“Nih, minum,” ucap Dina menyodorkan botol minumannya.
Setelah keduanya mulai tenang. Kini Dina mencoba menyampaikan pendapatnya lagi.
"Ya, ada benernya juga, sih, Pril omongan kamu itu."
Nahkan!
“Gimana kalau sama Mas Sean? Mas Sean itu baik, tajir melintir, humoris. Tapi…ada tapinya, nih.”
April menaikan sebelah alisnya. “Tapi apa?” tanya April penasaran. Sekarang dia sudah tidak marah-marah lagi.
“Tapi kamu tahu sendiri, kan, Pril dia masih bocah. Yakin masih mau sama dia? Kalau yakin ya nggak pa-pa. tapi inget, umur kita itu udah tua, Pril. Udah bukan waktunya lagi kita pacaran haha hihi.”
April merasa tertohok mendengarnya. Dipeluknya botol air mineral yang tadi diberikan oleh Dina erat-erat. Ia tidak mampu menjawab sepatah kata pun.karena memang semua kata yang terlontar dari mulut Dina adalah kebenaran.
“Terus Din… kalau kamu jadi aku. Kamu lebih mi
“Kamu serius, Din, tahu ibu-ibu di foto itu?!”April memegang erat lengan Dina penuh harap. Meski sejujurnya ada rasa ragu di benak April apa betul Dina pernah melihat Mamanya Sean lantaran mengingat Dina itu anaknya dari dulu kalau bicara suka ngasal. Jadi bagaimana mungkin Dina bisa diharapkan.“Iya, serius aku beneran pernah ngelihat dia tahu!”Dina menaikkan potret hitam putih tersebut ke atas, menerawangnya di langit-langit kamar seperti seseorang yang sedang memeriksa keaslian uang kertas.“Emang kamu pernah ngelihat dia di mana?”“Jadi ceritanya tuh, dulu aku, kan, anak SMK jurusan perawatan sosial. Terus waktu PKL–alias magang—akuditempatin di salah satu panti jompo yang ada di kota Temanggung. Emang agak pelosok, sih, Pril tempatnya. Nah, di sana aku ngelihat ibu-ibu ini.”Dahi April mengerut. Hah, panti jompo? daerah Temanggung? Yang benar saja.Bukannya kalau
April menatap ke arah luar jendela bus kota yang sedang ditumpanginya, pagi ini dia ditemani Dini yang sedang asyik mengemil jajanan di pangkuan.Alasan mereka berdua lebih memilih naik bus kota ke Temanggung dalam misi pencarian Mamanya Sean adalah karena selain jarak tempuhnya yang cukup jauh—mungkin kurang lebih sekitar dua jaman dari Semarang. Ditambah lagi kata Dina medan ke sana curam serta jalanan menanjak jadi mereka harus naik ojek dari terminal ke Panti Jompo yang hendak dituju. Ya, maklum saja, namanya juga pelosok.Waktu yang mereka punya tidak banyak, hanya dua hari saja—terhitung hari Sabtu & Minggu. Intinya, ketemu tidak ketemu Minggu sore mereka harus pulang.“Kamu yakin, Din, kalau Bu Linda masih ada di sini?” ucap April April merasa agak pesimis mengingat sudah tahunan Dina lulus SMK. Apa iya Mamanya Sean masih di sana?Mata April mengeja lamat-lamat rentetan huruf di depan bangunan panti jompo dengan bertulis
April menggeleng. Tidak bisa seperti ini, masa mereka pulang dengan tangan kosong!“Pril. Apa yang kamu lakuin seumpama orang tua kamu masih hidup?”“Jelas aku bakalan nyariin mereka, Sean.”Percakapannya dengan Sean seolah terngiang kembali di kepala. Memotivasi kembali April mengenai tujuannya ke sini. Benarkah dia harus menyerah sedini mungkin?Baru saja berjalan melewati kusen pintu ruangan, April berbalik badan untuk menemui Bu kacamata lagi.“Bu. Kalau ibu nggak bisa ngasih tahu di mana Bu Linda berada nggak pa-pa. Saya yakin pasti ibu disuruh tutup mulut, kan, sama orang yang bawa Bu Linda pergi dari panti jompo ini?"Bu kacamata agak terkesiap mendengar penuturan dari April. Wanita itu cerdas juga."Tapi seenggaknya Ibu bisa, kan, ngasih beberapa informasi ke saya tentang di mana tempat terakhir Bu Linda berada? Biar saya sendiri yang nyari Beliau di mana, Bu," mohon April dengan wajah memelas.
“Sebenarnya nggak ada yang namanya orang jahat di dunia ini. Kecuali keadaanlah yang memaksanya.”(DBK)***Setelah dari panti jompo Griya Lansia Asih. Denis mengajakApril dan Dina menujutempat di mana Linda berada.Bukan hanya itu saja, Denis juga menawarkan tumpangan ke mereka ketika pulang ke Semarang nanti karena memang mereka satu arah.Awalnya April menolak. Sungkan. Agak waswas juga karena baru pertama kali kenal dengan Denis. Takut diapa-apakan. Namun Dina malahan tiba-tiba menyengirmengiyakan tawaran Om Denis.“Udahlah, Pril mau aja. Hitung-hitung hemat ongkos pulang. Daripada kita naik bus butut mending naik mobil bagus aja,” begitulah bisik Dina kepadanya.Heh, sejak kapan sahabatnya itu ketularan sifat pelit dirinya? Ya, sudah. Mau bagaimana lagi. Lagian kalau dia diculik ada Dina yang menemaninya.Jalanan yang mereka lalui berkelok, medanny
Erik: Pril, gimana soal tawaranku yang waktu itu?Erik: Tolong pertimbangin lagi, ya, Pril.April membaca kembali pesan masuk dari Erik. Bahkan sampai berulang-ulang kali, namun jemarinya tidak bergerak sama sekali lantaranbingung harus menjawab apa.April kira setelah beriringnya waktu Erik akan melupakan semuanya. Apalagi sudah beberapa bulan ini Erik tidak menyinggung tentang hal itu lagi. Namun ternyata sekarang Erik merongrong menuntut jawaban atas lamarannya.Erik: Kok, diem aja, sih, Pril? Pesanku cuma di-read, doang.April mendesahkan napas pelan. Erik ini sebenarnya mengajaknya menikah atau hendak menagih hutang kepadanya, sih?Kenapa pula kesannya seperti mengejar-ngejar dirinya. Membuat orang lain risih saja.April: Bentar, ya, aku lagi di rumah Papa. Nanti kalau aku udah pulang, aku balas.“Kenapa, Pril?” tanya Papa yang datang dari arah dapur sambil membawakan dua cangkir cokelat hangat. Papa mera
Ternyata makan malam bersama keluarga Papa tidak semenakutkan yang ia bayangkan.Papa menyambut ramah kedatangan Erik, Beliau menanyainya banyak hal seperti yang kebanyakan orang tua lainnya tanyakan kepada lelaki yang menyukai Putri mereka. Seperti... Sekarang kerja di mana? Bagaimana keluarga kamu? Kalian awal kenal dari mana? dan sebagainya.Bahkan Mama yang biasanya judes pun kini ikut berpura-pura bersikap ramah karena ada Erik di sini."Maaf, ya, Nak Erik kalau masakan Tante sederhana banget.""Ah, nggak pa-pa, kok, Tante. Ini hitungannya udah mewah banget, kok, Tante bagi Erik," jawab Erik dengan senyum ramah, seolah ingin memberikan kesan pertama yang baik kepada keluarga April. Danya,Erik berhasil memenangkan hati semua orang yang ada di sini.Monna yang duduk di sebelah April tiba-tiba bergelayut manja di lengannya seolah mereka dekat saja.“Kak April pinter banget, ya, nyari calon suami. Kok, bisa, sih, Kak April
"Memangnya kita bisa, Marah dengan orang yang kita cinta?"-Sean***Sejak kejadian waktu itu di mana Sean mendapati Erik yang berusaha menciumnya. April merasa sampai sekarang Sean masih marah kepadanya. Hal itu bisa dilihat dari saat mereka tidak sengaja berjalanan berpas-pasan, maka Sean akan berpura-pura masuk kembali ke dalam kamarnya. Hal itu benar-benar membuat April merasa tidak nyaman.Kalau boleh jujur, April rindu dengan senyuman tengil Sean, rindu candaannya yang terkadang membuatnya naik darah.Benarkah kini mereka seolah menjadi orang asing?April merasa harap-harap cemas. Sesekali dia mengusap peluh di pelipisnya yang hampir menetes ke bawah. April memegang erat-erat buketsnackserta kado sepesial yang sudah ia siapkan dari rumah untuk nantinya ia berikan kepada Sean di hari spesialnya ini.Yaitu hari wisudanya.Dari kejauhan April dap
Kaki Sean tertekuk, mencoba menyesuaikan tinggi dari wanita yang sedang duduk di kursi roda di depannya.Hati Sean bergemuruh. Terakhir kali dia melihat Mamanya waktu masih kecil. Sean ingat betul dulu rambut Mama dulu pendek, hanya sebahu. Tapi kini rambut Mama sudah panjang. Kecantikannya tidak luntur sama sekali meskipun Mama yang sekarang terlihat agak kurusan. Sebelum ke sini April sudah merias Mamanya Sean supaya terlihat segar dan ayu."Mama... Ini beneran Mama?"Tangan Sean terulur mengusap pipi mamanya, hatinya masih bertanya-tanya apakah ini semua nyata?Jika ini semua mimpi, tolong hentikan waktu di dunia ini meski sekejab."Mama...." ucap Sean terdengar getir. Tercekat hilang di penghujung suara.Semua ini sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ibunya, yang dulu dibawa paksa oleh orang-orang berbaju hitam ketika Sean pulang dari sekolah, kini berada di depannya lagi. Padahal sudah puluhan tahun Sean mencari."Tante... Ini Sea
Sean: Woi Bocil! Jangan lupa jemput putri kesayangan Om di sekolahannya, ya. Soalnya sopir Om lagi nganterin Tantemu ke kondangan. Ais yang membaca pesan masuk dari Om Sean pun mendengus sebal. Padahal dulu waktu kecil ia sangat mengidolakan Om Sean karena selalu membelikannya mainan. Tapi setelah masuk SMP, Ais merasa Om Sean terkadang tingkahnya kekanakan di usianya yang sudah tidak lagi muda. Ais memasukkan HP-nya kembali ke kantung seragam. Dia masih kelas satu SMP, jadi wajar saat ini dia curi-curi kesempatan membawa HP ke sekolahan secara semunyi-sembunyi. Mumpung sedang ekstrakulikuler pramuka. Pulang pramuka Ais dan Aim meng-gowes sepedanya untuk menuju ke sekolahan Sheril—anak perempuan Om Sean. Sekolahan Ais dengan sekolahan Sheril memang berdekatan. Hanya beberapa blok saja. “Is. Tahu nggak, anak Om Sean cakep, lho. Nanti aku kenalin ke dia, deh,” celetuk Aim ketika diperjalanan. Sedangkan yang di
Malamnya… Di hari pernikahan. Gemerlap cahaya lampu menerangi sekitar. Huru-hara tamu undangan ikut meramaikan suasana. Dan juga, lantunan lagu terdengar mengalun merdu mengiringi acara.Sean saat ini sudah mengenakan tuxedo berwarna hitam, ia terlihat semakin gagah. Perasaannya harap-harap cemas, menunggu sang pujaan hati untuk ikut bergabung di bawah sini bersamanya.Tadi pagi Sean dan April sudah melangsungkan acara ijab kabul dengan lancar, sedangkan sore sampai malamnya Sean mengadakan resepsi serta pesta dansa ala orang Eropa.Sebenarnya April menginginkan pernikahan yang sederhana. Tidak perlu sampai dibuatkan pesta segala, ijab kabul saja sudah cukup. Tetapi dari pihak keluarga Sean sendiri menginginkan adanya pesta dansa. Katanya Sean adalah putra kesayangan mereka, mereka ingin membuat pernikahan yang berkesan untuk Sean. Jadi, mau tak mau akhirnya April menurut keinginan mereka.
“BURUAN masuk, ih. Ngapain aja bengong di sana!” teriakan April menyadarkan Sean akan lamunannya. Sean masih mengamati sekitar, ia seolah bernostalgia dengan masa lalu yang indah. Pagar rumah dengan bunga mawar hampir mati di pojokannya.Ah, Sean juga masih mengingat Miri, anak tetangga April yang lucu itu. Ah, mungkin sekarang dia sudah besar.Begitu juga ketika Sean memasuki rumah tiga petak ini. Bayangan April yang memasak di dapur, April yang hobi berteriak-teriak sampai rasanya memekakkan telinga, dan juga kenangan di mana pertama kali Sean mencium April pun Sean masih ingat. Akhirnya dia kembali ke sini lagi!Di bagian kamar. Sean berdecak kagum saat jari telunjuknya mengusap meja wadah buku-bukunya ketika masih kuliah dulu. Bahkan tidak ada debunya sama sekali seolah April rutin membersihkannya tiap hari.“Wih, tumben kamarku bersih banget?” celetuk Sean ketika melihat kamarnya yang ternyata masih tertata rapi se
TIGA tahun berlalu, banyak hal silih berganti. Diantaranya Sean sudah menyelesaikan S2-nya tepat waktu. Sean juga diamanahi Pak Hans untuk mengembangkan anak perusahaannya. Dan yang lebih membahagiakannya lagi adalah Mama Sean, alias Bu Linda, sudah sembuh dari penyakit yang dideritanya. Mungkin itu semua karena Bu Linda tinggal dekat dengan putranya serta mendapatkan penangan medis oleh tenaga professional. Pandangan Sean tertunduk, ia menekuri ponselnya untuk mengirimi pesan kepada seseorang. Sean: Lokasinya bener di Jalan Sadewa, kan, Mbak? Ketik Sean dengan saksama. Dina: Iya, Kak. Lokasinya strategis, lho, Kak. Deket tempat kuliahan, deket jalan raya. Harganya cuma 300 juta aja. Yuk, buruan dibeli, Kak. Sean menghela napas pelan, seolah ada beban berat yang bertauh-tahun di benaknya. Lucu sekali bukan? Dia sok-sokan mengabaika
Sambil mencari berkas April. Sean berjalan pelan menuju jendela kaca ruangan yang membentang lebar. Menampilkan tingginya bangunan pencakar langit.Dahi Sean mengernyit. Tampak dari atas sini Sean melihat April berada di depan kantor sambil memeluk helm di depan tubuhnya.Tebakan Sean mungkin April sedang menunggu Dina mengeluarkan motornya dari parkiran.Sean mengamatinya dalam diam. Andai saja April mendongak ke atas. Pasti April akan mendapati Sean yang berdiri di sini.Tiga tahun waktu yang lama. Harusnya Sean sudah bahagia dengan hidupnya yang sekarang.Saat ini dia sudah mengembangkan anak perusahaan milik Kokonya dalam waktu singkat. Hanya dalam hitungan waktu, pasti anak perusahaan ini akan menjadi perusahaan yang besar.Sean sudah punya segalanya.Dan, Tiga tahun dia berusaha mati-matian melupakan April. Mengabaikan semua notifikasi masuk dari April tetapi kenyataannya Sean tidak kuat untuk tidak mengintip pesan
Beberapa menit lagi tes psikotes akan segera dimulai. Sebagian pelamar bahkan sudah berdiri di depan pintu ruangan untuk bersiap-siap. Sedangkan April dan Dina masih duduk di salah satu kursi."Udah, Pril. Jangan nangis lagi, ya."Dina mengusap punggung April berusaha menenangkan sahabatnya.Huh, keponakan Pak Hans itu sungguh sangat menyebalkan!Mentang-mentang sekarang dia sudah menjadi orang penting, bukan berarti dia bisa memperlakukan April seenaknya, bukan!Apa bocah itu tidak ingat kalau bukan karena April, mana mungkin Bu Linda bisa ditemukan!Dina menggerutu dalam hati.Seorang staf keluar dari dalam ruangan, menyuruh para pelamar kerja untuk masuk ke dalam.April berdiri kemudian mengusap air mata yang tersisa di pipinya membuat Dina mengernyit.Kenapa April berdiri? Apa dia akan masuk ke dalam?"Kamu serius masih mau ngelamar kerja di sini?! Pulang aja, deh, Pril!"Dina tidak dapat memba
April melihat ulang jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangannya sebelah kiri.Tes pertama yaitu psikotest baru akan dimulai sekitar kurang lebih empat puluh menitan lagi.Masih agak lama, mungkin Aprilnya saja yang datangnya kepagian karena takut terlambat.April menengok ke sekitar, di sini juga baru ada satu dua pelamar kerja yang lain.Bosan menunggu, Dina yang perutnya sudah keroncongan sejak tadi pun merengek mengajak April untuk pergi ke kantin mencari camilan."Kamu kenapa, sih, Pril? Kok, dari tadi kelihatannya lesu banget. Kamu sakit?" tanya Dina sambil memasukkan makanan ke dalam mulut.Malas menjawab, April hanya menggelengkan kepala."Kalau kamu sakit, kita pulang aja. Nggak usah maksain diri. Kesehatan kamu lebih penting tahu.""Nggak, kok. Aku baik-baik aja. Kamu nggak usah khawatir. Mungkin karena semalem aku kurang tidur aja," ucap April sembari menghela napas pelan."Masa, sih? Orang wajahmu puc
Jangan karena aku mudah memaafkan. Lantas kau bisa seenaknya menyakitkan.-Sean***"Pril. Jawab aku, Pril! Siapa yang udah ngelakuin ini semua ke kamu?!"Sean menangkup wajah April yang berlinang air mata.April menggeleng pelan, tidak mau menjawab. Dia takut apabila masalah ini menjadi panjang jika Sean tahu Eriklah yang telah melakukan ini kepadanya.Akhirnya April memilih membuang muka ke samping untuk menghindari Sean."Kamu pergi aja, Sean. Aku pengin sendiri dulu," ucap April lirih, suaranya tercekat di tenggorokan, teredam tangisan.Bagaimana Sean bisa membantu jika April tidak mau memberitahunya?"Pril. Jawab aku, siapa yang ngelakuin ini," ulang Sean lagi, tidak gencar, bedanya kali ini nada bicara Sean terdengar penuh penekanan, menuntut jawaban.Sean tidak akan memaafkan siapa pun yang sudah menyakiti April. Cukup sebutkan satu nama, pasti Sean akan membalas orang itu
"Mo-Monna!"April benar-benar tidak percaya saat ini ia melihat saudara angkatnya sedang berada di rumah Erik dengan tubuh terbungkus selimut putih yang April yakini pasti di baliknya Monna tidak mengenakan pakaian sama sekali."Ini maksudnya apa, Rik?" ucap April menuntut jawaban kepada Erik yang hanya diam di depannya."Kamu main gila sama adik sepupuku sendiri?!"Napas April memburu, tangannya mengepal erat-erat.Dia seolah tidak dapat membedakan apakah ini semua nyata atau tidak."Yaudahlah, Beb. Dia udah telanjur tahu sekalian aja kamu jelasin ke dia kalau kita udah pacaran," sela Monna dengan sambil melenggang mendaratkan bokongnya di sofa ruang tamu Erik."Kalian bener-bener selingkuh di belakang aku?!"April tak habis pikir. Kalau Erik niat berselingkuh kenapa tidak dengan wanita lain saja selain Monna? Sampai-sampai adik dari pacarnyadiembatjuga.Erik mengusap pelan tengkuk belakangnya. Dari