“Maksud kamu apa Nak? Kamu akan menceraikan anakku dalam beberapa hari?” tanya Haris saat ia sudah berhasil mendekati dua orang berbeda jenis kelamin yang saling bertatapan.Mendengar suara di belakangnya. Alvin menoleh, mendapati mertuanya menatap dengan raut kecewa. “Bapak,” lirih Alvin.Rasanya hendak kabur saja, begitu dipergoki oleh Bapak mertuanya. Ia melepas tangannya yang mencekal bahu Wati. Sedangkan kekasihnya itu masih sesegukkan.“Nah, kebetulan. Hari ini memang takdir baik berpihak padaku,” ucap Wati dengan menyeka air matanya. Alvin menoleh, ia mengerti maksud kekasihnya itu.“Kamu belum menjawab pertanyaanku Nak,” ucap Haris, membuat Alvin bingung harus menjawab seperti apa. Jika ia menyangkal pun, sepertinya tidak bisa.“Maafkan aku Pak, aku nggak bermaksud-“ belum selesai Alvin bicara, Haris segera menyela.“Sudah aku katakan padamu Nak, sedari awal, kalau kamu nggak minat sama anakku, nggak usah kamu nikahi. Balas budi nggak harus dengan menikahi anakku,” jelas Hari
Amel langsung masuk ke rumah mertuanya. Mencari batang hidung Ibu mertuanya, namun tidak ia temukan. Saat ia berjalan ke belakang, ternyata wanita licik itu sedang cekakakan dengan seseorang di telpon.“Lagi telponan sama selingkuhan?” tanya Amel langsung dari belakang tubuh Hesti. Mendengar suara seseorang, Hesti langsung berbalik. Menyeringai tajam, ia langsung mematikan ponsel setelah mengucapkan ‘muach sampai ketemu nanti’ ke seseorang di balik telpon.Hal itu tidak luput dari pengamatan Amel yang mendadak jijik begitu melihat tingkah Ibu mertuanya. “Kamu ngasih tau Bapakku kalau pernikahanku dan Mas Alvin cuma sementara?” tanya Amel dengan nada ditekan.“Haha, iya. Emang kenapa? Nggak suka? Baguskan biar kalian cepat cerai.” Hesti terkekeh geli.“Ck, padahal aku masih ada hati untuk tidak membocorkan perselingkuhanmu, berharap kamu segera tobat dan aku akan menghapus bukti itu. Tapi sepertinya, aku berubah pikiran. Kebusukanmu itu harus aku beberkan ke semua orang,” jelas Amel. I
Seorang pria terus menitikkan air mata. Sedih, kehilangan, sesal bercampur bersamaan. Ia sebelumnya tidak pernah menduga kepergian sang Ayah begitu cepat. Bahkan, ia dan Ayahnya belum sempat menjalani hubungan baik sebagaimana seorang Ayah dan anaknya."Maafkan sikapku selama ini," isak Alvin dengan bahu bergetar. Tidak ada siapapun yang menemaninya, bahkan hingga malam semakin larut. Tidak ada tanda-tanda kedatangan istrinya. Saudara yang ia miliki, jauh entah dimana. Hanya Ayah yang ia miliki saat ini, Ibu tiri jangan diharap lagi, wanita itu pasti sudah kabur membawa harta Ayahnya."Ayah, kalau boleh, aku akan memintamu hidup, satu hari aja, kita habiskan waktu bersama. Terlepas dari kesalahan yang kamu lakukan, jika aku tahu keadaan akan begini, jauh-jauh hari, aku akan memaafkan sikapmu pada Ibuku." Alvin mengusap wajah Ayahnya, lalu beralih ke mata yang sudah tetutup.Dua orang perawat datang, hanya menatap iba ke arah Alvin yang keadaannya sudah kacau. "Maaf Pak, apakah jenazah
“Ceraikan Amel, agar aku kembali percaya,” ucap Haris tegas. Mata Alvin melebar, dalam hati menolak syarat dari Bapak mertuanya. Bagaimana bisa, bapak mertuanya menawarkan hal tak masuk akal agar Alvin bisa mengembalikan kepercayaannya.“Itu berarti Bapak masih nggak percaya. Harusnya, Bapak memberi kesempatan pada saya, untuk memperbaiki semuanya,” jelas Alvin seraya menggelengkan kepala. Tatapan matanya sayu, memohon. Namun Haris membuang wajah.“Aku masih bisa melihat ada cinta di matamu untuk wanita lain. Aku nggak akan biarkan putriku menderita lagi.”Ya. Haris masih belum percaya. Walau Alvin mengaku telah mencintai putrinya. Ia sangat paham bahwa pria yang selingkuh dibelakang seperti Alvin ini bisa saja memanipulasi. Berbohong demi kepentingannya sendiri.“Mel,” panggil Alvin, matanya memohon. “Kamu percaya ‘kan sama aku?” tanyanya. Amel membuang wajah, ia bimbang. Merasa gamang dengan perasaannya. Di sisi lain, ia tidak ingin membuat Bapaknya marah, disisi lain entah dorongan
Setelah kejadian dimana ia berkunjung ke rumah keluarga Alvin, Amel selalu mengurung diri di kamarnya. Keluar jika ada keperluan, semisal belanja untuk kebutuhan makanan, memberi makan kelincinya dan juga ke kampus sekaligus ke tokonya.Selama itu pula, surat cerai tidak pernah sampai ke tangannya. Bapaknya sudah mendesak, agar memperosesnya saja dengan pengadilan. Tapi, Amel menolak, bukan karena ia tidak ingin bercerai, hanya tidak ingin memperunyam permasalahan. Ia ingin Alvin datang sendiri, memberinya surat gugatan cerai, lalu ia hanya perlu menandatangani. Ketika ia mengirim chat kepada Alvin, agar segera menceraikan, pria itu malah membalasnya dengan kata 'nanti' terus menerus.Pernah suatu malam, Amel mengirim pesan yang panjang kali lebar, karena sudah muak dengan diamnya Alvin."Pak, saya akan bicara baik-baik ke kamu. Karena Bapak adalah dosen, saya masih bisa sopan. Tolong, segera ceraikan saya. Karena saya akan menikah dengan seseorang," tulis Amel di pesan whatsappnya."
Amel tertegun sesaat. Bukan tidak mungkin mereka berdua tidak melakukan hal yang iya-iya. Mulutnya hanya bisa terkekeh, pelan sekali. Entah menertawakan dirinya karena merasa hati telah jatuh pada Alvin atau malah mentertawakan sikap kekanak-kanakkan Wati."Kamu percaya diri sekali ya mempertontonkan perbuatan zinamu? aibmu yang harusnya kamu tutupi. Saranku, segera taubat, hubungan yang kalian bangun bukan saja tidak sehat, tapi melanggar syariat. Jika benar, ini adalah foto suamiku, maka aku akan dengan mudah menggugat cerai nanti," jelas Amel sembari menatap Alvin dan Wati bergantian."Aku sangat-sangat, berterimakasih karena kamu harus repot-repot membuat bukti ini. Sehingga, aku nggak harus capek mencari alasan untuk menggugat duluan," lanjut Amel."Mel, itu bukan aku. Aku nggak mungkin ngelakuin itu," sergah Alvin, ia merebut ponsel Wati dari tangan Amel."Sangat mungkin. Sudahlah, nggak usah ngelak. Sekarang, hubungan kalian udah di ketahui banyak orang. Dan kamu, em maaf maksu
Tidak seperti wanita bercerai pada umumnya. Amel tidak trauma, tidak sedih, tidak pula memaki jika semua laki-laki sama saja, habis manis sepah dibuang. Ia hanya berfikir, bahwa semua adalah kekeliruan yang dibuatnya sendiri. Salah karena menyetujui untuk dinikahi hanya sementara, walau dengan alasan untuk membahagiakan Bapak, tapi nyatanya Bapaknya tidak bahagia.Keluarga kecil itu tengah berkumpul di ruang keluarga. Bapaknya Amel -Haris- sibuk mengikir kayu yang sudah berbentuk asbak. Adiknya Amel -Rafa- menatap layar televisi sambil nyemil. Mereka hidup normal seperti biasa, tidak merasakan kehilangan atau apapun. Tidak pula ingin membahasnya."Kapan kamu skripsian?" tanya Haris kepada Amel. Yang ditanya sedang fokus membalas pelanggan hijabnya, hanya menoleh sesaat."Semester ini aku maju proposal dulu, kalau bisa selesai, bisa langsung garap," jelas Amel. Haris manggut-manggut."Dia nggak ada ganggu kamu 'kan?" tanya Haris. Yang pria itu maksud adalah mantan suami putrinya."Alvi
Amel hanya membuang nafas, ditatap seperti itu ia tak suka, namun karena ia terlanjut menawarkan bantuan, tentu saja tidak bisa menarik lagi perkataannya."Amelia?" tanya pria itu dengan raut wajah yang mendadak ramah. Amel sedikit mengaga, ia kira pria dihadapannya bakal marah-marah, tersingggung akibat Amel menawarkan bantuan. Sedari awal, ia sengaja menggunakan bahasa sopan, karena penurut apa yang ia pelajari, seseorang dengan disabilitas cenderung sensitif, tidak suka dikasihani."Iya nama saya Amelia, bagaimana anda tau?" tanya Amel sopan, setelah menangkupkan tangannya. Pria dengan kursi roda itu tersenyum simpul."Kamu pelanggan setia perusahaan konveksi kami, mana mungkin aku nggak tau," ucap pria itu, membuat Amel menebak jika mungkin pria dihadapannya ini Bos?"Anda pemilik perusahaan ini?" tebak Amel."Nama saya Haikal Pratama, saya dan teman-teman saya mengelola perusahaan ini," terang pria berkursi roda yang ternyata bernama Haikal. Amel mengulas senyum, kepalanya manggu