Aku tak kuasa menolak saat tangan kekar laki-laki itu kembali menutup mulutku dengan lakban. Perutku rasanya sudah sangat kelaparan. Aku kehausan. Aku mencoba meronta-ronta humemanggil laki-laki itu. Aku tak ingin terjadi sesuatu pada bayi yang aku kandung jika tak makan sedikitpun sejak pagi.
Tapi laki-laki itu tak mengubrisku sedikitpun. Dia malah asyik dengan handphone yang ada di tangannya. Tuhan, sampai kapan penderitaan ini? Aku seperti tak punya tenaga lagi.
Tiba-tiba handphoneku berdering, laki-laki itu dengan sigap meraihnya dari atas meja. Dia menatapku lalu menghadapkan layar handphone padaku. Ternyata dari Mas Yoga. Aku meronta-ronta berupaya meraih handphone itu.
Laki-laki itu, dengan senyuman licik menekan tombol jawab. Mendekatkan telpon itu ke telinganya.
"Hallo", ucapnya menjawab panggilan Mas Yoga.
"Tenang, jangan emosi! Dia ada bersamaku!" jawabnya lagi.
"Hahahahaa.....aku bukan selingkuhannya. Aku malah menyekapnya disini
Mas Yoga langsung membawaku ke rumah sakit. Kepalaku yang dipukul perempuan itu masih terasa sangat sakit. Belum lagi bibirku yang terasa nyeri karena tamparan laki-laki itu. Kedua tangan dan kakiku perih karena bekas ikatan tali itu. Kulit-kulit pergelangan tangan dan kakiku mengelupas. Terasa sangat nyeri.Dokter langsung memeriksa kepalaku. Untunglah hanya luka lebam, tidak sampai membuat kepalaku geger. Dokter juga memeriksa bayi yang ada dalam kandunganku. Semuanya alhamdulillah sehat. Aku bersyukur sekali. Kandunganku tidak kenapa-kenapa.Untuk malam ini, dokter menyarankan agar aku di rawat dulu. Agar besok bisa kembali memeriksa kandunganku.Mas Yoga terlihat sangat panik. Berulang kali dia bertanya pada dokter tentang keadaanku. Tapi dokter menjelaskan, bahwa aku baik-baik saja."Kenapa semua ini terjadi, Ma? Siapa orang yang telah menyekapmu?" tanya Mas Yoga saat dokter meninggalkan ruangan inapku."Semua ini karena perbuatan
Cukup lama aku menangis dipelukan Mas Candra. Aku hanya butuh seseorang sekarang. Hatiku sangat kecewa. Aku sangat berharap sekali saja Mas Yoga percaya dengan apa yang aku katakan.Tapi nyatanya dia tak percaya sedikitpun. Bahkan saat perempuan itu datang, dia tidak mencoba mencari tahu sedikitpun. Dia selalu membela perempuan itu. Selalu aku yang dia salahkan. Kenapa kamu seperti itu? Bathinku meronta meminta belas kasihan darimu.Andai saja, dia mau percaya dengan ucapanku. Andai saja dia membelaku di hadapan perempuan itu. Andai saja dia mau jujur tentang rahasia itu. mungkin aku tidak akan mengambil keputusan ini.Aku merindukan hari-hari penuh kasih dengan Mas Yoga. Aku mencintainya. Berat sekali rasanya jika harus berpisah. Aku sebenarnya ingin selamanya dengannya. Tapi, begitu banyak ketidak adilan yang dia berikan padaku. Kebohongan yang selalu dia tutupi. Entah mengenai apa.Aku melepaskan diri dari pelukan Mas Candra. Aku bert
Mas Yoga menarik kerah baju Mas Candra, saat mendengar Mas Candra memanggilku dengan sebutan sayang."Kamu siapa? Kenapa berani-beraninya kamu panggil istriku seperti itu?" ucap Mas Yoga mengeratkan pegangannya pada kerah baju Mas Candra.Dengan keras Mas Candra melepaskan genggaman tangan Mas Yoga. Lalu membetulkan kerah bajunya."Jangan cari masalah disini! Ini rumah sakit!" teriakku pada mereka."Jawab dulu, siapa dia? Punya hubungan apa kamu dengan laki-laki itu?" tunjuk Mas Yoga pada Mas Candra.Mas Candra beralih menatapku, kemudian Mas Yoga."Aku pengacara Riana, aku yang akan mengurus perceraian kalian!" jawab Mas Candra tenang."Apa? Jadi kamu sudah mencari seorang pengacara Riana?" tanya Mas Yoga terlihat panik."Iya, aku sudah jelaskan padamu semalam! Aku sudah tidak kuat lagi hidup denganmu! Aku sudah muak dengan semua kebohonganmu!" ujarku turun dari ranjang."Ayo Riana, mas antar kamu pulang", papah Mas Can
"Apa yang kamu cari, Mas?" teriakku pada Mas Yoga."Dimana kamu menyimpan surat-surat berharga perusahaan?" tanyanya tak tahu malu.Aku mendesis melengos mendengar pertanyaannya."Untuk apa itu bagimu?" Tanyaku dengan berpangku tangan."Kamu tidak bisa memperlakukan aku seperti ini, Riana!" teriaknya mulai emosi."Apa yang aku lakukan padamu?" tanyaku sinis."Apa yang kamu katakan pada Pak Santoso? Kenapa semua barang-barangku di ruangan direktur dikeluarkan seperti itu? Kenapa aku di keluarkan dari perusahaan?" tanyanya terlihat panik.Aku tersenyum sinis menatapnya. Kamu kenapa menyedihkan seperti ini?"Semuanya sudah jelas, Mas! Kamu dipecat dari perusahaan. Sekarang kamu tidak punya pekerjaan apapun lagi di perusahaan itu!" ujarku ketus."Tidak bisa seperti ini, Riana! Perusahaan itu juga milikku. Itu adalah milik kita berdua, kamu tidak bisa seenaknya
Aku masih mentertawakan kebodohan Mas Yoga, ingin sekali mengatakan padanya bahwa perempuan itu punya niat buruk untuknya. Bahwa bayi yang dia kandung bukannya darah daging Mas Yoga. Semua itu rasanya percuma, belum tentu dia percaya dengan omonganku.Aku memilih masuk ke kamar. Mengambil handphone lalu menghubungi Mas Candra. Dia mengirimkan pesan tadi, memintaku untuk menandatangani beberapa berkas. Aku ingin keluar sekarang. Biarkan saja Mas Yoga sendiri di rumah ini. Apa yang bisa dia lakukan? Tak ada sedikitpun."Hallo, Mas. Kita ketemu di kafe biasa ya? Aku mau jalan ini", ujarku."Ya, mas juga mau jalan. Sampai jumpa disana ya?" balasnya."Ok", ucapku. Lalu menyimpan handphone di dalam tas. Aku meraih kunci mobil dan juga kunci mobil yang satunya. Jangan sampai saat aku tidak ada, Mas Yoga membawa kabur mobil itu."Kamu mau kemana?" tanya Mas Yoga saat aku memasang sendal di kakiku."Aku kelua
"Amira, kamu dimana? Nggak jadi datang ke rumahku?" tanyaku pada Amira sesaat setelah dia menjawab panggilanku."Maaf sayang, satu jam lagi aku kesana. Ngurusin bocil dulu. Atau, aku langsung ke rumah baru kamu aja, gimana? Share lock aja nanti lokasinya", usulnya padaku."Ok, deh. Kita ketemu di rumah baru aku saja. Janji datang ya? Aku nggak punya teman soalnya", aku berharap Amira bisa datang. Menemaniku menata rumah baru itu. Masih banyak perabotan rumah yang harus aku beli."Siipp...aku pasti datang kok!" jawabnya mencoba menenangkanku.Aku segera mematikan sambungan telpon. Orang yang memperbaiki kunci rumah sepertinya juga sudah selesai."Sudah siap, Pak?" tanyaku."Sudah, Mbak. Ini kuncinya!" aku meraih kunci baru yang Bapak itu berikan.Aku merogoh saku baju mengambil uang untuk bayaran Bapak itu."Ini, Pak. Terima kasih banyak ya, Pak!" ucapku."Sama-sama, Mbak. Kalau begitu saya permisi dulu", ucap
Aku langsung istirahat sesampainya di rumah. Kupandangi langit-langit kamar mataku berembun oleh airmata. Semua hal baru dalam hidupku akan dimulai dari rumah ini. Kehidupan sebagai seorang janda seperti mimpi buruk bagiku. Akankah aku sanggup hidup seorang diri? Membesarkan buah hatiku seorang diri?Rumah sebesar ini terasa sepi. Apa tindakanku benar? Apa aku tidak akan menyesal nantinya setelah bercerai? Padahal aku belum tahu kebohongan apa yang sebenarnya Mas Yoga sembunyikan.Aku mengusap butiran airmata yang jatuh membasahi pipiku. Aku tidak boleh sedih. Aku harus yakin bahwa keputusan ini adalah yang paling benar.Handphoneku yang terletak di atas kasur berdering. Aku segera meraihnya. Telpon dari Mas Candra."Hallo, Riana. Hari ini mas sudah mendaftarkan gugatan cerai darimu ke pengadilan. Tidak lama lagi, Yoga akan mendapat surat panggilan", ucap Mas Candra singkat."Baiklah, Mas. Terima kasih!" ucapku."Kamu kenapa? Kok kedengarann
"Ayo Riana! Kita bicara di dalam!" ajak Mas Yoga sok berkuasa."Kami sepertinya pulang saja ya, Riana?" ucap Amira padaku. Sepertinya dia tidak ingin mendengar obrolan kami nantinya."Iya, Riana. Mas pulang saja dulu ya? Nanti kalau ada apa-apa cepat-cepat hubungi, Mas!" ucap Mas Candra padaku."Memang seharusnya kamu tidak ada disini!" ucap Mas Yoga kasar pada Mas Candra. Mas Candra hanya menatap Mas Yoga dengan tangan mengepal. Sepertinya dia tengah menahan amarah."Ya sudah, Mas, Amira. Terima kasih banyak sudah nemenin aku", ucapku merasa tak enak."Mereka bakalan datang sebentar lagi, Riana", ucap Amira padaku. Yang dia maksud pasti pembantu dan satpam untuk rumahku ini.Aku mengangguk pada Amira. Lalu melepas kepergian mereka. Setelah itu aku langsung membuka pintu rumah dan masuk tanpa mempersilahkan mereka masuk.Mas Yoga dengan cepat mengikuti langkah kakiku memasuki rumah.
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."
Aku membiarkan begitu saja saat dering handphoneku memekakkan telinga. Sudah dari tadi Mas Candra mencoba menelponku. Rasanya aku tidak bisa lagi dekat dengan Mas Candra.Perkataan perempuan itu masih terngiang di telingaku. Aku tidak ingin menjadi perusak dalam hubungan orang lain. Lebih baik aku yang mundur. Walau hatiku sudah mulai bisa menerima kehadiran Mas Candra. Sudah mulai bisa merasakan getaran saat tatapan matanya bertemu denganku.Rasa cinta itu sebenarnya sudah datang di hatiku untuk Mas Candra. Tapi aku tidak ingin apa yang aku rasakan dulu, di rasakan juga oleh perempuan lain. Sakitnya di khianati oleh Mas Yoga masih membekas di hatiku. Tiap ingat Mas Yoga aku masih tetap menitikkan air mata. Cinta yang begitu ku agungkan ternyata memendam duri yang begitu tajam.Walaupun sekarang dia tengah menjalani hukuman atas perbuatannya, tetap saja luka di hatiku tak bisa hilang oleh perbuatannya.Karena tak ku gubris sedikitpun, ak
Pikiranku kalut, semua kata-kata yang di lontarkan perempuan itu seperti bom yang selalu meledakkan jantungku. Kenapa dia sampai tega memfitnahku seperti itu. Dia bilang akulah yang merusak hubungan pernikahan Mas Candra dengan adiknya, bahwa akulah yang menyebabkan adiknya meninggal.Apa yang sebenarnya Mas Candra lakukan pada mantan istrinya itu, hingga dia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Apa benar akulah yang menjadi biang rusuh dalam pernikahan mereka? Karena Mas Candra kecewa dengan lamarannya yang aku tolak dulu hingga membuatnya berlaku tidak adil pada istrinya sendiri?Tiba-tiba aku ingat Amira, dia adalah teman dari mantan istrinya Mas Candra. Aku ingin mencari tahu kebenarannya dari dia. Aku segera menghubungi Amira."Amira, apa kamu punya waktu untuk bertemu denganku?" Kuutarakan langsung niatku saat Amira menjawab panggilan telpon dariku."Kebetulan hari ini anak-anak di bawa neneknya, suamiku juga lagi kerja. Kamu mau ketemu di mana?" b
Aku menatap punggung Sakti dan temannya yang beranjak keluar dari pintu utama rumahku. Di tangan Sakti, dia membawa tas berisi uang 2M yang dia minta padaku. Sedangkan aku, memegang surat perjanjian yang sudah dia tanda tangani. Ada sedikit perasaan lega, sekaligus sedih. Lega karena mulai sekarang, Adam akan menjadi milikku. Dia akan menjadi putraku dalam segi hukum. Sakti tidak akan bisa lagi merampas dia dari diriku. Sedih, karena aku harus kehilangan uang dalam jumlah sebanyak itu. Mas Candra memandangi wajahku yang sedikit murung setelah kepergian mereka. "Apa sekarang kamu menyesal? Mas sudah memperingatkan kamu sebelumnya, sekarang semua uang itu sudah mereka bawa. Seandainya kamu mau menempuh jalur hukum, kemungkinan kamu bisa menang. Karena Sakti selama ini memang tidak mau bertanggung jawab pada Adam." "Aku hanya tidak mau berurusan dengan pengadilan, Mas! Proses hukum Mas Yoga saja, sudah membuatku lelah. Aku tidak ingin kembali bolak balik