"A--apa maksudmu, Diana?" tanya Desta gelagapan."Bukankah Kamu sendiri yang bilang kalau pernikahan kita hanya satu tahun?" Diana mendongak menatap wajah suaminya yang tak terbaca. "Aku hanya mengingatkan pada diriku sendiri untuk tidak terlena dengan pernikahan ini, Mas. Sekarang aku mulai sadar di mana posisiku saat ini di hatimu. Aku tak lebih hanya seorang yang mengisi hidupmu untuk sementara waktu. Ada saatnya aku harus kembali ke asalku."Setelah mengatakan itu Diana memutar kursi rodanya dengan menggunakan jemari dan menjauh dari 2 orang itu. Sepanjang lorong menuju kamar tak henti air matanya berlomba membasahi pipi. Dadanya terasa sesak setelah mengatakan apa yang seharusnya tidak ia katakan.Sesampainya di kamar Diana termenung di depan jendela. Membayangkan nasib kehidupan dengan sang buah hati kedepannya. Ada rasa yang menyayat di dalam hati memikirkan anaknya kelak tidak bisa memiliki kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya.Seseorang masuk tanpa mengusik lamu
Desta menatap tak suka pada dokter kandungan tersebut. Dengan menggunakan ekor matanya, Desta melirik rekan sejawatnya tersebut. "Ya. Emang anak siapa lagi? Diana istri saya, Dok." Desta menekan kata istri seolah menegaskan bahwa ia adalah pemilik dari wanita yang mengandung buah hatinya ini. "Dokter sudah menikah? Kapan? Saya pikir dokter masih pacaran sama Meta. Soalnya seminggu lalu gadis itu--" "Anda tak berhak mencampuri urusan pribadi saya, dokter!" ucap pria yang masih memakai sneli itu dingin. Ia tak mau Diana tahu kalau dirinya sering mengajak Meta ke sini. Entah karena dorongan apa.Merasa tak enak hati dengan Diana yang hanya mengatupkan bibirnya sejak tadi, dokter dan perawat itu langsung keluar setelah membereskan alat USG dan membawa serta dengan mendorongnya.Setelah kepergian dua wanita itu, Diana memutar tubuhnya memunggungi Desta. Hatinya yang sempat melambung karena Desta telah memamerkan calon anaknya, tiba-tiba sakit kala dokter itu mengatakan hubungan terlara
Pagi ini Diana sudah terlihat sehat. Perutnya juga sudah tak lagi bergejolak. Wajah yang biasanya pucat kembali tampak berseri. Bahkan sekarang terlihat lebih cantik dari sebelumnya.Ia sudah sangat rindu kembali ke sekolah. Bertemu murid-murid yang cerewet tapi menggemaskan. Bersama mereka, ia bisa tertawa lepas. Apalagi ketika bersama trio ceriwis yang selalu mengikutinya kala makan ke kantin. Selalu ada saja tingkah polah mereka yang membuatnya mengocok perut. Sekali lagi ia mematut diri di depan cermin. Gamis longgar yang selalu ia kenakan, tak mampu menutupi perutnya yang sudah sedikit membuncit. Setelah memastikan semua barang bawaannya lengkap, wanita berseragam keki dengan model gamis itu turun lebih dulu menuju ruang makan. Tak perlu menunggu sang suami selesai bersiap. Hatinya masih dongkol mengingat soal susu hamil semalam. Namun ia tetap menyiapkan pakaian kerja suaminya. Katanya hari ini pria dingin itu akan pergi ke kantor. Ada beberapa berkas penting yang harus ditand
"Aku antar!""Nggak perlu.""Mau membantah suami?"Diana menghembuskan nafas lelah. Ia binggung dengan sikap suaminya yang mirip bunglon. Berubah-ubah. Di dalam mobil, keduanya hanya diam. Diana memilih untuk menatap jendela, sementara Desta fokus menyetir. Suasana seperti ini membuat keduanya kembali canggung seperti awal pernikahan. Bunyi dering HP mengalihkan fokus Desta. Menggunakan satu tangan untuk menyetir, satu tangan lainnya untuk membuka gawainya yang terus menjerit minta diangkat. Belum sempat ia mengucap salam, orang di seberang telepon sudah memberondong dengan berbagai pertanyaan. Pria itu tampak gusar. Alisnya mengernyit dengan rahang terkatup rapat seperti sedang menahan emosi. "Sudahlah, Met. Nanti aku jelaskan. Sekarang aku sedang menyetir. Tutup dulu telponnya."[...]"Ya. Aku bersamanya." Ekor mata pria itu melirik ke samping. Diana tahu siapa yang sedang menghubungi suaminya. Bahkan ia yang resmi bergelar istri saja tak memiliki waktu lebih lama dengan suamin
Meski panik, Diana harus bertindak cepat. Ketiga anak ini harus segera dilarikan ke rumah sakit jika tak ingin terjadi apa-apa. Dia segera meminta tolong salah satu siswa yang ada di kantin untuk mencari pak Sukri, sopir sekolah yang biasa mengoperasikan mobil inventaris. Ia juga memerintahkan murid lain untuk ke ruang guru mengabarkan hal ini. Hatinya diliputi rasa was-was melihat kondisi muridnya sudak tak bergerak. Ia sendiri tiba-tiba merasa pusing dan mual. Namun sekuat tenaga ia menahannya. Saat ini yang terpenting adalah nasib ketiga siswa ini. Sepuluh menit kemudian beberapa guru tergopoh-gopoh mendatangi lokasi. Puluhan siswa juga sudah berkerumun di sekitar mereka. "Apa yang terjadi, Bu Diana?" tanya Pak Seno, kepala sekolah. "Nggak tahu, Pak. Kami makan bersama, tapi tiba-tiba mereka mengeluh pusing dan akhirnya pingsan.""Apa yang mereka makan?""Mereka makan bekal dari rumah masing-masing ditambah bekal punya saya," lirih Diana. Tidak mungkin kan, mereka pingsan gara
"Berapa uang jaminan yang Bapak minta, akan saya berikan. Tapi tolong bebaskan dia. Kasihan dia sedang hamil muda," ucap Daniel saat tiba di kantor polisi. Ia segera menemui petugas untuk melakukan negosiasi. "Simpan saja uangmu, Pak. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Nyawa tiga siswa dalam bahaya, dan kau malah kasihan pada penjahat itu?" Polisi tampak geram melihat Daniel yang berusaha membujuknya. Tatapan tajamnya menghunjam langsung pada manik kelam Daniel. "Dari pada menghamburkan uang, lebih baik cari pengacara saja untuk membelanya. Dan jangan lupa bawa bukti-bukti kalau dia memang tidak bersalah. Hukum akan berlaku adil kalau memang dia terbukti bersih dari kasus ini."Menghembuskan nafas panjang, Daniel berusaha tetap tenang. Benar kata polisi. Percuma ia bersikeras kalau ia tak memiliki bukti apapun. "Kalau begitu, bolehkah saya menemuinya sebentar, Pak?""Lima belas menit. Waktumu hanya lima belas menit saja."Keduanya berjalan menuju ruangan yang terdapat s
"Lihatlah, penghuni baru ini begitu pendiam!" ucap wanita bertubuh gempal yang sedang dikerumuni wanita lain sambil dipijat. "Hei, penghuni baru! Kenalan dulu, dong! Kita semua sama di sel ini, penjahat, ha ha ha ...." Diana tak menggubris ucapan wanita itu. Sejak sejam yang lalu, ia dipindahkan ke ruangan ini. Berbagi tempat dengan delapan tahanan lain yang tampaknya mereka tak ingin membuat Diana tenang. "Heh, sombong sekali kamu! Nggak usah sok suci! Penampilan seperti malaikat tapi ternyata berhati iblis! Nggak nyangka seorang guru tega meracuni anak didiknya sendiri," ucapnya lagi diikuti derai tawa yang lain. Telinga Diana sudah sangat panas mendengarnya. Namun ia mencoba bergeming. Pura-pura tak dengar karena tak mau bermasalah dengan penghuni lain. "Eh, ternyata selain jahat, dia juga tuli, Gaes!" Lagi-lagi derai tawa menggema mengejek Diana. Hanya satu yang diminta wanita hamil ini, segera bebas dari tempat ini. Jika terus-menerus di sini, ia khawatir mentalnya nggak aka
Lelaki berwibawa itu mengangguk. Lalu menatap sang menantu dengan tatapan iba. Sudah berusaha bernegosiasi dengan pihak polisi tapi sama seperti Daniel. Mereka harus membawa bukti kalau Diana nggak bersalah, baru bisa dibebaskan. Uang jaminan tak bisa membuatnya keluar dari sini berapapun jumlahnya. "Sabar ya, Nak. Daddy sedang berusaha mencari cara agar kamu segera bebas.""Iya, Dad. Maaf, Diana sudah menyusahkan kalian." Wanita itu menunduk sedih. Tangannya mengelus perut yang tiba-tiba bergerak. Ya, bayinya berubah aktif semenjak ia dipenjara. "Ini, Mommy bawakan bayak buah untukmu. Kamu harus makan banyak supaya calon cucu Mommy tumbuh dengan sehat." Wanita berpenampilan modis itu menyodorkan parsel buah kepada menantunya. "Waktu kalian sudah habis! Silahkan keluar dari ruangan ini!" ucap sipir penjara menginterupsi mereka. Sebelum keluar, Marini memeluk erat menantunya sekali lagi. Menghujani ciuman di pipi dan dahinya bertubi-tubi. Sesaat setelahnya, Diana dibawa masuk kemba
Pertama kali bertemu orang yang melahirkan ke dunia seumur hidupnya, Diana seperti mimpi dan tak ingin bangun lagi. Selama ini ia mengira ibunya Meta adalah orang yang telah melahirkannya juga. Ternyata dia salah.Dan kini, wanita yang telah menyediakan rahimnya untuk dia tumbuh selama sembilan bulan lebih, talah ada di depan mata. Mereka masih berpelukan melepaskan rindu. Seolah hanya ada mereka berdua di sini. Bahkan, Diana sampai melupakan suaminya. Dalam kondisi normal, ia akan merasa malu bersikap seperti ini di depan suaminya. "Apa kalian nggak menganggap kami ada?" ucap Daniel dengan nada cemburu. Sepasang wanita kembar beda usia itu melerai pelukannya. Lalu menatap tajam pada pria yang barusan berbicara. Seolah mengerti dengan tatapan itu, Daniel memilih untuk duduk di samping Desta. "Apa setelah bertemu kalian akan bersekutu untuk memusuhiku? Kenapa tatapan kalian seperti itu?" cicitnya membuat ia mendapat lemparan dua bantal sofa secara bersamaan. "Tuh, kan ... benar. Bah
Pagi-pagi sekali, Diana sudah berkutat di dapur. Efek tak bisa tidur semalaman karena memikirkan ibu angkatnya, ba'da subub ia sudah berkutat di dapur. Membuat nasi goreng dan roti bakar untuk sarapan. Bi Ijah berkali-kali sudah melarang. Tak tega melihat majikannya di depan kompor dengan perut besar. Apalagi sesekali Diana menekan punggungnya yang mulai pegal. Namun, dasar Diana, ia tetap melakukan aktivitas meski sudah dilarang. Katanya biar persalinannya nanti lancar. Bahkan andai Desta nggak memaksa, ia tetap ingin pergi mengajar. Tepat pukul 6 pagi semua sarapan sudah terhidang di meja makan. Delapan puluh persen Diana yang membuatnya. Setelah siap, wanita itu segera masuk ke kamarnya. Semenjak usia kandungannya mencapai tujuh bulan, Desta memindahkan kamar mereka di kamar tamu yang ada di lantai satu. Jadi, Diana tak perlu susah payah naik turun tangga. "Mas, sarapannya sudah siap, tuh!" Diana mendekati suaminya yang asik dengan HP pintarnya. "Dari habis subuh kamu menghilan
"Eh, Gita, belanja juga?" Kedua sahabat lama ini langsung berpelukan. Menyingkir dari tempat itu dan membiarkan Deata menyelesaikan pembayaran. "Alhamdulillah, ini sudah delapan bulan. Kamu ...?" Diana tak melanjutkan pertanyaannya. "Anakku sudah dua.""Oh ya? Masyaa Allah, lama tak berkabar tahu-tahu dah berbuntut dua," ujar Diana nyengir. Mereka terlibat obrolan panjang sampai suami Diana mendekat. "Sudah, Mas?" "Udah. Yuk!" ajak Desta sembari menarik pinggang sang istri. Saat itulah tatapan matanya bersirobok dengan Gita. Sesaat keduanya terpaku. Kenangan silam masa SMA teringat kembali oleh mereka. Gita adalah orang yang pernah menolong Diana waktu kecelakaan dulu. Saat itu Diana berlarian ke halte karena ia tak mau ketinggalan UAS. Saat bersamaan ada pengendara sepeda motor dengan kecepatan tinggi melaju dari arah kanan. Spion motor itu menyenggol tubuh Diana membuatnya terjatuh. Untuk hanys luka ringan sehingga ia masih bisa ikut UAS. Gita yang sedang mengendari mobil berhe
"Jadi?""Yah, begitulah faktanya." Dengan santai pria yang mengaku bernama Eldi mencomot kembali udang crispy yang masih setengah porsi milik Diana. Tentu kelakuan nggak sopan pria ini membuat dua pria lain menganga melihatnya. "Hei, kalau mau makan pesan aja sendiri! Jangan main comot gitu, dong!" Desta tampak menggeram melihat kelakuan sewenang-wenang pria yang mengaku teman SMA istrinya. Namun sepertinya Eldi tak merasa terganggu dengan tatapan membunuh 2 pria di sampingnya . Mau tak mau Diana menyudahi makannya meski sebenarnya iya masih sangat ingin melahap udang crispy itu. Namun mengingat aura yang mulai berubah horor, wanita hamil ini menekan keinginannya."Eh, eh, eh, mau kemana? Temani aku dulu di sini napa? Sepertinya kamu sudah nggak takut ma cowok lagi. Kalau gitu, boleh dong babang El PDKT sama Diana cantik," ucapnya tanpa disaring dulu. Iya Bahkan tak mau repot-repot melihat dua orang yang menjadi bodyguard Diana. Baginya dua orang pria itu dianggap seperti bayangan
Mobil yang mereka tumpangi berbelok ke restoran seafood yang ada di pinggir pantai. Diana berjalan lebih dulu ketika mobil telah berhenti. Memilih tempat dengan view yang menarik. Dia sangat suka laut. Maka tak heran ia memilih saung yang berhadapan langsung dengan laut. Dari sini mereka bisa melihat matahari terbenam secara langsung. Sayangnya, saat mereka sampai, surya masih bersinar terang dan belum condong ke barat. "Mau pesan apa, Sayang?" tanya Desta saat bobot tubuhnya mendarat sempurna di samping sang istri. "Aku mau cumi asam manis, udang krispi, sama ca kangkung aja." "Ok. Minumnya?""Es degan.""No! Wanita hamil tak boleh minum es." "Kata siapa?""Kata suamimu yang paling ganteng," ucap Desta narsis. Daniel memeragakan akting memuntah pada sohib sekaligus iparnya itu yang ditanggapi dengan gelak tawa. Wanita hamil yang sejak tadi fokus pada deburan ombak di laut, bahkan ketika menyebutkan menu yang diingini, menoleh pada sumber suara. Menatap takjub pada pria tampan
Pria tua yang dipanggil paman oleh Diana ini berdiri. Tatapannya nyalang seperti hendak memakan orang. Diana yang sudah biasa diperlakukan demikian olehnya tak merasa heran. Sejak dulu adik kandung bapak angkatnya ini memang terlihat nggak suka padanya. Selalu saja mengatakan jika Diana sebagai anak pembawa sial. Entah apa maksud dari ucapannya itu. Kini, Diana paham. Yang dimaksud pamannya itu adalah karena Diana mendapat bagian harta yang lebih banyak. Padahal jika dipikir-pikir, bagiannya sama rata. Karena selain mendapat lahan sawit, bapak dan paman mendapat saham perusahaan masing-masing lima puluh persen. "Tolong, Pak, jaga sikap. Semua pembagian sudah dihitung secara adil. Selain lahan sawit, bapak-bapak masih mendapat saham perusahaan.""Ya, tapi seharusnya perempuan pembawa sial ini nggak perlu dapat bagian. Kenapa tidak Meta saja yang mendapatkannya? Dia putri kandung keluarga ini!""Maaf, Pak. Saya hanya menjalankan perintah almarhum. Keputusan ini sah dan dilindungi huk
"Tapi nanti keluarga itu akan semakin membenciku," lirih Diana sambil menunduk. Bagaimana pun dia sudah dibesarkan dengan sangat layak oleh keluarga itu. Dikuliahkan hingga ia bisa mengejar impiannya menjadi guru. Dia tak mengharap apapun dari mereka sebenarnya. "Tanpa mengungkit masalah ini pun mereka sudah membencimu sejak dulu, Di. Kebaikan dan ketulusan mereka selama ini hanya topeng. Mereka menginginkan bagianmu. Karena untuk mengalihkan nama menjadi nama Meta butuh persetujuan dan tanda tanganmu."Diana memijat pelipisnya. Tiba-tiba kepalanya berdenyut mendengar hal ini tiba-tiba. Ia tak menginginkan harta itu. Baginya berkumpul dengan keluarga sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Ia sudah cukup senang dengan menjadi guru dan mendapatkan hasil darinya.Sarapan pagi yang seharusnya dilakukan dengan santai, kali ini justru diliputi keseriusan. Diana berharap apapun yang terjadi nanti keluarga yang telah membesarkannya tidak semakin membenci dirinya. "Apa tidak masalah kalau
Melihat kekagetan mommy, Diana berdiri dan membimbingnya untuk duduk. Ada yang perlu dijelaskan di sini. Diana menatap suaminya lalu beralih ke abangnya seolah ingin meminta persetujuan untuk menjelaskan statusnya. Kedua pria itu kompak mengangguk. "Mom, sebenarnya aku dan Bang Daniel kakak adik.""Apa?!"Wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu membelalak. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Iya, Tan. Maaf, kami baru bisa memberi tahu sekarang. Karena kami juga baru tahu sesaat setelah Diana menikah dengan Desta." Daniel berinisiatif untuk menjelaskan mewakili adiknya. Dengan santai ia menjelaskan kronologis hilangnya Diana waktu masih bayi. Lalu menjelaskan bagaimana dia bisa tahu kalau Diana adalah adik kandungnya. "Jadi keluarga yang berusaha untuk mencelakaimu itu bukan keluarga kandungmu? Oh syukurlah Diana Mommy sangat senang mendengarnya. Karena kamu bukan keturunan keluarga kriminal." Mommy tampak bersungguh-sungguh. "Awalnya tante sangat
Aroma masakan Diana memenuhi dapur. Menguar ke seluruh penjuru ruangan. Pagi ini, Desta akan mengajak sang istri berjalan-jalan ke suatu tempat. Ia sengaja mengambil cuti seminggu untuk menebus waktu yang hilang sebelum ini. Ia turun dengan pakaian casualnya. Menambah kadar ketampanan pria itu meningkat beberapa kali lipat. Ditambah senyum yang tak pudar membuat semua penghuni rumah tertular aura bahagia yang ia taburkan. "Hem, wangi sekali aromanya, masak apa?" ucap Desta yang tiba-tiba sudah berada di belakang Diana. Melilitkan sepasang tangan kokohnya ke perut buncit wanita itu dan mengelusnya pelan. Mengantarkan sensai nyaman pada wanita itu. Diana tak menjawab pertanyaan sang imam. Ia sibuk menetralkan degub jantungnya yang berdentam-dentam tak karuan. Matanya terpejam menikmati gerakan aktif calon buah hatinya. "Wow, dia aktif sekali! Apa dia sedang mengajakku bicara?" ucap Desta antusias. Pria itu tampak takjub dengan apa yang ia rasakan. Baru kali ini dia merasakan secara