Sepulang dari rumah bergaya tradisional, Tiffany merasa gelisah sepanjang perjalanan. Dia sendiri tidak tahu kenapa dirinya begitu resah, seakan-akan ada sesuatu yang tidak terduga akan terjadi.Perasaan gelisah ini mirip dengan apa yang dirasakannya dulu ketika baru meninggalkan Desa Maheswari, lalu Kendra langsung ditangkap tak lama kemudian.Setelah kembali ke rumah Keluarga Tanuwijaya, Tiffany langsung menelepon Xavier. Alasannya adalah untuk memberi kabar bahwa dia sudah kembali dengan selamat, tetapi sebenarnya dia ingin mendapatkan kontak pribadi Niken.Berhubung Tiffany sudah menerima dari lubuk hatinya bahwa Niken adalah ibunya, dia merasa sudah sepantasnya dia memiliki kontak langsung ibunya. Selalu mengandalkan Xavier untuk menyampaikan pesan rasanya terlalu merepotkan. Dia ingin memberi kabar kepada Niken secara langsung."Tiffany, Bibi Niken lagi rapat sekarang." Suara Xavier terdengar di telepon setelah sempat ragu sejenak. Dia melanjutkan, "Begini saja, aku akan memberik
"Nama Niken sebenarnya bukan nama aslinya. Itu cuma nama yang dia pakai setelah nikah dan mengikuti marga suaminya," ucap Derek sambil menghela napas."Jadi, marganya tetap Wijanarko ya?" Derek mulai berpikir, lalu melanjutkan sambil tersenyum, "Kalau pakai nama Tiffany, agak sulit diucapkan dengan marga itu. Gimana kalau Tiffy Wijanarko saja?"Tiffany mengerucutkan bibir, lalu membalas, "Namaku tetap Tiffany Maheswari. Hari ini, aku sudah bertemu dengan Ibu. Dia ...."Ketika mengingat semua yang dilakukan Niken untuknya, hati Tiffany terasa hangat. Dia agak menunduk ketika berujar, "Hari ini, Ibu sudah mengakui ayah angkatku sebagai saudara kandung dan mengganti namanya jadi Nancy Maheswari. Jadi aku akan tetap mengikuti marga Ibu, tetap pakai marga Maheswari."Ucapan Tiffany seperti pukulan keras yang menghantam hati Derek. Dia benar-benar tidak menyangka, Niken bisa begitu menyayangi Tiffany sampai rela melakukan hal seperti ini. Dia bahkan ... mengganti marganya sendiri hanya karen
Setelah menutup telepon dengan Julie, Tiffany segera merapikan dirinya. Dia mengenakan mantel dan memanggil taksi untuk menuju rumah sakit tempat Julie bekerja.Berdasarkan apa yang dikatakan Julie, hampir semua dokter senior yang seharusnya berjaga telah dipanggil untuk menangani kasus darurat. Di rumah sakit, hanya tersisa Julie dan beberapa dokter magang yang terlihat tegang. Mereka khawatir jika ada kasus darurat yang sulit ditangani.Julie bersandar di kursi. Dia melirik Tiffany dengan pasrah, lalu bertanya, "Menurutmu, siapa sebenarnya tokoh besar itu sampai bisa bikin semua dokter terkenal di kota ini dipanggil untuk konsultasi?"Tiffany yang sedang banyak pikiran hanya menjawab seadanya, "Mungkin cuma orang kaya yang terlalu takut sakit."Sambil melihat layar ponselnya, seorang dokter magang pria yang sedang mengunyah permen karet menyela, "Kamu ini benar-benar kurang informasi. Kudengar, orang ini bukan dari Kota Aven, tapi dari kota lain.""Di kotanya sendiri, dia sebenarnya
Tiffany berucap sambil mengangguk pelan, "Kalau begitu, ayo pergi saja."Bagi Tiffany, tidak ada bedanya di mana pun dia berada malam ini. Sebenarnya, dia hanya sedang merasa tidak enak hati dan ingin berbicara dengan Julie. Berada di luar ICU atau tetap di ruang jaga, baginya sama saja.Melihat Tiffany sudah setuju, Julie menghela napas sambil menggeleng. Kemudian, dia menatap suster dengan sedikit pasrah seraya berucap, "Ya sudah, kita lakukan seperti yang kamu bilang. Aku akan membawa temanku ke atas dulu."Usai berkata demikian, Julie langsung menarik tangan Tiffany, berdiri, dan berjalan menuju arah lift bersama.....Bersama beberapa dokter dan suster lainnya, Tiffany dan Julie menunggu di luar ICU selama hampir 20 menit. Akhirnya, para dokter rumah sakit datang dengan mendorong ranjang pasien yang disebut sebagai tokoh besar itu.Banyak orang berada di tempat itu. Tiffany yang hanya ikut-ikutan, berdiri cukup jauh dari kerumunan. Ketika pasien tersebut dibawa masuk, Tiffany tid
Pada akhirnya, Tiffany tetap tidak diizinkan masuk ke dalam ruang ICU. Dokter hanya mempersilakannya berdiri di luar dan melihat wanita itu melalui dinding kaca.Wajah wanita itu masih tetap dingin dan tenang seperti biasanya, tidak menunjukkan emosi apa pun. Dia terbaring di dalam sana dengan mata terpejam. Bibirnya terlihat pucat, seolah tanpa kehidupan.Dokter berdiri di samping Tiffany, lalu menghela napas sebelum berucap, "Penyakit yang diderita oleh Bu Niken ini ... sangat langka."Dokter itu menjelaskan, "Berdasarkan analisisku, kemungkinan besar tubuhnya pernah disuntik dengan obat khusus ketika dia masih muda. Dia telah menerima suntikan obat semacam itu selama lebih dari dua tahun.""Hal yang luar biasa adalah kebanyakan orang nggak mampu bertahan dengan obat ini. Sebagian besar yang disuntik lebih dari enam bulan akan kehilangan kewarasan, berujung melukai diri sendiri, bahkan meninggal. Tapi dia berhasil bertahan, bahkan hidup hingga sekarang," tambah dokter itu.Tiffany me
Tiffany baru menemukan kedua orang tuanya. Dia terduduk di lantai dan air matanya mengalir. Tiffany menutup mulutnya.Tiffany tahu Niken pasti akan mendengarnya jika dia mengeluarkan suara saat menangis. Tiffany akan mengganggu Niken beristirahat. Namun, Tiffany tidak bisa mengendalikan dirinya.Tiba-tiba, ponsel Tiffany berdering. Bronson yang menelepon.Begitu Tiffany menjawab panggilan telepon, terdengar suara Bronson. "Tiffany, kakekmu sudah beri tahu aku masalah ganti nama. Apa kamu benar-benar menyukai marga Maheswari? Kamu di mana? Aku mau bicara denganmu."Tiffany menarik napas dalam-dalam. Dia merasa kesulitan untuk berbicara tanpa terisak. Akhirnya, Tiffany yang tidak bisa menahan emosinya lagi menangis histeris dan berucap, "Aku di rumah sakit. Ayah, Ibu ... nggak bisa hidup lama lagi."Tiffany mendengar suara ponsel Bronson jatuh. Setelah beberapa saat, sepertinya Bronson sudah mengambil ponselnya. Dia bertanya dengan suara bergetar, "Tiffany ... tadi kamu bilang apa?"Tiff
Sepuluh menit setelah Bronson mengakhiri panggilan telepon, dia pun sampai di rumah sakit. Melihat ekspresi Bronson yang cemas, Tiffany tahu Bronson pasti datang buru-buru.Tadi Tiffany membutuhkan waktu setengah jam untuk datang ke rumah sakit dengan menaiki taksi. Namun, Bronson hanya membutuhkan waktu 10 menit.Bronson bertanya dengan ekspresi sedih, "Dia di mana?"Ketika melihat wajah Bronson yang pucat, Tiffany menggigit bibirnya dan menyahut, "Dia ... ada di ruang ICU. Dia baru berhasil diselamatkan dari kondisi kritis."Tiffany juga baru tahu penyakit Niken saat Bronson meneleponnya. Jadi, Tiffany yang tidak bisa menahan kesedihannya baru memberi tahu kondisi Niken kepada Bronson.Namun, sekarang Tiffany merasa tindakannya salah begitu melihat wajah Bronson yang pucat pasi. Ucapan Xavier benar. Niken menutupi masalah penyakitnya dari Tiffany. Tentu saja, dia juga tidak ingin Bronson mengetahuinya.Selama ini, Niken berkorban untuk Bronson. Bahkan, dia bercerai dan meninggalkan B
Dulu Bronson gagal, begitu pula sekarang. Bagaimana dengan ke depannya? Apa mereka masih mempunyai masa depan lagi?Tiffany mengepalkan kedua tangannya dengan erat ketika melihat Bronson yang bersedih. Tiba-tiba, seseorang memeluk Tiffany dari belakang.Tiffany terkejut, lalu dia mencium aroma yang familier. Tiffany pun menurunkan kewaspadaannya. Dia berbalik dan membenamkan wajahnya di dada Sean. Tiffany bertanya, "Apa aku salah?""Kamu nggak salah," hibur Sean. Dia melihat Niken yang berada di ruang ICU dan Bronson yang menangis di depan jendela kaca.Sean melanjutkan, "Mereka sudah terpisah begitu lama. Kalau kamu nggak bilang, mereka akan terpisah selamanya. Setidaknya mereka bisa saling menemani pada saat-saat terakhir. Itu lebih baik daripada menyesal seumur hidup."Air mata Tiffany mengalir. Kenapa dia harus menghadapi perpisahan setelah menemukan orang tuanya? Tiffany merasa tidak rela.Hal yang paling konyol adalah Tiffany bercita-cita untuk menjadi dokter jantung, sedangkan i
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli