"Jadi, semua pelayan bersedia ikut?" tanya Yuksel tak menjauh darinya sedikit pun."Benar Tuan."Mata Yuksel dan Kimberly saling tatap ke arah Aiden yang justru melirik dengan menantikan sesuatu. Membuat Yuksel terpaksa menjauh darinya dan menghela napas. Sementara Aiden justru sedikit tersenyum."Kau ke sini hanya untuk menyampaikan itu saja kan? Lantas kenapa masih di sini dan tidak segera pergi?" cerocos Yuksel sangat berharap Aiden pergi."Saya ke sini sekalian menjemput Tuan.""Menjemput?" ulang Yuksel dengan dahi mengerut."Benar Tuan. Ini soal ...."Mata Aiden melirik ke arahnya terlebih dahulu. Kemudian mulut membisu, seolah Kimberly tidak diizinkan untuk ikut dalam pembicaraan. Yuksel menatap padanya dan mengusap kepalanya."Lanjutkan berkemasnya, aku akan pergi bersama Aiden dulu," ujar Yuksel sembari berjalan meninggalkannya.Kimberly tak bisa menuntut suaminya untuk membuka mulut. Mungkin tak ingin membagi beban dengannya. Karena kepergian ini butuh strategi dan perencanaa
"Aku rasa sudah cukup," ujar Kimberly dengan mata menatap buah plum di keranjang yang Emma pegang."Sudah?" tanya Yuksel menyenderkan tongkat pada pohon.Kimberly tersenyum dengan kepala mengangguk antusias. "Iya."Yuksel meraih keranjang dari tangan Emma, kemudian menuntunnya untuk duduk di kursi taman. Meletakkan keranjang di atas meja. Mata Yuksel menatap pada Emma yang tetap berdiri diam di sekitar Kimberly."Emma, bisakah ambilkan pakaian tebal untuk Kimberly?" "Tidak perlu, aku juga merasa tidak kedinginan," tolaknya.Mata Yuksel menatap padanya dengan serius. Namun, kemudian memilih menunduk dan fokus pada buah di dalam keranjang. Hal itu membuat Kimberly terdiam dan memandang suaminya heran. "Ada apa Yuksel?" Kimberly sampai bertanya."Tidak Sayang. Hanya cemas kau kedinginan saja."Kimberly yakin, ada yang aneh dengan suaminya. Seperti menyembunyikan sesuatu. Namun, tidak mau bilang. Matanya saling tatap dengan Emma, lantas Emma mengedikan bahu."Besok ayah akan mulai beran
Kimberly menoleh dan tersenyum. "Bicara apa? Katakan padaku."Kimberly memang sangat menunggu momen di mana Yuksel mau bicara padanya. Jujur tentang kekhawatiran yang tercipta jelas di wajah. Yuksel menggenggam tangannya erat."Ini soal diriku."Kereta mulai berjalan membuatnya merapat pada suaminya. "Katakan."Yuksel menatap dirinya. "Selama ini aku menyembunyikan rahasia terbesar dalam hidupku."Matanya menatap tangan yang digenggam semakin erat. Kemudian netra terangkat dan saling membingkai dengan Yuksel. Wajah suaminya terlihat sangat serius."Bicaralah dengan santai dan nyaman."Yuksel mengangguk. "Aku adalah cucu dari Raja."Kimberly mengangkat alisnya. "Ini rahasianya? Bukankah semua orang juga tahu kalau kau cucu dari Raja terdahulu.""Raja di ibukota Kairi."Kimberly yang masih belum menyadari langsung mengangguk. "Soal itu semua orang juga--"Hingga matanya terbelalak. "Apa!"Yuksel kaget dengan reaksinya yang langsung berdiri dari duduk. Bahkan sempat membentur atas kereta
Mata Aiden dan Emma saling melirik sejenak. Kemudian terjatuh pada Aaron yang masih membisu dengan pandangan tertuju ke depan. Barisan pohon yang menyejukkan udara. "Tidakkah Tuan Aaron sadar, beliau sendiri yang membuat nyonya seperti itu," bisik Emma sedikit condong ke arah Aiden.Aiden melirik Aaron yang bisa saja mendengar. Mengingat jarak di antara mereka yang hanya dipisahkan oleh meja bundar saja. Kemudian Emma berdiri tegak lagi saat ditatap oleh Aaron."Bukankah tubuhmu pendek, Emma? Masih perlu menunduk?" sindir Aaron berhasil membuat Emma membeku.Perlahan kaki mundur. "Tuan, saya akan melihat nyonya Kimberly."Mata Aaron mengiringi kepergian Emma yang melangkah dengan sangat cepat. Kemudian kembali menatap pada pepohonan. Seolah tumbuhan hijau itu terlalu menarik perhatian."Tidakkah dahan pohon itu cocok untuk bertengger?" tanya Aaron menyadari sesuatu.Aiden mengangguk kecil. "Benar Tuan. Karena hal itu tuan Yuksel sudah memasang jebakan di sana."Aaron mengangguk. "Pem
Kimberly menatap suaminya dengan pandangan memelas. "Aku tidak tahu."Aaron menyipitkan mata. "Tidak mungkin tidak tahu, kalian suami istri."Yuksel menarik napas sembari memegangi kepala. "Ayah mertua akan tahu nanti, untuk saat ini aku tidak bisa bicara.""Kenapa?""Tempat seperti ini memiliki banyak mata dan telinga."Mendengar hal tersebut, Aaron mengangguk. Meski dia terlihat sedikit penasaran, namun memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Karena Yuksel sendiri terlihat tidak ingin membahas karena takut ada mata-mata.Yuksel melirik ke arahnya yang langsung menurunkan pandangan. Serta menunduk, fokus menyantap sarapan saja. Yuksel kembali menarik napas, itu bentuk antara kecewa sekaligus kesal padanya."Setelah ini, apakah kita akan langsung melanjutkan perjalanan?" tanya Aaron pada Yuksel."Benar. Tapi demi mengelabui pihak yang ingin menyerang. Aku ingin Ayah mertua datang ke perbatasan untuk menjemput ibu mertua tanpa aku dan Kimberly.""Kenapa?" tanya Kimberly kaget.Yukse
"Kenapa?" tanya Kimberly dengan heran.Baik Aaron maupun Yuksel. Mereka berdua sama-sama berdehem. Seolah yang akan terucap oleh mulut sesuatu yang tidak seharusnya keluar.Julia tersenyum. "Sudah sangat lama ibu tidak bertemu Ayahmu. Kau sudah menikah, apakah masih perlu dijelaskan?"Kimberly lantas menoleh pada suaminya yang mengangguk. Seolah memberi tanda bahwa kedua orang tua butuh waktu berduaan karena sudah lama tidak bertemu. Kimberly cemberut."Baiklah."Sementara Yuksel menatap ke arah Julia. Tidak disangka kalau Kimberly begitu mirip dengan sang ibu. Namun, watak sepertinya menurun dari Aaron. Karena Julia terlihat lemah lembut, meski begitu Yuksel tidak boleh lengah. Harus mencari cara supaya direstui.***Ketika malam harinya. Yuksel untuk kali pertama, seperti menyesal telah tidur satu kamar dengan Kimberly. Pasalnya Kimberly sejak awal memasuki kamar hingga merebahkan diri di atas ranjang, mulut tak pernah diam. Terus saja mengeluh."Kenapa sih tidak peka sekali? Aku ka
Sementara itu Yuksel yang kebagian satu kereta dengan Aaron. Nampak hanya diam dengan ekspresi wajah sedikit tidak suka. Aaron menyadari hal itu, namun memilih ikut diam.Mata Yuksel menjadi waspada. Ketika tangan membuka jendela, tekanan udara sudah tak lagi sama. Yuksel memejamkan mata sejenak dan terlihat kaget, seolah akan terjadi sesuatu."Ada apa?" tanya Aaron menyadari sesuatu."Sepertinya mereka berhasil mengejar sampai ke sini," sahut Yuksel masih dengan wajah waspada.Aaron menarik napas. "Bagaimana bisa? Bukankah kita sudah membuat rencana. Harusnya kereta itu tidak terkejar.""Kalau mereka sampai ke sini, itu artinya mereka sudah menyadari kereta itu sejak awal kosong.""Itu artinya pertarungan tak bisa dihindari," ujar Aaron terdengar sedikit cemas.Mata Yuksel menatap sang mertua yang biasanya bisa bersikap datar. Kali tersebut malah terlihat cemas. Jendela yang masih terbuka membuat Yuksel bisa melihat kuda yang ditunggangi Aiden mendekat."Tuan," sebut Aiden pelan."Ak
Yuksel bertarung dengan menggila. Membuat puluhan pembunuh bayaran di barisan depan mulai saling berjatuhan karena racun. Tubuh membiru dengan otot tegang, semua mengalami gejala itu.Namun, tak membuat petarung di barisan belakang menyerah. Mereka langsung keluar dari persembunyian dan bergerak maju. Yuksel menatap jumlah yang tidak bisa dihitung itu."Bagaimana ini Tuan?" tanya Aiden dengan tubuh saling membentur dengan Aaron, karena orang mereka sudah berkurang.Di tengah Yuksel beserta Aiden dan Aaron yang sudah memegang pedang dengan erat. Telah bersiap untuk bertarung. Namun, mereka semua dibuat terperangah oleh sekawanan anak panah yang melesat ke arah pembunuh bayaran itu begitu cepatnya. Panah itu sama sekali tak melukai Yuksel dan yang lainnya.Suara erangan rasa sakit dari para pembunuh bayaran terdengar jelas. Mereka merangkak dan berlari sekali pun, panah itu mengejar hingga mengenai lawan. Kini, aroma darah segar menghuni perjalanan mereka. Tapi, satu hal yang membuat Aa