“Anisa? Kenapa kamu diam di luar seperti itu, sudah hampir jam sembilan malam, ayo ....”Oh iya? Itu berarti aku sudah duduk di taman samping rumah setelah isya tadi, cukup lama dan tidak terasa juga. Gus Yusuf memanggil ku seperti itu pasti karena ada keinginannya yang belum aku laksanakan, bagaimanapun juga aku belum siap karena berbagai hal.“Ada apa, Anisa? Bukankah saya sudah memberitahu kamu berulang kali tentang malam ini, bahwa saya ....”“Aku tahu dan paham apa itu kewajiban batin dalam rumah tangga, tapi sebaiknya itu semua kita lakukan pada saat kedua belah pihak sudah merasa siap dan kuat menghadapi segalanya,” ucap ku, bukan bermaksud memotong pembicaraan suami akan tetapi itu jauh lebih baik jika dijelaskan secara langsung.Dia nampak terdiam entah apa sebenarnya yang tengah dia pikirkan sekarang, lebih jelasnya lagi aku benar-benar tak ingin ada kesalahpahaman jika nanti aku menolak untuk melakukannya.“Kalau begitu, aku ke dalam duluan, Gus. Permisi,” pamit ku, melewat
Umi sudah memberondong beberapa pertanyaan pagi ini, walaupun hanya melalui sambungan telepon, tetap saja salah satu pertanyaan yang ditanyakan adalah, kenapa tidak melayani suami? Kenapa selalu menunda dan lain sebagainya.Aku hanya bisa menghela napas berat, sulit rasanya menerima semua kenyataan ini, sudah berusaha untuk menahan segala ego, menahan segala sesak di dada, tetap saja kenyatannya tak semudah yang dibayangkan.Selain hanya bisa memberikan jawaban yang cukup menenangkan bagi umi, aku pun hanya bisa berpasrah kepada Allah, apapun yang akan terjadi pada kehidupan ku di suatu hari nanti.Manusia hanya bisa berencana, Allah lah sang maha segalanya. Harus lebih berserah diri, dibandingkan menyerahkan diri, pagi ini pun aktivitas sedikit berbeda, setelah menyiapkan sarapan, aku juga harus mengantar Gus Yusuf sampai ke gerbang rumah, karena hari ini dia mulai kembali semua kegiatan nya, tidak cuti seperti sebelumnya.“Terima kasih, Anisa. Kamu sudah mau mengantar saya sampai si
Aku mencari Marwah, tetapi tidak ditemukan juga sampai aku lelah turun dan naik tangga berulang kali hanya untuk memeriksa lalu memastikan disetiap ruangan rumah ini, sebenarnya dia pergi ke mana? Berada di mana? Tidak mungkin dia pergi dari rumah tanpa izin dari Gus Yusuf, karena itu juga aku semakin bingung mencarinya.Setelah aku selesai menjawab telepon dari ustazah, Marwah sudah tidak ada seperti sekarang, walaupun entah sejak kapan dia pergi, aku tidak tahu kapan perginya sampai-sampai tak bisa menemukan dirinya.“Iya assalamualaikum, Gus? Kenapa menelepon? Maksudnya ada apa, Gus?”“Anisa, waalaikumussalam. Apakah kamu bersama Marwah saat ini? Saya berulang kali menghubungi dia tapi tetap tak bisa dihubungi.”Aku terkejut mendengarnya, benar-benar sangat aneh bahkan Gus Yusuf pun bertanya padaku di mana Marwah? Aku pikir hanya diriku yang sibuk mencari ke sana-sini, ternyata suamiku juga. Apa sebenarnya yang terjadi? Dia sempat bertanya dan pertanyaan itu pasti adalah hal pentin
Aku mungkin tidak diinginkan semenjak aku dilahirkan ke dunia ini, bahkan sudah terlalu banyak luka serta rasa sakit yang ku alami selama hidup. Sampai pada akhirnya aku dipertemukan dengan orang-orang baik seperti keluarga dari Gus Yusuf, selain mereka ikhlas merawat ku dari kecil hingga dewasa, aku juga selalu bisa merasakan kasih sayang dari mereka, meskipun aku bukanlah bagian dari mereka yang sesungguhnya, aku hanya orang asing pada awalnya.Hingga aku begitu tidak tahu diri jatuh cinta pada Gus Yusuf, yang seharusnya lebih ku hormati sebagai pahlawan, bukan sebagai kekasih. Di dunia ini memang tidak ada yang mungkin, buktinya dia juga mencintaiku selama ini, hanya saja suatu kesalahan yang tak sengaja ku perbuat membuatnya sedikit menjauh bahkan tidak lagi sama seperti dulu terhadap ku.“Marwah? Kenapa lagi? Apakah perutmu sakit atau ....”Anisa, ya dia adalah sosok wanita yang sangat baik. Aku belum pernah melihat seseorang sebaik dan setulus dia dalam kalangan muda seperti ku,
Rutinitas sehari-hari memang cukup melelahkan jika dikerjakan seorang diri, tetapi semenjak aku mulai mendekatkan diri pada Marwah, semuanya terasa lebih ringan daripada sebelumnya, mungkin orang-orang akan mengira aku tak sakit hati, tetapi bagiku tak ada salahnya juga menjadi akrab dengannya.Bagaimanapun juga, dia seorang wanita biasa sama sepertiku, pasti punya kelebihan dan kekurangan tersendiri, tak mungkin aku tega bermusuhan dengan seseorang yang jelas-jelas satu atap denganku, tak ingin ku pungkiri juga dia tetaplah istri kedua suamiku.“Marwah, biar aku saja yang menyajikan semuanya, kamu yang rapikan dapur oke? Aku akan menyelesaikan meja makan terlebih dahulu,” titah ku untuk membagi tugas.Namun, yang aku lihat saat ini Marwah tetap diam seperti tak mendengar apa yang telah aku katakan tadi, apa mungkin dia sedang melamun? Ku ingin sekali mendengar semua penjelasan darinya, sedetail mungkin tanpa adanya kebohongan lagi, tetapi harus bagaimana? Memaksa bukanlah sikap dirik
“Hukuman yang memang benar-benar pantas jika kamu berani membantah, sudah ... jangan terlalu sering bicara saat di meja makan.”Dia mengatakan semua itu seolah-olah aku adalah budaknya lalu dia adalah tuannya, memang hukuman seperti apa? Tak ada kerisauan sama sekali dari raut wajahnya. Jika itu adalah hal yang menyeramkan, aku akan lebih berhati-hati padanya dalam bersikap.Melanjutkan makan yang sempat tertunda, aku benar-benar sudah tak berselera makan lagi, hanya saja membuang makam itu mubajir, sangat tidak boleh sampai terjadi apalagi jika hanya karena persoalan seperti tadi dengan Gus Yusuf.Cepat-cepat aku menyelesaikan makan kali ini, dan segera melakukan apa yang sudah seharusnya ku lakukan sejak awal, ya benar aku akan memberanikan diri untuk bertanya pada mertuaku, walaupun itu hanya sekadar berkomunikasi melalui ponsel.Setidaknya akan ada yang aku ketahui nanti, aku harap akan seperti itu. Usaha tidak akan mengkhianati hasil, segala keraguan dan ketakutan sebaiknya menyi
“Kamu sedang sakit, kan? Apa yang kamu rasakan? Beritahu aku, Marwah. Apa ini juga ada sangkut pautnya dengan pernikahan kalian?”“Jika iya, tolong beritahu aku dengan jelas. Agar aku tidak selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri, agar aku juga bisa tenang, Marwah.”Tidak ada kata menyerah bagiku, karena memang untuk saat ini aku benar-benar ingin segera tahu tentang kebenaran itu, jika terus-menerus diundur, maka aku sendiri yang akan hidup tanpa ketenangan setiap harinya.Bagiku, kejujuran dari seseorang sangatlah penting dibandingkan segala kebaikan tetapi berselimut dusta, mungkin terkadang jujur itu menyakitkan tetapi kebohongan lebih meresahkan jika tetap dilakukan, apalagi jika untuk menutupi segala kesalahan.“Kenapa kamu hanya diam? Aku bertanya seperti itu bukan untuk hal buruk, aku juga peduli padamu, aku yakin pendarahan yang sering terjadi pada dirimu bukan pendarahan biasa, jangan hanya diam, ayo katakan.”Sengaja ku desak sampai dia mau jujur, tetap saja Marwah bungka
Tak terasa sudah beberapa hari saja aku melewati hari-hari yang begitu sulit, tentu saja tanpa kedua orang tua ataupun keluarga besar.Saat ini aku benar-benar hanya ingin duduk termenung sembari menatap jalanan yang begitu ramai di depan rumah, ya benar aku sedang duduk di luar gerbang, itu semua sudah cukup untuk aku yang ingin menenangkan diri.Terlalu banyak hal-hal aneh, dan kejanggalan selama ini, sampai membuat ku tidak percaya lagi pada orang-orang yang disekitar, termasuk Gus Yusuf ataupun Marwah, kedua orang yang dekat denganku tetapi tak bisa ku tebak orang seperti apa mereka selama ini.Aku tidak tahu harus bagaimana lagi selain menangis dalam diam, pihak keluarga ku selalu bertanya kapan momong cucu? Kapan datang? Dan lain sebagainya, membuat kepalaku semakin pening karena harus bisa memikirkan jawaban yang tepat untuk mereka agar tidak curiga tentunya.“Butuh yang manis-manis?”“Nuwun sewu, mboten. matur nuwun,” sahut ku, mungkin itu hanya tukang asongan yang sering lewa