke bantalan sofa.Pertemuan tak terduga dengan Alvia membuat dadaku emosi dan sukses mengurungkan niat untuk pergi dari apartemen.Saat ini, diam-diam aku berdoa semoga malam ini Mas Haikal tak pulang. Sehingga kami tak perlu bertemu dan mengakibatkan suasana canggung. Akan tetapi, baru saja beberapa menit aku berdoa tampaknya hal itu belum terkabul.Tiba-tiba di sela keheningan apartemen aku mendengar bunyi pintu apartemen ditekan seseorang.Aku yakin pelakunya Mas Haikal. Siapa lagi yang tahu
Pada akhirnya sebuah rahasia yang ditunda lama pasti akan terkuak juga. Layaknya, serapat apa pun sebuah rasa dipendam pasti akan muncul ke permukaan. Setelah terbongkar maka tinggal tersisa dua pilihan memperjuangkan atau mempertahankan.Kukira inilah yang tengah terjadi pada hidupku sekarang. Tak kusangka Mas Haikal akan berdiri di ambang pintu saat aku mengucapkan kejujuran dari hati yang terdalam. Namun, tetap saja tak merubah kondisi atau lantas jadi suatu pembenaran untuk memaafkan. Bagiku ... semua terlambat. Sekali saja kepercayaan dikhianati maka akan sulit bagiku untuk bisa kembali seperti dulu.Begitu juga berbicara hati, sekali hati ini koyak dan hancur maka akan sulit disatukan serpihannya. Meski harus kuakui, aku masih cinta, sangat-sangat cinta bahkan.Karena itulah aku membencinya dan benakku tak henti bertanya. Kenapa harus dia yang berkhianat? Kenapa harus Mas Haikal yang dicium Alvia?"Ana. Apa benar yang kamu katakan?" tanya Mas Haikal. Muka lelaki itu tampak cerah
Aku menghembuskan napas kasar sembari memandang wajahku sendiri di depan cermin rias yang ada di kamar hotel. Hari ini aku terbangun dengan kepala yang sangat berat setelah menangis semalaman.Aku tak ingat sudah berapa jam aku menangis dan sudah berapa tisu yang aku habiskan sampai pagi ini. Namun, yang kutahu muka dan rambutku sudah acak-acakan begitu juga mataku telah membengkak.Itu bukti kalau aku terlampau larut dan lama terkungkung dalam tangisan.Ternyata begini rasanya patah hati karena dikhianati. Kenapa perihnya lebih menganga dibanding saat aku gagal nikah?Sumpah ...!Ingin rasanya mencoba menepis bayangan Mas Haikal yang berselingkuh dengan Alvia semalam tapi anehnya ingatan itu malah melekat semakin dalam.Aku sangat jijik. Bukan hanya dengan mereka tapi dengan diriku sendiri. Membayangkannya saja aku sudah merasa buruk.Jangan-jangan benar kata Alvia, bahwa selama ini, aku hanya menjadi pelampiasan nafsu Mas Haikal itu pun karena Bunda dan apa yang kusentuh tak lebih da
"Mungkin dia bisa jadi berhubungan badan denganmu, tapi di benaknya hanya ada aku. Kamu harus ingat itu! Karena aku cinta pertamanya! Bukan kamu!"Aku kembali menghela napas dalam dengan hati penuh luka mengingat ucapan Alvia tempo hari di supermarket sebelum kami berpisah.Entah apa maksud Alvia, tapi dadaku bergejolak jika mengingat perlakuan dan bisikannya yang mengancam tersebut.Buruknya itu tak hanya berakhir di sana, kemarin pun dia kembali mengirim pesan padaku hanya untuk mengatakan kalau aku tak pantas menjadi istri seorang Haikal. Katanya aku hanya akan membawa aib dan keturunan yang berasal dariku akan buruk karena orang tuaku yang memiliki keterbelakangan mental.Wanita sakit jiwa!Sebenarnya, aku sudah berusaha menghilangkan suudzon pada Mas Haikal dalam otakku akibat pengaruh ucapan Alvia tapi tetap saja setiap memandang wajah Mas Haikal diri ini akan sibuk menerka-nerka.Apakah benar kata Alvia kalau aku hanya dijadikan pelampiasan? Benarkah dia berhubungan denganku h
Mas Haikal itu tipe lelaki yang terlalu banyak negosiasi. Buktinya, meski sudah kukatakan aku bersedia, tetap saja dia seakan memiliki banyak pertanyaan yang muncul di benaknya hingga akulah yang harus bertindak agresif lebih dulu mendekati lelaki kulkas tersebut.Hingga puncaknya malam tadi dia malah tak mau berhenti sampai pagi, ketika dia sudah mereguk manisnya syurga dunia untuk pertama kali.Luar biasa.Dasar lelaki! Setelah dikasih hati sekarang dia malah minta jantung. Awalnya saja sok gengsi, tapi akhirnya malah aku yang harus bangun kesiangan dan ijin ke sekolah dengan alasan tak jelas pada Pak kepala sekolah. Semua gara-gara Mas Haikal yang merajuk dan terus ketagihan.[Maaf, Pak, saya ijin gak masuk.][Kenapa?][Saya ada agenda penting mendadak.]Iya, agenda melayani suami.[Ya, sudah boleh. Tapi besok tolong hadir ya, Bu? Ada rapat.][Baik Pak.]Begitulah sekelumit percakapanku dengan Pak kepala sekolah karena Mas Haikal melarangku pergi kerja hari ini.Dia bilang kami har
Inikah yang namanya rindu? Lima huruf yang membuatku serba salah tapi malu mengakui. Ke mana-mana ingin tahu kabarnya, tapi sayang yang dirindu bahkan tak tahu. Apalagi kami baru bertengkar tepat di hari di mana dia akan sibuk selama seminggu di luar kota.Sejujurnya, kurasa pertengkaran kemarin adalah salah satu kejadian yang paling tak diinginkan oleh suami-istri yang mau LDR. Tapi, nyatanya malah itu yang terjadi.Tak ada kata sapaan selama kami terpisah jarak, dia diam aku diam. Semua menjadi terasa dingin dan sepi tanpa interaksi.Sempat kukira hubunganku mulai membaik ternyata aku salah. Sebaliknya terlihat semakin buruk karena bagiku rasanya ada yang kosong di dalam sini.Tak ada lagi handuk yang tersampir sembarangan, tak ada lagi teriakan menyebalkan dan tak ada lagi sikap aneh Mas Haikal.Gamang.Tanpa sadar aku sudah terjebak dalam imajinasi rekaanku sendiri.Mungkinkah dia di sana baik-baik saja? Lagi apa dia? Apa benar dia semarah itu hingga tak meneleponku?Huft!Aku mem